Share

2. Semakin Peduli

        Brian pertama kalinya berkeliaran di sekolah tanpa jaket kebesarannya. Dari kejauhan Brian bisa melihat Biya menunduk sedang di tunjuk - tunjuk Luna, salah satu antek - antek Yuna.

Siswa - siswi kepo terlihat berkerumun di sekitaran mereka. Psikis orang yang terguncang menjadikan hiburan bagi mereka, miris.

Saat melihat Brian datang semua langsung memberi jalan.

“Ngapain?” tanya Brian tak bersahabat. Tatapannya menajam memindai sekitar lalu menatap lurus penuh peringatan pada satu manusia yang menjadi biangnya.

Luna gelagapan lalu mundur beberapa langkah. Menelan ludah kasar, ternyata soal jaket itu benar pikirnya kelabakan.

“I-ini, anu_”

“Lo ga liat tanda yang gue kasih? Jaket ini lo ga kenal?” tanpa menunggu jawaban, Brian menarik Biya untuk meninggalkan kerumunan.

Brian tidak perlu panjang lebar menjelaskan, semua yang ada di sana pasti akan sangat mengerti kalau Biya sudah ada di bawah kuasanya.

Biya berjalan terseok - seok dengan masih terus tertunduk. Mentalnya masih selemah dulu, bahkan mungkin tidak berubah.

Brian melepaskan cekalannya di depan warung kantin.“Bu mau jus jeruk dua sama batagornya dua, di meja ujung ya bu..” pesannya tanpa menunggu jawaban dari ibu kantin.

Brian kembali meraih lengan Biya lalu membawanya ke meja tujuan.

“Nunduk terus! Ada apa sih di bawah!” jengkel Brian.

Biya semakin gelisah tanpa mengangkat kepalanya. Brian menghela nafas jengah lalu memutuskan untuk mengabaikannya walau mendadak sulit.

“Gimana? Ada yang bully lo selain Luna?” tanya Brian dengan masih bernada tak bersahabat. Suara Brian terdengar tegas dan dingin. Rasanya Biya sedang di lantik menjadi anggota paskibra.

Biya menggeleng, memang benar, dia hanya di labrak Luna. Biasanya dia tidak berhenti mendapat kejahilan dari siapapun di kelasnya.

“Lo ga bisa liat wajah orang? Di bawah ada apa sih, penasaran gue!” Brian semakin jengkel.

Biya mengigit bibirnya, masih tidak berani mendongkak.

Brian berdecak.“Lo takut?” tanya Brian seraya mengintip wajah Biya yang semakin menunduk itu.

Biya mengangguk pelan membuat Brian berdecak lagi.

“Gue penolong lo! Ga usah takut! Cepet liat gue!” desaknya dengan raut wajah terlihat frustasi.

Biya semakin gelisah. Brian hendak bersuara lagi namun pesanannya sudah datang.

“Terima kasih, bu” ucap Brian dengan wajah di tekuk masam.

“Sama - sama, Brian..”

Biya melirik batagor itu lewat bulu matanya yang panjang. Brian mengaduk batagornya lalu mengaduk milik Biya sebelum mendorong piring itu ke depan Biya.

“Makan! Ga habis gue biarin lo di bully lagi, mau?” tanya Brian penuh keseriusan, syarat akan ancaman.

Biya meraih sendok itu dengan tangan bergetar. Biya merasa belum aman dan selalu merasa terancam. Takut di jahili juga, dia benar - benar belum bisa percaya pada siapa pun.

Brian menguyah batagornya lalu melirik Biya. Rambut sebahunya masih menutup sebagian wajah gadis itu.

Mulut Brian yang masih ada batagornya menganga tak percaya melihat respon Biya yang gemetar begitu.

“Apa setakut itu?” tanya Brian setelah menelan kunyahannya.

Rasanya Biya tak sanggup makan, tapi jika tidak dia takut ancaman Brian jadi nyata. Biya tidak bisa mengendalikan tubuhnya yang bergetar, seperti sudah melekat alami jika dirinya merasa takut dan terancam.

Brian melempar sendoknya pelan hingga bunyi nyaring antara piring dan sendok terdengar.

“Woah! Ternyata lo sepenakut ini?” tanya Brian tak percaya.

Brian meraih tangan Biya lalu di genggamnya kuat.“lo liat gue! Gue yang tolong lo kemarin, sekarang dan seterusnya! Ga usah setakut ini! Gue bukan hantu!” jengkel Brian.

