Alvis menutup pintu ruangannya, lalu menatap Nadiar yang sedang sibuk dengan komputer didepannya. Melihatnya, membuat Alvis mendengus pelan. "Saya ada pertemuan siang ini."
Nadiar mendongak, lalu mengangguk. "Ya, bos. Di kafe dekat kantor ini."
"Iya."
Lalu hening. Keduanya saling menatap. Dan Alvis menunggu. Menunggu reaksi Nadiar selanjutnya. Namun, Nadiar tetap duduk dan menatap Alvis datar, lalu mengedip. Terus melakukan hal tersebut, dan Alvis terus menatap Nadiar.
"Bos?"
"Hm?"
"Bos ngapain masih di sini?" tanya Nadiar dengan alis yang bertautan.
"Kamu sendiri, ngapain masih duduk?"
"Saya kan kerja, bos."
"Kamu gak akan menemani saya?"
"Hah?" Alis Nadiar bertaut dalam. Tangannya terangkat lalu menggaruk tengkuknya pelan. "Harus, ya, bos?"
Alvis mendelik sebal. "Ya kamu pikir saja. Gunanya kamu apa?" tanyanya dingin.
Nadiar terlihat menelan ludahnya, lalu membereskan barangnya, kemudian berdiri dengan cepat. "Ayo, bos!"
Alvis meresponnya dengan berjalan terlebih dahulu, sedangkan Nadiar mengikutinya dari belakang.
***
Alvis berdiri dari duduknya, dan klien didepannya langsung berdiri dan membungkuk cepat pada Alvis.
"Terima kasih, Pak! Terima kasih!"
"Ya."
Disampingnya, Nadiar memutar bola mata dengan sebal karena kedinginan Alvis. Padahal, matahari menyorot terik siang ini. Tapi, Alvis masih saja tidak mengurangi kadar kedinginannya. Klien Alvis yang satu ini adalah seorang pemilik kafe yang meminta investasi dari perusahaannya Alvis. Pemilik kafe itu tentu saja berterima kasih karena Alvis sudah menandatangai kontrak yang dibuat.
Klien di depan Alvis tersenyum lebar, lalu mengangguk sopan. "Terima kasih atas kerjasamanya, Pak," ucap klien itu lagi dengan senyum lebar, dan di balas dehaman pelan dari Alvis. "Mari, saya antar keluar."
Alvis kembali berdeham, lalu mulai melangkahkan kakinya keluar dari meja. Matanya melirik pada Nadiar yang sedang meminum milk shakenya dengan cepat. "Ayo."
Nadiar menoleh sejenak, lalu meneruskan minumnya hingga tandas. Setelah itu, Nadiar berdiri dan merapikan penampilannya. Sebuah cengiran memenuhi pipinya saat berucap, "Maaf, bos. Kalo minumnya gak abis, ntar mubazir. Hehe."
Alvis hanya melirik Nadiar sekilas, lalu kembali melangkahkan kakinya keluar kafe. Di belakangnya, Nadiar menggerutu panjang lebar atas kejudesan Alvis.
Alvis itu, sebenarnya dingin, cerewet, atau judes, sih? Kenapa sifatnya cepat sekali berubah? Nadiar jadi sebal. Alvis sepertinya orang yang moodyan. Dan hal itu, merugikan kenyamanan Nadiar di kantor. Bisa-bisanya Nadiar punya bos seperti Alvis. Cih.
"Kalau begitu, saya permisi dulu." Alvis kembali bersuara.
Karena sibuk menggerutu dalam hati, Nadiar tidak sadar jika mereka sudah berada di depan mobil. Alvis sendiri sekarang bersifat sopan saat kliennya kembali membungkuk sopan.
"Sekali lagi, terima kasih, Pak!"
Alvis lagi-lagi hanya bergumam menjawabnya, membuat Nadiar gedek sendiri.
Si klien laki-laki itu membukakan pintu Alvis, dan kembali membungkuk. "Terima kasih, Pak. Sekali lagi."
"Sama-sama!"
Balasan itu bukan dari Alvis, melainkan dari Nadiar yang tersenyum lebar pada klien Alvis.
Alvis hanya diam, dan menatap datar pada Nadiar yang masih tetap pada cengirannya. Alvis mendengus melihatnya. Ia kemudian kembali menatap pada kliennya yang malah tersenyum pada Nadiar. "Ya," balas Alvis, membuat klien itu kembali menatap Alvis. "Kamu boleh pergi sekarang."
