Share

BAB 4 : BITE HER IN THE ASS

Tempat api unggunnya bergerak. 

Jam di ponsel menunjukkan, ini baru saja lewat tengah malam dan aku berguling di sofa dengan selimutku membaca Shadow and Bone di Kindle. Aku berhak untuk ketakutan ... karena tempat apinya bergerak-gerak. 

Aku bahkan tidak menyadari ada semacam pahatan batu bodoh sampai aku melihat bagian kecil dari dinding perlahan terbuka, seperti pintu. Di mansion tua yang luasnya mengalahi kastil ini, ghoul atau demon bukanlah pengecualian, lihatlah diriku yang terbawa karakter yang aku mainkan di The Hunt, Samantha, berburu monster jahat sepanjang hidupnya, aku terlahir untuk menjadi hebat dalam yang aku lakukan. Apapun yang ada di balik dinding itu akan dengan mudah aku lawan.

Namun mungkin setelah aku menyelesaikan chapter ini, pikirku, kembali membaca bagian yang aku tinggalkan yang baru saja memasuki bab yang bagus sebelum kembali melihat ke tempat api yang setengah terbuka. 

"Debu sialan," Setannya bergumam, merundukkan kepalanya dan keluar dari rak di atas tungku. "Hantu" - nya ternyata hanyalah Dean, yang mana hanya menambah daftar kesialanku saja. 

"Apa yang kau inginkan?" Aku mencemooh, melompat ke kakiku terlalu cepat hingga selimutku jatuh ke karpet.

Dia terlalu sibuk membersihkan debu di pakaiannya untuk menjawab jadi aku mengambil kesempatan itu untuk mendekati tempat apinya dan menengok ke tempat dia keluar tadi. Mengagumkan. Cahaya dari dalam membuatku bisa melihat ada gang, yang hanya cukup untuk satu orang dan terbuat dari batu seperti abad ke delapan belas yang mungkin terhubung dengan koridor lain di belakang dinding yang lain. Aku penasaran apakah Albert mengetahui ini juga semasa kecilnya dia tinggal di sini? 

Aku terlalu sibuk membayangkan Albert kecil ke sini untuk sembunyi dari pengasuhnya atau menakut-nakuti penghuni lain hingga aku tidak menyadari Dean menutup jarak kecil diantara kita. 

Sekali lagi aku melompat seperti kucing yang dilempar ke air. Dean mengendusi ku. Mengendusi rambutku seperti aku ... adalah bunga. 

"Apa yang kau lakukan?" Aku bergumam, mencoba membuat jarak sejauh mungkin darinya. "Kau ingin tanda tangan atau semacamnya?" 

Luar biasa bagaimana aku bisa mengatakannya dengan komplit dan meninggalkan indikasi nada tanya di akhir. Tidak ada wanita waras yang cukup kuat untuk melakukan hal yang sama ketika pria ini hanya menggunakan baju tidur sutra yang tidak meninggalkan banyak hal untuk dibayangkan, semuanya terlihat sudah menjelaskan sendiri. Bukan berarti aku membayangkannya. Sebenarnya, aku lebih melihat keadaanku sendiri yang tidak banyak mengenakan pakaian. Tank top tipis yang ku pakai menunjukkan kalau putingku tidak tahan dengan hawa dingin dan boxer ku lebih mendekati tak terlihat. 

Dean tertawa keras, matanya mengamati bagian depanku. "Tanda tanganmu?" 

"Lalu kenapa kau di sini?" Aku mengambil langkah defensif ketika dia bergerak maju. "Kurasa itu cukup dekat." 

Dia berhenti di tengah langkah, membuat suara menghirup napas yang berlebihan. "God, apa sampo mu wanginya apel?" 

"Apa?" 

"Aku menciumnya sekarang - seperti malam itu." dia berkata, menelengkan kepalanya ke satu sisi. "Itu menjelaskan kenapa apel membuatku keras." 

Mengabaikan gesturku yang jelas-jelas tak bersahabat, dia bergerak mendekat, menginvasi personal space ku. "Masih merayap ke ranjang pria dan memanggil mereka Albert? Kau benar-benar tahu cara melukai ego pria."

