Alvis baru saja keluar dari gedung perusahannya saat melihat Nadiar yang berdiri di halaman perusahaan sambil memeluk dirinya sendiri. Alvis mengerutkan alis. Ia memperhatikan dengan seksama saat ada mobil sedan berwarna merah yang terparkir tepat di depan Nadiar. Pengemudi sedan itu lalu keluar, dan menatap Nadiar dengan wajah berbinar senang.
Nadiar buru-buru lari ke arah lelaki itu, lalu mereka berpelukan di sana. Si lelaki kemudian mengecup puncak kepala Nadiar, lalu mengelus pelan rambut perempuan itu.
Walaupun dari jauh, Alvis masih dapat mendengar laki-laki itu bersuara. "Gimana kerjanya, sayang? Lancar?"
Nadiar mengangguk cepat. "Lancar, tapi capek."
"Capek banget?" tanya lelaki itu lagi.
Nadiar kembali mengangguk, lalu menenggelamkan wajahnya di dada lelaki itu. "Kangen kamu."
Lelaki yang di peluk Nadiar itu tertawa, lalu kembali mengecup puncak kepala Nadiar. "Kalo gitu, ayo jalan-jalan!"
Nadiar mengangguk semangat, lalu memasuki mobil dengan lelaki itu yang membuka pintu sebelah pengemudi, kemudian mempersilahkan Nadiar masuk dengan tangan lelaki itu yang berada di atas kepala Nadiar, seolah bisa saja detik itu juga Nadiar kejedot bingkai pintu mobil.
Alvis geleng-geleng kepala sambil tetap menatap mobil yang mulai melaju itu. "Manis sekali." sarkasnya.
"Sore, Pak!"
Alvis berdeham menjawab sapaan itu, kemudian kembali melangkah menuju ke arah parkiran.
***
Restaurant itu sangat ramai dengan banyaknya orang yang berlalu lalang dan sibuk untuk memesan. Nadiar duduk dikursinya dengan tenang sambil memperhatikan sekitar. Pandangannya kemudian mendapati sang pacar yang tersenyum ke arahnya dengan tangan yang menumpu sebuah nampan berisi menu makanan mereka di atasnya.
Nadiar tersenyum senang saat pacarnya menghampiri Nadiar sambil tersenyum lebar. Pacar Nadiar itu laki-laki, omong-omong. Umur 20 tahun, dan beda 1 tahun dari Nadiar. Masih kuliah, tapi masa depannya cerah. Pacar Nadiar yang satu itu punya uang dan otak yang cerdas. Dan jangan lupakan juga dengan ketampanannya. Dia bernama Adrian dan salah satu most wanted di kampus. Banyak kaum hawa yang tergila-gila kepada Adrian, tapi Adrian malah memilih Nadiar. HAHAHA!
"Silahkan di makan, Tuan Putri." Adrian duduk di kursi depan Nadiar, lalu menyimpan piring berisi makanan di depan Nadiar.
Nadiar tersenyum lebar. "Makasih, sayang."
Adrian hanya tersenyum menanggapi ucapan Nadiar. Melihatnya, Nadiar jadi teringat seseorang. Si bos gantengnya itu. Iya, si Al! Sebal sekali Nadiar mengingatnya.
"Kamu kenapa?" tanya Adrian yang ternyata melihat perubahan raut wajah Nadiar.
"Ngga apa-apa." Nadiar menjawab jutek sambil cemberut.
Adrian masih menampakan senyumnya. "Oh yaudah."
"Iihhh, sayang! Aku ini kenapa-kenapa, tau!"
"Tadi bilang gapapa."
"Kamu harusnya nanya dua kali biar aku cerita!"
"Yaudah," jawab Adrian sambil tersenyum kalem. "Kamu kenapa?"
Nadiar mendengus. "Aku boleh ngomongin cowok lain, gak?"
"Gak boleh."
"Iihhh! Kok gak boleh, sih? Bolehin, dong!"
Adrian mengangguk dengan senyum kalemnya yang tidak luntur-luntur. "Yaudah boleh."
