Share

forteen; imagination

Alvis sedang memakan potongan terakhir pizza yang dipesannya. Disampingnya, Nadiar sedang mencoba berbagai gorengan yang baru saja dibeli oleh satpam kantor Alvis. Jujur saja, Alvis baru sekali melihat perempuan yang amat sangat demen makan. Seharusnya, Alvis sudah dapat menebak dari camilan di belanjaan Nadiar yang sangat banyak pada malam itu. Tapi memang benar apa yang di katakan Nadiar jika Alvis tidak pekaan orangnya.

"Bos, ini kamsathank's gazaimuch banget loh yah," Nadiar berucap sambil tersenyum pada Alvis. Kepalanya terangguk sopan. "Sering-sering ya bos. Hehe."

Alvis mengerutkan alisnya mendengar kalimat awal Nadiar. "Tadi kamu ngomong apaan?"

"Sering-sering, hehehe," Nadiar menjawab asal sambil nyengir lagi. Bibirnya agak berminyak, dan lipstik merahnya sudah tidak terlihat di bibir Nadiar.

Alvis menggeleng pelan. "Bukan yang itu. Sebelumnya."

"Kamsathank's gozaimuch?"

Alvis mengangguk pelan. "Iya yang itu."

"Ooohhh, itu artinya makasih banyak."

"Bahasa negara mana itu?"

"Korea, Jepang, yang bersatu dengan Inggris."

"Hah?" Alvis lagi-lagi bertanya atas keajaiban bahasa dan sikap Nadiar. Mengapa perempuan ini amat sangat aneh yang dalam artian weird dan freak.

"Itu tuh campuran, Bos. Dari kamsahamnida sama thank's dicampur jadi kamsathank's. Trus dari gozaimasu sama much, jadi gozaimuch."

Alis Alvis berkerut dalam mendengarnya. "Aneh banget. Kamu tau dari mana bahasa begituan?"

"Ih! Itu, sih, bos aja yang gak gahol. Semua anak muda tau ucapan terimakasih kayak gitu."

Cantik-cantik gila, itulah Nadiar. Alvis sampai harus keseringan mengelus dada dan berucap Istighfar sering-sering jika menghadapi sikap Nadiar. Contohnya tadi saat perempuan itu memintanya bergeser tempat duduk. Amat sangat tidak melihat kedudukan dan posisi. Padahal, sudah terpampang amat jelas jika Alvis adalah Bosnya di sini. Namun, Nadiar tetap saja bersikap seenaknya dan kurang ajar pada Alvis.

Dan lagi. Bahasanya Nadiar itu, loh. Selalu di campur, dan selalu menggunakan selipan Korea di bahasanya. Benar-benar tidak efektif untuk diucapkan pada seseorang yang jabatannya lebih tinggi darinya.

"Saya ingin tanya," Alvis langsung menutup bibirnya rapat-rapat saat satu baris kalimat itu terucap dari bibirnya. Dalam hati, Alvis berdoa semoga Nadiar tidak membalas perkataannya.

"Nanya apaan?"

Alvis membuang napasnya pelan, mengetahui jika doanya tidak terkabul. Sudah tercebur, yasudah Alvis lanjutkan saja berenang. Sudah tertangkap basah juga oleh Nadiar. "Kenapa kamu selalu manggil saya Bos dibandingkan Pak?"

"Gak tau, deh. Lebih enak manggil Bos, karna keliatannya, Bos masih keliatan muda buat dipanggil Pak."

Alis Alvis mengerenyit mendengarnya. "Jadi, menurut kamu, wajah saya belum pantas untuk dipanggil Pak?" tanyanya, yang diangguki oleh Nadiar. "Dan saya harus tua dulu untuk dipanggil Pak, gitu?"

"Eung ..., gak juga, sih."

Alvis menautkan alisnya dengan heran. "Trus, kapan dong?"

Nadiar nyengir lebar. "Pas bapak jadi Ayah dari anak-anak saya, mungkin?" tanyanya ngawur, lalu tertawa terbahak-bahak sendiri.

Alvis menatap Nadiar datar, lalu berdeham. "Trus kenapa kamu belum beli hape?"

Wajah Nadiar seketika berubah menjadi kesal. Alisnya bertaut marah, sedangkan matanya memincing kesal. Tapi, tangan Nadiar tidak berhenti menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. "Ini tuh gara-gara Jepri!"

Alis Alvis bertaut heran sejenak. Namun, saat otaknya teringat panggilan tersebut, Alvis mengangguk mengerti. "Gara-gara kakak kamu?"

"Iya!" Nadiar menjawab dengan kesal, lalu berdecak. "Di ATM saya kan ada sekitar Sembilan ratus ribuan. Nah, saya pengen hape android yang keluaran terbaru itu loh. Waktu saya minta uang tambahan ke Ayah, Bang Alden malah ngomporin dan bilang, Yah, Diar kan udah kerja. Ngapain Ayah ngasih dia duit lagi? Mending, duitnya di pake buat beli keperluan Ayah sendiri aja daripada modalin hape Nadiar. Yaa, pokoknya, dia kompor banget deh, Bos! Saya ampe gak bisa bales kata-katanya lagi. Mulut Bang Alden tuh kayak ibu-ibu gosip banget! Dan akhirnya, saya harus ngalah dan belinya ntaran aja pas gajian."

Alvis mengulum bibirnya, menahan diri untuk tertawa karena ekspresi lucu milik Nadiar. Alis yang bertautan, mata yang memincing kesal, pipi yang mengembung, dan bibir yang mencebik kesal. Tapi tunggu.

Mata Alvis memincing karena wajah Nadiar yang familier. Alvis sepertinya pernah bertemu dengan Nadiar sebelum ini. Ya, saat wajah itu terlihat kesal dengan ekspresi yang sama. Namun, sebelum ini. Sebelum Nadiar tampak di kantornya. Kapan? Lebih tepatnya, kapan Alvis melihat Nadiar sebelum ini?

Otak Alvis berpikir keras. Namun, masih belum menemukan jawabannya. Yah, mungkin saja saat mereka berpapasan atau saat Alvis makan di kafe dan bertemu Nadiar. Yah, mungkin tidak penting juga pertemuan keduanya. Karena memang, apapun yang berhubungan dengan Nadiar sepertinya tidak penting.

"Mmm ..., Bos. Bentar lagi ada pertemuan. Bos gak akan siap-siap dulu?"

Yah ..., selain tentang pekerjaan, sepertinya Nadiar tidak penting. Alis Alvis bertautan mendengar pertanyaan Nadiar. "Saya harus siap-siap apa?"

"Erm ..., dokumen, mungkin? Dan ..." Nadiar tidak meneruskan ucapannya dan menatap ke arah dada Alvis dengan kedua alis yang terangkat.

Mendapat tatapan tersebut, Alvis lalu menunduk dan mendapati dasinya yang longgar dan 2 kancing teratas yang terbuka. Alvis tersentak dan langsung merapikan penampilannya. Sialan! Seharusnya, Alvis lebih memperhatikan penampilannya. Kalau begini, kan, Alvis jadi tidak berkharisma. "Kamu boleh keluar dari ruangan saya sekarang."

"O-oke ..."

Alvis sedang merapikan dasinya saat suara pintu ruangannya di tutup. Tidak lagi melihat Nadiar di ruangannya, Alvis mengumpat dan bersumpah serapah, setelah itu mengacak rambutnya dengan ganas. Tangan Alvis kemudian merapikan rambutnya saat sadar jika hal barusan malah memperparah kharismanya sebagai Bos.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status