***

Brian menatap kantong plastik hitam di tangannya yang berisikan batagor. Biya sama sekali tidak menyentuhnya.

“Nih! Terserah mau lo buang juga gue ga peduli!” jengah Brian setelah Biya sampai di depan kelasnya.

“Ma-makasih..” cicit Biya masih dengan menunduk takut, tangannya yang mengambil kantong plastik di tangan Brian pun masih bergetar.

Brian berlalu dengan wajah di tekuk masam, entah kenapa Brian merasa terganggu dengan reaksi gadis itu.

Padahal dia tidak pernah berurusan dengannya, Brian hanya tahu kalau Biya memang sering jadi bahan bullyan Yuna CS.

Dulu sempat ingin menolong tapi dia terlalu malas bersinggungan dengan para perempuan, apalagi Yuna CS yang masih dirinya butuhkan untuk bermain - main.

Brian membawa langkahnya menuju kelasnya yang terlihat sepi, sepertinya sudah ada guru.

Brian tersenyum sinis, tumben sekali guru datangnya secepat ini.

Brian masuk begitu saja mengabaikan pandangan teman - temannya maupun guru di depannya.

“Brian! Kemari kamu! Tidak sopan!” tegur Bu Eni, guru bahasa indonesia.

Brian memutar langkahnya lalu berdiri beberapa langkah di depan Bu Eni.

“Maaf bu” acuh Brian agar lebih cepat selesai, dia sedang tidak dalam mood bagus saat ini.

Bu Eni menautkan alisnya bingung, merasa tumben Brian tidak melawan.“Ya-yaudah, cepet duduk! Lain kali jangan di ulangi..”

Brian mengangguk lalu berlalu dengan acuhnya, tatapan heran yang di lemparkan pada Brian pun dirinya abaikan.

“Kenapa bos?” bisik Angga, teman sebangku Brian hari ini.

“Ga papa..” singkatnya dengan tatapan lurus ke depan.

***

Brian melempar tas nya ke arah Waldi.“Simpen di tempat tongkrongan, gue titip..” acuhnya lalu meninggalkan para anggota gengnya itu.

“Mau kemana sih si bos? Mulai aneh lagi deh..” heran Angga acuh tak acuh.

“Lagi ada inceran kali..” sahut Satria cuek.

Di tempat lain, Biya tengah melamun. Kelas sudah sepi, memang sengaja Biya menunggu sepi, dia takut dengan gosip yang tengah hangat saat ini.

Gosip tentang Brian yang mendekatinya.

Biya merapihkan semua catatan di atas meja lalu memasukannya ke dalam tas gandongnya yang sudah lusuh. Sepertinya dia harus kembali menabung agar bisa membeli tas baru.

“Sesuai dugaan!”

Biya tersentak kaget hingga sebagian bukunya jatuh berceceran di lantai.

Brian berdecak kesal, merasa di anggap hantu yang menakutkan. Reaksi Biya entah kenapa membuatnya tak nyaman, dia tak suka.

Biya buru - buru merapihkan bukunya lalu memasukannya ke tas hingga semuanya masuk.

Brian yang melihat raut takut di wajah Biya membuatnya mengerang kesal.

Biya mematung mendengarnya, Biya berpikir apa Brian terganggu olehnya? Apa dia marah dan akan membiarkannya di bully lagi?

Brian meraih kasar tas gandong Biya, membawa tas itu keluar kelas. Biya sontak ketar - ketir lalu berlari kecil menyusul Brian.

“Ta-tas aku..” lirih Biya dengan berusaha mengimbangi langkah Brian yang lebar.

Brian bahkan masih ingat keketusan dan keberanian Biya saat di tepi sungai. Dia ingin gadis itu seperti saat itu, begitu berani menyuarakan kekesalan dan kesedihannya, bukan seperti sekarang yang selalu ketakutan.

Brian melempar tas Biya ke dalam mobilnya lalu membukakan pintu samping kemudi untuk Biya.

“Cepet masuk! Mau di bully lagi?” tanya Brian penuh paksaan yang sontak membuat Biya bergegas masuk.“pake sabuk pengamannya!” ketus Brian setelahnya menutup pintu mobil.

Biya mengenggam sabuk pengamannya kuat - kuat, sesekali matanya melirik Brian yang terlihat tidak seemosi tadi.

