Share

eight; trouble is a friend

"Psst! Cewek! Godain abang, dong~"

"Abang! Apaansih! Minggir, ah!"

"Godain abang, dong, cantik!"

"Abang!! Jangan ganggu!!"

"Psst, neng, godain abang, dong!!"

Nadiar mengeraskan rahangnya. Tangannya kemudian mengambil bantal sofa, lalu melemparnya pada Alden yang sedang berdiri menghalangi tv. Dan sialnya, Alden berhasil menangkap bantal tersebut dan menatap Nadiar dengan seringai mengejek. Sekali lagi, Nadiar mengambil bantal dan melempar kembali ke kepala Alden. Kali ini, bantal tersebut malah melayang melewati kepala Alden. Dan sekali lagi, Alden memberi seringai mengejek dengan tatapan segitu-doang-kemampuan-lo?

Nadiar menggeram kesal, lalu mengambil seluruh bantal di sofa untuk melempar pada Alden dengan membabi buta. Alden kabur, sedangkan Nadiar terus mengejar sambil melempar dan berteriak, "Harus kena, abang!! Ngalah dikit ama adek!!"

Alden hanya tertawa dan terus mengejek. Saat bantal terakhir di lempar, lagi-lagi meleset dan membuat wajah Nadiar memerah karena murka. Alden berbalik sambil berjalan mundur dengan memberikan raut wajah mengejek pada Nadiar.

Kesal, Nadiar pun berlari mengejar sang kakak, dan membuat Alden berbalik untuk berlari.

BUGH!

"Awh, shit! Fuck!" Alden mengumpat sambil mengusap keningnya yang perih karena menabrak tembok. "Njir, siapa yang nyimpen tembok di sini, sih?"

Nadiar berlari mendekat, lalu menjitak kepala Abangnya keras-keras, mengundang suara mengaduh dari kakaknya. "Abang gak boleh ngomong kasar!"

Alden mendengus dan menatap kesal pada Nadiar. "Elo tuh ya! Abang lo abis kena tembok, dan lo tambah-tambah lagi?! Lo mau matiin gue?!"

Nadiar mengangguk cepat. "Iya. Tapi, bang Alden jangan mati dulu, kan? Diar kan udah bilang kalo abang mati, tar gak ada yang Diar siksa."

Alden cemberut. "Sakit pala berbi, Dek!"

"Diar gak peduli."

"Jahat banget sih!"

"Kan Diar bilang Diar gak peduli."

Alden memberenggut kesal, lalu pergi dengan langkah kaki yang di hentak.

Nadiar tertawa kecil, lalu berlari pelan menyusul Alden. "Bang, Ayah sama Bunda ke mana?"

"Ke hatimu."

"Abang, ih!!"

"Gatau! Mereka tadi pake baju bagus. Mungkin, mereka lagi ngedate."

"Abang jangan lupa umur orangtua sendiri gitu, deh! Umur mereka gak pantes buat masih ngedate."

Alden menghela napas panjang, lalu menoleh dengan kesal pada Nadiar. "Gak tau, Diar!"

Nadiar mencebikan bibirnya dengan sebal. "Anter ke supermarket, bang."

"Gak mau!"

"Abang!!"

Alden membanting tubuhnya di sofa, kemudian menghela napas panjang sambil memijit pelan keningnya. "Aduh, Diar!! Gue pusing! Lo gak denger tadi kejedotnya se-kenceng apa? Kenceng banget, itu!! Abang sampe pusing jadinya!"

Nadiar menatap Alden dengan seksama. Melihat wajah kesakitan Alden, Nadiar menghela napas panjang. "Yaudah, Diar gak papa sendiri."

"Hm. Sono pergi."

Bibir Nadiar mengerucut sebal. Nadiar kira, Alden akan langsung berdiri dan bilang, "Jangan dong, dek! Bahaya sendirian malem-malem gini. Udah, abang gak papa, kok. Ayo abang anter."

Tapi, ekpetasi memang berbeda dengan realita. Dan dengan kesal, Nadiar pergi dengan langkah kakinya yang di hentak kencang.

