***
Sudah terlalu larut apabila Jessica pulang. Pada akhirnya ia memilih menginap di apartemen Travis. Dia tidur di dalam kamar tamu sementara Paris tidur di atas sofa.
Travis belum pulang. Pria itu tampak menikmati malam bersama seseorang. Dia memberitahu Paris kalau dia tinggal di rumah cewek bernama Ester malam ini. Alhasil, hanya ada Paris dan Jessica di apartemen lelaki itu.
Jessica bangun saat jam menunjukkan pukul empat. Dia sangat haus jadi dia berjalan ke dapur. Jessica merasa tidurnya lebih nyenyak setelah mengobrol banyak bersama Paris. Dia merasa ada beberapa kesamaan antara dia dan pria itu.
"Apa kau tidak bisa tidur?"
Jessica bertanya saat melihat Paris di ruang tengah sedang membaca majalah sport. Ada gambar Christiano Ronaldo di sampul majalah itu. Kedua tangan Paris memeluk bantalan sofa yang bermotif polkadot.
Jessica sudah berhasil mengambil air minum ketika menyadari Paris tampak gelisah di sofa. Jessica berhasil membuat lelaki itu kaget. Tentu saja sebab Paris mengira Jessica akan bangun kesiangan. Bayangkan saja, wanita itu bekerja di malam hari. Pulang hampir dini hari.
"Benar. Aku tidak tahu kenapa aku tak bisa tidur. Biasanya aku tidak seperti ini," jawab Paris.
Mungkin karena Paris terbiasa hidup mewah bersama orang tuanya. Sementara di apartemen Travis segala peralatan seadanya. Ya, kendatipun memang tidak terlalu buruk untuk ditinggali.
Jessica mengamati Paris dan mendapati pria itu tampak menggigil. Ada sesuatu yang salah dengan ruang tengah, tempat Paris tidur.
"Apa AC-nya rusak? Kau kedinginan."
Jessica merasakan ruangan itu terlalu dingin. Dia pun mencari remote AC dan tidak menemukannya di mana-mana. Entah di mana Travis menyimpan benda kecil itu.
"Aku tidak apa-apa," sahut Paris sembari menyunggingkan sebuah senyuman.
Dia mengamati Jessica dan wanita itu tampak khawatir. "Kau sedang tidak apa-apa. Jangan bohongi aku."
Jessica menaruh gelas airnya di meja. Dia berlari mengambil selimut di dalam kamar dan membungkus tubuh pria itu.
"Terima kasih," cicit Paris.
Dia memerhatikan Jessica dan setiap kali memandangi matanya. Dia jatuh cinta. "Aku tidak seharusnya menginap di sini. Kau pasti menderita tidur di sini semalaman."
Jessica merasa bersalah. Dia bahkan tidur enak di kamar tanpa menyadari Paris kedinginan. Seharusnya Paris tidur di kamar juga.
"Tidak--, jangan bilang begitu. Ini bukan salahmu."
Paris memegang tangan Jessica. Pandangan mereka kembali beradu dalam beberapa menit. Paris merasa jantungnya berdetak begitu hebat. Pesona Jessica tak bisa lepas dari kepalanya. Ketika melihatnya lagi dan lagi, paras Jessica semakin betah menginap di pikirannya. Ini aneh, sebab Paris tidak pernah memikirkan soal cewek sebelumnya. Dia sibuk menciptakan karya seni sampai lupa bahwa ada banyak cewek cantik di NYC.
"Kau bisa masuk kamar. Di kamar itu ada perapian."
Jessica memecah keheningan. Bagaimanapun mereka berdua adalah dua orang dewasa. Jessica cukup memahami ketegangan di antara mereka. Namun, dalam keadaan darurat seperti sekarang. Dia tidak bisa biarkan Paris tersiksa.
"Oh, ya."
Paris menyahut sambil berdiri. Dia mengikuti Jessica masuk ke dalam kamar tamu. Ada perasaan tegang yang terasa di dalam hatinya. Tetapi, perasaan itu segera ditepis.
Jessica menyalakan perapian di kamar itu. Sementara Paris cuma memperhatikannya. Dia terlalu kedinginan semalaman di ruang tengah dengan suhu paling rendah. "Apa kamar Travis terkunci?"
Ada satu kamar lagi di apartemen itu. Paris semestinya tidur di sana bukannya menyiksa dirinya.
