"Astaga! Itu buat tanaman, bukan makanan." Biya berlari menuju Glen yang hampir saja memakan tanah.
"Tapi walnanya kayak coklat, mama." Glen melempar sekepal tanah di tangannya dengan sebal.
3 tahun usia Glen sekarang, usia yang membuat Biya hampir kewalahan. Untung Brian sudah memutuskan bekerja di rumah.
Mungkin ini juga yang menjadi alasan kenapa Tuhan tidak kunjung memberi adik untuk Glen.
Glennya sungguh nakal dan ingin banyak tahu. Biya tidak akan sanggup jika harus memiliki bayi sekarang.
"Kenapa lagi, ma?" Brian datang dengan tenang.
"Itu Glen, hampir nyobain tanah yang katanya mirip coklat." Biya mencuci jemari Glen dengan telaten.
"Penasalan, milip soalnya." Glen terlihat tidak suka di sudutkan.
"Glen pasti mau coklat?" Brian berjongkok di belakang Glen yang masih menyerahkan jemarinya di cuci oleh sang mama.
"Iy
"Ga mau!" Glen terus meronta di gendongan Junior."Mama sama papa pergi sebentar kok." Junior mengusap punggung Glen yang bergetar karena menangis itu."Ga mau! No-no!" amuknya dengan suara meninggi bahkan hampir serak.Amora mengusap kepala Glen, menenangkannya dengan penuh kelembutan.Zela dan Jayden menuntun kedua cucu kembarnya yang terlihat memandang Glen dengan bingung harus bagaimana."Kita pulang, bawa masuk ke mobil." kata Jayden yang di angguki Junior dan Amora.Sedangkan Biya dan Brian, keduanya tengah berada di perjalanan udara menuju salah satu pantai yang terkenal bagi para pasangan yang akan honeymoon."Kenapa?" Brian merangkul Biya, mengusap puncak kepalanya dengan sayang."Pertama kali ninggalin Glen, rasanya khawatir. Padahal bunda, ayah sama Amora pasti jagain."Brian paham dengan perasaan Biya, dia pun
Glen terlihat diam, semenjak Biya hamil anak yang kedua memang gelagat Glen berubah. Mungkin karena akan memiliki adik."Sebenernya, Glen kenapa ya bun?" Biya menatap Glen dari kejauhan.Zela menyeruput teh jahe buatannya itu."Mungkin karena mau punya adik, dia murung dan takut perhatian kedua orang tuanya beralih ke sang adik." jawabnya."Mendadak baik, mendadak murung dan mendadak marah - marah atau bahkan rewel dan manja." terang Biya dengan sesekali mengusap perutnya yang kini sudah memasuki bulan ke 5."Itu sih jelas, alasannya karena takut perhatian kamu beralih." tebak Zela yang mungkin bisa saja iyah."Sayang."Zela menoleh, menatap Jayden yang semakin tua malah semakin terlihat segar itu."Kenapa?" tanya Zela seraya mengusap telapak tangan keriput Jayden yang bertengger di pundaknya itu."Kita
Biya Anggia, yang sering dipanggil Biya itu terlihat menatap sungai jernih di depannya. Langkah kakinya yang kini hanya terbalut kaos kaki terus dirinya ayun menuju ke arah sungai.Tatapannya kosong, wajahnya yang kotor ternoda jus tomat di abaikan. Seragam putihnya sudah compang camping, penuh dengan noda dan basah di abaikan juga olehnya.Biya lelah terus menjadi sasaran bullying. Dia tidak tahu di mana letak kesalahannya. Tak hanya di bully fisik di sekolah, di rumah pun sama. Fisiknya yang rapuh tidak pernah absen dari pukulan.Ayahnya yang sering mabuk selalu saja marah - marah. Biya selalu terkena pukulan darinya dan selalu di salahkan atas kematian sang bunda. Biya bahkan tidak tahu sosok bundanya seperti apa, dia besar dengan nenek yang kini sudah tiada.Biya merasakan langkahnya yang terus masuk ke dalam air kini semakin berat walau air sungai sangat
Brian pertama kalinya berkeliaran di sekolah tanpa jaket kebesarannya. Dari kejauhan Brian bisa melihat Biya menunduk sedang di tunjuk - tunjuk Luna, salah satu antek - antek Yuna.Siswa - siswi kepo terlihat berkerumun di sekitaran mereka. Psikis orang yang terguncang menjadikan hiburan bagi mereka, miris.Saat melihat Brian datang semua langsung memberi jalan.“Ngapain?” tanya Brian tak bersahabat. Tatapannya menajam memindai sekitar lalu menatap lurus penuh peringatan pada satu manusia yang menjadi biangnya.Luna gelagapan lalu mundur beberapa langkah. Menelan ludah kasar, ternyata soal jaket itu benar pikirnya kelabakan.“I-ini, anu_”“Lo ga liat tanda yang gue kasih? Jaket ini lo ga kenal?” tanpa menunggu jawaban, Brian menarik Biya untuk meninggalkan kerumunan.Brian tidak perlu panjang
