Share

BAB 5 : TASTE TEST AND EVERYTHING ELSE

Dean mengambil waktunya untuk berjalan mundur dariku tapi aku tidak membantu untuk mendorongnya lebih jauh karena aku membeku di tempatku berdiri. Aku selalu berpikir itu hanya hiperbola konyol tapi saat ini, aku benar-benar merasa seperti patung es.

"Apa, Vanya?" Katanya sambil tersenyum puas, melarikan ibu jarinya di sepanjang bibir bawahku yang bengkak karena ciumannya.

"Aku tidak bermaksud mengganggu, paman." Suara Vanya yang tetap kasual membuatku sedikit lega.

Aku berbalik, meringis melihat raut penasaran tergambar jelas di wajahnya. "Kau tidak mengganggu apapun, Vanya." Kataku, memaksakan nada kasual di suaraku. "Apa kau akan kembali ke dalam?" 

"Vanya, sudah berapa kali ku bilang jangan memanggilku paman," Dean mengeluh di samping ku. "Aku tidak setua itu." 

"Aku hanya mencoba menghormatimu," Vanya berkata dengan lembut. "dan ya, Cassandra, aku akan kembali ke mansion. Ada beberapa detail di pernikahan yang membutuhkan perhatian ku."

"Bagus, aku akan, um, ikut denganmu."

"Kau tidak harus ... jika kau sibuk," Katanya dengan malu-malu, lalu memberiku kedipan mata. "Aku tidak bermaksud mengganggu tapi kau ada di tengah jalan."

"Aku tidak sibuk." Aku langsung mencekal lengannya dan menarik diri dari Dean yang terlihat menikmati percakapan ini lebih dari yang seharusnya.

Ketika aku yakin tidak ada orang lain, aku memohon, "Please, jangan bilang siapa-siapa."

Vanya memberiku tatapan miringnya. "Memberitahu tentang apa?"

Aku menyukainya, jangan salah, tapi tadi, dia membuatku kesal dengan ketidakpeduliannya yang palsu. Dia baru saja memergokiku berciuman dengan calon paman iparnya dan dia ingin aku terus terang untuknya.

"Apa yang kau lihat tadi ... itu hanya terjadi sekali," Kataku dengan bimbang, yang membuatku mendapatkan tawa geli darinya.

"Tak apa, sungguh. Aku mengenalnya," Katanya, mengayunkan tangannya sembarangan. Dia menatapku. "Hanya saja ... kau tahu Albert selalu melihatmu sebagai saudaranya, kan?"

Tidak, aku tidak tahu. Info seperti itu akan sangat menguntungkanku saat aku delapan belas dan mencoba menggodanya.

"Kurasa begitu," Aku bergumam.

"Kau home school saat sekolah dasar kan?" Apa ini? Episode This is Your Life?

"Yeah."

"Dan ketika kamu pergi ke boarding school dengan Sarah, Misha adalah orang pertama yang bisa langsung dekat denganmu." Dia menunggu persetujuanku.

"Well, kalian berdua punya sejarah yang panjang tapi Dean - dia baik, tapi untuk beberapa tingkat pada akhirnya dia akan menyakitimu. He just can't help it. Aku tak mau Misha kehilangan sahabatnya karena pamannya yang playboy."

"Kurasa kau membuat terlalu banyak asumsi, Vanya," Kataku, tersipu seperti tomat. "Pertama-tama, apa yang kau lihat hanyalah ciuman. Dia menciumku. Hanya itu. Tentu saja, dia sedang menggodaku tapi itu tidak berarti aku adalah perempuan yang membuka kakinya hanya karena kata-kata seksinya." Aku menggigit bibirku. "Jika aku benar-benar tidur dengannya, itu hanya seks. Tidak ada janji, tidak ada patah hati. Aku bukan remaja yang bodoh di sini."

Vanya berhenti di samping ku. Aku juga ikut berhenti, menemui matanya. Dia menyeringai padaku.

"Apa? Apa aku mengatakan sesuatu yang lucu?" Kataku yang tidak bisa mengontrol emosiku.

