Share

BAB 6 : LAYERS OF HIM

Ada ketukan di pintuku sekitar jam sepuluh, aku baru saja selesai memakai makeup ku. Orgasme semalam benar-benar menaruh keceriaan di wajahku. Memikirkannya aku jadi teringat Dean - bayangan tentangnya menyentuh dirinya sendiri tadi malam, membayangkan dia meledak dalam ekstasi. Semua itu - terutama miliknya itu akan terpatri selamanya di pikiranku dan aku menemukan diriku sendiri berliur ketika aku hendak membuka pintu ... berhadapan langsung dengan ayahku.

Aku langsung menyingkirkan pemikiran kotorku dan mengeluarkan ekspresi polos dan senang pada ayahku.

"Hi, Dad," Kataku, memberinya senyuman yang tidak dia balas. Aku merasakan wajahku memanas saat dia berjalan tanpa berkata-kata melewatiku, parfum cologne nya yang familiar tercium olehku.

"Apa semua baik-baik saja?" Aku bertanya. Tidak bisa menghentikan nada ragu-ragu seperti anak lima tahun yang ketahuan mencuri di suaraku. Hanya Daniel Prince yang bisa membuatku seperti itu.

"Tidak, Cassandra," Balasnya lewat gigi yang terkatup, berdiri di tengah-tengah ruangan yang tiba-tiba terasa sempit. "Semuanya tidak baik-baik saja."

"Apa yang terjadi?"

Banyak hal berkelebatan di pikirannya, yang pertama adalah dia akhirnya mengetahui kalau ada pria dewasa yang memberikan orgasme pada putrinya beberapa tahun lalu. Aku tahu itu terdengar bodoh karena takut memikirkan reaksi ayahku pada ketertarikan seksual ku dengan Dean West. Dua-puluh-tiga itu yang tertera di passport ku, dan harusnya aku diperlakukan sesuai umurku. Sayangnya, ayahku tidak mendapat memonya.

"Kau berjanji kalau tidak ada rahasia di antara kau, aku dan Charlotte?" Aku menelen ludahku susah payah.

"Ya," Kataku lebih tepatnya berbisik.

"Lalu kenapa," Dia memulai, "kau tidak memberitahuku soal ini?"

Sebelum aku bisa berkedip, dia mendorong ponselnya ke wajahku dan aku menatap foto gaya vintage ku menggunakan gaun dari Zara, berpelukan dengan pria berambut pirang gelap menggunakan setelah jas hitam.

Aku menatap fotonya - yang merupakan lampiran email dari Charlotte - sebentar sebelum menatap tajam ayahku. "Apa masalahnya? Aku menggunakan pakaian kan?"

Kulit karamelnya berubah menjadi merah saat dia menatapku tajam kembali. "Jangan jadi sarkastik. Kau tahu bagaimana perasaanku tentang dunia model."

"Yeah, aku tahu tapi itu saat aku masih tujuh belas tahun dan tidak tahu apa-apa," Balasku. "Aku wanita dewasa dan aku tidak membutuhkan mu untuk mendikte hidupku lagi. Lagipula, ini hanya satu kali saja tapi kalau aku akan menjadikannya karir, aku tidak akan membutuhkan ijinmu untuk pilihanku."

"Kau ingin uang? Ya Tuhan, Cassandra, aku akan memberikannya. Apapun yang kau mau. Aku hanya tidak ingin kau melakukan ini." Dia mengetuk layar ponselnya untuk menjelaskan poinnya. "Kau lebih baik dari ini; lebih baik dari seluruh sistem kotor ini."

"Berhentilah khawatir kalau aku akan berakhir seperti Jessica," Kataku diam-diam, menempatkan tanganku pada lengannya. Ini semua selalu berasal dari ibu kandungku. "Baiklah, aku butuh uang," Aku akui. "Sekarang ini aku sedikit ... terpuruk."

Aku menarik napas. "Pemotretannya baru sebulan yang lalu dan aku belum mendapatkan tawaran lain tapi itu bukan karena pendapatmu yang memperbolehkanku berpose di depan kamera atau tidak," Aku memberinya tatapan gelap ketika dia membuka mulutnya. "Aku tidak ingin menjadi model. Aku tidak tahu apa yang aku mau, tapi Dad, kau harus membiarkan ku mencari tahu sendiri. Kau tidak bisa masuk ke kamar ku mendikte setiap kali aku melakukan sesuatu yang kau tidak setujui."