Nadiar nyengir lebar, lalu menghela napas kuat-kuat, setelah itu membuang napasnya perlahan. "Jadi gini, aku tuh punya bos. Dia cowok. Aku kira dia tuh gendut! Soalnya, Bang Alden bilang begitu. Tapi, ternyata eh ternyata, bos aku tuh masih muda dan dia itu moodyan orangnya! Dikit dikit dingin, dikit dikit cerewet, trus dikit dikit lagi judes. Jadi, aku tuh sebel, kan, ya! Jadi males banget kerja bareng tuh bos ganteng."
Adrian mengangguk mengerti. Masih tersenyum kalem. "Ganteng banget, ya, bosnya?" tanyanya out of topic.
Nadiar mulai memakan makanannya sambil mengangguk cepat. "Banget!"
"Ganteng mana dia sama aku?"
Nadiar menghentikan suapannya. Ia menatap sang pacar yang masih tersenyum kalem sambil menatap Nadiar lurus-lurus. Nadiar menelan makanannya, lalu menghela napas panjang. "Gini, ya, sayang. Aku gamau bohong sama kamu. Jadi, kamu lupain aja pertanyaannya. Ya?"
Adrian menggeleng cepat. "Dia lebih ganteng, ya?"
Nadiar terdiam sejenak, kemudian mengangguk. "Iya."
Senyum kalem Adrian masih ada, dan kepala Adrian mengangguk mengerti. "Aku boleh cemburu, gak?"
"Gak boleh!"
"Yaudah, aku gak akan cemburu."
Nadiar tertawa mendengar jawaban dari Adrian. Tangan Nadiar bahkan sampai memegangi perutnya karena terlalu keras tertawa. "Kamu itu! Kapan, sih, mau rubah sikap kalem dan whatevanya?"
"Hm?" tanya Adrian dengan heran, namun senyum kalemnya masih saja tercetak.
Nadiar menghela napas panjang, lalu menggeleng tidak percaya. "Sayang, kalo kamu mau cemburu, kamu cemburu aja. Gak usah izin segala. Lagian, yang punya perasaan kan kamu. Masa aku yang ngatur, sih?"
Alis Adrian terangkat sebelah. Tangannya yang masih bersih dan tidak menyentuh makanan sedikitpun itu lalu terulur dan mengusap sudut bibir Nadiar yang belepotan karena remah makanan. "Emang boleh?"
"Gak boleh!"
"Yaudah, enggak."
Nadiar lalu tertawa lagi, kemudian memukul tangan Adrian pelan, membuat Adrian juga ikut tertawa kecil. "Kamu lucu!"
"Apa, sih, sayang?" Adrian bertanya sambil masih dengan tawa kecilnya. "Kamu seneng, ya, jalan sama aku?"
Nadiar mengangguk, masih dengan tawanya. "Duh, mood aku jadi balik lagi karna kamu."
"Beneran seneng?" tanya Adrian dengan senyum kalemnya.
"Enggak!"
"Yaudah kalo gak seneng."
Nadiar kembali tertawa kencang. Jarinya mengusap air matanya yang keluar karena banyak tertawa. "Udah,ah! Kalo ngobrol terus, kapan aku makannya?"
"Tadi kamu makan."
"Cuma sesuap. Kamu mau aku kurus?"
"Emang kamu gak mau?"
"Enggak, lah! Tar kalo aku kayak triplek gimana? Kamu mau aku nggak seksi?"
"Yaudah makan lagi kalo gitu."
Mereka lalu meneruskan makannya yang tertunda karena obrolan singkat keduanya. Adrian, salah satu pacar Nadiar yang sifatnya benar-benar kalem dan whateva alias whatever dalam segala hal. Jika orang berkata A, Adrian pasti akan berkata, "Yaudah A."
Dan hal itulah patut di perbaiki dari diri Adrian. Kenapa? Semisal nanti Adrian menikah dan istrinya meminta cerai, bagaimana? Apa Adrian akan berkata, "Yaudah kita cerai."
Amat sangat tidak punya pendirian dan prinsip.