Dia menggelengkan kepalanya, kembali berjalan lagi. "Aku hanya berpikir," Katanya dengan jujur. "Jika kau dan Dean berhubungan serius dan mungkin menikah, kau akan jadi bibinya Misha. Memikirkan fakta kalau dia akan menjadi kencanmu di pesta reuni, itu akan jadi lebih awkward, right?"

"Let's not get crazy,"

*~*

Malam itu, aku tidak bisa tidur.

Setelah melempar bantal dan berguling sampai aku lelah sendiri, aku menendang selimutnya dan menyandarkan kakiku ke headboard. Dari semua tingkah konyol itu, aku membuang piyama yang biasa aku pakai dan membungkus diriku sendiri dengan sweatpants dan sweatshirt abu-abu. Jika itu bukan aseksual, aku tidak tahu apa lagi.

Aku menyelipkan kakiku ke selop kamarku yang empuk dan keluar dari kamar, dengan niat untuk mengeksplorasi mansion saat sedang sepi. Saat sampai di ruang tamu aku melihat tempat api unggun dan, untuk alasan yang tidak jelas, aku memutuskan untuk mencari tahu bagaimana pintu rahasianya bekerja. Aku menghidupkan lampunya sebelum menelusuri di sepanjang rak yang kosong dengan kedua tanganku. Di film-film, biasanya ada tuas rahasia atau semacamnya. Aku berlutut di bawah jeruji, yang dipenuhi kayu bakar yang tidak terpakai dan meraih sogok kayu bakar, siap untuk menyogok di antara kayu - dan dindingnya bergerak. Aku melompat-lompat, hampir bertepuk tangan seperti anak yang akan pergi ke Narnia.

Jalannya gelap jadi aku kembali ke kamarku untuk mengambil ponselku sebelum aku merunduk memasuki kegelapan. Dengan cahaya dari kamera, aku bisa melihat dinding batunya sempit, sangat sempit aku berpikir bagaimana seseorang dengan bahu lebar seperti Dean bisa lewat kalau dia bukan manusia karet.

Setiap langkah yang kuambil, membawaku lebih jauh dari cahaya yang berasal dari suite ku. Setelah apa yang terasa seperti selamanya, ada angin masuk di gang yang sempit ini dan saat aku menempelkan telingaku ke dinding, aku bisa mendengar suara TV. Aku menaruh tanganku ke dinding, terkejut mendapati ini terasa kosong. Berlutut dan mengarahkan cahaya di depanku. Aku menemukan tuas, sudah seperti yang kuduga.

Puas dengan penemuanku, aku berdiri dan, di prosesnya, aku tanpa sengaja menendang tuasnya.

Sialan! Pikirku dalam kepanikan ketika dindingnya mulai bergerak. Bagaimana kalau ini kamar orang tuanya Albert?

Tapi itu konyol, karena mereka bahkan tidak di kota, jadi kenapa TV nya menyala di tengah malam?

Itu tidak berarti aku bisa lari dari masalah. Kompleks antara bertarung-atau-kabur mengambil terlalu banyak waktuku jadi ini lebih seperti menetap-atau-menganga. Aku melakukan keduanya, khususnya ketika ruangan yang kubuka secara tidak sengaja bergerak ke dalam.

Dean membungkukkan badannya di pintu masuk, segelas minuman berwarna merah ada di salah satu tangannya saat dia melihatku dengan penasaran.

"Apa yang ku lakukan untuk bisa menerima kejutan menyenangkan ini, little girl?"

"Hanya kesalahanku yang lain," Kataku, menatap tangannya yang terulur padaku dengan ragu.

"Kau tidak bisa menjauh, kan?"

Kemarahan memenuhi pembuluh darahku. "Tahu apa? Kurasa kita perlu bicara." Mengabaikan tangannya, aku membungkuk dan memasuki kamarnya, sepenuhnya sadar kalau debu menempel di rambutku.

Kamarnya besar, mungkin lebih besar dari keseluruhan suite ku tapi ini tidak memiliki ruang tamu. Titik fokus seluruh ruangan adalah kasurnya - atau lebih tepatnya, Ranjang King Size untuk Aktivitas Seksual.