Dia mengeluarkan hembusan napas. "Kurasa begitu. Charlotte mengirimkan foto ini karena dia berpikir aku akan bangga padamu. Kau tahu kan kenapa aku tidak bisa?"

Aku mengangguk, mencoba untuk menurunkan emosiku. "Tentu saja. Aku hanya tidak mengerti kenapa kau terus memperlakukan ku seperti anak-anak. Bahkan dulu Kevin bisa melakukan apapun yang dia mau padahal dia baru enam belas tahun!"

"Kau selalu jadi anak gadisku," Adalah jawaban standarnya, dan dia menarikku ke pelukan besarnya yang selalu mencekiku. "I love you, sugarbear."

"Tidak...bisa...bernapas..." Aku susah payah bernapas sambil menepuk punggungnya.

Sambil tertawa, dia melepasku dan aku langsung menarik napas dengan rakus. Ketukan di pintuku membuat seluruh udara di tubuhku menghilang lagi saat ayahku menjawabnya.

"Dean-o!" Sapa ayahku, menghalangi pandanganku akan Dean saat mereka berjabat tangan.

"Bagaimana tidurmu, Dan?" Suara lembut Dean membuatku perutku mengencang. Ini sedikit membingungkan mengingat mereka memiliki nama panggilan untuk satu sama lain.

"Kau tahu aku terbiasa begadang, jadi, hell yeah, tidurku nyenyak." Ayahku membuatnya begitu sepele tentang bagaimana dia lebih sering kemah dengan crew filmnya ketika sedang di jalan.

"Jadi apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku akan mengajak Cassandra melihat-lihat kota," Dia memberitahu, dan ayahku akhirnya menyingkir.

"Yeah, hanya jalan-jalan di kota," Aku ikut berkata dengan cepat.

Dean menyeringai padaku sebelum mengangguk. Jika saja aku bisa mengatakan kalau aku tidak terpengaruh olehnya. Hari ini, dua mengenakan baju wol biru tua yang tidak dikancing dan lengannya yang digulung menunjukkan lengannya yang kuat, kaus v neck hitam, dan jeans, dia benar-benar memanjakan mataku. Jika tidak ada ayahku, aku pasti sudah berliur.

"Cassandra?" Ayahku berkata, melihatku seksama.

"Uh, apa?" Aku berkedip beberapa kali.

"Kau bersenang-senanglah," Katanya pelan-pelan. "Sedangkan aku akan memberi pengacara itu sedikit pemikiranku."

"Pengacara apa?" Aku bertanya.

"Dean-o memberitahuku kalau Constantine Moratti juga datang ke sini, kau tahu aku berusaha mendapatkan wawancara dengannya tapi dia terlalu sombong untuk menanggapiku," Kata ayahku berapi-api yang sebenarnya sedikit mengkhawatirkan. "Atau mungkin karena dia tidak ingin mengakui kalau dia juga mewakili keluarga mafia di Chicago, apapun itu, aku akan menemuinya."

"Dad, kau sudah berjanji - " Kataku terpotong olehnya.

"Aku berjanji untuk bertingkat baik pada ayahnya Albert, bukan Moratti." Katanya sebelum pergi meninggalkan kamarku.

"Tapi, Dad -"

"Have fun," Katanya diiringi suara pintu yang tertutup. Sekarang aku benar-benar khawatir.

"Pria yang baik," Katanya dengan tulus.

"Jika dia benar-benar membuat masalah aku benar-benar akan mencekiknya sendiri." Kataku masih menatap pintu yang kini tertutup.

"Jangan terlalu keras padanya," Dia berkata padaku. Dia berjalan mendekat padaku, menendang pintunya tertutup dengan salah satu boots kulit berukuran dua belasnya. "Sekarang, beritahu aku, apa yang sedang kau gunakan, pussycat?"

Aku melompat, terkejut. "Apa maksudmu?"

Aku otomatis melihat ke sweater faded purple ku dan skinny jeans abu-abu yang ku kenakan. Dipasangkan dengan sepatu boots favoritku, kurasa aku tidak terlihat buruk. Lagipula, terkutuklah aku jika aku meminta pujian dari pria manapun. "Apa yang salah dengan yang ku pakai?"

"Pertama" - Dia berjalan ke arahku - "bagaimana aku bisa menyentuh mu jika ini" - tangannya menangkup dadaku lewat bahan sweater ku yang tebal - "menghalangi ku."

Aku memukul tangannya dengan keras. "How dare you?"

