Davin memandangi layar ponselnya, menunggu balasan pesan. Ia terlihat fokus, keningnya berkerut karena pesannya belum juga dibalas. Nyaris saja putus asa, tiba-tiba sebuah notifikasi pesan muncul. Cepat-cepat dibuka olehnya, senyuman lebar seketika terbit saat membaca pesan itu.
"Yes!" Spontan Davin bersorak kegirangan, berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang baru saja dibelikan kinderjoy.
"Kamu kenapa Vin?" Mamanya yang baru muncul dari dapur sampai keheranan melihat tingkah laku putra semata wayangnya. Sudah lama ia tidak melihat wajah Davin yang seceria itu. "Abis dapat give away
ya?" tebak wanita paruh baya itu, terlihat penasaran."Ini lebih dari give away, Ma. Davin akhirnya dapat mukjizat." Mamanya mengernyit, semakin bingung mendengar jawaban Davin.
"Terus kamu mau ke mana? Mama udah masak loh, ini," sahut mamanya saat melihat Davin memakai kembali jaket denimnya.
"Mau jemput calon mantu Mama," jawab Davin, sembari memberikan pelukan serta kecupan singkat di pipi mamanya.
"Calon mantu?" beo mamanya, berpikir siapa yang dimaksud calon mantu oleh putranya itu.
"Iya, do'ain ya Ma. Semoga yang ini nggak dipatok ayam lagi." Davin terkekeh pelan, setelah itu berlari keluar mengabaikan ekspresi kebingungan mamanya.
"Siapa ya? Apa mungkin Nabila?" Seketika wanita itu tersenyum lebar, berpikiran jika rencana menjodohkan Davin dengan anak teman arisannya berhasil. "Aku bilang juga apa, Davin pasti suka sama Nabila," gumamnya pelan.
Di sisi lain, mobil Mercedes-Benz warna hitam milik Davin sudah membaur di tengah kemacetan. Hal lumrah yang sering terjadi di jalanan ibu kota Jakarta saat siang hari.
Davin terus melirik arlogi warna perak yang melingkar di tangan kirinya, lalu berdecak saat melihat ke arah depan. Di mana mobil-mobil di depannya bergerak lamban. "Ayo dong, buruan. Lelet amat kaya keong," gerutunya.
Di saat mendapat kesempatan emas yang langka, tentu Davin tak ingin mengecewakan. Ia tidak mau datang terlambat, dengan alasan apa pun. Tapi melihat kondisinya sekarang, kemungkinan dirinya akan datang terlambat.
"Bunga, bunga."
"Coklatnya Mas, Mba."
"Buat pacar, gebetan atau calon mertuanya juga boleh. Asal jangan buat istri orang."
Davin membuka kaca mobilnya, melongokkan sebagian kepalanya keluar. "Dek, Dek sini." Ia memanggil anak laki-laki yang sedang berjualan bunga dan coklat.
"Bungnya Om, buat pacar atau istrinya di rumah?" Bocah laki-laki itu langsung menawarkan dagangannya saat tiba di samping mobil Davin.
"Bunganya berapa?" tanya Davin, menanyakan harga sekuntum bunga mawar merah yang memikat pandangannya.
"Cuma dua puluh ribu Om."
"Satu ya." Davin mengambil selembar uang seratus ribuan dari dompet.
"Coklatnya sekalian Om, original silpelpin." Bocah itu menunjukkan coklat batangan yang diikat dengan pita pink. "Lima puluh ribu sekalian coklatnya dapat dua," tambahnya.
Davin tersenyum tipis, menganggukkan kepalanya pelan. "Ini ambil kembaliannya."
Mata bocah itu seketika berbinar melihat selembar uang bergambar almarhum presiden pertama Indonesia. "Wah beneran ini, Om?" Ia kembali memastikan, dibalas kedipan mata oleh Davin dengan senyuman lebar menghias wajah tampannya. "Terima kasih, Om. Semoga istrinya suka." Davin harap juga begitu, semoga wanita itu suka mendapat bunga darinya.
———————
Mata Rena bergerak bebas, memandangi satu per satu pengunjung kafe. Melihat banyak pasangan muda yang sedang mesra-mesraan, membuat hatinya mendidih. Kembali teringat akan kisah cintanya yang berakhir kandas dan mengenaskan.
