"Psst! Cewek! Godain abang, dong~"
"Abang! Apaansih! Minggir, ah!"
"Godain abang, dong, cantik!"
"Abang!! Jangan ganggu!!"
"Psst, neng, godain abang, dong!!"
Nadiar mengeraskan rahangnya. Tangannya kemudian mengambil bantal sofa, lalu melemparnya pada Alden yang sedang berdiri menghalangi tv. Dan sialnya, Alden berhasil menangkap bantal tersebut dan menatap Nadiar dengan seringai mengejek. Sekali lagi, Nadiar mengambil bantal dan melempar kembali ke kepala Alden. Kali ini, bantal tersebut malah melayang melewati kepala Alden. Dan sekali lagi, Alden memberi seringai mengejek dengan tatapan segitu-doang-kemampuan-lo?
Nadiar menggeram kesal, lalu mengambil seluruh bantal di sofa untuk melempar pada Alden dengan membabi buta. Alden kabur, sedangkan Nadiar terus mengejar sambil melempar dan berteriak, "Harus kena, abang!! Ngalah dikit ama adek!!"
Alden hanya tertawa dan terus mengejek. Saat bantal terakhir di lempar, lagi-lagi meleset dan membuat wajah Nadiar memerah karena murka. Alden berbalik sambil berjalan mundur dengan memberikan raut wajah mengejek pada Nadiar.
Kesal, Nadiar pun berlari mengejar sang kakak, dan membuat Alden berbalik untuk berlari.
BUGH!
"Awh, shit! Fuck!" Alden mengumpat sambil mengusap keningnya yang perih karena menabrak tembok. "Njir, siapa yang nyimpen tembok di sini, sih?"
Nadiar berlari mendekat, lalu menjitak kepala Abangnya keras-keras, mengundang suara mengaduh dari kakaknya. "Abang gak boleh ngomong kasar!"
Alden mendengus dan menatap kesal pada Nadiar. "Elo tuh ya! Abang lo abis kena tembok, dan lo tambah-tambah lagi?! Lo mau matiin gue?!"
Nadiar mengangguk cepat. "Iya. Tapi, bang Alden jangan mati dulu, kan? Diar kan udah bilang kalo abang mati, tar gak ada yang Diar siksa."
Alden cemberut. "Sakit pala berbi, Dek!"
"Diar gak peduli."
"Jahat banget sih!"
"Kan Diar bilang Diar gak peduli."
Alden memberenggut kesal, lalu pergi dengan langkah kaki yang di hentak.
Nadiar tertawa kecil, lalu berlari pelan menyusul Alden. "Bang, Ayah sama Bunda ke mana?"
"Ke hatimu."
"Abang, ih!!"
"Gatau! Mereka tadi pake baju bagus. Mungkin, mereka lagi ngedate."
"Abang jangan lupa umur orangtua sendiri gitu, deh! Umur mereka gak pantes buat masih ngedate."
Alden menghela napas panjang, lalu menoleh dengan kesal pada Nadiar. "Gak tau, Diar!"
Nadiar mencebikan bibirnya dengan sebal. "Anter ke supermarket, bang."
"Gak mau!"
"Abang!!"
Alden membanting tubuhnya di sofa, kemudian menghela napas panjang sambil memijit pelan keningnya. "Aduh, Diar!! Gue pusing! Lo gak denger tadi kejedotnya se-kenceng apa? Kenceng banget, itu!! Abang sampe pusing jadinya!"
Nadiar menatap Alden dengan seksama. Melihat wajah kesakitan Alden, Nadiar menghela napas panjang. "Yaudah, Diar gak papa sendiri."
"Hm. Sono pergi."
Bibir Nadiar mengerucut sebal. Nadiar kira, Alden akan langsung berdiri dan bilang, "Jangan dong, dek! Bahaya sendirian malem-malem gini. Udah, abang gak papa, kok. Ayo abang anter."
Tapi, ekpetasi memang berbeda dengan realita. Dan dengan kesal, Nadiar pergi dengan langkah kakinya yang di hentak kencang.
***
Sebenarnya, kejadian saat Alden menggoda Nadiar adalah karena Nadiar yang mengamuk pada Alden dan menyalahkan Alden karena kesialannya di kantor. Alden tentu saja sebagai kakak yang baik dan selalu salah, ya mengalah pada Nadiar. Setelahnya, Nadiar mogok bicara pada Alden dan tidak menanggapi setiap candaan Alden.
