Soal jodoh biarkan menjadi urusan Tuhan, manusia hanya bisa berencana, merangkai ekspetasi dan berakhir dengan sebuah realita.
Davin mendengus pelan, melihat antrian mobil di depannya. Saat ini dirinya terjebak macet, setelah menghadiri peresmian club barunya, Davin segera menuju ke mall karena mamanya meminta dijemput di sana.
Setelah setengah jam berlalu, akhirnya Davin tiba di sebuah mall di kawasan Senayan. Dia langsung menghubungi mamanya. "Halo, Ma. Davin sudah sampai di lobi."
Kening Davin mengkerut, mendengarkan mamanya yang terus berbicara, memintanya agar menjemputnya di dalam. "Harus banget ya Ma?" Davin menghela napas, dia tak bisa menolak keinginan mamanya. "Oke, Davin parkir mobil dulu." Davin menutup sambungan telepon, kemudian memarkirkan mobil Ferrari-nya di parkir valet depan lobi mall.
Davin yang memiliki visual tampan, serta pakaian necis dan rambut yang tertata rapi, jelas jadi pusat perhatian ketika memasuki mall. Banyak wanita yang secara terang-terangan mencuri pandang ke arahnya. Tapi Davin sendiri tak menghiraukan tatapan penuh damba dari para wanita itu, dia sibuk mencari keberadaan mamanya.
Kesulitan mencari mamanya di tengah keramaian karena sekarang hari sabtu jadi mall sangat ramai pengunjung. Davin kemudian berinisiatif untuk kembali menghubungi mamanya. "Halo, Mama di mana? Davin sudah ada di depan Partico
TerraceBistro." Davin membaca papan nama sebuah restoran. "Mama di dalam?" Davin menatap ke dalam restoran. "Kenapa nggak langsung keluar aja si, Ma?"Davin menghela napas, mau tidak mau pria itu masuk mengikuti arahan mamanya di telepon. "Mama di mana, Davin sudah di dalam." Mata Davin celingukan ke sana sini mencari keberadaan mamanya. Hingga perhatiannya tertuju ke arah meja yang disebutkan mamanya, Davin mendekat, tapi betapa terkejutnya dia ketika mendapati seorang wanita asing yang duduk di sana. "Maaf," ucap Davin, menahan malu luar biasa.
Davin berbalik, matanya bergerak liar. "Mama sebenarnya di mana si?" Pria itu mulai kesal dengan mamanya. "Apa?" Ekspresinya berubah masam. "Ma, yang bener aja. Mama nyuruh Davin ke sini buat ...." Davin mengatupkan bibirnya ketika menyadari wanita tadi tengah menatapnya. "Kita bicarakan ini di rumah." Dia menutup teleponnya secara sepihak, tanpa mau mendengarkan penjelasan mamanya.
"Davin?" Wanita itu membuka suara ketika melihat Davin sudah selesai menelepon, senyuman manis dipamerkannya, berharap mampu memikat Davin.
Davin mendengus pelan, menyembunyikan wajah kesalnya. "Ya."
"Aku Nabila, kebetulan mama kamu yang minta aku ketemu kamu di sini." Wanita itu beranjak berdiri untuk memperkenalkan diri, mengulurkan tangannya pada Davin.
"Davin." Davin menjabat uluran tangan Nabila.
"Kamu pasti tahu kan tujuan kita dipertemukan di sini?" ucap Nabila, kembali duduk.
Davin mengangguk, menarik kursi di hadapan Nabila. Jelas Davin tahu maksud pertemuan yang sudah direncanakan oleh mamanya tanpa meminta persetujuan dirinya. Apalagi kalau bukan kencan buta. Jujur Davin sudah lelah, berkali-kali kena jebakan batman sang mama. Berdalih minta dijemput atau diantar, kemudian berakhir dengan pertemuan terselubung dengan maksud menjodohkannya.