Matanya yang hijau menatap ku dengan jenaka. "Apa kita akan bertengkar tentang ini lagi?"

Aku berputar dan mengambil tasku sebelum menghadapinya lagi. "Let's just go. Aku tidak mau orang lain melihatku pergi denganmu."  Aku berusaha berjalan melewatinya tapi dia lebih cepat. Sebelum aku mengetahuinya, kepalaku di tarik ke belakang dan mulutnya menabrak milikku.

Ditengah keterkejutanku, bibirku terpisah dan lidah Dean mengambil kesempatannya untuk masuk ke dalam. Tangannya erat menggenggam pinggang ku, memastikan kalau aku tidak kemana-mana, yang mana tidak perlu karena aku tidak ingin lari. Tidak ketika lidahnya di dalam mulutku membuatku basah di bawah sana.

Aku mendesah, memeluknya seperti koala, tanpa malu menggesekkan diriku padanya seperti kucing julukannya padaku. Jika dia mau meniduriku sekarang, aku tidak akan menolak.

Tapi dia menjauh dari, perlahan menghisap bibir bawahku saat dia melakukannya.

"Aku tidak sabar untuk memasuki mu." Katanya saat menghembuskan napas. Mata indahnya menari. Dia menjalankan ibu jarinya di sepanjang bibir bawahku. "You look like you want to be fu*ked. Right ... now."

Benarkah? Mungkin ya. Itu ada hubungannya dengan mulutnya yang kotor. Tidak ada pria yang pernah berbicara seperti itu padaku, seperti aku adalah bintang porno dan dia mucikariku. Aku begitu basah untuknya.

Saat kita akhirnya keluar dari suite ku, aku melihat pria berambut pirang gelap dengan mata auburn nya menatap Dean dengan jenaka dan senyumnya begitu lebar hingga ke telinganya. Dia berhenti tepat satu meter di depannya. Setelan abu-abunya membungkus tubuh berototnya dengan sempurna dan jika aku harus membandingkannya dengan Dean mereka benar-benar sama, walaupun dari perspektif ku Dean yang paling seksi, tapi itu hanyalah pendapat bias dari Cassandra yang sedang dalam masa heat.

"Aku berpikir kenapa kau menjauhiku akhir-akhir ini, tapi kurasa aku sudah tahu jawabannya." Pria itu berkata sambil menatapku dari atas ke bawah sebelum menatap tepat di mataku.

"Constantine Moratti, at you service." Katanya mengulurkan tangannya kepadaku dan aku menjabatnya dengan ragu-ragu. Tapi saat aku melihatnya mencium punggung tangan ku kemudian saat aku beralih untuk melihat Dean dia terlihat tidak senang. Kurasa aku akan menikmati ini.

"Cassandra Prince, dan aku bisa memanggil ku Cass." Kataku padanya dengan malu-malu yang ku buat-buat tanpa memedulikan Dean.

"No way, kau yang ada TV show itu?" Katanya terkaget-kaget.

"Senang bisa bertemu dengan penggemar."

"Tidak masalah, terutama kalau kau terlihat lebih cantik aslinya dan adegan bathtub itu. Bagaimana kalau makan malam denganku nanti?" Katanya yang dengan cepat dibalas oleh Dean yang geram.

"Back off, Moratti." Katanya sambil memeluk pinggang ku dengan erat.

Dia mendengus sambil memutar matanya tapi aku tidak melewatkan tatapan gelinya melihat Dean begitu posesif padaku yang menurutku sangat seksi dan aku sangat basah untuknya. "Easy tiger. Kau tahu aku hanya bercanda,"

"Kalau kau berubah pikiran, aku ada di suite paling pojok." Dia berbisik padaku cukup keras untuk Dean mendengarnya tapi sebelum Dean bisa memarahinya dia langsung pergi dan menghilang di balik dinding.

"Apa?" Kataku saat dia menatapku sambil memicingkan matanya.

"Kau menyukainya kan?" Katanya seperti anak kecil yang direbut mainan favoritnya. Aku memutar mataku menanggapinya dan hendak berjalan tapi dia menghentikanku. "Jawab dulu,"

"Ya, aku memang menyukainya. Lagipula, milikmu itu kecil." Kataku menatap tepat di resleting jeansnya. 

*~*

Dean masih memberengut.