"Fu*k you," Aku setengah berteriak, tenggelam di matanya yang intens menatapku saat mereka menarikku. "Aku bukan wanita di Vegas itu. Aku bisa memberimu lebih dari memar. Lihat saja."

Bibirnya membentuk senyum miring. "Kurasa kelinci bukan nama yang tepat untukmu, Cassandra. Kurasa pussycat lebih cocok." 

Aku tidak ingin dia mengucapkan namaku; tidak ingin dia ada di sini. Aku sudah cukup menderita saat makan malam dengannya - makan malam dimana dia menjadi teman baru ayahku -  tapi memilikinya di kamarku setengah telanjang? Terlalu banyak. Semua memori tentang apa saja yang bisa dia lakukan pada tubuhku membuatku terisi dengan perasaan mendamba. Perasaan yang seharusnya tidak aku miliki. 

"Kau pasti sedang kekurangan di departemen wanita jika kau mengingat kesalahan yang terjadi hampir enam tahun yang lalu," Aku mengejek, "Karena aku tidak. Itu tidak sehebat itu untuk aku ingat." 

"Oh?" Dia menaikkan alis gelapnya. "Aku melihat ekspresi malam ini, di atas sana, di rooftop. Seperti rusa yang tertangkap lampu depan." Dia mengejutkanku dengan bersandar ke depan, napasnya panas menyapu telingaku. "Apa kau takut aku memberitahu semua orang bagaimana kau mendesah dan menangis dan memohon ketika aku menyetubuhimu?" 

Aku merinding, tapi bukan karena jijik, ketika aku sadar beberapa detik kemudian. Tidak, aku membeku sebagai reaksi terhadap pertanyaan nakalnya - kotor, lebih tepat - karena kata-katanya sukses membuatku basah di antara pahaku. Dammit, kenapa dia tidak bisa santun seperti Albert? 

"Kucing menggigit lidahmu, kelinci kecil?"Aku merasa dia tersenyum di telingaku karena aku merasakan bibirnya menempel kulitku. Mereka begitu lembut, sangat lembut hingga aku membayangkan rasanya dia di bawah sana.

Panas tubuhnya meradiasiku saat dia perlahan bergerak lebih dekat membakarku; kulitku; di dalamku. Dia hanya satu mili jaraknya dariku dan semakin mendekat hingga aku bisa merasakan tonjolan ... 

"Wow," Aku mengerang, dan hanya itu saja undangan yang Dean perlukan untuk menciumku. 

Suara memalukan berikutnya yang aku bisa ditelan oleh mulutnya. Dia menggenggam rambutku, memiringkan kepalaku untuk sudut yang lebih bagus. Memeluk bahunya, aku menekan dadaku ke dadanya dan merengek ketika genggamannya di rambutku mengencang sebagai jawaban. Lidah kami terjalin sebelum aku menarik miliknya, menghisapnya seperti aku tidak pernah merasakan yang lebih baik. 

Dia melepaskan erangan rendah ke dalam mulutku. Tapi aku butuh lebih, itulah mengapa aku hampir menangis bahagia ketika Dean menarus paha berototnya diantara pahaku. Dia terasa panas, ototnya keras menggamit puncakku yang mendamba dan aku menggesekkan diriku sendiri padanya. Mendesah ketika Dean menangkup pantatku dan mengangkatku, dia menaikkan lutunya dan menempatkan tekanan di tempat yang paling aku butuhkan. 

"I'm going to fu*k you soon, Cassandra. Sampai namaku saja yang bisa kau ingat,” Katanya dengan tajam, dia sudah meninggalkan jejak ciuman lembut yang menggoda, penuh janji di sekitar leherku. 

"Siapa namaku?" 

"Apa?" Aku bahkan tidak bisa mengingat namaku, tidak ketika yang aku pikirkan hanya menggesekkan diriku sendiri dengan jalinan otot di paha pria ini. Mengunci pinggangnya, aku menekan diriku sendiri padanya, menggesek pada sesuatu yang terasa sangat menakjubkan. Ini susah lama sekali sejak aku bisa merasa bergairah dan aku tidak tahu kemana harus pergi dari sini karena kita tidak akan bersetubuh. Tentu saja tidak. Terutama jika ini saja terasa seenak ini. 