Sudah satu tahun lebih berlalu semenjak kegagalan pertunangannya dengan Vina dan Kimmy, dua wanita yang dijodohkan secara paksa dengan Davin dan dua-duanya berakhir kandas karena ditikung oleh para mantan sekaligus jodoh mereka yang sesungguhnya. Miris memang, dua kali gagal berjodoh, nyatanya tak membuat orangtuanya jera. Mereka justru semakin gencar menjodohkan Davin dengan anak teman-teman arisan mamanya atau kolega bisnis sang papa. Pria itu seolah barang antik yang tengah dilelang.
"Jadi, bagaimana?" Suara Nabila memecah ketermenungan Davin.
"Ya?" Davin yang sedari tadi sibuk dengan lamunannya tak mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh Nabila.
"Jadi, bagaimana dengan nanti malam. Apa kamu bisa menemaniku nonton? Kebetulan aku punya dua tiket nonton bioskop," ujar Nabila, mengulang ucapannya.
"Maaf, sepertinya tidak bisa. Soalnya gue sibuk harus ngurusin club yang baru saja dibuka," kata Davin, menolak ajakan Nabila.
"Wow, kamu buka club baru?" Nabila tampak antusias. "Nggak heran mama kamu sering banget banggain kamu, ternyata kamu memang hebat mengelola bisnis."
Davin tersenyum tipis, malas dengan pembicaraan ini. Nabila memang cantik, tapi dia bukan tipe Davin. Pria itu kurang suka dengan tipe-tipe wanita seperti Nabila, manja, hobi shopping, terlihat dari pakaian glamor yang dikenakan wanita itu. Sementara kriteria Davin sendiri, seorang wanita yang berpenampilan simple
namun terlihat anggun, cakap berbicara, berwawasan luas dan dia lebih suka kalau dengan seorang Dokter.Ya, Davin memang sudah punya tambatan hatinya sendiri. Tapi sayangnya Dokter cantik yang Davin suka justru akan menikah dalam waktu dekat, bahkan sebelum Davin sempat menyatakan perasaannya.
———————
Setelah pertemuan membosankan dengan Nabila, Davin segera melajukan mobil menuju club barunya. Mengabaikan perintah sang mama untuk pulang. Davin malas pulang, karena dia sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh mamanya. Wanita paruh baya itu akan mencecarnya dan menuntut Davin agar segera menikah.
Menjelang petang keadaan club mulai ramai, apalagi club Davin memang sudah ditunggu-tunggu opening-nya. Club bernuansa classy
dengan warna putih yang lebih dominan, berbeda dengan kebanyakan club yang mengusung warna-warna gelap seperti hitam. Eniqma, nama club baru milik Davin.Davin menghampiri dua pria yang sedang duduk di salah satu sofa, keduanya tampak asyik bercengkrama sampai tak menyadari kedatangannya.
"Hey, Bapak-Bapak," seru Davin, menyapa dua orang pria itu yang seketika menolehkan kepalanya ke arah Davin.
"Hey jomlo," balas pria bersetelan necis dengan rambut sedikit gondrong.
"Hello, jones." Pria di sampingnya ikut menimpali.
Davin mendecih, duduk di dekat pria bersetelan necis yang tak lain Reyvan, mantan pesaingnya, atau lebih jelasnya suami Kimmy dan pria di sampingnya Sean, suami Vina. Keduanya kini sudah punya anak, makanya Davin memanggil mereka dengan sebutan 'bapak-bapak'.
"Gue musti jelasin berapa kali ke kalian, kalau gue bukan jomlo, apalagi jones. Tapi gue itu single, single elegan," ucap Davin.
"Btw, sama aja tuh. Sama-sama sendiri, lo cuma memperhalus sebutannya," kata Reyvan, diselingi kekehan yang terdengar menyebalkan bagi Davin.
"Yups, gue setuju." Sean ikut-ikutan. "Seandainya aja lo gercep Vin, mungkin sekarang lo yang bakal jadi adik iparnya si Reyvan."