Aku ada di kursi belakang limonya, suara Led Zeppelin mengalun samar lewat speaker, pemandangan bukitnya terlihat buram dari dalam - dan orang terkaya di kota ini duduk di pojokkan sebagai tindakan jelas untuk menjauhkan dirinya dariku. Itu akan jadi sangat lucu jika aku tidak begitu marah akan ketidakdewasaannya. Beneran, saat dia merenggut seperti itu, beberapa garis halus di wajahnya menjadi semakin jelas yang membuatnya terlihat lebih tua; terlalu tua untuk sebal karena komenku tentang ukurannya.

"Aku suka lagu ini," Kataku memulai percakapan. Dean masih menatap keluar jendela.

Merasa keki, aku akhirnya meluapkan amarahku, "Kau benar-benar childish! Putar balik saja jika kau mau terus-terus begitu."

"Kau tidak akan kemana-mana," Dia bergumam.

Aku menghembuskan napas dengan penyesalan. Ketika aku membuat komentar bodoh itu, aku hanya ingin mengalihkannya dari kemarahan bodohnya pada Constantine, kukira dia akan membalas dengan sarkasmenya dan tidak menganggapku serius. Tapi tidak, dia merengut. Aku tidak menyukai Dean yang Merengut. Dia tidak menyenangkan.

"Kau tahu milikmu tidak kecil. Aku tahu itu tidak kecil dan aku tidak percaya kau benar-benar terpengaruh dengan ucapan bodohku."

Kali ini dia menatapku saat dia bertanya, "Kenapa kau melakukannya?"

Matanya menatapku tajam membuatku kehabisan kata-kata dalam sekejap. "Aku hanya berpikir kau terlalu self-centered dan kau sudah tiga satu, yang mana seharusnya membuatmu semakin bijaksana. Lagipula, aku hanya ingin menyakitimu."

"Ayah yang tidak peduli dengan anaknya bukanlah seorang ayah. He's an a-hole." Katanya dengan bijaksana, bahkan tatapannya begitu fokus. "Dan aku yang bertambah tua bukan berarti aku tambah bijaksana."

Dia memalingkan pandangannya. "I'm an idiot."

Aku menggigit bibir bawah ku. "Aku minta maaf. Itu tadi jahat. Apa yang bisa kulakukan?"

 

Dia kembali menatapku dan menaikkan alisnya. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan."

Aku melihat dengan horor - dan sedikit antisipasi - saat dia membuat sabuk nya dan menurunkan reseting jeansnya.

"Aku tidak akan menghisapmu," Aku mendesis, dengan gugup menatap kaca hitam yang memisahkan backseat dengan supir. "Kau tidak -"

Dia memutar matanya. "Aku tidak ingat memintamu melakukannya." Miliknya melompat keluar sebesar yang kuingat tadi malam. "Minta maaflah padanya, bukan padaku."

Aku tidak bisa menahan tawa yang keluar dari bibirku. "Apa?"

"Dia sangat sensitif," Lanjutnya, mengusap puncaknya, "jadi tawa bukan awalan yang bagus, pussycat."

Sial, kenapa terasa enak sekali untuk menjadi pussycat nya?

"Kau benar," Aku mengakui, mataku ada di Dean Junior.

"Aku minta maaf," Kataku dengan khidmat.

"Bagus. Sekarang bilang padanya kalau dia adalah yang terbesar yang pernah kau lihat." Aku melihatnya mengusap di sepanjang ereksinya yang membuatku bergairah. Tidak ada cara lain untuk mengatakannya.

"Kau adalah yang terbesar yang pernah kulihat," Aku bernapas - dengan tulus, kalau boleh ku tambahkan.

"Katakan padanya kau menjadi basah saat melihatnya."

Aku merapatkan kedua pahaku. "Aku menjadi basah melihatmu. Aku memang basah," Aku mengakui, mendesah saat melihat cairan yang keluar dari kepala miliknya yang besar.

Dia mengerang, ibu jarinya menangkap pre-cum nya dan memijatnya. "Look at me now, kitten." Suaranya serak, dan aku melakukan apa yang dia katakan. Matanya berkabut, iris hijaunya yang menggelap terang-terangan menelanjangiku. "Katakan padanya kau tidak sabar untuk bercinta dengannya; tidak sabar untuk memilikinya terkubur dalammu."

Itu terdengar sangat baik mengingat dirinya seperti apa. Aku mengeluarkan rengekan putus asa. "Tidak sabar untuk bercinta denganmu... Ingin kau memasukiku..."