__
"Psst! Cewek! Godain abang, dong~""Abang! Apaansih! Minggir, ah!""Godain abang, dong, cantik!""Abang!! Jangan ganggu!!""Psst, neng, godain abang, dong!!"Nadiar mengeraskan rahangnya. Tangannya kemudian mengambil bantal sofa, lalu melemparnya pada Alden yang sedang berdiri menghalangi tv. Dan sialnya, Alden berhasil menangkap bantal tersebut dan menatap Nadiar dengan seringai mengejek. Sekali lagi, Nadiar mengambil bantal dan melempar kembali ke kepala Alden. Kali ini, bantal tersebut malah melayang melewati kepala Alden. Dan sekali lagi, Alden memberi seringai mengejek dengan tatapan segitu-doang-kemampuan-lo?Nadiar menggeram kesal, lalu mengambil seluruh bantal di sofa untuk melempar pada Alden dengan membabi buta. Alden kabur, sedangkan Nadiar terus mengejar sambil melempar dan berteriak, "Harus kena, abang!! Ngalah dikit ama adek!!"Alden hanya
No edit.Ternyata, Alvis tidak mati.Sesaat setelah Nadiar menangis kencang, Alden datang dengan mobilnya dan menghampiri Nadiar yang masih sesegukan. Sadar ada orang lain di sana, Nadiar mengangkat kepalanya, dan tangisnya semakin kencang. "Abang!! Bos Diar meninggal, Bang!"Alden lalu berjongkok dan mengulurkan jarinya ke bawah hidung Alvis. "Dia masih hidup!" ucap Alden sambil berdecak dan menjitak kepala Nadiar kencang. "Lo kenapa lama banget, sih?! Gue di marahi nyokap, tau!"Nadiar sesegukan dan menyedot ingusnya kuat-kuat. "Abang mau marahin Diar? Sedangkan di sini ada orang yang lagi sekarat gara-gara Diar."Alden berdecak, lalu menarik tangan Alvis, kemudian menopang tubuh Alvis dengan punggungnya. Kepala Alden mengedik pada mobil yang ternyata sudah terparkir di sisi jalan. "Masuk!"Nadiar mengangguk, lalu buru-buru masuk ke dalam mobil.
"AYAH!!" Nadiar berteriak kencang mendengar pertanyaan Ayahnya yang sangat membuat Nadiar ingin menenggelamkan diri sekarang juga. Apa-apaan itu?! Kenapa Ayahnya bertanya seperti itu kepada bos Nadiar? Dan pertanyaannya tidak melihat situasi dan kondisi.Itu anak orang sedang babak belur, dan baru saja bangun dari pingsan. Bisa-bisanya bertanya hubungan Nadiar dan Alvis yang jelas sekali tidak penting di pagi ini.Pak Sultan menoleh sambil nyengir lebar pada Nadiar. "Bercanda, sayang," katanya, lalu kembali menatap pada Alvis. "Maafkan saya, dan terima kasih karena telah menolong anak saya kemarin."Alvis hanya tersenyum tipis. Amat tipis, lalu di susul anggukan kepalanya."Sombong amat," komentar Alden dengan suaranya yang pelan. Dan Nadiar yang berada di belakang Alden mendengar dengan jelas kalimat tersebut.Nadiar mendengus. "Iyalah! Makanya, gue blacklist dia."
Gaada inspirasi lain. Hampura pisan ie mahSudah lebih dari seminggu sejak kejadian di mana Alvis dipukuli oleh para brandalan dan berakhir di rumah keluarga Nadiar. Masih hangat di ingatan Alvis saat Bunda Nadiar menyuruh Alvis pergi ke toilet akibat air yang disemburkan oleh Pak Sultan ke wajah Alvis.Alvis tahu itu adalah reaksi yang tidak disengaja akibat kaget yang berlebihan. Jadi, Alvis tidak mempermasalahkannya. Namun, Pak Sultan terus saja meminta maaf pada Alvis dengan menyesal. Alvis mewajarkan sifat Pak Sultan, karena ternyata Pak Sultan merupakan Wakil Direktur di perusahaan besar yang merupakan sekutu perusahaan Alvis.Alvis hanya menenangkan dan terus berkata bahwa ia tak apa. Pak Sultan sudah memberi hormat pada Alvis, namun, Nadiar ternyata bermasalah juga.Alvis masih ingat saat ia keluar dari toilet dan menemukan Nadiar yang menunduk takut sambil berkata, "Jangan suruh s