Davin mendengus, enggan menanggapi celotehan Sean mengenai adiknya Reyvan. Hal itu mengingatkannya pada kejadian mengenaskan waktu di pantai, di mana Davin kecolongan oleh seseorang yang tiba-tiba muncul dan menyatakan cintanya pada wanita yang Davin sukai.
"Ngomong-ngomong lo dari mana?" Davin menoleh, ketika Reyvan bertanya.
"Biasa, palingan juga abis COD'an sama kandidat jodoh yang dipilih oleh mama suhu," celetuk Sean.
Davin mencebikkan bibirnya, ucapan Sean memang tepat sasaran. Tanpa perlu Davin jelaskan, keduanya sudah tahu bagaimana gigihnya orangtua Davin mencarikannya jodoh. "Skip, omongin yang lain aja."
"Kebetulan banget, si Devan mau ngadain reuni, cuma reuni kali ini di Pulau Bawah, gimana? Lo semua setuju?"
Davin menghela napas, mendengar nama pulau itu kembali mengingatkannya pada kejadian setahun lalu. "Nggak ada tempat lain, gue bosen. Lo berdua nggak bosen? Bukannya lo berdua honeymoon juga di sana, Arsen juga kan? Kaya nggak ada tempat lain." Bukan Davin tidak suka dengan tempatnya, jujur dia sangat suka dengan keindahan pantai di sana, tapi Davin benci dengan kenangan yang tertinggal di sana.
"Karena kita butuh tempat yang privasi buat pesta reuni kali ini, kalau tempat lain kurang memadahi, atau lo ada saran?"
Davin menggeleng, dia sudah jarang liburan dan sibuk mengembangkan bisnisnya, jadi dia tidak begitu banyak wawasan mengenai tempat wisata privat seperti itu.
Perbincangan mereka berlangsung lama, hingga waktu tak terasa sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ketika dua ponsel milik Reyvan dan Sean berbunyi bersamaan. Kedua pria itu saling berpandangan saat melihat nama yang muncul di layar, lalu mereka segera mengangkatnya.
"Halo, ibu negara," jawab Sean saat sambungan telepon diangkat.
"Halo, ibu bos." Begitupun dengan Reyvan.
Keduanya terlihat kompak menjawab, Davin yang melihat keduanya berbohong pun hanya bisa menggelengkan kepala. Lalu dia meminum air berwarna dari gelas sloki.
"Vin, gue cabut ya. Ibu negara udah nyuruh pulang," kata Sean, beranjak dari tempat duduknya.
"Iya, Vin. Gue juga, si bu bos lagi kewalahan, anak gue demam katanya." Reyvan ikut berdiri.
"Oke, hati-hati. Titip salam buat mantan———vangke!!" Davin memekik setelah mendapat dua jitakan dari Sean dan Reyvan. "Dahlah, lo berdua minggat sono!!" usir Davin saking kesalnya.
Reyvan dan Sean terkekeh geli, keduanya pun pergi setelah puas mengacak-ngacak rambut klimis Davin. "Dasar temen nggak ada ahlak!!" decak Davin, merapikan rambutnya kembali.
Sendiri lagi, di tempat yang ramai dengan alunan musik yang berdentum kencang. Nyatanya Davin justru merasa kesepian, dia berniat untuk pulang ke aparteman, namun tiba-tiba netranya terfokus pada seorang perempuan yang sedang duduk di depan meja bar. Lantas Davin mendekatinya, memastikan bahwa dia mengenali wanita itu.
"Rena?" Davin mengerutkan keningnya saat melihat wanita yang sudah mabuk itu ternyata Rena, adiknya Reyvan.
Rena menoleh, menyunggingkan senyum konyolnya. "Hai." Wanita itu menyengir. "Lama nggak ketemu, aku ka——" Detik berikutnya Rena jatuh tak sadarkan diri, beruntung Davin sigap menangkap tubuh ramping wanita itu.