***

Sebenarnya, kejadian saat Alden menggoda Nadiar adalah karena Nadiar yang mengamuk pada Alden dan menyalahkan Alden karena kesialannya di kantor. Alden tentu saja sebagai kakak yang baik dan selalu salah, ya mengalah pada Nadiar. Setelahnya, Nadiar mogok bicara pada Alden dan tidak menanggapi setiap candaan Alden.

Dan candaan Alden yang barusan ditanggapi oleh Nadiar itu semata-mata karena Nadiar kasihan. Alden sudah berusaha sedari tadi. Dan Nadiar tidak menanggapinya terus,bahkan sampai mengurung diri di kamar dan baru keluar saat jam sudah menunjukan pukul 9 malam.

Mengingat kata jam, Nadiar kemudian mengangkat jam tangan yang berada di pergelangan tangannya. Mulutnya terbuka setengah saat waktu sudah menunjukan pukul 11.34. Gila! Dan Alden tidak menjemputnya? Keterlaluan.

Langkah kaki Nadiar di hentak di trotar. Ya, dia pulang sendiri dengan tangan yang menenteng sebuah kantung plastik supermarket berukuran besar. Isinya juga tidak sedikit. Semua camilan Nadiar. Dari chiki hingga coklat kesukaannya.

Saat melewati jalanan besar yang sepi dan hanya ada beberapa kendaraan yang lewat, Nadiar mempercepat jalannya dengan harapan sampai rumah dengan selamat. Tidak pernah sekalipun Nadiar pergi malam sendiri. Selalu ada yang menemani Nadiar saat berpergian hingga malam. Dari Kakaknya, hingga supir Ayahnya. Dan karena Alden sakit, Nadiar jadi sendiri. Jomblo, padahal punya pacar 4.

Miris.

"Sendirian aja, cantik?"

Nadiar mendelik dan meneruskan langkahnya tanpa menoleh pada orang yang menggodanya tadi. Biasa, kumpulan lelaki yang sukanya nongkrong dan menggoda pacar orang sih, gitu. Tidak ada kerjaan.

"Sombong banget, sih, cantik!"

Nadiar memekik kencang. Ia menghempaskan pegangan dari laki-laki yang barusan menggodanya. Mata Nadiar melirik dengan nyalang saat dilihatnya, ada 3 orang lelaki yang malah berada di dekatnya.

Kaki Nadiar melemas. Ia mundur dengan kaki yang gemetar saat lelaki yang memegangnya itu menyeringai mesum. Napas Nadiar terengah karena kaget dan takut sekaligus. "Hey! Kalian jangan macem-macem, ya! Gue punya mantan gangster!"

Ketiga lelaki di hadapan Nadiar tertawa. Buru-buru, Nadiar berbalik dan berlari kencang menjauhi ketiga lelaki itu.

"Hey, cantik! Mau kemana?!"

Nadiar mengencangkan laju larinya saat mendengar suara langkah cepat dibelakangnya. Nadiar memekik kencang sambil berteriak minta tolong, berharap ada orang yang setidaknya mendengar dan mencoba membantu. Tapi nihil. Jalanan besar itu lenggang dan ketiga orang di belakangnya makin mendekat.

Nadiar berteriak saat tangannya terasa di tarik dengan kencang. Mata Nadiar tertutup, sedangkan tangannya yang bebas memukul dengan membabi buta pada siapapun yang memegang tangannya.

"Aw. Aw. Ini saya."

Tunggu sebentar.

Datar. Dingin. Ini orang, berkata Aw seolah itu memang hanya kata, bukan sebuah reaksi orang normal jika merasa kesakitan. Nadiar kenal dengan suara ini. Dan hal itu sukses membuat aktifitas memukulnya berhenti. Sebelah mata Nadiar terbuka, lalu melotot saat mengetahui bahwa tebakannya benar. "B-bos?"

Alvis mengangguk. "Ini saya."

Nadiar menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menahan diri untuk menangis bahagia sekarang juga. Sadar ada yang terlupa, mata Nadiar menelusuri sekitar gang sempit yang di gunakan Alvis untuk menolongnya. Mengetahui apa yang salah, Nadiar memekik kencang.

"Kenapa?" tanya Alvis datar.