Dan candaan Alden yang barusan ditanggapi oleh Nadiar itu semata-mata karena Nadiar kasihan. Alden sudah berusaha sedari tadi. Dan Nadiar tidak menanggapinya terus,bahkan sampai mengurung diri di kamar dan baru keluar saat jam sudah menunjukan pukul 9 malam.
Mengingat kata jam, Nadiar kemudian mengangkat jam tangan yang berada di pergelangan tangannya. Mulutnya terbuka setengah saat waktu sudah menunjukan pukul 11.34. Gila! Dan Alden tidak menjemputnya? Keterlaluan.
Langkah kaki Nadiar di hentak di trotar. Ya, dia pulang sendiri dengan tangan yang menenteng sebuah kantung plastik supermarket berukuran besar. Isinya juga tidak sedikit. Semua camilan Nadiar. Dari chiki hingga coklat kesukaannya.
Saat melewati jalanan besar yang sepi dan hanya ada beberapa kendaraan yang lewat, Nadiar mempercepat jalannya dengan harapan sampai rumah dengan selamat. Tidak pernah sekalipun Nadiar pergi malam sendiri. Selalu ada yang menemani Nadiar saat berpergian hingga malam. Dari Kakaknya, hingga supir Ayahnya. Dan karena Alden sakit, Nadiar jadi sendiri. Jomblo, padahal punya pacar 4.
Miris.
"Sendirian aja, cantik?"
Nadiar mendelik dan meneruskan langkahnya tanpa menoleh pada orang yang menggodanya tadi. Biasa, kumpulan lelaki yang sukanya nongkrong dan menggoda pacar orang sih, gitu. Tidak ada kerjaan.
"Sombong banget, sih, cantik!"
Nadiar memekik kencang. Ia menghempaskan pegangan dari laki-laki yang barusan menggodanya. Mata Nadiar melirik dengan nyalang saat dilihatnya, ada 3 orang lelaki yang malah berada di dekatnya.
Kaki Nadiar melemas. Ia mundur dengan kaki yang gemetar saat lelaki yang memegangnya itu menyeringai mesum. Napas Nadiar terengah karena kaget dan takut sekaligus. "Hey! Kalian jangan macem-macem, ya! Gue punya mantan gangster!"
Ketiga lelaki di hadapan Nadiar tertawa. Buru-buru, Nadiar berbalik dan berlari kencang menjauhi ketiga lelaki itu.
"Hey, cantik! Mau kemana?!"
Nadiar mengencangkan laju larinya saat mendengar suara langkah cepat dibelakangnya. Nadiar memekik kencang sambil berteriak minta tolong, berharap ada orang yang setidaknya mendengar dan mencoba membantu. Tapi nihil. Jalanan besar itu lenggang dan ketiga orang di belakangnya makin mendekat.
Nadiar berteriak saat tangannya terasa di tarik dengan kencang. Mata Nadiar tertutup, sedangkan tangannya yang bebas memukul dengan membabi buta pada siapapun yang memegang tangannya.
"Aw. Aw. Ini saya."
Tunggu sebentar.
Datar. Dingin. Ini orang, berkata Aw seolah itu memang hanya kata, bukan sebuah reaksi orang normal jika merasa kesakitan. Nadiar kenal dengan suara ini. Dan hal itu sukses membuat aktifitas memukulnya berhenti. Sebelah mata Nadiar terbuka, lalu melotot saat mengetahui bahwa tebakannya benar. "B-bos?"
Alvis mengangguk. "Ini saya."
Nadiar menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menahan diri untuk menangis bahagia sekarang juga. Sadar ada yang terlupa, mata Nadiar menelusuri sekitar gang sempit yang di gunakan Alvis untuk menolongnya. Mengetahui apa yang salah, Nadiar memekik kencang.
"Kenapa?" tanya Alvis datar.
"Belanjaan gue--eh, belanjaan saya mana, bos?" Nadiar bertanya dengan wajah paniknya.
Alvis mengangkat bahunya sekilas.
Nadiar menggigit bibir bawahnya kencang. "Bos, mau tolong saya, gak?"
"Apa?"
"Bos liat, kan, saya pake piyama tidur?"