Dean menyandarkan punggungnya di kursi, bergetar saat dia menggenggam dirinya sendiri. "Nama siapa yang akan kau teriakan, pussycat? Siapa?" Dia meminta, aksennya yang tipis membuat kata-katanya dua kali lebih seksi.

"Namamu," Aku berbisik, berharap aku mengenakan pakaian yang lebih mudah dilepas. "Namamu."

"Katakan," Dia meraung, memijat bagian bawah ereksinya. Aku merasa kalau dia mencekikku; semua udara di paru-paruku hilang. "Katakan namaku."

"Dean," Kataku dengan suara parau, menjaga kedua kakiku untuk tetap berdekatan. Denyutan yang ada di antara mereka menjadi sangat tak tertahankan.

*~*

Sisa perjalanan di mobil menjadi kesunyian yang berbeda.

Aku terlalu sibuk berdebat dengan pikiranku tentang apakah akan jadi lebih baik untuk bercinta dengan Dean dan mengeluarkannya dari sistém ku. Maksudku, kita sudah pernah melakukannya dulu. Walaupun, dalam gelap, kita berpikir tentang orang lain dan aku baru saja keluar dari sekolah - tapi itu tidak mengubah fakta kalau dia yang bertanggung jawab atas orgasme satu-satunya yang kupunya dalam kehidupan cinta ku yang pendek dan menyedihkan. Dia tidak perlu tahu detail itu tapi aku tahu; akan selalu tahu dan ketika aku melihatnya orgasme hanya karena aku mengatakan namanya tadi, that's the soul crusher.

"Kita sudah sampai."

Dean berkata dengan suara baritonnya yang lembut mengangkatku dari lamunanku. Aku bahkan tidak menyadari limonya sudah terparkir di depan toko cinderamata dan pemandangannya berubah menjadi hutan bangunan, bergaya enam puluhan dengan toko-toko klasik dan motel. Ełlona terlihat berasal dari jaman dulu di beberapa tempat tapi ibukota nya, cukup modern. Albert pernah berkata kalau desa-desa kecillah yang membuat ibukotanya. Kita tentu saja berada di area yang belum pernah mendengar Microsoft dan microwave.

"Dimana sebenarnya kita?" Aku bertanya, terkejut aku bisa menatap matanya. Dia memberiku salah satu senyum yang membuatnya terlihat seperti anak kecil. "Kau harus keluar lebih dulu."

Pintu di sisiku dibuka. Menggelengkan kepalaku, aku keluar ke angin pagi yang dingin, bersyukur karena aku mengenakan sweater.

Limonya terparkir di tengah-tengah jalan sempit; jalan batu yang mungkin hanya digunakan untuk berjalan kaki sehari-harinya. Anak kecil bermain di luar, tawa mereka menggema di udara. Bangunan besar yang sebagian besar terbuat dari bebatuan berdiri di sepanjang jalan seperti blok apartemen. Beberapa wanita sedang menjemur pakaiannya di balkoni, dengan penasaran mengintip ke bawah ke kendaraan putih mewah di jalan.

Saat itulah aku tahu kalau Dean sudah berdiri di sampingku, menebak reaksiku. "Ini indah," Aku memberitahunya. "Dimana kita?"

"Matilde," Balasnya, menggenggam tanganku. Ini desa yang paling dekat dengan mansion dan yang terbesar di ibukota."

"Kau sering datang ke sini?" Aku bertanya, menghiraukan caranya yang perlahan mengelus bagian dalam pergelangan tanganku dengan jarinya.

Dia menyeringai, mengeratkan genggamannya. "Apa kau mulai menyukaiku, Miss Prince?"

"You wish."

"Memang," Katanya, suaranya berubah serius. Membersihkan tenggorokannya, dia berbalik pada supirnya dan berbicara dengan bahasa lain, lalu supirnya kembali ke limo dan sebelum aku menyadari, mobilnya melaju melewati kita, dan menghilang di jalanan.

Aku tidak khawatir dengan terdampar di tempat asing tanpa tahu jalan; melainkan aku yang khawatir terdampar dengan Dean.

Aku menarik tanganku darinya dan berpura-pura membenarkan bagian bawah sweater ku. "Aku harus kembali sebelum siang."

"Benarkah?" Suaranya kasual namun menyebalkan saat dia berjalan lebih dulu. "Tetap dekat denganku, Prince."