Dean mengikuti arah pandanganku dan menyeringai. "Membawamu kembali, bukan begitu?"

"Kau menjijikkan. Kuharap, untuk keutuhan keluarga ini, kau tidak akan mewarisi apapun."

Dia tertawa. "Dan kau pikir kakak tiriku bisa melakukan yang lebih baik?"

Aku menatapnya, bersyukur dia masih memakai pakaian yang sama seperti tadi dan bukan di dalam pakaian yang terlalu mengalihkan perhatian. "Ayahnya Albert saudara tirimu?"

"Bukankah kita seharusnya duduk santai dan mengepang rambut satu sama lain dulu sebelum kita menceritakan rahasia?"

Aku menatap ranjangnya dan dia mengeluarkan tawa lagi. "Aku maksud sofanya, little girl." Dia mengangguk ke arah sofa kulit besar dan nyaman menempel di tembok. "Ranjangku bisa menunggu."

Aku mendengus, berjalan melewatinya dan duduk.

"Aku mendengarkan, paman." Dia memicingkan matanya padaku.

"Jangan panggil aku seperti itu?"

"Kenapa tidak? Bukankah ini lebih sopan."

"Tidak, itu menakutkan," Katanya dengan tegas, duduk dengan jarak yang cukup jauh dariku. "Aku tidak mau wanita yang pernah tidur denganku memanggilku paman." Dia bersandar ke belakang dan menghabiskan minumannya. "Kau mau?"

Aku menggelengkan kepalaku. "Jadi, yang kau katakan tadi? Tentang Albert Senior,"

"Itu bukan masalah besar. Kita punya ayah yang sama tapi ibu yang berbeda," Dia memberitahuku. "Seperti kau dan kakakmu."

Saat dia menyebut sejarah keluarga ku, aku berkata, "Aku tidak mau kau hang out dengan ayahku sisa minggu ini." Aku melotot padanya saat bibirnya berkedut.

"Aku serius. Kau tidak mengenalnya. Jika dia tahu soal yang terjadi antara kita, dia akan -"

"Apa yang terjadi di antara kita?"

"Kau tahu apa. Jangan membuatku mengatakannya." Matanya menari. "Kau mau aku mengatakannya?"

Aku menutup mataku, berdoa pada Tuhan untuk memberiku kesabaran. Ketika aku membukanya lagi, dia bergerak lebih dekat, sangat dengan hingga paha kami nyaris bersentuhan.

"Will you let me taste you?" Katanya dengan lembut, menjalankan jarinya di sepanjang rahang ku.

"Kau sudah pernah," Aku berbisik menjawabnya, ada banyak tekanan yang terkumpul di perutku yang mengakibatkan bernapas menjadi sangat sulit. Dibawah tatapan hijaunya, susah dipastikan aku lupa cara menarik napas.

"Tapi tidak di sini," Dia menjelaskan, sambil menyentuh bibir bawahku. "Dan di sini." Dia menggapai di antara kakiku dan menangkup tepat di antara pahaku.

Aku merengek. Mengorbankan percaya diriku, aku mau mengakui kalau aktivitas ranjangku mungkin seperti Scrabble untuk remaja rata-rata. Tidak ada yang pernah ingin merasakan aku di sana, walaupun aku sudah dermawan untuk melakukannya.

"Kau terlalu banyak berpikir, häschen," Katanya dengan tenang. "Relaks. Ini akan bagus untuk kita berdua."

"Aku tidak ingin melawan ini lagi," Ungkapku, bersandar di punggung sofa.

"Bagus. Aku tidak ingin kau melakukannya." Dia langsung bergerak dan aku menemuinya di tengah jalan, menciumnya sekelas yang aku bisa; merasakan wine di napasnya.

Dia mengangkat ku ke pangkuannya jadi aku duduk mengangkang di atasnya. Aku menaruh tanganku di sekitar lehernya, merinding ketika aku merasakan ereksinya naik diantara kita dan dia mencengkeram bagian bawah pahaku sehingga puncak pahaku menekan ereksinya. Kita mendesah bersama ketika dia mendorong ke atas. Lidahnya menjadi memaksa saat aku menggesekkan diriku padanya dan ini tidak pertama kalinya aku heran kenapa aku berusaha menolak ini.