Alvis mengangguk menjawabnya.
"Bos liat, kan, di piyama saya gak ada sakunya?"
Alvis kembali menganggukan kepalanya.
"Nah, bos tau hape saya di mana?"
"Intinya."
Nadiar menghela napas panjang. "Hape saya ada di kresek belanjaan saya. Dan ada kemungkinan belanjaan saya jatuh di trotoar waktu lari. Bos mau, gak, ambilin belanjaan saya? Karna saya takut buat balik lagi ke sana. Bos kan cowok. Bos mungkin bisa berantem sama mereka."
Alvis menggeleng cepat. "Saya gak jago."
Mata Nadiar sudah berkaca-kaca. Nadiar menatap Alvis dengan wajah memohonnya. "Bos ..."
Alvis terdiam sejenak. Hanya menatap wajah memelas Nadiar. Beberapa detik setelah itu, ia menghela napas panjang. "Saya coba."
Nadiar menggembangkan senyumnya, lalu mengedip genit pada Alvis. "Makasih, bos ganteng!"
Alvis menatap datar pada Nadiar, lalu menatap ke arah lain. "Hm," katanya,kemudian berlalu dari sana.
Nadiar cengengesan di tempat. Rasa takutnya menguap seketika. Kenapa? Karena Nadiar yakin, dari badan Alvis yang ceking tapi atletis itu, Alvis dapat membasmi para penjahat yang tadi mengejar Nadiar.
Nadiar dapat mendengar suara hantaman demi hantaman dari jaraknya yang terbilang jauh tapi dekat. Pokoknya, masih terdengar, lah, suara pukulan sana sini. Sesaat kemudian hening. Tidak ada lagi suara. Awalnya, Nadiar hanya diam. Lalu, saat tidak ada tanda-tanda suara lagi, ia keluar dari gang dan mencari-cari keberadaan bosnya.
Pencariannya lalu terhenti saat Nadiar melihat siluet punggung tegap Alvis yang hanya berdiri membelakanginya. Nadiar menatap sekeliling saat sadar tidak ada siapa-siapa di sekitar bosnya. Apa Alvis berhasil memukul pergi para penjahat itu?
Nadiar kemudian melangkah mendekati Alvis. "Bos ...?"
Tubuh Alvis bergerak pelan. Kakinya lalu berputar pelan, dan terlihat bergetar.
Nadiar memperhatikan dengan seksama. Dan saat tubuh Alvis menghadapnya dengan sempurna, mulut Nadiar terbuka lebar. "Bos!" serunya panik, lalu buru-buru menghampiri Alvis saat tubuh lelaki itu terlihat limbung ke depan.
Dagu Alvis terjatuh tepat di bahu Nadiar dan tubuh Alvis terasa memberat saat bersandar sepenuhnya pada Nadiar.
Nadiar memekik kencang saat tubuhnya yang kecil itu tidak kuat menahan berat badan Alvis yang besar hingga akhirnya ia terduduk di jalanan dengan Alvis yang langsung telentang di tanah. Nadiar menghampiri tubuh Alvis, lalu menyimpan kepala Alvis dipangkuannya. "Bos! Bos! Bangun, bos!" serunya panik sambil menepuk kencang pipi Alvis yang sudah penuh luka memerah dan ada yang berdarah juga.
Dapat disumpulkan. Dari luka Alvis yang lebih dari satu itu, Alvis kalah. Dari baju Alvis yang sudah acak-acakan dan agak sobek, Alvis makin menjelaskan kalau Alvis kalah dari penjahat itu.
Beberapa lama tak ada pergerakan sedikitpun dari Alvis, Nadiar menangis kencang saat itu juga.
Bosnya sudah mati.
Tamat
HAHAHAHAHA
Tapi boong.
Ini pengen tanya deh. Sebenernya, nih cerita cocoknya masuk genre Humor atau Romance?