Sekali lagi, klien Alvis membungkuk sopan lalu pergi dari hadapan keduanya. Alvis kemudian menekan remot kunci mobil miliknya. "Ayo masuk."
Nadiar mengangguk semangat, lalu berjalan mengelilingi mobil Alvis dan membuka kursi samping pengemudi. Nadiar duduk di kursi bersamaan dengan Alvis yang juga baru akan duduk di kursi. Setelahnya, mereka lalu pergi dari kafe tersebut menggunakan mobil. Di dalam mobil, Nadiar melamun kembali, melanjutkan lamunannya tentang Alvis.
Penasaran, Nadiar lalu menatap Alvis yang sedang fokus menyetir. "Bos."
"Hm?"
"Bos kok gitu banget, sih, sama orang?"
Alvis melirik sekilas pada Nadiar, lalu kembali menatap ke depan. "Huh?"
"Iyaa, bos itu dingin banget kalo bukan tentang kerjaan."
"Intinya."
Nadiar mendengus. Jika berbicara dengan Alvis yang sifatnya berubah-ubah, Nadiar harus menggunakan otak. Masa Nadiar berucap se-kalimat, Alvis malah berucap se-kata saja? Nadiar jadi harus menerjemahkan dalam otaknya. "Yaa gitu," ucapnya kemudian. "Harusnya, orang bilang makasih itu jawab!"
"Udah."
"Udah dari mananya?!" pekik Nadiar sebal. "Masa cuma hem-hem doang? Kosakata bos dikit banget, ih! Padahal, bos kan CEO. Kalo di ajak debat gimana? Masa pas mereka ngajak debat, bos cuma hem-hem trus ngasih se-kata doang. Gitu? Sumpah! Itu debat ter-gak-lucu yang pernah saya bayangin!"
"Salah?"
"Ya salah, lah!" seru Nadiar kencang. Terlalu terbawa emosi sampai Nadiar meloncat di kursinya. "Bos ini dikit-dikit cerewet. Kebanyakannya dingin. Sekalinya cerewet, malah bikin murka umat."
"Hm."
Mulut Nadiar menganga lebar mendapat respon dari Alvis. Gila, benar saja jika debat, Alvis hanya menjawab, "Hem," saja. Dan hal itu, membuat Nadiar mendengus kencang. "Bos ih! Kalo saya ntar bilang sorry, gimana?"
"Hm."
"Kalo saya bilang thank's, responnya gimana?"
"Hm."
"Kalo please atau help me?"
"Hm."
"Kalo I love you?"
Seketika, mobil Alvis terhenti. Memang, sih, karena kaget. Tapi, karena lagi lampu merah juga. Makanya Alvis mengerem langsung. Alvis lalu menoleh ke sampingnya di mana di sana ada Nadiar yang nyengir lebar pada Alvis. Respon Alvis hanya mengangkat sebelah alis, lalu mendengus sinis. "Gak butuh."
Nadiar menggerutu karenanya. Ia lalu bersidekap, dan menatap ke depan di mana di trotoar sana ada banyak orang yang lewat. Saat mata Nadiar menemukan dua sejoli yang sedang berangkulan, Nadiar menjerit. "Gila!"
Alvis menoleh pada Nadiar dengan malas, masih mengira jika Nadiar hanya tebak-tebak respon. Namun, Nadiar hanya menatap ke depan dengan wajahnya yang shock. Alis Alvis bertautan melihatnya. "Kenapa?"
"Itu! Itu! Itu!" Nadiar berseru sambil menunjuk ke depan dengan panik. "Mereka, gay!"
Alvis menatap horror pada Nadiar yang sekarang malah tertawa kencang sambil memukul dashboard mobil. "Gay?"
"Iya!" jawab Nadiar semangat sambil menangguk cepat. "Tadinya, mereka keliatan kaya cuma temenan gitu. Tapi, pas saya liat-liat, ternyata cowok yang satunya malah meluk pinggang si cowok, trus turun, trus malah remas-remas pantat gitu!" Nadiar kembali tertawa sesaat setelah mengucapkan kalimatnya.
Alvis menatap horror ke jalanan, lalu bergidik ngeri. "Gila. Untung saya gak liat. Dengernya aja jijik."
Tawa Nadiar terhenti. Ia menatap pada Alvis dengan tatapan tajamnya.
Alvis yang merasa di tatap tajam seperti itu malah menatap heran pada Nadiar. "Apa?"
"Ooohh, bos gitu, ya? Bakal nge-respon panjang kalo ada yang homoan."