Kenapa memangnya kalau dia delapan tahun lebih tua? Itu bukan apa-apa dan lagipula, ini tidak seperti kalau kita kencan atau semacamnya yang lebih serius. Memangnya kenapa kalau dia pamannya Albert? Aku tidak akan mencium Dean di depannya. Lalu kenapa kalau aku miskin dan dia kaya? Dia menyumpah seperti pelaut dan memanggilku pussycat, dia hanya manusia biasa.

Dean mengeluarkan dengkuran lembut saat aku memegang ereksinya lewat celana. Dia benar-benar besar dan tiba-tiba, aku ingin melihatnya langsung. Mengabaikan protesnya, aku turun dari pangkuannya dan menyelip di antara dua kaki panjang berototnya.

"Apa yang kau lakukan?" Suaranya parau, dan terengah-engah.

"Keliatannya seperti apa?" Senyum kecil perlahan menyebar di wajahnya. "Ah, tapi kau belum siap untuk itu."

"Aku pernah melakukannya dulu."

"Itu sudah berubah sejak dulu," Dia bergumam, dan itu hanya membuatku tambah penasaran.

Aku meraih resletingnya. "Kalau begitu biar aku melihatnya."

Dia tidak memprotes dan saat aku merasakan bahan boxernya, mulutku benar-benar berair. Aku menyentuh gundukan ereksinya, ketika aku menatapnya napasnya tercekat.

Wajahnya ketika dia marah memang indah tapi saat dia bergairah ... aku merapatkan kedua pahaku sendiri untuk mengurangi denyutan di antaranya.

Aku menarik turun boxernya dan miliknya langsung melompat keluar seperti jack in-the-box, sebelum berdiri dengan bangga di perutnya yang masih tertutupi T shirt.

Aku menelan lidahku, terpesona.

Aku mengeluarkan hembusan napas. Dean benar-benar sedang ereksi. Sangat keras hingga itu terlihat sangat tidak nyaman.

"Berdiri, little girl," Dean menyuruhku, membuat ereksinya kembali ke kandang satinnya. "A midnight snack is in order."

Aku melompat kembali ke sofa, melihat dengan penuh kesabaran saat dia turun dan berlutut di antara kakiku. Sandal selopku dilepas dan begitu juga sweatpants ku. Celana dalam hitam berenda yang ku pakai dalam set mahal dari La Perla karena dalaman adalah satu-satunya barang mahal yang ku beli. Sebenarnya, kebanyakan gajiku pergi ke koleksi lingerie ku. Seperti jika aku memiliki dalaman yang menyenangkan akan membuat hidupku juga menyenangkan.

Menilai dari erangan rendah yang Dean keluarkan, mereka memang investasi yang perlu.

"Aku tidak ingin mati sebelum empat puluh," Dia bergumam, bersandar ke depan dan menekan bibirnya ke selangkanganku. "Kau akan menjadi penyebab kematianku."

Aku merintih, menyandarkan kepalaku ke belakang. Tangan hangatnya menelusuri betisku, lalu naik ke pahaku. Dia menarikku ke depan hingga pantatku sangat dekat dengan tepi sofa. Dia mengangkat kakiku dan menaruhnya di atas bahunya.

"Lepaskan sweatshirt mu," Dia menggeram, menampar pinggulku.

Aku kaget karena sakitnya, menyadari kalau aku kepanasan di antara kakiku dan dia membuatnya lebih buruk. Aku melepaskan sweatshirt ku terbukti menjadi tidak seksi karena membuat rambutku terlihat seperti sarang tikus, aku yakin.

Tapi matanya langsung menatap dadaku yang terasa berat. Dia bergumam sesuatu dalam bahasanya, dia menggenggam berenda yang ada di pinggulku dan menariknya. Kainnya menggigit kulitku saat mencoba melawan tapi itu tidak berguna untuk kekuatannya dan langsung robek.

Aku benar-benar telanjang.