"Kamarnya dikunci. Travis suka menjaga privasi. Kurasa dia punya banyak seks toys di kamarnya."
Bagi pria, memiliki seks toys atau mainan seks adalah hal normal. Namun, Travis tampaknya tidak ingin orang lain tahu hal itu. Karena beberapa orang suka mencela teman sendiri. Paris memang senang mencela lelaki itu.
"Aku minum sedikit wine agar tidak terlalu dingin. Tetapi aku tidak sanggup minum banyak." Jessica tidak bicara apa-apa. Wanita itu hanya mengangguk tanda paham.
Paris berusaha mengendalikan rasa dingin yang menyergapnya. Dia mengamati Jessica. Wanita itu sangat perhatian kepadanya. Dan Paris tersentuh.
"Mendekatlah ke sini. Apinya sudah menyala," seru Jessica. Paris mendekat ke arah wanita itu.
"Terima kasih."
Paris membuka selimutnya. Tanpa bertanya, dia menarik Jessica masuk ke dalam selimut itu. Jessica tidak bereaksi jadi Paris berpikir wanita itu menginginkan berada di dalam selimut yang sama. Rasanya lebih hangat ketika ada seorang wanita di sisinya.
"Aku menyukaimu sejak pertama kali bertemu. Dan aku semakin yakin memilihmu saat kau memberikan perhatian ini kepadaku."
Paris tidak tahu mengapa ia begitu lancar mengutarakan perasaannya. Dia hanya ingin Jessica mengetahui kebenarannya. Paris tak pandai menyembunyikan perasaannya.
Jessica terkesiap mendengarkan perkataan pria itu, namun hanya menatap serius ke arah Paris. Jessica tidak pernah menduga kalau Paris akan menembaknya. Ini terlalu cepat.
"Kau tahu, kau sangat baik. Dan aku mau memilikimu," lanjut Paris. Jessica menelan ludahnya dengan susah payah. Apakah ini sebuah mimpi? Seseorang tidak mungkin menyukainya secara tulus sebab Jessica hanyalah seorang, Jessica seorang penari strip. Masyarakat sudah beranggapan buruk mengenai profesi itu.
"Kau mau menjadikan aku seorang kekasih?"
Paris mengangguk. Jessica tertegun. Dia kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan Paris.
"Aku tidak tahu menyebutnya tapi aku suka hubungan seperti--, kau dan aku. Hubungan seperti itu. Saat kita saling bicara, saling membantu, dan--."
Paris ragu apakah ia harus melakukannya. Perlahan-lahan, ia mendekatkan bibirnya dengan bibir Jessica pelan. Mereka berciuman selama beberapa detik. Ciuman yang membuat Jessica bergeming. Dia pun menyukai Paris.
"Aku tidak bisa melakukan ini. Aku hanya seorang penari erotis."
Jessica sadar diri. Dia mengusir sebuah perasaan yang mendadak muncul dalam benaknya. Dia tidak bisa mencintai Paris seperti lelaki itu mencintainya. Ini salah, sepertinya memang salah.
Paris memegang kedua pipi Jessica dengan lembut. Terlalu lembut sampai Jessica memejamkan mata. "Aku tidak peduli profesimu. Bagiku kau hanya seorang penari seperti Grace. Kau bukan seorang wanita penghibur." Grace istri Ankara adalah penari balet. Profesi itu lebih terhormat ketimbang penari tiang. Tetapi, Paris merasa kedua profesi tersebut sama saja.
"Bagaimana kau tahu? Aku mungkin saja seorang murahan."
Menari bersama tiang dengan memakai bikini, itu tidaklah cukup bermoral. Jessica tidak pernah menjual tubuhnya kepada pria hidung belang tetapi orang-orang terlanjur menyamakan penari erotis dengan seorang wanita murahan.
"Bagiku tidak. Kau perempuan baik-baik." Paris menidurkan kepala Jessica di pundaknya, membelai rambut wanita itu dengan sangat lembut.
"Kau mungkin bukan pacarku, namun kurasa aku menyukai hubungan kita. Hubungan kau dan aku," bisik Jessica. Paris mengangkat kepala Jessica kembali. Mereka saling berpandangan kemudian berciuman untuk kedua kalinya. Sepertinya petualangan cinta baru dimulai.