"Namaku, myshka," Dia berkata, meremas pantatku di tangannya. "Siapa namaku?" Dan dia menggigit kulit lembut di lekuk leherku. 

Aku merengek keras, melengkungkan punggungku dan menggesekkan klit ku dengan brutal. Dua hal terjadi secara instan: Satu, rasa sakit yang dia tinggalkan saat menggigitku benar-benar nikmat. Dan kedua, aku datang. 

"Oh, my God," Kataku menyadari suaraku yang terengah-engah.

Itu tadi terjadi begitu cepat dan sejujurnya, aku tidak terbiasa dengan ... ledakannya. Lagipula, dulu ini pernah terjadi sekali. Dengan tubuh yang hampir lumpuh, aku membentak Dean untuk menurunkanku. Dia melakukannya sambil mengamati celananya yang memiliki jejak basah di sana. Seketika itu aku mengutuk pijamanya yang tidak berwarna hitam.

"Apa kau baru saja...?" Dia menjalankan jarinya di sepanjang jejak licin yang aku tinggalkan dan membawanya ke mulutnya, dia menjilatnya. Aku butuh tanah yang bisa menguburku sekarang. "Sial," Katanya dengan napas menggebu dan memberiku tatapan penuh penasaran. "Kau sangat responsif." 

"Pergi," Aku berbisik, masih terkejut. "Pergilah, Dean. Please."

Dia menatapku untuk waktu yang lama sebelum meraih dan menyisir rambut hitamku yang berantakan menjauh dari wajahku. "Kau malu karena ini?" 

Aku menggigit bibir bawahku dan memyipitkan mataku menatapnya, hampir tenggelam di bola matanya yang hijau pucat. "Apa tepatnya itu, huh? Spek basah kecil di antara kakiku atau di kakimu?" Aku mengeluarkan tawa palsu. "Ini informasi untukmu. Aku memikirkan orang lain dan dialah yang membuatku basah. Bukan kau." 

Dean menurunkan tangannya. "Benarkah begitu?" 

"Ya. Aku tidak tahu permainan apa yang kau mainkan di sini tapi kau tidak bisa meyakinkanku kalau kau menungguku kembali ke sini dan hidup selibat bertahun-tahun ini." 

Sekarang dia yang giliran tertawa. "Menunggumu?" Sekali lagi dia berada di personal space ku dan aku tidak bisa kemana-mana, tidak ada yang bisa dilihat selain dia. "Aku punya rencana, little girl, dan itu termasuk bercinta dengan semua wanita single yang datang ke pernikahan ini. Kau adalah pemberhentian pertamaku dan tentu saja bukan yang terakhir." 

Aku menelan ludahku. "Keluar. Kau. Menjijikan." 

Dia tertawa lagi. "Kau tidak bersungguh-sungguh tentang itu, myskha." Dia berbalik dan berjalan menuju tempat api. Sebelum dia menunduk dia berbicara melewati bahunya. "Lain kali kenapa kau tidak menungguku untuk benar-benar menyentuhmu sebelum kau datang di seluruh tubuhku?" 

"Get out!" 

*~*

Aku satu menit jauhnya untuk melakukan patricide. Membunuh ayahku tidak pernah terlintas di benakku untuk waktu yang lama sampai hari ini ketika yang bisa aku pikirkan hanya tentang menembaknya dan sahabat barunya tepat di antara kedua mata mereka. Semua ini akan lebih mudah dilakukan jika aku benar-benar memiliki pistol. 

Ya Tuhan, aku akan masuk ke neraka, gumamku pada diriku sendiri. 

Karena saljunya hanya turun sedikit dan matahari menyelip diantara langit kelabu, tamu undangan pengantin diizinkan untuk melakukan tur di sekitar mansion atau kastil lebih tepatnya. Aku sudah pernah mengunjungi tempat ini dulu tapi aku masih saja terkejut dengan setiap hal yang aku temui. Sebagian besar tamu yang lain - yang terdiri dari teman semasa kuliah Vanya dan Albert dan kerabat Vanya yang lain - sudah datang dan melengkapi grup yang sedang berjalan-jalan di taman. Orangnya tidak sebanyak yang aku bayangkan dan Vanya menjelaskan kalau dia menginginkan pesta pernikahan yang kecil dan intim. Mereka tidak mengundang rekan kerja atau kepala negara. 