Alvis melotot horror, lalu kembali bergidik ngeri. Nadiar tertawa kencang, sedangkan Alvis menjalankan mobilnya masih dengan bergidik.
Alvis baru saja keluar dari gedung perusahannya saat melihat Nadiar yang berdiri di halaman perusahaan sambil memeluk dirinya sendiri. Alvis mengerutkan alis. Ia memperhatikan dengan seksama saat ada mobil sedan berwarna merah yang terparkir tepat di depan Nadiar. Pengemudi sedan itu lalu keluar, dan menatap Nadiar dengan wajah berbinar senang.Nadiar buru-buru lari ke arah lelaki itu, lalu mereka berpelukan di sana. Si lelaki kemudian mengecup puncak kepala Nadiar, lalu mengelus pelan rambut perempuan itu.Walaupun dari jauh, Alvis masih dapat mendengar laki-laki itu bersuara. "Gimana kerjanya, sayang? Lancar?"Nadiar mengangguk cepat. "Lancar, tapi capek.""Capek banget?" tanya lelaki itu lagi.Nadiar kembali mengangguk, lalu menenggelamkan wajahnya di dada lelaki itu. "Kangen kamu."Lelaki yang di peluk Nadiar itu tertawa, lalu kembali mengecup puncak kepala Nadiar. "Kalo git
"Psst! Cewek! Godain abang, dong~""Abang! Apaansih! Minggir, ah!""Godain abang, dong, cantik!""Abang!! Jangan ganggu!!""Psst, neng, godain abang, dong!!"Nadiar mengeraskan rahangnya. Tangannya kemudian mengambil bantal sofa, lalu melemparnya pada Alden yang sedang berdiri menghalangi tv. Dan sialnya, Alden berhasil menangkap bantal tersebut dan menatap Nadiar dengan seringai mengejek. Sekali lagi, Nadiar mengambil bantal dan melempar kembali ke kepala Alden. Kali ini, bantal tersebut malah melayang melewati kepala Alden. Dan sekali lagi, Alden memberi seringai mengejek dengan tatapan segitu-doang-kemampuan-lo?Nadiar menggeram kesal, lalu mengambil seluruh bantal di sofa untuk melempar pada Alden dengan membabi buta. Alden kabur, sedangkan Nadiar terus mengejar sambil melempar dan berteriak, "Harus kena, abang!! Ngalah dikit ama adek!!"Alden hanya
No edit.Ternyata, Alvis tidak mati.Sesaat setelah Nadiar menangis kencang, Alden datang dengan mobilnya dan menghampiri Nadiar yang masih sesegukan. Sadar ada orang lain di sana, Nadiar mengangkat kepalanya, dan tangisnya semakin kencang. "Abang!! Bos Diar meninggal, Bang!"Alden lalu berjongkok dan mengulurkan jarinya ke bawah hidung Alvis. "Dia masih hidup!" ucap Alden sambil berdecak dan menjitak kepala Nadiar kencang. "Lo kenapa lama banget, sih?! Gue di marahi nyokap, tau!"Nadiar sesegukan dan menyedot ingusnya kuat-kuat. "Abang mau marahin Diar? Sedangkan di sini ada orang yang lagi sekarat gara-gara Diar."Alden berdecak, lalu menarik tangan Alvis, kemudian menopang tubuh Alvis dengan punggungnya. Kepala Alden mengedik pada mobil yang ternyata sudah terparkir di sisi jalan. "Masuk!"Nadiar mengangguk, lalu buru-buru masuk ke dalam mobil.
"AYAH!!" Nadiar berteriak kencang mendengar pertanyaan Ayahnya yang sangat membuat Nadiar ingin menenggelamkan diri sekarang juga. Apa-apaan itu?! Kenapa Ayahnya bertanya seperti itu kepada bos Nadiar? Dan pertanyaannya tidak melihat situasi dan kondisi.Itu anak orang sedang babak belur, dan baru saja bangun dari pingsan. Bisa-bisanya bertanya hubungan Nadiar dan Alvis yang jelas sekali tidak penting di pagi ini.Pak Sultan menoleh sambil nyengir lebar pada Nadiar. "Bercanda, sayang," katanya, lalu kembali menatap pada Alvis. "Maafkan saya, dan terima kasih karena telah menolong anak saya kemarin."Alvis hanya tersenyum tipis. Amat tipis, lalu di susul anggukan kepalanya."Sombong amat," komentar Alden dengan suaranya yang pelan. Dan Nadiar yang berada di belakang Alden mendengar dengan jelas kalimat tersebut.Nadiar mendengus. "Iyalah! Makanya, gue blacklist dia."