***Jessica tersenyum setiap kali menyaksikan lukisan dirinya yang dibuat oleh Paris. Dia tidak menyangka kalau lukisan Paris begitu indah--sangat nyata. Jessica sempat memotret lukisan itu lewat ponselnya."Aku terlihat seperti remaja polos dalam lukisan. Orang-orang tidak akan tahu kalau aku seorang penari strip," jelas Jessica."Kau terlihat sangat menarik baik di dalam lukisan atau pun kenyataan."Paris mendekati Jessica. Keadaannya sudah lebih baik setelah dia menghangatkan tubuhnya di depan perapian. Jessica benar-benar mengurusnya dengan sangat baik."Trims. Kau selalu memuji aku."Jessica tersenyum. Dia menyentuh lukisan itu. Dia terpukau akan kemampuan Paris melukis."Kau bisa membuka galeri. Lukisanmu sangat bagus. Aku yakin akan banyak orang yang membeli lukisanmu."Jessica menyadari bakat Paris. Lelaki itu bisa mendapatkan lebih banyak uang kalau memiliki galeri pribadi ketimbang jadi pelukis kelilin
***Semua orang memiliki cara berbeda mengatasi masalah yang dialami. Bagi pria semacam Paris, ia tak bisa melakukan banyak hal. Dia melampiaskan kemarahannya pada Ankara dengan cara yang baik, yaitu dengan melukis. Paris menjadi lebih produktif ketika Ankara meledek karya seni ciptaannya."Apa kau butuh semacam kopi?"Jessica bertanya saat melihat Paris masih setia di depan kanvasnya. Beberapa pria di New York sibuk dengan komputer, sangat berbeda dengan Paris. Pria itu menjadikan kuas sebagai wadah menghasilkan uang, bukan dengan komputer."Tidak. Aku sedang tidak dalam mood yang baik." sahut Paris.Jessica mendekatinya, melihat Paris sedang melukis suasana di kelab malam--tempat di mana ada banyak sekali penari tiang bergoyang di depan pengusaha kaya.Jessica tidak percaya Paris bisa mengingat setiap detail saat itu. Dia percaya bahwa Paris merupakan lelaki cerdas. Hanya orang jenius yang mampu menggambarkan situasi deng
***"Kau tidak akan pernah memanggilku Parro."Paris meringis. Dia masih membuka buku tahunan Jessica sampai tersadar kalau Ankara juga alumni UNY, ia menatap serius ke arah Jessica. "Kau--, apa kau mengenal Ankara? Kalian berada di Universitas yang sama."Jessica menggeleng. "Aku tidak terlalu aktif kuliah, jadi sangat jarang mengenal orang, aku ke kampus kalau sudah ujian akhir," katanya.Paris merasa lega, ia senang karena gadis yang ia kencani bukanlah orang yang dikenal Ankara, atau setidaknya sekaranglah saatnya membuktikan kalau ia mampu mendapatkan gadis cantik, setara dengan Chantelle Grace, istri Ankara."Kau bisa disebut sebagai wanita berpendidikan. Mengapa kau memutuskan jadi penari--, kau tahu aku tidak bisa menyebutnya."Paris tidak tahu apakah dia sopan menanyakan itu. Paris sempat minta maaf karena takut Jessica tersinggung."Selama kuliah aku sudah jadi penari tiang. Dan setelah lulus, aku sama sekali tak b
"Komedi yang tidak lucu wahai Putra Mahkota!"Paris tersenyum miring untuk beberapa waktu lamanya. "Berhenti menghalangiku berkencan dengan Jessica sebelum aku curiga kau menyukai kekasihku. Ini sungguh bukan dirimu, Ankara!"Mendengar kalimat Paris, Ankara mendelik. Dia diam, mempertahankan gerakan kesombongannya. Ia tak akan menampakkan sisi lemahnya sebagai pria.***Ankara tertawa lepas, mengejek pernyataan kembarannya, Paris. Pria itu tidak terima dengan kalimat yang menyebutkan bahwa dirinya menyukai Jessica."Aku menyukai Jessica?" Ankara bertanya dengan nada meremehkan. Dia bertingkah seakan-akan Jessica bukanlah wanita berharga.Dia pun mendekati Jessica lalu menegaskan, "Wanita ini tidak akan sanggup menyaingi seorang, Grace. Dia hanyalah wanita penghibur. Jadi selir pun dia tak cocok untukku." Tatapan jijik berusaha dia tunjukkan ke arah Jessica. Namun, tatapan itu berubah dalam sekejap ketika Jessica melototkan