Brian memakai jaket berlogo gengnya, sedari di pakai bau Biya selalu menyeruak di hidungnya. Nyaman rasanya.“Bri! Lo punya ade?” tanya Susilo, teman tongkrongan yang lebih tua dua tahun dari Brian.“setahu gue, kembaran lo udah gede..” lanjutnya dengan berusaha berpikir keras.“Engga, bang.” singkat Brian.“Bau lo bau bayi, tumben ga kayak biasanya, bau jalang lo ga kayak gini..” terang Susilo yang di angguki beberapa anggota lain.Brian mengabaikan tanpa menjelaskan, jelas bau bayi, kan jaketnya di pakai Biya yang memang selalu beraroma bayi.Selalu? Haha Brian merasa gila dengan kelakuannya, ternyata bau gadis yang sering di bully itu sudah dia hafal sejak lama. Mungkin sejak dia berpapasan di gerbang sekolah saat pertama masuk sekolah dulu? Entahlah, rumit.Mengingat bau bayi, membuat Brian tidak tega menyakiti Biya. Brian berjanji, mulai sekarang tidak
Brian menggeram gemas, pinggulnya terus bergerak membuat perempuan di bawahnya mendesah kelimpungan tak bisa diam.“Ah Bi!” desah Brian tertahan, matanya terpejam. Mencoba membayangkan sosok yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya.Luna terdiam sejenak saat mendengar panggilan Brian dalam desahannya, namun detik berikutnya kembali mengerang kenikmatan.Luna hendak memeluk leher Brian namun Brian tahan.“Lo lupa? Jangan sentuh gue! Biarin gue gerak sendiri!” kesal Brian seraya menghentikan gerakan di bawahnya.“Maaf, yaudah lanjut lagi..” Luna menggerakkan pinggulnya membuat Brian kembali menggerakannya juga.Brian berjanji, ini yang terakhir kalinya dia menyentuh Luna. Brian mempercepat gerakannya, membuat Luna mendesah semakin kencang.Di sebelah kamar mereka Biya tampak syok, tak menyangka Luna dan Brian sudah sejauh itu.Setelah keperg
Pagi adalah masa - masa di mana miliknya kadang tegang, apa lagi dengan Biya yang tertidur di atasnya. Beberapa kali bahkan Biya menggeliat membuat Brian mengerang tertahan.“Sial! Setelah main sama Yuna semalem pun masih aja kurang!” desisnya tertahan.“apalagi kalau bunda nginep di sini, bisa gawat..” dumelnya.Brian menahan nafas saat Biya menggerakkan wajahnya untuk menukar posisi, Brian bahkan merasakan sentuhan sekilas itu. Sentuhan di mana bibir Biya menyentuh bibir Brian.Brian berdebar lagi, padahal itu bukan ciuman yang pertama tapi kenapa jantungnya begitu histeris.“Fuck!” umpat Brian seraya pelan - pelan memindahkan Biya ke tempat kosong di sampingnya.“Dia bahaya! Bikin gue gila kayak gini!” gerutu Brian seraya membawa langkahnya menuju kamar mandi.Brian melirik celananya yang mengembung.“Dan lo! Kenapa
Jayden memijat pelipisnya sekilas, Jayden di buat geleng - geleng kepala dengan kelakuan Brian.Banyak pelanggaran, ikut tawuran hingga di bawa polisi dan ada yang lebih parah. Seks bebas.Demi apapun, Jayden sudah merasakan karmanya. Ternyata perbuatannya dulu sama sekali tidak di benarkan dan membuat orang tuanya pusing.Jayden jadi rindu sang ayah--Jefri. Dia harus banyak meminta maaf pada ayahnya yang sering di buat pusing olehnya dulu.“Kapan baikan?”Jayden menoleh, mengusap pipi Zela yang kini bersandar di bahunya.“Bukan salah aku, sayang..” Jayden menyandarkan kepalanya pada kepala Zela.“__tunggu anak itu sadar sendiri, dia yang salah di sini..” lanjutnya dengan tidak ingin di bantah.“Aku kangen Brian ada di rumah, kita kumpul setiap hari, setiap pulang dari luar kita bisa ketemu mereka..”“Brian laki