Share

nine; heart attack

No edit.

Ternyata, Alvis tidak mati.

Sesaat setelah Nadiar menangis kencang, Alden datang dengan mobilnya dan menghampiri Nadiar yang masih sesegukan. Sadar ada orang lain di sana, Nadiar mengangkat kepalanya, dan tangisnya semakin kencang. "Abang!! Bos Diar meninggal, Bang!"

Alden lalu berjongkok dan mengulurkan jarinya ke bawah hidung Alvis. "Dia masih hidup!" ucap Alden sambil berdecak dan menjitak kepala Nadiar kencang. "Lo kenapa lama banget, sih?! Gue di marahi nyokap, tau!"

Nadiar sesegukan dan menyedot ingusnya kuat-kuat. "Abang mau marahin Diar? Sedangkan di sini ada orang yang lagi sekarat gara-gara Diar."

Alden berdecak, lalu menarik tangan Alvis, kemudian menopang tubuh Alvis dengan punggungnya. Kepala Alden mengedik pada mobil yang ternyata sudah terparkir di sisi jalan. "Masuk!"

Nadiar mengangguk, lalu buru-buru masuk ke dalam mobil.

"Eh, onta!" Alden berseru, membuat pergerakan Nadiar yang ingin menutup pintu terhenti. "Jangan dulu masuk! Bantuin gue masukin ini orang."

"Abang! Gak boleh ngomong jorok, ih!"

Alis Alden terangkat sebelah. "Apaan?"

"Itu!! Tadi bilang masukin gitu."

Alden melotot. "Ih! Itu mah lo yang mikirnya mesum! Maksud gue tuh, lo jangan masuk dulu dan bantu gue masukin orang ini ke dalem mobil."

"Oohh gitu. Ngomong yang jelas, dong!"

"Bisa jelaskan apa yang gak jelas dari perkataan saya?"

"Abang jangan debat mulu! Cepet masukin!"

"Eh, astagfirullah. Istighfar, nak! Istighfar!"

"Bukan masukin yang itu, abang!!"

"Iya, gue ngerti," ujar Alden sambil memasukan tubuh Alvis di kursi penumpang.

Buru-buru, Nadiar menarik sabuk pengaman untuk Alvis, lalu melangkah dan duduk di kursi samping pengemudi.

Alden menyusul dan langsung menjalankan mobilnya. "Lo tadi ke mana aja, sih? Nyokap omelin gue karna biarin lo pergi sendirian."

"Sori. Tadi ada orang yang godain. Kiarin cuma godain biasa. Eh, ternyata malah megang-megang. Dan yah gitu deh."

Alden berdecak sebal. "Ngomong yang bener!"

Nadiar menghela napas lelah, lalu mulai menceritakan kembali kejadian yang barusan di alaminya dengan detail. Tanpa melewatkannya sedikitpun. Dan untuk tambahan, Nadiar bahkan mengatakan belanjaan yang di belinya di supermarket.

Alden mengangguk mengerti, lalu mendengus. "Kayaknya, lo emang bener-bener gak boleh di biarin keluar malem sendiri."

Nadiar mengangguk sambil cemberut. "Iya. Pake piyama aja gue hampir di culik, apalagi pake gaun?" ujarnya, lalu menghela napas lelah. "Resiko orang cantik mah gini."

Alden mendelik sebal. "Terserah."

"Abang, tau gak, tempat gedung berlantai 100 di Indonesia?"

Alden melirik sekilas pada Nadiar, lalu kembali fokus ke jalanan. "Emang kenapa?"

Nadiar menghela napas panjang, lalu menjedotkan keningnya di dashboard beberapa kali. "Abang tau, kan, yang di belakang itu bosnya Nadiar?"

"Iya ...," jawab Alden, terdengar sedikit ragu. "Trus? Lo ngapain nanyain itu?"

Nadiar kembali menghela napas panjang. Kali ini, lebih lama dan sangat berlebihan. "Kali aja ntar bosnya Nadiar malah minta Nadiar bunuh diri di tempat. Nadiar mau di gedung berlantai 100 aja biar langsung mati dan gak kerasa sakitnya," ucapnya panjang lebar, lalu di susul dengan ringisan saat Alden menjambak kencang rambut Nadiar. "Sakit, abang!"

"Lagian, lo tuh ngomong ada-ada aja!" Alden berucap sambil mendelik sebal. "Siapa dia, sih? Cuma bos doang, kan? Lo gak usah takut!"

Nadiar cemberut, lalu mengangkat wajahnya dengan ekspresi sebal. "Abang, ih! Karna dia bos Diar, dia bisa aja nuntut Diar! Kalo Diar di pecat, gimana? Ini bahkan baru hari pertama Diar kerja!"

Alden mendengus sebal. "Lo tenang aja. Dia gak bakal berani apa-apain lo selama masih ada gue."

Mata Nadiar berbinar senang mendengar ucapan Alden. "Abang bakal lindungi Nadiar?"

"Enggak," jawab Alden sambil menggeleng. "Gue bakal sembunyiin lo aja. Gue kurung biar gak nyusahin gue lagi."

Nadiar cemberut lagi mendengarnya. "Abang, ih!"

