Nadiar menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Kepalanya tertunduk dalam saat Alvis membawanya masuk dan berhenti tepat di sebuah meja di luar ruangan lain dalam pintu tersebut.
"Di sini meja kamu," ucap Alvis dingin. "Kamu boleh masuk ke ruangan saya kalau saya yang suruh. Selebihnya, kalau ada apa-apa, telfon saja. Mengerti?"
Sambil menelan ludahnya, Nadiar mengangguk cepat. "Me-mengerti, Bos."
Alvis mengangguk. "Bagus," katanya. "Kalau begitu, saya masuk dulu. Nanti saya beri kamu tugas."
Nadiar mengangguk cepat, bersamaan dengan Alvis yang langsung berlalu dihadapannya. Akhirnya, Nadiar bisa bernapas. Ia lalu menghela napas lega, mencoba menetralkan detak jantungnya yang meloncat gila-gilaan.
Benar, kan? Hari ini akan sial. Soalnya, tadi Nadiar sudah terpeleset dengan tidak elitnya.
Nadiar jadi ingin menangis. Matanya sudah berkaca-kaca dan bibir bawahnya sudah maju ke depan. "Ini semua gara-gara abang!"
Entah kenapa, Nadiar ingin saja menyalakan abanganya. Pokonya, Alden selalu salah. Salah! Salah! Pokoknya, ini bukan salah Nadiar! Ini salah Alden!
Nadiar lalu menghela napas panjang. Ia berjalan dengan kaki yang di hentak, kemudian membanting tubuhnya di kursi. "AAH!" teriaknya,lalu mengacak rambutnya dengan frustasi, kemudian menjedotkan keningnya di meja beberapa kali.
***
Dalam ruangannya, Alvis berdiri dengan pantatnya yang menyender di sisi meja. Alvis tersenyum miring melihat sekertaris barunya yang benar-benar terlihat gondok dan frustasi. Dari jendelanya, ia dapat melihat Nadiar yang mengacak rambut, lalu menghela napas, kemudian menjedotkan keningnya di permukaan meja. Nadiar terus melakukan hal tersebut dan sukses membuat Alvis tersenyum.
Jika saat dalam lift Alvis yang frustasi karena Nadiar yang kurang apdet, kini Nadiar yang terlihat frustasi karena kekurang-apdetannya juga. Asal kalian tahu saja, Alvis sedari tadi sudah menunggu kesadaran Nadiar bahwa Alvis adalah bosnya.
Di mulai dari saat Nadiar memperhatikan wajah Alvis. Alvis kira, Nadiar akan langsung sadar dan langsung memberi anggukan sopan pada Alvis. Namun tidak. Perempuan itu malah berucap, "Ganteng," dan mengedip genit. Dan lagi, saat Alvis memberitahu namanya, Nadiar malah membandingkan dengan namanya sendiri, bukannya langsung menebak bahwa Alvis adalah CEO di sini. Alvis harus menahan diri untuk menjedotkan kepala Nadiar di dinding lift saat itu juga.
Hello! Alvis ini lelaki terkenal, loh. Tv memberitakannya, media cetak memberitakannya juga. Bagaimana bisa Nadiar tidak tahu namanya sama sekali?
Ini, konyol.
Dan Alvis harus menahan tawanya saat melihat Nadiar ketika sekertaris barunya itu menampakan wajah kaget saat Alvis menyambutnya dengan formal.
Dering telfon menganggu lamunan Alvis. Lelaki itu kemudian mengambil ponselnya, lalu mengangkat panggilan sesaat setelah melihat ID caller. "Ya, Dave?" sapanya pada orang di sebrang sana.
"Oii, Vis. Lo udah ketemu sekertaris baru lo?"
"Udah," jawab Alvis tanpa mengalihkan pandangan dari Nadiar yang sedang bercermin di kaca ruangan Alvis. Memang, ruangan Alvis di desain dengan kacanya yang tidak tembus pandang dari luar. Namun jika di dalam, Alvis dapat melihat keadaan di luar.
"Gimana? Cantik, kan? Itu gue yang milih, loh."
Alvis mendelik. "Lo wawancara liat penampilannya doang?"
"Weis, kata siapa? Gue juga liat akademisnya. Dia lulusan terbaik tahun ini. Dapet gelar sarjana dalam kurun waktu 3 tahun lebih."