No edit.Ternyata, Alvis tidak mati.Sesaat setelah Nadiar menangis kencang, Alden datang dengan mobilnya dan menghampiri Nadiar yang masih sesegukan. Sadar ada orang lain di sana, Nadiar mengangkat kepalanya, dan tangisnya semakin kencang. "Abang!! Bos Diar meninggal, Bang!"Alden lalu berjongkok dan mengulurkan jarinya ke bawah hidung Alvis. "Dia masih hidup!" ucap Alden sambil berdecak dan menjitak kepala Nadiar kencang. "Lo kenapa lama banget, sih?! Gue di marahi nyokap, tau!"Nadiar sesegukan dan menyedot ingusnya kuat-kuat. "Abang mau marahin Diar? Sedangkan di sini ada orang yang lagi sekarat gara-gara Diar."Alden berdecak, lalu menarik tangan Alvis, kemudian menopang tubuh Alvis dengan punggungnya. Kepala Alden mengedik pada mobil yang ternyata sudah terparkir di sisi jalan. "Masuk!"Nadiar mengangguk, lalu buru-buru masuk ke dalam mobil.
"AYAH!!" Nadiar berteriak kencang mendengar pertanyaan Ayahnya yang sangat membuat Nadiar ingin menenggelamkan diri sekarang juga. Apa-apaan itu?! Kenapa Ayahnya bertanya seperti itu kepada bos Nadiar? Dan pertanyaannya tidak melihat situasi dan kondisi.Itu anak orang sedang babak belur, dan baru saja bangun dari pingsan. Bisa-bisanya bertanya hubungan Nadiar dan Alvis yang jelas sekali tidak penting di pagi ini.Pak Sultan menoleh sambil nyengir lebar pada Nadiar. "Bercanda, sayang," katanya, lalu kembali menatap pada Alvis. "Maafkan saya, dan terima kasih karena telah menolong anak saya kemarin."Alvis hanya tersenyum tipis. Amat tipis, lalu di susul anggukan kepalanya."Sombong amat," komentar Alden dengan suaranya yang pelan. Dan Nadiar yang berada di belakang Alden mendengar dengan jelas kalimat tersebut.Nadiar mendengus. "Iyalah! Makanya, gue blacklist dia."
Gaada inspirasi lain. Hampura pisan ie mahSudah lebih dari seminggu sejak kejadian di mana Alvis dipukuli oleh para brandalan dan berakhir di rumah keluarga Nadiar. Masih hangat di ingatan Alvis saat Bunda Nadiar menyuruh Alvis pergi ke toilet akibat air yang disemburkan oleh Pak Sultan ke wajah Alvis.Alvis tahu itu adalah reaksi yang tidak disengaja akibat kaget yang berlebihan. Jadi, Alvis tidak mempermasalahkannya. Namun, Pak Sultan terus saja meminta maaf pada Alvis dengan menyesal. Alvis mewajarkan sifat Pak Sultan, karena ternyata Pak Sultan merupakan Wakil Direktur di perusahaan besar yang merupakan sekutu perusahaan Alvis.Alvis hanya menenangkan dan terus berkata bahwa ia tak apa. Pak Sultan sudah memberi hormat pada Alvis, namun, Nadiar ternyata bermasalah juga.Alvis masih ingat saat ia keluar dari toilet dan menemukan Nadiar yang menunduk takut sambil berkata, "Jangan suruh s
Tolong kasih gue recommended cerita yang rame dan memorable dongs~Happy reading~Suara ketukan di pintu membuat Alvis mengalihkan pandangan dari laporan di dokumennya, lalu mendongak untuk menatap pintu ruangannya yang barusan diketuk dari luar. "Masuk." seru Alvin pada siapapun yang ada di balik pintu itu.Pintu terbuka sedikit demi sedikit dan berjalan lambat saat celahnya menampilkan kepala menunduk Nadiar yang terlihat gugup. "B-bos ..." cicitnya.Alvis hanya berdeham untuk membalasnya.Nadiar terlihat menggigit bibir bawahnya saat mencoba masuk lebih dalam dengan kepala yang masih menunduk dalam. "B-bos ...," panggilnya lagi.Alvis harus menahan diri untuk tidak mendengus sebal pada Nadiar. "Ada apa?""S-saya ...," ucap Nadiar gugup, dan Alvis tetap diam tanpa menjawab saat Nadiar bergerak tidak nyaman ditempatnya. "S-saya