Tolong kasih gue recommended cerita yang rame dan memorable dongs~Happy reading~Suara ketukan di pintu membuat Alvis mengalihkan pandangan dari laporan di dokumennya, lalu mendongak untuk menatap pintu ruangannya yang barusan diketuk dari luar. "Masuk." seru Alvin pada siapapun yang ada di balik pintu itu.Pintu terbuka sedikit demi sedikit dan berjalan lambat saat celahnya menampilkan kepala menunduk Nadiar yang terlihat gugup. "B-bos ..." cicitnya.Alvis hanya berdeham untuk membalasnya.Nadiar terlihat menggigit bibir bawahnya saat mencoba masuk lebih dalam dengan kepala yang masih menunduk dalam. "B-bos ...," panggilnya lagi.Alvis harus menahan diri untuk tidak mendengus sebal pada Nadiar. "Ada apa?""S-saya ...," ucap Nadiar gugup, dan Alvis tetap diam tanpa menjawab saat Nadiar bergerak tidak nyaman ditempatnya. "S-saya
Nadiar sedang duduk dengan pipinya yang di simpan di permukaan meja kerjanya, membuat Nadiar harus membungkuk agar kepalanya tersimpan di atas meja. Mulutnya terus berkomat-kamit, sedangkan tangannya mengelus perut rampingnya dengan miris. Nadiar lapar. Nadiar butuh makan. Waktu sudah menunjukan pukul 12 lebih 46 menit, dan sudah seharusnya cacing-cacing di perut Nadiar diberi makan. Namun, apalah daya. Nadiar mempunyai bos yang kepekaannya amat sangat rendah. Lebih rendah dari hanya sekedar kata rendah. Jika ada kata yang lebih rendah daripada kata rendah, itulah kata yang tepat untuk kepekaan Alvis pada keadaan Nadiar.Nadiar merasa ingin menangis sekarang juga. Kejam sekali ketidakpekaan Alvis.Membuat Nadiar lapar adalah kejahatan.Makanan adalah hal yang amat sangat tidak boleh alfa di hidup Nadiar. Jika harus memilih antara ditikung atau tidak di beri makan, Nadiar lebih memilih ditikung daripada tidak
Alvis sedang memakan potongan terakhir pizza yang dipesannya. Disampingnya, Nadiar sedang mencoba berbagai gorengan yang baru saja dibeli oleh satpam kantor Alvis. Jujur saja, Alvis baru sekali melihat perempuan yang amat sangat demen makan. Seharusnya, Alvis sudah dapat menebak dari camilan di belanjaan Nadiar yang sangat banyak pada malam itu. Tapi memang benar apa yang di katakan Nadiar jika Alvis tidak pekaan orangnya."Bos, ini kamsathank's gazaimuch banget loh yah," Nadiar berucap sambil tersenyum pada Alvis. Kepalanya terangguk sopan. "Sering-sering ya bos. Hehe."Alvis mengerutkan alisnya mendengar kalimat awal Nadiar. "Tadi kamu ngomong apaan?""Sering-sering, hehehe," Nadiar menjawab asal sambil nyengir lagi. Bibirnya agak berminyak, dan lipstik merahnya sudah tidak terlihat di bibir Nadiar.Alvis menggeleng pelan. "Bukan yang itu. Sebelumnya.""Kamsathank's goza
Besok, gue gak apdet dulu, yaahh. Gaada stok, soalnya. Ntah sampai kapan. Orang sibuk, biasa. Apalagi ane orang penting. HAHAHAHAAPPY READING~Nadiar menghela napas panjang sesaat setelah keluar dari ruangan Alvis. Telapak tangannya bergerak naik turun mengusap dada sebelah kirinya. Melihat penampilan Alvis yang jarang sekali itu, membuat Nadiar merasa jantungnya dag-dig-dug lebih cepat. Memang, sih, jantung selalu dag-dig-dug. Kalau tidak, ya Nadiar sudah wafat. Tapi ..., tadi itu, Nadiar hampir saja tidak bisa mengontrol dirinya. Iya, sih, Nadiar terlihat biasa saja. Ya itu karena Nadiar sudah profesional dikelilingi oleh laki-laki. Tapi, jika melihat 2 kancing teratas Alvis lepas dan membuat Nadiar dapat melihat sedikit celah kulit dada Alvis, sih ..., itu beda lagi.Ya lord, kenapa sih, gue punya Bos gak ada jelek-jeleknya sama sekali? Kasih satu kejelekan, lah ... Pesek, kek, gendut, kek. Lah ini?