"Oh ya?" Alis Alvis bertautan mendengarnya. Seriously? Nadiar bukan muka orang pintar. Istilah sundanya itu; teu ka bengeutan.
"Iyaa. Makanya gue pilih dia. Lo coba kasih dia tugas kalo gak percaya."
Alvis mengangguk. "Oke."
Devan terkekeh di sebrang sana. "Belum balik, ya lo? Ini harapan sahabat lo, Vis. Gaada niatan buat nurutin gitu? Vis, lo bisa coba sama sekertaris-"
"Hati-hati di sana, bro, bye!"
Dan sambungan pun terputus. Alvis diam di tempat. Ia kemudian menghela napasnya, lalu duduk di kursi. Kembali, Alvis membuka lacinya dan menatap lembaran foto yang berada di dalam sana. Foto di mana ia tersenyum lebar dengan mantan kekasihnya yang ia rangkul. Irene, perempuan satu-satunya yang bisa mendapatkan hati Alvis sepenuhnya.
Sekarang, Irene sudah menikah di saat Alvis sudah kembali pada Irene. Alvis akui, dulu ia lebih memilih meninggalkan Irene demi perkataan Ayahnya. Demi hartanya. Namun itupun karena Irene. Karena Alvis memikirkan masa depan mereka nantinya.
Alvis menghela napas panjang mengingat hal itu. Dan Alvis tersentak saat mendengar teriakan di luar ruangannya. Ia kemudian menatap pada kaca jendela di mana di sana ada Nadiar yang mengepalkan tangannya ke udara sambil berteriak. "Semangat!!" entah untuk apa.
Alvis lalu mengangkat gagang telfon ruangannya, kemudian menekan satu tombol di telfonnya. Matanya terarah lurus pada Nadiar yang tersentak dengan bunyi telfon di meja, lalu mengelus dada dan mengangkat panggilan telfon.
"Moshi! Moshi! Nadiar di yeogi. Ada problem what, ya?"
Alvis mengerutkan keningnya dengan heran. "Kamu ngomong apa?"
"Bos? Eh, kirain siapa ini. Tadi itu, saya ngomong bahasa Jepang sama Korea dan Inggris. Bos masa gak tau, sih? Bos kan pasti suka ke luar negeri. Masa gak ngerti?"
Alvis menghela napas, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Maksud saya bukan gitu. Ini Indonesia, Nadiar. Kamu ini sekertaris, bukan mbak-mbak supermarket. Kamu harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar," ucapnya, tetap menatap pada Nadiar yang terlihat mendelik sebal.
"Oke, bos."
"Hm."
"Jangan tutup dulu, bos! Saya pengen nanya."
Alis Alvis bertautan mendnegarnya. "Apa?"
"Bos workaholic, ya?"
"Hah?"
"Iya! Bos itu kan dingin. Tapi, kok kalo ngomongin tentang kerjaan saya jadi cerewet banget?"
Alvis menghela napas panjang. "Kalo saya ngasih penjelasan singkat, kamu bakal ngerti? Di lift aja kamu kudet begitu."
Dari sini, Alvis dapat melihat Nadiar yang menjauhkan telfon di telinganya. Wajahnya menyiratkan kekesalan saat menatap telfon tersebut. Tangan Nadiar bahkan terkepal di udara seolah ingin memukul gagang telfon itu. Setelahnya, Nadiar terlihat menghela napas panjang, lalu menyimpan lagi gagang telfon di dekat telinga. "Bos nelfon itu ada urusan apa, ya?"
Alvis mengulum bibirnya, menahan diri untuk tersenyum. "Saya cuma mau mengingatkan kalo kamu harus konsultasi sama sekertaris terdahulu. Siang ini, saya ada pertemuan penting dengan klien."
"Oke bos."
"Hm," Alvis lalu menutup telfonnya, kemudian menatap pergerakan Nadiar yang awalnya terlihat malas dan menggerutu, lalu mulai membuka-buka berkas sambil mengeluarkan ponsel dan mengutak atik layarnya. Saat itu juga, Alvis tahu jika Nadiar sedang berencana menelfon Devan.
Kali ini, Alvis setuju dengan Devan. Nadiar memang gesit dalam tugasnya.