"Mau memberitahuku kenapa raut wajahmu itu terlihat seperti pembunuh di pagi yang indah ini?" Sarah bersiul di telingaku dan menggandeng lenganku. Karena kita berdua menggunakan jaket wol, death-grip nya sedikit kendur.

Aku mengalihkan tatapan "pembunuh" ku pada sahabatku. "Aku salah tidur. Bite me.

"Mungkin nanti, sweetheart." Dia bergurau, memberikan senyuman konyolnya. "Jadi kau mau bercerita atau terus merengut?" 

"Apa yang membuatmu begitu riang?" Aku bertanya balik, walaupun aku punya perasaan buruk kalau aku tidak ingin tahu. 

Seseorang tertawa di barisan depan - ayahku - dan aku harus memaksa diriku sendiri kalau patricide - well, pembunuhan pada umumnya - itu ilegal. 

"Sam melakukan gerakan lidahnya itu tadi malam yang benar-benar luar biasa." Aku tahu aku tidak mau tahu, pikirku, mengulum bibir atasku. TMI dan Sarah adalah teman baik sejak dulu. 

"Well, itu menjelaskan keceriaannya," Aku bergumam dengan kering. 

"Atau mungkin itu karena bayinya." 

Aku membeku dan menarik Sarah kebelakang dengan sedikit tenaga. "Kau hamil?" 

Dia terkikik. "Jangan terlalu keras, Cassandra! Kita tidak mau mengalahkan Alby dan Vanya." 

Aku menaruh tanganku ke pinggul dan menatapnya intens. Dia memang selalu kecil tapi itu tidak menghentikannya untuk menjadi extrovert. Dengan Sarah, dinamit pasti datang sepaket dengan wanita kecil berkulit tembaga ini. Aku tidak bisa melihat perutnya melalui jaket tebal yang dia gunakan tapi rambutnya disanggul tinggi, menonjolkan glow yang dia radiasikan dari setiap pori-pori di wajahnya. 

"Tapi kau masih dua puluh lima." 

Raut wajahnya berubah murung, bibirnya berubah menjadi garis tipis. "So what? Apa adalah peraturan khusus tentang hamil di usia dua-lima? Oh, right, ada - Rencana Hidup Cassandra Prince." 

"Aku tidak mengkritisimu," Aku mendebatnya. "Hanya saja... wow. Kau belum mendapatkan gelar mu dan -" 

"Cass, tidak semua itu direncanakan tapi dammit, Sam dan aku bahagia dan bagiku itulah yang terpenting," Dia menggeram, membuatku terkejut. "Kau adalah sahabatku dan aku mengaharapkanmu untuk setidaknya berpura-pura bahagia untuk kita tapi wow, Cassandra, kau harus jadi orang berengsek yang selalu merusak suasana." 

"Sarah, ayolah," Aku berkata, tapi dia sudah berjalan mendahului ku untuk bergabung dengan grup. 

Aku menyimpan tanganku di saku, aku mengikutinya dengan lambat. Aku benci bertarung dengan Sarah, tapi kali ini dia yang berada di sisi yang salah dan aku tidak akan merangkak untuk mendapatkan permintaan maaf untuk sesuatu yang tidak aku katakan. Aku bahagia untuknya, hanya saja aku terkejut. Dia dan Sam tidak benar-benar sudah stabil dalam hal finansial jadi bagaimana mereka bisa memiliki bayi bersama? 

Not everything's planned... 

Kata-katanya kembali lagi padaku saat kami mencapai kandang. Albert berbicara mengenai nama-nama kuda dan jenisnya, hal-hal yang tidak aku pedulikan. Aku tidak mood untuk menganggumi kuda-kudanya yang mendengus. 

"Jika tatapan bisa membunuh, PETA akan menuntutmu atas beberapa kuda yang mati." Seseorang bersuara di telingaku. 

Bagaimana aku tidak menyadari Dean mendekatiku? Dia menggunakan T-shirt putih polos dan celana jeans, dia sangat mencolok - sebagai satu-satunya idiot yang berani keluar tanpa menggunakan jaket. 