Gaada inspirasi lain. Hampura pisan ie mahSudah lebih dari seminggu sejak kejadian di mana Alvis dipukuli oleh para brandalan dan berakhir di rumah keluarga Nadiar. Masih hangat di ingatan Alvis saat Bunda Nadiar menyuruh Alvis pergi ke toilet akibat air yang disemburkan oleh Pak Sultan ke wajah Alvis.Alvis tahu itu adalah reaksi yang tidak disengaja akibat kaget yang berlebihan. Jadi, Alvis tidak mempermasalahkannya. Namun, Pak Sultan terus saja meminta maaf pada Alvis dengan menyesal. Alvis mewajarkan sifat Pak Sultan, karena ternyata Pak Sultan merupakan Wakil Direktur di perusahaan besar yang merupakan sekutu perusahaan Alvis.Alvis hanya menenangkan dan terus berkata bahwa ia tak apa. Pak Sultan sudah memberi hormat pada Alvis, namun, Nadiar ternyata bermasalah juga.Alvis masih ingat saat ia keluar dari toilet dan menemukan Nadiar yang menunduk takut sambil berkata, "Jangan suruh s
Tolong kasih gue recommended cerita yang rame dan memorable dongs~Happy reading~Suara ketukan di pintu membuat Alvis mengalihkan pandangan dari laporan di dokumennya, lalu mendongak untuk menatap pintu ruangannya yang barusan diketuk dari luar. "Masuk." seru Alvin pada siapapun yang ada di balik pintu itu.Pintu terbuka sedikit demi sedikit dan berjalan lambat saat celahnya menampilkan kepala menunduk Nadiar yang terlihat gugup. "B-bos ..." cicitnya.Alvis hanya berdeham untuk membalasnya.Nadiar terlihat menggigit bibir bawahnya saat mencoba masuk lebih dalam dengan kepala yang masih menunduk dalam. "B-bos ...," panggilnya lagi.Alvis harus menahan diri untuk tidak mendengus sebal pada Nadiar. "Ada apa?""S-saya ...," ucap Nadiar gugup, dan Alvis tetap diam tanpa menjawab saat Nadiar bergerak tidak nyaman ditempatnya. "S-saya
Nadiar sedang duduk dengan pipinya yang di simpan di permukaan meja kerjanya, membuat Nadiar harus membungkuk agar kepalanya tersimpan di atas meja. Mulutnya terus berkomat-kamit, sedangkan tangannya mengelus perut rampingnya dengan miris. Nadiar lapar. Nadiar butuh makan. Waktu sudah menunjukan pukul 12 lebih 46 menit, dan sudah seharusnya cacing-cacing di perut Nadiar diberi makan. Namun, apalah daya. Nadiar mempunyai bos yang kepekaannya amat sangat rendah. Lebih rendah dari hanya sekedar kata rendah. Jika ada kata yang lebih rendah daripada kata rendah, itulah kata yang tepat untuk kepekaan Alvis pada keadaan Nadiar.Nadiar merasa ingin menangis sekarang juga. Kejam sekali ketidakpekaan Alvis.Membuat Nadiar lapar adalah kejahatan.Makanan adalah hal yang amat sangat tidak boleh alfa di hidup Nadiar. Jika harus memilih antara ditikung atau tidak di beri makan, Nadiar lebih memilih ditikung daripada tidak
Alvis sedang memakan potongan terakhir pizza yang dipesannya. Disampingnya, Nadiar sedang mencoba berbagai gorengan yang baru saja dibeli oleh satpam kantor Alvis. Jujur saja, Alvis baru sekali melihat perempuan yang amat sangat demen makan. Seharusnya, Alvis sudah dapat menebak dari camilan di belanjaan Nadiar yang sangat banyak pada malam itu. Tapi memang benar apa yang di katakan Nadiar jika Alvis tidak pekaan orangnya."Bos, ini kamsathank's gazaimuch banget loh yah," Nadiar berucap sambil tersenyum pada Alvis. Kepalanya terangguk sopan. "Sering-sering ya bos. Hehe."Alvis mengerutkan alisnya mendengar kalimat awal Nadiar. "Tadi kamu ngomong apaan?""Sering-sering, hehehe," Nadiar menjawab asal sambil nyengir lagi. Bibirnya agak berminyak, dan lipstik merahnya sudah tidak terlihat di bibir Nadiar.Alvis menggeleng pelan. "Bukan yang itu. Sebelumnya.""Kamsathank's goza