___
Moshi=japan=hallo
Yeogi=korean=siniProblem what=bahasa nadiar=masalah apa?Alvis menutup pintu ruangannya, lalu menatap Nadiar yang sedang sibuk dengan komputer didepannya. Melihatnya, membuat Alvis mendengus pelan. "Saya ada pertemuan siang ini."Nadiar mendongak, lalu mengangguk. "Ya, bos. Di kafe dekat kantor ini.""Iya."Lalu hening. Keduanya saling menatap. Dan Alvis menunggu. Menunggu reaksi Nadiar selanjutnya. Namun, Nadiar tetap duduk dan menatap Alvis datar, lalu mengedip. Terus melakukan hal tersebut, dan Alvis terus menatap Nadiar."Bos?""Hm?""Bos ngapain masih di sini?" tanya Nadiar dengan alis yang bertautan."Kamu sendiri, ngapain masih duduk?""Saya kan kerja, bos.""Kamu gak akan menemani saya?""Hah?" Alis Nadiar bertaut dalam. Tangannya terangkat lalu menggaruk tengkuknya pelan. "Harus, ya, bos?"Alvis mendelik sebal. "Ya kamu pikir saja. Gunanya kamu ap
Alvis baru saja keluar dari gedung perusahannya saat melihat Nadiar yang berdiri di halaman perusahaan sambil memeluk dirinya sendiri. Alvis mengerutkan alis. Ia memperhatikan dengan seksama saat ada mobil sedan berwarna merah yang terparkir tepat di depan Nadiar. Pengemudi sedan itu lalu keluar, dan menatap Nadiar dengan wajah berbinar senang.Nadiar buru-buru lari ke arah lelaki itu, lalu mereka berpelukan di sana. Si lelaki kemudian mengecup puncak kepala Nadiar, lalu mengelus pelan rambut perempuan itu.Walaupun dari jauh, Alvis masih dapat mendengar laki-laki itu bersuara. "Gimana kerjanya, sayang? Lancar?"Nadiar mengangguk cepat. "Lancar, tapi capek.""Capek banget?" tanya lelaki itu lagi.Nadiar kembali mengangguk, lalu menenggelamkan wajahnya di dada lelaki itu. "Kangen kamu."Lelaki yang di peluk Nadiar itu tertawa, lalu kembali mengecup puncak kepala Nadiar. "Kalo git
"Psst! Cewek! Godain abang, dong~""Abang! Apaansih! Minggir, ah!""Godain abang, dong, cantik!""Abang!! Jangan ganggu!!""Psst, neng, godain abang, dong!!"Nadiar mengeraskan rahangnya. Tangannya kemudian mengambil bantal sofa, lalu melemparnya pada Alden yang sedang berdiri menghalangi tv. Dan sialnya, Alden berhasil menangkap bantal tersebut dan menatap Nadiar dengan seringai mengejek. Sekali lagi, Nadiar mengambil bantal dan melempar kembali ke kepala Alden. Kali ini, bantal tersebut malah melayang melewati kepala Alden. Dan sekali lagi, Alden memberi seringai mengejek dengan tatapan segitu-doang-kemampuan-lo?Nadiar menggeram kesal, lalu mengambil seluruh bantal di sofa untuk melempar pada Alden dengan membabi buta. Alden kabur, sedangkan Nadiar terus mengejar sambil melempar dan berteriak, "Harus kena, abang!! Ngalah dikit ama adek!!"Alden hanya
No edit.Ternyata, Alvis tidak mati.Sesaat setelah Nadiar menangis kencang, Alden datang dengan mobilnya dan menghampiri Nadiar yang masih sesegukan. Sadar ada orang lain di sana, Nadiar mengangkat kepalanya, dan tangisnya semakin kencang. "Abang!! Bos Diar meninggal, Bang!"Alden lalu berjongkok dan mengulurkan jarinya ke bawah hidung Alvis. "Dia masih hidup!" ucap Alden sambil berdecak dan menjitak kepala Nadiar kencang. "Lo kenapa lama banget, sih?! Gue di marahi nyokap, tau!"Nadiar sesegukan dan menyedot ingusnya kuat-kuat. "Abang mau marahin Diar? Sedangkan di sini ada orang yang lagi sekarat gara-gara Diar."Alden berdecak, lalu menarik tangan Alvis, kemudian menopang tubuh Alvis dengan punggungnya. Kepala Alden mengedik pada mobil yang ternyata sudah terparkir di sisi jalan. "Masuk!"Nadiar mengangguk, lalu buru-buru masuk ke dalam mobil.