"Aku terkejut kau bisa lepas dari kembaranmu cukup lama untuk bicara padaku." Aku membalas dan menyadari dengan penuh kalau aku terdengar irasional dan berpikiran sempit. 

"Maksudmu Daniel?" Dia mengeluarkan tawa serak yang langsung membuat bagian bawahku bereaksi. "Apa mungkin kau ... cemburu, pussycat?

"Dengan ayahku?" Aku menaikkan alisku. "Apapun yang sedang membuatmu mabuk, aku mau juga."

Dia terkekeh. "Aku harap kau tahu bagaimana beruntungnya kau memiliki ayah yang seperti itu. Dia bicara nonstop tentang kau dan kakakmu." Dia tersenyum. "Aku juga sangat menyukai ceritanya saat menginterogasi pacar pertamamu."

Terkejut sekaligus ngeri, aku menemukan ayahku dan melotot padanya yang dia abaikan begitu saja. Ayahku bisa membuatku malu hanya dengan beberapa anekdot. Syukurlah, dia tidak minum, yang berarti lidahnya tidak akan bisa los dengan alkohol untuk mengungkap  masa kecilku yang memalukan. 

"Tentang tadi malam, Cassandra -" Dean memulai, matanya memaku ku di tempat. Aku memotongnya dengan menaruh jari telunjukku di bibirnya, mengabaikan raut wajah terkejutnya. 

"Jangan. Aku sudah dewasa; kau sudah dewasa. Kita bisa lupakan ... tentang apa yang terjadi." 

Dia membuka bibirnya dan menarik jariku ke dalam mulutnya, matanya tidak lepas dariku. Dia menghisapnya dan untuk beberapa alasan, itu adalah salah satu hal terseksi yang pernah aku lihat. Atau rasakan. Itulah kenapa dia harus berhenti. 

Aku menarik tanganku ke belakang dan jariku terlepas dengan suara pop. Dean mengedipkan matanya padaku sebelum meneriaki keponakannya. "Hey, Misha, kenapa kau tidak menunjukan mereka labirinnya? Orang bisa benar-benar hilang di sana." 

Tumbuhan hijau yang membentuk dinding labirinnya tertutup salju namun itu hanya membuatnya tampak lebih cantik. Saat pertama kali aku kesini labirin ini belum ada jadi aku cukup menikmati pemandangan yang ada di depanku. Harus ku akui kalau dinding semak belukar setinggi tujuh kaki ini sangat impresif. Warna hijau yang tersebar seperti horizon, membentang sejauh mata bisa melihat. 

Seseorang memutuskan untuk mencetuskan ide konyol dengan balapan menuju tengah labirin yang ada air mancurnya di sana. Kejutan, ide itu datang dari Dean. Sebelum aku tahu apa yang terjadi, aku didesak oleh sekumpulan domba yang dengan semangat mengikuti perintah gembalanya. Like hell aku mau melakukannya. 

"AV club much, myshka," Dean menggoda. Dia berdiri di jalan masuk, mengajakku untuk ikut. 

"Jangan panggil aku seperti itu," Aku otomatis komat-kamit. G****e memberitahu ku tadi malam kalau dia memanggilku tikus kecil, yang, jika dilogika, lebih buruk dari pada pussycat

"Apa, AV club?" Dia bertanya, raut wajahnya terhibur. "Cassandra, aku ingin minta maaf soal tadi malam. Apa kau akan mengijinkanku?" 

Aku melewati bahunya dan berjalan santai memasuki labirin, lalu mulai lari kecil, sangat kecil. Tersesat di sini lebih baik daripada tersesat di mata hijau Dean yang menyebalkan. 

"Cassandra." Dia sudah dekat di belakang dan hanya perlu menjulurkan lengannya untuk meraih dan memutar ku. "Berhenti. Berlari." Setiap katanya keluar melewati gigi yang terkatup.

"Aku tidak lari!" Aku marah, berusaha keluar dari genggamannya. "Aku mencoba untuk menemukan air mancur bodoh itu. Bukankah itu permainan bodoh yang diusulkan seseorang?" 

"Itu hanyalah agar aku bisa berbicara denganmu secara pribadi." 

"Aku tidak mau bicara denganmu. Kau sudah sangat jelas tentang memilih tamu wanita tadi malam. Sekarang, Dean, bersikaplah dewasa dan terima saja jawaban tidak." 