***Dia melangkah dengan sangat gagah. Tanpa Ankara, Jessica berdiri tegak di depan apartemennya, memandangi bahu kokoh Ankara yang berjalan memasuki lift. Saat Ankara masuk ke dalam sana, tatapan mereka sempat bertemu. Masa lalu mereka terputar begitu saja.Kala itu Ankara delapan belas tahun sedangkan Jessica masih lima belas tahun. Mereka adalah pasangan yang dimabuk cinta, nyaris setiap hari mereka melakukan kencan bersama.Suatu sore mereka meninggalkan New York dan mengendara mobil mewah menuju South Hamptons. Mereka menghabiskan waktu mereka di pantai di kota itu sampai malam hari. Ankara lupa waktu, dia tidak ingat kalau hari itu merupakan hari spesial Ibunya. Hari itu adalah hari ulang tahun Ibunya.Ankara memilih menyenangkan Jessica karena gadis itu sedang mengalami masalah berat. "Aku akan selalu berada di sampingmu, Jessie."Seminggu sebelumnya adalah hari pemakaman Ayah Jessica, akibat frustrasi karena kebangkrutan dan di
***Sepulang bekerja dari kelab malam, Jessica memutuskan untuk ikut dalam petualangan perkemahan Travis di pinggiran kota NY. Ada hutan lindung milik pemerintah di daerah itu. Travis bilang lokasinya sangat bagus. Travis bertemu wanita bernama Ester sehari yang lalu dan kini mereka berpacaran. Travis berencana melakukan kencan ganda di sana."Kau pasti lelah," bisik Paris tepat di telinga Jessica.Pria itu yakin Jessica capek sepulang dari bekerja. Dan sekarang dia harus ikut perkemahan. Jessica seorang penari tiang. Tentunya butuh tenaga besar untuk berjoget di atas tiang. "Aku bisa istirahat selama perjalanan," jawab Jessica.Dia menaruh kepalanya di pundak Paris sembari menutup mata.Paris membelai rambut Jessica, membiarkan wanita itu beristirahat. Paris melirik Travis dan Ester di kursi depan. Mereka kelihatan sangat mesra. Paris memerhatikan beberapa kali Ester menggenggam tangan Travis."Ester bekerja di galeri Fift
***"Aku sedang mencari danau. Aku yakin ada danau di tempat ini."Paris ingin mewujudkan beberapa khayalan di kepalanya. Paris mau melukis gadis di pinggir danau."Kau mau melukis lagi? Orang tuamu seharusnya bangga dengan bakat luar biasamu itu," tutur Jessica.Paris pun berpikir begitu. Dia sangat ingin orang tuanya mengapresiasi seni ciptaan Paris. Nyatanya tidak, mereka lebih percaya bahwa menjadi pebisnis adalah segalanya, seperti Ankara, dialah contoh anak yang didambakan orang tuanya."Aku tidak mau bahas orang tuaku. Aku benci fakta kalau Ibuku pernah menghinamu. Kau spesial bagiku."Paris dan Jessica terus berjalan ke depan. "Apa menurutmu di sini ada semacam binatang buas?" Jessica tidak tahu apakah hutan itu punya semacam binatang buas atau tidak."Seperti serigala? Aku menantikan momen saat serigala menggigitku lalu aku menjadi pria sempurna seperti Scott Mccall."Scott Mccall adalah pem
***Saat jam menunjukkan pukul tujuh pagi, Paris dan Jessica kembali ke tenda mereka. Paris membopong lukisan ciptaannya sambil satu tangan lainnya menggenggam tangan Jessica. Dia sangat suka melakukan hal itu seakan dengan melakukan itu Paris bisa mendapatkan kekuatan super."Apa kau mau aku menggendongmu?" tanya Paris.Jessica berjalan pincang akibat digigit sesuatu di dalam danau, dan sakitnya masih terasa. Entah makhluk apa yang telah melakukan hal itu. Mungkin sejenis piranha kecil."Aku sudah banyak merepotkanmu. Kau pasti kedinginan karena tidak memakai baju," ujar Jessica sambil memperhatikan Paris tak pakai baju.Semua itu karena kaki Jessica teluka dan Paris menggunakan kaosnya untuk membalut luka itu. Jessica merasa tak enak membuat Paris tampak kedinginan. Siapa yang tidak dingin di pagi-pagi buta tanpa pakai baju?"Aku sama sekali tidak apa-apa. Astaga, aku ini sangat kuat."Paris semringah. Dia menaruh l