"AYAH!!" Nadiar berteriak kencang mendengar pertanyaan Ayahnya yang sangat membuat Nadiar ingin menenggelamkan diri sekarang juga. Apa-apaan itu?! Kenapa Ayahnya bertanya seperti itu kepada bos Nadiar? Dan pertanyaannya tidak melihat situasi dan kondisi.Itu anak orang sedang babak belur, dan baru saja bangun dari pingsan. Bisa-bisanya bertanya hubungan Nadiar dan Alvis yang jelas sekali tidak penting di pagi ini.Pak Sultan menoleh sambil nyengir lebar pada Nadiar. "Bercanda, sayang," katanya, lalu kembali menatap pada Alvis. "Maafkan saya, dan terima kasih karena telah menolong anak saya kemarin."Alvis hanya tersenyum tipis. Amat tipis, lalu di susul anggukan kepalanya."Sombong amat," komentar Alden dengan suaranya yang pelan. Dan Nadiar yang berada di belakang Alden mendengar dengan jelas kalimat tersebut.Nadiar mendengus. "Iyalah! Makanya, gue blacklist dia."
Gaada inspirasi lain. Hampura pisan ie mahSudah lebih dari seminggu sejak kejadian di mana Alvis dipukuli oleh para brandalan dan berakhir di rumah keluarga Nadiar. Masih hangat di ingatan Alvis saat Bunda Nadiar menyuruh Alvis pergi ke toilet akibat air yang disemburkan oleh Pak Sultan ke wajah Alvis.Alvis tahu itu adalah reaksi yang tidak disengaja akibat kaget yang berlebihan. Jadi, Alvis tidak mempermasalahkannya. Namun, Pak Sultan terus saja meminta maaf pada Alvis dengan menyesal. Alvis mewajarkan sifat Pak Sultan, karena ternyata Pak Sultan merupakan Wakil Direktur di perusahaan besar yang merupakan sekutu perusahaan Alvis.Alvis hanya menenangkan dan terus berkata bahwa ia tak apa. Pak Sultan sudah memberi hormat pada Alvis, namun, Nadiar ternyata bermasalah juga.Alvis masih ingat saat ia keluar dari toilet dan menemukan Nadiar yang menunduk takut sambil berkata, "Jangan suruh s
Tolong kasih gue recommended cerita yang rame dan memorable dongs~Happy reading~Suara ketukan di pintu membuat Alvis mengalihkan pandangan dari laporan di dokumennya, lalu mendongak untuk menatap pintu ruangannya yang barusan diketuk dari luar. "Masuk." seru Alvin pada siapapun yang ada di balik pintu itu.Pintu terbuka sedikit demi sedikit dan berjalan lambat saat celahnya menampilkan kepala menunduk Nadiar yang terlihat gugup. "B-bos ..." cicitnya.Alvis hanya berdeham untuk membalasnya.Nadiar terlihat menggigit bibir bawahnya saat mencoba masuk lebih dalam dengan kepala yang masih menunduk dalam. "B-bos ...," panggilnya lagi.Alvis harus menahan diri untuk tidak mendengus sebal pada Nadiar. "Ada apa?""S-saya ...," ucap Nadiar gugup, dan Alvis tetap diam tanpa menjawab saat Nadiar bergerak tidak nyaman ditempatnya. "S-saya
Nadiar sedang duduk dengan pipinya yang di simpan di permukaan meja kerjanya, membuat Nadiar harus membungkuk agar kepalanya tersimpan di atas meja. Mulutnya terus berkomat-kamit, sedangkan tangannya mengelus perut rampingnya dengan miris. Nadiar lapar. Nadiar butuh makan. Waktu sudah menunjukan pukul 12 lebih 46 menit, dan sudah seharusnya cacing-cacing di perut Nadiar diberi makan. Namun, apalah daya. Nadiar mempunyai bos yang kepekaannya amat sangat rendah. Lebih rendah dari hanya sekedar kata rendah. Jika ada kata yang lebih rendah daripada kata rendah, itulah kata yang tepat untuk kepekaan Alvis pada keadaan Nadiar.Nadiar merasa ingin menangis sekarang juga. Kejam sekali ketidakpekaan Alvis.Membuat Nadiar lapar adalah kejahatan.Makanan adalah hal yang amat sangat tidak boleh alfa di hidup Nadiar. Jika harus memilih antara ditikung atau tidak di beri makan, Nadiar lebih memilih ditikung daripada tidak