Dering ponsel kembali menginterupsi, untuk kesekian kali nama itu muncul. Rena memutar bola matanya, tanpa ba-bi-bu langsung menggeser tombol merah di layar. Ia menolak panggilan telepon dari orang yang sama, mungkin ini sudah ke sepuluh kalinya.
"Nggak guna!" Rena berdecak. Kali ini ia memblokir nomor itu yang tak lain nomor Alan, setelah itu menghapusnya.
Rena menghela napas panjang, memalingkan wajahnya ke luar kafe. Netranya berhenti pada sebuah mobil Mercedes-Benz yang baru saja tiba, tanpa perlu mencari tahu Rena sudah tahu siapa pemiliknya.
"Mau ke mana, Ren?" tanya Kimmy saat Rena menghampirinya di balik meja kasir.
"Mau keluar cari angin," jawab Rena. "Kalau kak Reyvan nanya, bilang aja aku jalan-jalan." Ia memeluk Kimmy sebentar, kebiasaannya kalau berpamitan mau pergi.
"Kamu pergi sama siapa?" Sontak Kimmy melihat ke arah luar, fokusnya terhenti pada seseorang yang baru saja keluar dari mobil. "Sama Davin?" tanyanya untuk memastikan.
Rena mengangguk. "Iya, kalau begitu aku pergi dulu ya Kak. Bye." Rena mencium tangan Kimmy sebelum berlari keluar.
"Hati-hati, Ren," ucap Kimmy setengah berteriak karena adik iparnya itu sudah berlari keluar. Ia menghela napas panjang sembari memandangi Rena. "Semoga Davin bisa sembuhin luka kamu ya Ren," gumamnya pelan. "Seperti kakak kamu dulu yang berhasil sembuhin lukaku." Senyuman tulus terbit menghias wajahnya.
Rena tersenyum lebar, berlari kecil menghampiri Davin yang berdiri di depan mobilnya. "Lo beneran nggak sibuk?"
Davin menggeleng. "Gue nggak pernah sibuk, lo tahu sendiri 'kan kerjaan gue."
Rena tersenyum tipis. "Em, oke. Thank's karena lo mau repot-repot dateng."
"It's okay. Mau jalan sekarang?" tawar Davin.
"Boleh." Jujur Rena sedikit kikuk berbicara dengan Davin, karena sebelumnya mereka memang sudah lama sekali tidak pernah mengobrol. Bahkan mereka juga tidak sedekat dulu saat keduanya masih berstatus single satu sama lain. Walau kali ini ia juga sudah resmi sendiri. "Makasih," ucap Rena saat Davin membukakan pintu untuknya.
Kalau diingat-ingat, Rena memang tidak pernah dekat dengan Davin. Kedekatan mereka tercipta karena kebetulan Davin sahabat kakaknya dan waktu itu ikut berlibur bersama ke pulau Bawah. Hanya sebatas itu tidak lebih, apalagi selama setahun terakhir mereka juga tidak pernah bertemu lagi. Entahlah, mungkin karena Rena terlalu sibuk dengan pekerjaan dan urusan percintaannya sampai tidak pernah punya waktu untuk sekedar mampir ke kafe Davin lagi.
"Mau ke mana?" tanya Rena ketika mobil Davin sudah melaju di jalan raya.
"Ke suatu tempat," jawab Davin tanpa mengalihkan pandangannya.
Rena hanya bergumam, lalu memilih melihat ke luar jendela. Bersama dengan Davin nyatanya tak bisa membuat ia lupa akan peliknya masalah hidup yang sedang menerpa. Bayang-bayang Alan dan Vera terus muncul, menghantui pikirannya.
"Lo suka coklat?" Suara Davin menginterupsi, refleks Rena menolehkan kepalanya ke samping. "Kebetulan tadi ada anak kecil yang jual." Davin menyodorkan coklat yang tadi dibelinya. "Kata orang kalau makan coklat bisa balikin mood yang ambyar."
"Makasih." Rena tersenyum manis, mengambil coklat yang diberikan oleh Davin.
Keduanya kembali diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Davin sesekali melirik, melihat Rena yang sedang memakan coklat darinya. Sementara Rena tampak fokus memandangi bunga yang ada di dasbor.
"Bunga buat siapa?" tanya Rena, tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Pikirannya menerka-nerka, mungkinkah buat ceweknya Davin? Hal itu memancing jiwa keponya untuk menanyakan langsung pada pria itu.