"Fu*k, little girl," Katanya dengan suara berat, mungkin karena aku mencukur bersih. "Now that's a pussy."

Wajahnya menghilang saat dia bersandar ke depan dan udara panas mengenai buntalan saraf yang sensitif di antara pahaku. Sensasinya langsung meledak melewati perut bawahku, membuatku jadi menggeliat tak karuan. Dean menahan pahaku tapi serangan napasnya padaku di bawah sana terlalu banyak untuk bisa membuatku duduk dengan tenang.

Dia belum benar-benar menyentuhku. Apa aku benar-benar akan datang karena napasnya padaku?

"Tahan, myshka. Jangan melepasnya sekarang," Katanya, dengan lembut membeli kulitku, "Akan jauh lebih baik saat kau datang. Sangat baik untuk kita berdua, terutama saat kamu menjeritkan namaku."

Aku merasakan lidahnya di pintu masuk ku dan aku hanya bisa mendorong diriku ke mulutnya. Tawa kecilnya dia sana mengirim getaran yang langsung menuju klit ku yang mengeras dan aku mengerang frustrasi.

Too much ... Just too damn much ... Need more ...

"Kau sangat basah, kitten; sangat sempit," Dean bergumam dengan senang, dan kemudian dia tidak berbicara lagi karena dia sibuk menjilat. Menjalankan lidahnya di sepanjang celahku sampai dia tiba di ujung. Mulutnya menutupinya, lalu menghisapnya seperti penghisap debu. Pinggul ku bergerak melawannya, tergesa-gesa. Liar. Kasar.

Belum pernah foreplay terasa senikmat ini. Aku melakukan segalanya yang ku bisa untuk tidak datang dengan cepat, hanya karena dia menyuruhku. Luar biasa bahwa setelah beberapa kencan mengecewakan yang ku punya - dimana aku selalu mengucapkan mantra aku akan klimaks malam ini - Dean memiliki kemampuan lembut yang hanya dengan menjilat ibu jariku membuatku datang.

Ketika dia memasukkan jarinya kedalam, aku pikir aku akan meledak. Tanganku menggenggam di kedua sisi ku dan tubuhku menegang. Aku diam-diam berdoa agar aku tidak klimaks prematur.

Masuk, keluar, masuk, keluar, memutar, memutar, menghisap, masuk, keluar, masuk, keluar...

Aku basah kuyup. Sampai menetes. Basah. Aku bisa merasakan kelembabannya di kakiku; bisa merasakannya di sofa kulitnya. Dan Dean ... ya Tuhan, dia melahapku seakan aku adalah makanan terakhirnya sebelum dia didudukkan di kursi listrik. Lidah dan jari - bukan, jemari sekarang - bekerja padaku hingga ke klimaks yang menyiksa, dia kadang mengeluarkan gumaman yang terdengar dalam di tenggorokannya dan itu adalah suara paling seksi yang pernah ku dengar - sampai dia bergumam, "Come now, häschen," dan itu berada di peringkat pertama.

Aku bergerak melawan mulutnya, merintih dan menggeliat saat aku akhirnya, melepaskannya.

Orgasme menerjangku seperti kereta, lalu menarikku di sepanjang relnya. Aku menyambut dan memeluknya. Setiap tulang di tubuhku berubah menjadi air dan yang bisa ku lakukan hanyalah gemetaran seperti jeli. Setiap sarafku terbakar dan aku tak bisa memadamkannya, tidak sampai aku mengosongkan diriku ke dalam mulut Dean.

Dia memegangku dengan erat, mulutnya menekanku dengan kuat saat dia mengambil semuanya dariku. Aku butuh waktu lama untuk memikirkan satu kalimat setelah aku jatuh berantakan ke bumi. Bau gairahku  melayang di udara dan hanya untuk satu detik, penyesalan memukulku.

Hanya satu detik.

Dean menempatkan ciuman lembut di paha dalamku sebelum menggigitnya. Aku menjerit, menjambak rambutnya dan menarik kepalanya ke atas. Tatapannya, penuh kepuasan membuatku berhenti.

"Kau tidak mengucapkan namaku," Katanya, menjilat sisa-sisa ledakanku.