"Ren, bangun Ren." Davin menepuk-nepuk pipi Rena, tapi wanita itu sudah mabuk berat.
Davin bingung, dia tidak mungkin membawa Rena pulang dalam keadaan begini. Apa yang harus Davin jelaskan ke orangtua Rena, mengingat wanita itu tidak pernah mabuk-mabukan sebelumnya. Dia juga tidak mungkin menelepon Reyvan, pria itu pasti sedang sibuk dengan anaknya yang demam. Lalu ke mana Davin akan membawanya? Di saat Davin dilema, tiba-tiba Rena menarik kerah bajunya, wanita itu mendongak dengan mata sedikit terbuka.
"Davin, bawa aku pergi ... yang jauh."
"Ren, aku bisa jelasin!"Teriakan samar terus terngiang, membangunkan Rena dari alam bawah sadarnya. Kelopak matanya perlahan terbuka, langit-langit kamar berwarna abu-abu menyambut pandangan matanya pertama kali. Merasa asing, lantas ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang didimoniasi warna abu-abu. Hingga netranya berhenti di seseorang yang berada di samping ranjang.Davin?Mata Rena berkedip-kedip, sedikit terkejut mendapati pria itu berada satu ruangan dengannya dan yang membuat Rena heran kenapa Davin tertidur sambil duduk di lantai, pria itu bersandar di dinding, setelah itu Rena baru menyadari sesuatu yang berada di genggaman tangannya. Ia pun menurunkan pandangannya ke bawah.Tangan Davin. Spontan Rena menarik tangannya, melepaskan
Hal yang tak bisa ditolerir dalam sebuah hubungan, perselingkuhan dan kekerasan.Kata orang, menjelang pernikahan akan banyak masalah datang menerpa. Sepertinya itu benar, sebulan menjelang pernikahan, Rena justru dikejutkan dengan fakta bahwa calon suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.Siang itu, Rena menyempatkan waktu istirahatnya datang ke kantor Alan, calon suaminya. Pria yang bekerja sebagai Direktur di perusahaan properti milik orangtuanya. Alan yang selalu sibuk dengandeadlinedan Rena yang sibuk mengurusi pasien, keduanya jarang punya waktu untuk sekedar makan siang bersama. Karena hal itu juga Rena menyempatkan diri datang menemui kekasihnya itu untuk mengajak makan siang sekaligus merayakananniversarymereka yang pertama.
Yang satu gagal nikah, yang satu gagal move on. Lalu bagaimana kalau keduanya bertemu?Kata orang dulu, kalau jodoh nggak akan ke mana. Mungkin itu yang dijadikan landasan Davin saat ini, bukan untuk mencari kesempatan dalam kesempitan, tapi untuk memperjuangkan di saat masih diberi kesempatan."Mau pulang atau langsung ke rumah sakit?" Davin menoleh sekilas pada Rena yang duduk di kursi samping, lalu matanya kembali fokus pada jalanan yang cukup padat saat menjelang siang."Rumah, kebetulan hari ini aku tugas malam." Jawaban singkat dan padat, menjadi akhir dari percakapan singkat keduanya sampai mobil Davin tiba di depan gerbang rumahnya."Ren." Panggilan Davin menginterupsi, membuat wanita itu sedikit terkejut.