Dean bahkan masih tetap tampan walaupun marah. Aku tidak pernah berpikir akan pria manapun seperti itu tapi momen kemarahan singkat itu, pria ini adalah wujud keindahan. 

"Tidak?" Dia menarikku padanya dan aku mencicit saat kita bertubrukan. Dia menahanku. "Ada apa, little girl? Kau bergetar. Apa kau kedinginan?" 

"Aku punya pacar" Aku berbicara tanpa berpikir. 

"Omong kosong," Dean mengejek. "Daniel memberitahuku kalau kau single." 

Aku tersipu. Ketika aku cukup bisa mengendalikan diriku, aku berkata. "Aku tidak membeberkan setiap detail hidupku pada ayahku. Jika aku melakukannya, dia akan tahu tentang bagaimana kau memanfaatkanku bertahun-tahun lalu." 

"Jika aku ingat dengan benar, aku lah yang dimanfaatkan," Dean mengklaim, terlihat begitu serius hingga aku hampir mempercayainya. "Aku tidur dengan damai ketika, tiba-tiba, aku dilecehkan dengan cara yang paling rendah." 

"Kau menyebalkan," Aku mendesis tidak percaya, sebelum memukul dadanya. "Lepaskan aku atau aku akan ..." 

Suara ku perlahan mengecil ketika aku merasakannya; tonjolan di celananya yang dia tekan begitu dekat padaku hanya mengarah pada satu hal. Seperti tadi malam, lidahku kelu seperti remaja yang baru pertama kali melihat bagian kelamin pria. 

"Jika kau terus melihatku seperti itu, aku akan melemparmu ke bawah dan menyetubuhimu di sana." Dean berbisik, matanya yang menggelap memberitahu ku kalau dia serius. 

Aku menjilat bibirku, yang tiba-tiba saja terasa kering. 

"Kurasa kau menyukainya saat aku bicara kotor," Dia mengungkapkan pernyataan, tersenyum miring padaku. "Bisakah kau merasakannya? Tentu saja kau bisa." Dia menggesekkan dirinya padaku. 

Aku tidak bisa menahan desahan yang keluar dari mulut ku. Dean menyeringai puas. "When I fu*k you - dan aku akan melakukannya - aku akan menyentuhmu semauku. Dengan kasar. Aku tahu kau suka dikasari di ranjang, little girl, and I like giving it rough.

"Hentikan," Aku protes dengan berani, tapi tanganku yang menggenggam kausnya dan jari kakiku yang menggulung di dalam sepatu boots ku. "Kau seharusnya bersikap seperti tuan rumah yang baik," Aku menyelesaikan dengan lemah. 

"Karena kau begitu responsif, aku akan memakanmu habis karena saat kau datang di dalam mulutku, aku ingin mendengarmu dengan bebas meneriakkan namaku." 

Aku mencoba mendorongnya. Bagaimana bisa waktu-waktu itu aku berani membawa cowok pulang, aku memiliki kencan yang menyedihkan dan tanpa-orgasme yang membuatku mentalku terluka tapi pria ini bisa membuatku begitu dekat hanya karena kata-katanya. 

Dean mengangkat dagu ku dan mataku otomatis tertutup. Setiap saraf dalam tubuhku bernyanyi ketika bibirnya menyentuh milikku.

Lidah ke lidah, kita bercinta menggunakan mulut kita. Aku tidak pernah berpikir seperti itu tapi itu terasa mirip. Lidahnya menirukan gerakan konstan seperti bercinta. 

Jelas sekali, itu tak cukup untuk Dean. 

Sambil menggeram dia memeluk pinggang ku dengan erat dan meremas pantatku. Aku melarikan tanganku masuk ke dalam kausnya dan kulitnya meremang karena sentuhan dinginku. Aku menelusuri setiap kontur ototnya dan juga lubang kecil pusarnya sebelum aku bergerak ke atas, jemariku mengelus otot dadanya dan menjepit putingnya di antara dua jari ku dan dia bergetar. 

“Cassandra,” Napasnya tercekat. 

Aku hendak membisikkan namanya tapi di belakangku, seseorang membersihkan tenggorokannya. 

TO BE CONTINUED

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status