Alden tertawa kecil. "Ya iyalah. Gue pasti bakal lindungi lo! Itu bukan rahasia umum lagi. Secara, lo kan adik yang paling gue sayangi."

"Itu sih karna lo gak punya adek lain selain gue," balas Nadiar dengan mendelik sebal.

Alden hanya tertawa.

***

Alvis membuka kedua kelopak matanya yang tertutup saat sadar tubuhnya terasa sakit di mana-mana. Alvis meringis, lalu memijat pelipisnya saat rasa pusing menyerang kepalanya. Wangi bunga lavender di ruangan itu membuat Alvis sadar jika ia kini berada di tempat asing. Mata Alvis menelusuri sekitaran, dan sadar kini ia berada di sebuah kamar minimalis yang sangat rapi dan feminim.

Alvis meringis. Kepalanya menoleh saat ia mendengar deritan pintu di sampingnya. Mata Alvis memincing saat pintu kamar itu di buka dengan pelan dan hati-hati oleh seorang. Mata Alvis menyorot datar saat melihat wajah Nadiar di sana, dan perempuan itu langsung memekik kala pandangan mereka bertemu. Alvis mendengus saat Nadiar malah berdiri dengan kepala tertunduk dalam. "Ngapain?"

Nadiar terlihat menggigit bibir bawahnya. "Maaf, Bos."

Saat itu juga, Alvis memutar otaknya, dan mengetahui apa maksud dari kata-kata Nadiar. Kejadian semalam, yang tidak di mengerti oleh diri Alvis sendiri. Sejujurnya, Alvis bukan tipe orang yang suka menolong. Apalagi, dengan orang yang baru ditemuinya 1 hari atau bahkan hanya beberapa jam. Semalam, Alvis dalam perjalanan pulang ke Apartemennya setelah menemui orangtua Alvis yang tinggal terpisah dengannya.

Alvis memilih jalan tercepat, dan jatuh pada jalan perumahan sepi dan tidak macet yang langsung terhubung dengan jalan ke Apartemennya. Alvis memang jarang melalui jalan itu. Bisa di hitung dengan jari, dan malam itu adalah yang ke-4 kalinya Alvis mengambil jalan itu.

Dalam perjalanan, Alvis mendengar orang berteriak. Awalnya, Alvis tidak peduli. Namun, saat sadar bahwa perempuan itu Nadiar, Alvis menghentikan mobilnya dan menarik Nadiar yang sudah menjauhi mobil Alvis itu ke sebuah gang. Tadinya, Alvis akan kembali ke mobil. Namun, Nadiar lagi-lagi menghalangi niatannya dan menyuruh Alvis menolong Nadiar yang ponselnya tertinggal bersama belanjaan.

Anehnya, Alvis setuju. Padahal, Alvis sama sekali tidak mengusai bela diri. Makanya orang yang mengejar Nadiar itu langsung memukul Alvis dimana-mana karena Alvis sama sekali tak dapat melawan.

Mengingatnya, membuat Alvis benar-benar gondok. Tak sadar, mulutnya menggeram dengan kesal. Dan entah untuk apa, Nadiar tiba-tiba berteriak, "ABANG!!" sambil berlari kencang. Alis Alvis bertaut dalam melihatnya.

Tak ingin lama-lama dengan wangi bunga lavender di ruangan itu, Alvis meloncat turun dari kasur dan keluar dari kamar itu dengan langkah yang terseok. Alvis sempat celingukan ingin kemana. Namun, saat melihat tangga yang tak jauh letaknya, Alvis melangkah turun ke lantai 1.

"Eh, kamu sudah bangun?"

Suara itu membuat Alvis menolehkan kepalanya ke samping, dan mendapati seorang Ibu yang berjalan menghampiri Alvis sambil tersenyum ramah. Alvis langsung membalas pertanyaan Ibu itu dengan mengangguk sopan.

Tatapan Alvis kemudian beralih pada Nadiar yang menarik-narik baju seorang lelaki, sedangkan Nadiar sendiri bersembunyi di punggung lelaki itu. Dari teriakan Nadiar tadi, Alvis menyimpulkan bahwa lelaki itu Abang Nadiar.

"Ayo, sini! Kamu duduk dulu," Ibu yang tadi menyapanya itu menarik tangan Alvis pelan, lalu mendorong bahu Alvis hingga Alvis terduduk di sofa. Sadar jika ada orang selain dirinya di sana, Alvis menolehkan kepalanya ke samping, dan mendapati seorang lelaki paruh baya yang menatapnya tajam.

Di saat Ibu yang menariknya itu pergi, Bapak yang di samping Alvis kini malah mencodongkan kepalanya mendekati wajah Alvis, dan terlihat menilai Alvis.

Alvis yang masih bingung hanya mengangguk sopan.

Bapak itu akhirnya menjauhkan wajah dari Alvis, lalu bersidekap. "Saya merasa kenal kamu."

Alvis hanya mengangguk sopan sekali lagi.

Bapak itu diam sejenak, sebelum memberikan seringai jahil pada Alvis. "Jadi, punya hubungan apa kamu sama anak saya?"

Alvis menahan napas, sedangkan Nadiar di sana sudah menjerit kesal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status