"Belanjaan gue--eh, belanjaan saya mana, bos?" Nadiar bertanya dengan wajah paniknya.

Alvis mengangkat bahunya sekilas.

Nadiar menggigit bibir bawahnya kencang. "Bos, mau tolong saya, gak?"

"Apa?"

"Bos liat, kan, saya pake piyama tidur?"

Alvis mengangguk menjawabnya.

"Bos liat, kan, di piyama saya gak ada sakunya?"

Alvis kembali menganggukan kepalanya.

"Nah, bos tau hape saya di mana?"

"Intinya."

Nadiar menghela napas panjang. "Hape saya ada di kresek belanjaan saya. Dan ada kemungkinan belanjaan saya jatuh di trotoar waktu lari. Bos mau, gak, ambilin belanjaan saya? Karna saya takut buat balik lagi ke sana. Bos kan cowok. Bos mungkin bisa berantem sama mereka."

Alvis menggeleng cepat. "Saya gak jago."

Mata Nadiar sudah berkaca-kaca. Nadiar menatap Alvis dengan wajah memohonnya. "Bos ..."

Alvis terdiam sejenak. Hanya menatap wajah memelas Nadiar. Beberapa detik setelah itu, ia menghela napas panjang. "Saya coba."

Nadiar menggembangkan senyumnya, lalu mengedip genit pada Alvis. "Makasih, bos ganteng!"

Alvis menatap datar pada Nadiar, lalu menatap ke arah lain. "Hm," katanya,kemudian berlalu dari sana.

Nadiar cengengesan di tempat. Rasa takutnya menguap seketika. Kenapa? Karena Nadiar yakin, dari badan Alvis yang ceking tapi atletis itu, Alvis dapat membasmi para penjahat yang tadi mengejar Nadiar.

Nadiar dapat mendengar suara hantaman demi hantaman dari jaraknya yang terbilang jauh tapi dekat. Pokoknya, masih terdengar, lah, suara pukulan sana sini. Sesaat kemudian hening. Tidak ada lagi suara. Awalnya, Nadiar hanya diam. Lalu, saat tidak ada tanda-tanda suara lagi, ia keluar dari gang dan mencari-cari keberadaan bosnya.

Pencariannya lalu terhenti saat Nadiar melihat siluet punggung tegap Alvis yang hanya berdiri membelakanginya. Nadiar menatap sekeliling saat sadar tidak ada siapa-siapa di sekitar bosnya. Apa Alvis berhasil memukul pergi para penjahat itu?

Nadiar kemudian melangkah mendekati Alvis. "Bos ...?"

Tubuh Alvis bergerak pelan. Kakinya lalu berputar pelan, dan terlihat bergetar.

Nadiar memperhatikan dengan seksama. Dan saat tubuh Alvis menghadapnya dengan sempurna, mulut Nadiar terbuka lebar. "Bos!" serunya panik, lalu buru-buru menghampiri Alvis saat tubuh lelaki itu terlihat limbung ke depan.

Dagu Alvis terjatuh tepat di bahu Nadiar dan tubuh Alvis terasa memberat saat bersandar sepenuhnya pada Nadiar.

Nadiar memekik kencang saat tubuhnya yang kecil itu tidak kuat menahan berat badan Alvis yang besar hingga akhirnya ia terduduk di jalanan dengan Alvis yang langsung telentang di tanah. Nadiar menghampiri tubuh Alvis, lalu menyimpan kepala Alvis dipangkuannya. "Bos! Bos! Bangun, bos!"  serunya panik sambil menepuk kencang pipi Alvis yang sudah penuh luka memerah dan ada yang berdarah juga.

Dapat disumpulkan. Dari luka Alvis yang lebih dari satu itu, Alvis kalah. Dari baju Alvis yang sudah acak-acakan dan agak sobek, Alvis makin menjelaskan kalau Alvis kalah dari penjahat itu.

Beberapa lama tak ada pergerakan sedikitpun dari Alvis, Nadiar menangis kencang saat itu juga.

Bosnya sudah mati.

Tamat

HAHAHAHAHA

Tapi boong.

Ini pengen tanya deh. Sebenernya, nih cerita cocoknya masuk genre Humor atau Romance?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status