Dean mengajakku berjalan di sepanjang jalan, anak-anak bermain di sepanjang jalan, ada beberapa kendaraan kecil lewat membawa tumpukan rumput yang terlihat seperti gandum, lalu beberapa wanita bersendau gurau di toko sayuran. Ini mengagumkan. Lalu setelahnya, dia berbelok ke jalan sempit yang berbeda.

Kita berbelok di pojokan, mendapati jalan yang sepi, bangunan-bangunan bobroknya tidak cocok untuk ditinggali. Mereka bisa roboh sewaktu-waktu dan jalanannya penuh dengan kotoran, yang menyebabkan bau yang tidak menyenangkan. Dimana ada tempat sampah, tikus juga ada di sana dan saat aku memikirkannya, makluk kecil abu-abu lari melewati kakiku.

"Dean?" Mungkin dia salah belok.

Dia meraih tanganku, menjagaku di belakangnya saat dia berjalan menuju blok apartemen paling belakang di jalan berbatu. Di dalamnya lembab; gelap dan lembab. Aku merasa berada di Chernobyl namun lebih gelap dan menyeramkan.

"Aku tumbuh besar di sini," Katanya, suaranya lembut. Dia membuat pintu kayu salah satu flat yang ada di bawah tangga. "Tepatnya di ruangan ini."

Ruangannya begitu kecil. Cahaya yang menembus jendela tanpa kacanya menunjukkan kalau tidak ada banyak ruangan untuk berbelok, apa lagi -

"Ibuku seorang penjahat - bukan pelacur seperti yang banyak orang percayai, tapi dia adalah wanita paling cantik yang pernah ku lihat." Dean melepaskanku, melangkahi genangan air untuk menyeberangi ruangan.

"Saat itu - kakek Albert - suka bermain wanita tapi saat dia bertemu ibuku, dia menjanjikannya seluruh dunia. Tapi yang dia berikan hanya bayi yang tidak bisa dia support." Aku mengikutinya ke jendela, menunggunya untuk melanjutkan ceritanya.

"Bagian yang lucu adalah kalau dia benar-benar mencintai ibuku tapi pada akhirnya, saat ibuku meninggal, dia hanyalah salah satu mantannya." Dia menyimpan tangannya di saku jeansnya.

"Jadi saat aku delapan tahun, dia mengetahui kalau aku adalah anaknya dia mengajak ku untuk hidup dengannya. Tentu saja, pada saat itu, kakak tiriku sudah dewasa dan percaya diri kalau dia yang akan memegang seluruh warisannya, yang mana membuatnya menerimaku. Faktanya, dialah yang membesarkanku."

Dia menoleh untuk melihatku. "Kau paham kan kenapa aku tidak bisa membencinya walaupun dia memang brengsek?"

Aku menyapu rambut yang menghalangi dahinya. "Aku paham,"

Dia menggenggam pergelangan tanganku dan menciumnya lalu dia berbisik. "Aku tidak tahu kenapa aku mengajakmu kesini. Bahkan aku tidak pernah mengajak Misha."

"Kurasa itu membuatku spesial," Aku berkata ringan, merinding saat ciuman kecilnya menjadi lebih intens.

"Kau memang spesial, hächen." Dia menarikku padanya. "Sekarang ciuman aku seperti kau menginginkannya."

Lututku tiba-tiba terasa lumpuh. Beneran, pria ini mematikan. Saat aku tidak segera tunduk - hanya karena aku perlu menguasai diriku sendiri - dia mengerang penuh ancaman, menundukkan kepalanya dan sedikit membungkuk untuk mengakomodasi perbedaan tinggi kita. Mulutnya menyerang ku dengan dengan keganasan yang mengirim panas ke atas dan bawah tubuhku, lalu memusat di perutku. Aku merasakan ereksinya ditekan ke perut bagian bawahku.

Meremas pantatku dengan kedua tangannya. Dia berputar, menekanku ke dinding yang berjamur. "Aku akan berada di sini segera," Katanya dengan kasar, memukul bagian kanan pantatku. Aku menjerit. "Kau belum pernah disentuh di bagian ini kan?"

"Tidak," Kataku di antara napasku yang terengah-engah.

Perlahan, Dean meraih di antara kita sebelum menarik resleting celanaku turun, lengannya melekat di pinggangku saat dia memasukkan dua jarinya ke milikku yang basah.

Aku menyadarkan diriku padanya saat dia mengeksplorasi bagian dalamku. "That's right, myskha. Aku sudah menunggu lama dan malam ini, aku akan memilikimu."

TO BE CONTINUED

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status