Nadiar sedang duduk dengan pipinya yang di simpan di permukaan meja kerjanya, membuat Nadiar harus membungkuk agar kepalanya tersimpan di atas meja. Mulutnya terus berkomat-kamit, sedangkan tangannya mengelus perut rampingnya dengan miris. Nadiar lapar. Nadiar butuh makan. Waktu sudah menunjukan pukul 12 lebih 46 menit, dan sudah seharusnya cacing-cacing di perut Nadiar diberi makan. Namun, apalah daya. Nadiar mempunyai bos yang kepekaannya amat sangat rendah. Lebih rendah dari hanya sekedar kata rendah. Jika ada kata yang lebih rendah daripada kata rendah, itulah kata yang tepat untuk kepekaan Alvis pada keadaan Nadiar.Nadiar merasa ingin menangis sekarang juga. Kejam sekali ketidakpekaan Alvis.Membuat Nadiar lapar adalah kejahatan.Makanan adalah hal yang amat sangat tidak boleh alfa di hidup Nadiar. Jika harus memilih antara ditikung atau tidak di beri makan, Nadiar lebih memilih ditikung daripada tidak
Alvis sedang memakan potongan terakhir pizza yang dipesannya. Disampingnya, Nadiar sedang mencoba berbagai gorengan yang baru saja dibeli oleh satpam kantor Alvis. Jujur saja, Alvis baru sekali melihat perempuan yang amat sangat demen makan. Seharusnya, Alvis sudah dapat menebak dari camilan di belanjaan Nadiar yang sangat banyak pada malam itu. Tapi memang benar apa yang di katakan Nadiar jika Alvis tidak pekaan orangnya."Bos, ini kamsathank's gazaimuch banget loh yah," Nadiar berucap sambil tersenyum pada Alvis. Kepalanya terangguk sopan. "Sering-sering ya bos. Hehe."Alvis mengerutkan alisnya mendengar kalimat awal Nadiar. "Tadi kamu ngomong apaan?""Sering-sering, hehehe," Nadiar menjawab asal sambil nyengir lagi. Bibirnya agak berminyak, dan lipstik merahnya sudah tidak terlihat di bibir Nadiar.Alvis menggeleng pelan. "Bukan yang itu. Sebelumnya.""Kamsathank's goza
Besok, gue gak apdet dulu, yaahh. Gaada stok, soalnya. Ntah sampai kapan. Orang sibuk, biasa. Apalagi ane orang penting. HAHAHAHAAPPY READING~Nadiar menghela napas panjang sesaat setelah keluar dari ruangan Alvis. Telapak tangannya bergerak naik turun mengusap dada sebelah kirinya. Melihat penampilan Alvis yang jarang sekali itu, membuat Nadiar merasa jantungnya dag-dig-dug lebih cepat. Memang, sih, jantung selalu dag-dig-dug. Kalau tidak, ya Nadiar sudah wafat. Tapi ..., tadi itu, Nadiar hampir saja tidak bisa mengontrol dirinya. Iya, sih, Nadiar terlihat biasa saja. Ya itu karena Nadiar sudah profesional dikelilingi oleh laki-laki. Tapi, jika melihat 2 kancing teratas Alvis lepas dan membuat Nadiar dapat melihat sedikit celah kulit dada Alvis, sih ..., itu beda lagi.Ya lord, kenapa sih, gue punya Bos gak ada jelek-jeleknya sama sekali? Kasih satu kejelekan, lah ... Pesek, kek, gendut, kek. Lah ini?
Alvis tidak bisa fokus. Sesaat setelah Nadiar pergi dan Alvis kembali berbincang dengan kliennya, ia tak bisa fokus sama sekali.Alvis benar-benar tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Sebenarnya, Alvis menyadari ketidaknyamanan Nadiar. Dan Alvis juga menyadari tatapan lapar yang laki-laki itu berikan pada Nadiar. Makanya, Alvis menyuruh Nadiar membeli makanan ke kasir. Namun, lelaki itu tak berhenti menatap Nadiar. Dengan senyum miringnya, dan dengan tatapan laparnya.Sesuatu dalam diri Alvis terasa bergejolak, saat itu. Alvis tidak suka. Alvis merasa benci dengan tatapan laki-laki itu. Dan tidak ada korban untuk pelampiasan kemarahan Alvis, sehingga, saat Nadiar berbuat ceroboh seperti tadi, Alvis melepaskan segalanya keresahannya kepada Nadiar. Namun, Alvis tidak menyangka bahwa hal sekecil itu dapat membuat Nadiar menangis.Alvis menghela napas panjang, namun kemudian mengerenyit heran saat rasa ngilu menghampiri jantungnya. Al