"Dean," Aku berbisik.

"Itu tidak sama," Dia menggerutu, perlahan berdiri. "Aku mungkin seharusnya tidak membiarkan mu datang."

Rasa panik mencekikku. Apa aku hanya boleh datang kalau dia mengijinkan ku? Apa itu benar-benar ada? Apakah dia sekejam itu? Dia mengeluarkan tawa lembut, membaca pemikiranku. "Relaks, Cassandra. Aku bukan pencuri orgasme."

"Well, sebaiknya aku pergi," Aku bergumam.

Aku berdiri, terlalu lambat menyadari kalau tulangku masih lunak. Dean menangkapku sebelum wajahku menyentuh lantai. Dia melarikan tangannya ke sisiku dan goosebumps langsung terasa di kulitku.

"Stay." Hanya satu kata, satu kata - tapi jutaan arti.

"Aku tak bisa," Kataku padanya, melepaskan diriku dari tubuhnya yang keras dan hangat. "Lagipula" - aku mengambil pakaianku - "kau punya banyak bridesmaids untuk dipilih, ingat?" Aku masuk ke dalam celanaku. "Sepupu-sepupunya Vanya semua enak dipandang."

Dia menatapku lama sebelum mengeluarkan hembusan napas. "Kurasa kau benar, little girl. Tidurlah mumpung masih gelap."

Aku kecewa dengan jawabannya. Apa itu rasa cemburu, Cassandra?

Menggelengkan kepalaku, aku memasukkan tanganku ke saku dan menarik ponselku, kaget menemukan satu jam sudah berlalu sejak aku masuk ke sini.

"Sial, aku harus bangun pagi." Aku mengerang tiba-tiba ingat pada rencana girls-only saat matahari terbit. "Vanya berkata sesuatu tentang pergi ke kota."

Dean mengangguk. "Dia mungkin akan melewati perkampungan dan membawamu ke pasar," Dia bergumam, terdengar lebih pahit. Namun segera diganti dengan seringaian khasnya.

"Apa kau ingin skip turnya dan ikut aku?"

"Ke klub dan bar di Elłona? No, thanks."

Dia memberiku tatapan terluka. "Apa hanya itu saja yang kau pikirkan tentangku?"

"Apakah penting apa yang kupikir kan?"

Dia mengalihkan pandangannya. "Kau bisa siap pukul tujuh?"

"Kurasa," Aku membalas dengan ragu, berpikir bagaimana aku akan menjelaskan absenku pada Vanya. Lalu aku memutuskan kalau tidak ada yang harus dijelaskan. Lagipula, dia tahu. Kurang lebih.

"Bagus. Aku akan mengantarmu ke kamarmu," Katanya.

"Tidak, tidak. Itu tidak perlu." Aku sudah berjalan menuju perapiannya. "Kamarku tidak jauh dan aku punya ponselku"

"Cassandra -"

"Sampai jumpa besok, Dean. Well, hari ini." Sebelum dia bisa mengatakan hal yang lain, aku menundukkan kepalaku dan menyelip keluar dari kamar dan masuk ke koridor. Ketika aku sampai di suite ku dan mengunci pintu rahasianya, ponselku berdering dengan pesan masuk. Aku melihat profil nomer yang tidak aku kenali itu. PantyReaper. Aku tidak tahu ada orang yang begitu arogan dan tidak dewasa...

Oh, aku tahu.

Beberapa detik setelah aku membaca pesannya.

PantyReaper. Kuharap kau tidak tersesat, little girl.

CaseyLuv. Aku sudah di ranjang sekarang.

PantyReaper. Aku sungguh tidak memerlukan visualnya. Masih keras di sini.

Aku tidak akan memiliki percakapan ini dengannya.

CaseyLuv. Kasihan. Selamat malam.

PantyReaper. Kurasa aku hanya akan masturbasi dengan celana dalammu, kalau begitu.

Dean West benar-benar memiliki terlalu banyak kejutan anehnya.

TO BE CONTINUED

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
kayaknya Dean cuma bohong soal kunjungan tiap malam, karena dia gak mau egonya terluka lagi sama Cassy
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status