Jadilah seperti pohon mahoni, tetap bertahan meski kemarau panjang melanda, tetap berdiri kokoh walau harus mengorbankan daun-daunnya berguguran.🍂🍂🍂Davin menghampiri kedua sahabatnya yang berada diprivatroombar miliknya. Ia menghela napas saat masuk ke ruangan yang sudah berubah kacau balau, pecahan gelas dan botol berserakan di mana-mana. Sementara pelakunya masih terlihat belum puas setelah membuat ruangan mewah itu jadi hancur bagai diterpa badai tornado."Nggak sekalian lo bakar aja bar gue, Van?" sarkas Davin, berjalan mendekat memunguti pecahan beling di lantai."Lo total aja, gue ganti semuanya." Napas Reyvan menggebu-gebu, tangannya mencengkram er
Jika tak mampu melupakan, gantilahkenanganyang menyakitkan dengan kenangan yang baru.Setelah kemelut panjang yang menguras emosi dan waktu tidurnya, akhirnya masa berkabung itu telah usai. Dua hari absen dari rumah sakit, kini Rena kembali menapaki koridor sepi rumah sakit di pagi hari. Semilir angin menyejukkan hatinya, kicauan burung mengiri suarahigh heelsyang bergema."Pagi Dokter cantik," sapa seorang wanita yang sedang mengepel lantai."Pagi," balas Rena, seulas senyuman tipis menghias wajahnya yang terlihat berseri. "Shift pagi, Bu? Sudah sarapan belum?" Rena merupakan Dokter paling muda di rumah sakit Persada Medical Center. Selain parasnya yang cantik, sikapnya juga ramah dan baik pada orang-o
Davin memandangi layar ponselnya, menunggu balasan pesan. Ia terlihat fokus, keningnya berkerut karena pesannya belum juga dibalas. Nyaris saja putus asa, tiba-tiba sebuah notifikasi pesan muncul. Cepat-cepat dibuka olehnya, senyuman lebar seketika terbit saat membaca pesan itu."Yes!" Spontan Davin bersorak kegirangan, berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang baru saja dibelikan kinderjoy."Kamu kenapa Vin?" Mamanya yang baru muncul dari dapur sampai keheranan melihat tingkah laku putra semata wayangnya. Sudah lama ia tidak melihat wajah Davin yang seceria itu. "Abis dapatgive awayya?" tebak wanita paruh baya itu, terlihat penasaran."Ini lebih darigive away, Ma. Davin akhirnya dapat mukjizat." Mamanya mengernyit, semakin bing
"Oh, buat lo," jawab Davin. Namun di luar ekspetasinya, Rena tiba-tiba tertawa nyaring. Wanita itu cekikikan seperti mba-mba penghuni pohon beringin. Jelas Davin merasa heran, apa ada yang lucu dengan jawabannya? Sepertinya tidak. Lantas kenapa Rena justru tertawa setelah mendengar jawaban darinya, kalau bunga mawar itu untuk dia. "Kenapa? Bunganya aneh ya?"Rena menggeleng, menghentikan tawanya. "Bukan bunganya, tapi lo yang aneh.""Gue?" beo Davin, mengerutkan keningnya. Semakin bingung, emang apanya yang aneh? Apa penampilannya aneh? Sontak ia melirik spion di atasnya untuk memastikan dan hasilnya nihil. Menurut Davin, penampilannya sudah sangat oke, ganteng, rapi, wangi, terus letak anehnya di mana coba?"Bukan penampilan lo yang aneh, tapi sikap lo," ucap Rena ketika melihat Davin
Davin meringis, menahan sakit ketika Rena menekan lukanya dengan kapas yang sudah diberi cairan antiseptik. "Awww!"Rena mencebikkan bibirnya. "Sakit 'kan? Emang enak, lagian suruh siapa berantem. Jadi bonyok gini 'kan muka lo!" omel Rena, miris melihat wajah tampan Davin berubah babak belur setelah baku hantam dengan Alan tadi."Aww, pelan-pelan Ren. Lo kayanya dendam banget," keluh Davin, memasang ekspresi seakan orang yang paling teraniaya."Bodo amat! Suruh siapa juga lo berantem, sok jadi pahlawan kesiangan." Rena mengolesi salep ke sudut bibir Davin yang terluka."Terus, lo pengennya gue diem aja gitu lihat lo diseret-seret kaya kambing sama si brekele itu." Davin mendengkus. "Mana bisa Ren, lihat lo dibentak aja hati gue sakit.