“Satu semester lebih lagi, lo harus tahan..” kata Brian.

Biya terhenyak lalu terdiam dan merenungkan semuanya.

Biya menatap jalanan yang di lewatinya dengan tatapan menerawang, andai saja Brian datang di saat dirinya masuk sekolah terkutuk itu, mungkin masa putih abu - abunya akan sedikit indah tanpa bullyan.

Biya meremas seragamnya yang berada di sebelah kiri, seolah di sanalah yang sakit.

Bayangkan saja bagaimana hancurnya dia karena terus mendapat bullyan fisik maupun non fisik.

Biya memejamkan matanya sekilas guna meredam semua rasa kecewa pada kehidupan. Mungkin benar, dirinya hanya harus bertahan sebentar lagi.

Biya membolakan matanya saat melihat ayahnya tengah di pukuli beberapa preman dipinggir jalan.

“STOP! Tolong BERHENTI!” pekik Biya membuat Brian menepikan mobilnya dengan sekali sentak. Untung jalanan lenggang.

“APA - APAAN SIH LO MA_” bentakan Brian terhenti saat Biya turun dari mobil lalu berlari menghampiri preman yang tengah memukuli ayahnya.

Brian turun tergesa, menatap heran dan cemas dengan keberanian Biya yang kini memeluk pria paruh baya berlumuran darah itu.

“Ck! Apaan sih!” geram sang preman seraya menendang punggung Biya.

Brian sontak berlari guna menghentikan kedua preman itu agar berhenti.“Stop! Kalian ngapain pukul cewek itu!” bentak Brian dengan geram.

“Bri! Ngapain lo di sini! Lo kenal mereka?” tanya salah satu preman itu.

Kedua preman itu salah satunya anggota di balapan liar, sebagai tameng agar tidak ada keributan atau pun jika ada maka merekalah yang maju.

“Cewek gue! Jadi lepas! Kita urus nanti!” tegas Brian dengan ekspresi tak bersahabat.

“Oke - oke, cabut Yo!” ajak Preman itu pada temannya.

Brian membantu Biya berdiri, gadis itu terus terisak, tersedu - sedu.“Ayah kenapa bisa berurusan lagi?” lirihnya sesegukan.

Rudy mendorong pelan Brian yang hendak membantunya lalu menatap nyalang Biya yang ketakutan dalam tangisannya.

“Bukan urusan kamu! Pergi sana!” bentak Rudy dengan mendorong keras Biya hingga terpental jatuh.

Brian terkejut melihat itu, dengan cepat Brian mendekati Biya yang meringis lalu tak sadarkan diri. Brian mengangkat Biya tergesa dengan tatapan sekilas menatap tajam pria paruh baya yang tertatih - tatih itu.

***

“6 jahitan di belakang kepala!” geram Brian dengan tangan terkepal. Entah kenapa Brian terganggu oleh semuanya.

Biya perlahan selalu menguasai fokusnya. Brian tak menyangka ternyata hidup Biya sesulit itu.

Informasi dari Roni, salah satu preman tadi cukup membuatnya terganggu sehebat ini.

Brian menatap Biya yang masih terlelap, mata bengkak gadis itu membuatnya semakin menggeram kesal. Tidak sepantasnya pria tua bangka itu di tangisi, bahkan Biya melindunginya tadi.

Benar - benar gadis bodoh!

“Siapa dia Brian?” tanya Zela--bunda Brian dengan serius, tidak menyangka anaknya akan membawa perempuan ke dalam apartementnya.

Brian melunakan ekspresinya.“Temen Brian bun, kena kekerasan sama ayahnya” terang Brian lesu.“kenapa bunda di sini? Brian udah bilangkan, Brian mau sendiri dulu..” lanjutnya tak bertenaga.

“Astaga! Anak secantik ini bagaimana bisa di sia - siain, orang tua macam apa yang membuat anaknya seperti ini!” Zela mengabaikan ucapan terakhir anaknya itu.

Brian menyetujui ucapan Zela, orang tua Biya mungkin gila!

Ternyata ada bagusnya sang bunda datang.“Titip ya bun, jangan di suruh dulu pulang, Brian mau keluar dulu..” pamit Brian.

Zela mengangguk lalu mengusap kepala Biya dengan hangat. “Iyah, jangan malam - malam pulangnya..”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status