"Ya?" Davin menoleh sekilas.
"Bunga buat siapa?" ulang Rena, menunjuk bunga mawar yang ada di dasbor dengan sorot matanya.
"Oh, buat lo," jawab Davin.
"Hah?" Rena melongo, antara kaget dan speechless. Buat gue?
"Oh, buat lo," jawab Davin. Namun di luar ekspetasinya, Rena tiba-tiba tertawa nyaring. Wanita itu cekikikan seperti mba-mba penghuni pohon beringin. Jelas Davin merasa heran, apa ada yang lucu dengan jawabannya? Sepertinya tidak. Lantas kenapa Rena justru tertawa setelah mendengar jawaban darinya, kalau bunga mawar itu untuk dia. "Kenapa? Bunganya aneh ya?"Rena menggeleng, menghentikan tawanya. "Bukan bunganya, tapi lo yang aneh.""Gue?" beo Davin, mengerutkan keningnya. Semakin bingung, emang apanya yang aneh? Apa penampilannya aneh? Sontak ia melirik spion di atasnya untuk memastikan dan hasilnya nihil. Menurut Davin, penampilannya sudah sangat oke, ganteng, rapi, wangi, terus letak anehnya di mana coba?"Bukan penampilan lo yang aneh, tapi sikap lo," ucap Rena ketika melihat Davin
Davin meringis, menahan sakit ketika Rena menekan lukanya dengan kapas yang sudah diberi cairan antiseptik. "Awww!"Rena mencebikkan bibirnya. "Sakit 'kan? Emang enak, lagian suruh siapa berantem. Jadi bonyok gini 'kan muka lo!" omel Rena, miris melihat wajah tampan Davin berubah babak belur setelah baku hantam dengan Alan tadi."Aww, pelan-pelan Ren. Lo kayanya dendam banget," keluh Davin, memasang ekspresi seakan orang yang paling teraniaya."Bodo amat! Suruh siapa juga lo berantem, sok jadi pahlawan kesiangan." Rena mengolesi salep ke sudut bibir Davin yang terluka."Terus, lo pengennya gue diem aja gitu lihat lo diseret-seret kaya kambing sama si brekele itu." Davin mendengkus. "Mana bisa Ren, lihat lo dibentak aja hati gue sakit.
Keringat bercucuran dari dahi, napasnya memburu seirama dengan langkah kaki yang terus melaju. Tak peduli dengan embusan angin yang begitu dingin menusuk kulit, Rena terus berlari.Pagi buta, Rena berlari sendirian mengelilingi jalanan komplek menuju taman yang tak jauh dari rumahnya. Semalaman ia terjaga, memikirkan kisah cintanya yang rumit. Bahkan setelah putus dari Alan, pria itu masih menghubunginya, meminta kesempatan kedua.Rena sudah muak, ia sampai memblokir nomor Alan agar tidak bisa mengganggunya lagi. Tapi pria itu tak menyerah dan memakai nomor lain untuk meneror Rena. Sampai-sampai ia harus menonaktifkan ponselnya dan tak bisa memejamkan mata karena bayangan Alan terus menghantui pikirannya. Itu kenapa ia memutuskan lari pagi, berharap mampu melupakan sejenak masalah yang membelenggu.
Vera terbangun ketika merasakan pergerakan di sampingnya, namun matanya tetap terpejam, pura-pura masih tertidur meski sebelah matanya sedikit terbuka untuk mengintip.Mau ke mana?Vera mengerutkan keningnya ketika melihat Alan bangun lebih dulu, pria itu keluar dari kamar mandi setelah mencuci muka dan langsung mengganti pakaiannya.Tadi malam Alan pulang ke apartemen Vera dalam keadaan mabuk. Entah apa yang terjadi, Vera tak sempat bertanya karena pria itu langsung menerkamnya dan mereka menghabiskan malam yang panas sampai dini hari. Namun tak seperti bisanya, Alan bangun pagi-pagi buta begini. Gelagat pria itu juga terlihat aneh, tampak tergesa-gesa.Apa dia menyembunyikan sesuatu?
"Apa lo bisa belajar membuka hati lo buat gue?"Kata-kata Davin terus terngiang, berputar-putar memenuhi isi kepalanya bagaikan radio rusak. Rena duduk termenung di tepi jendela, matanya memandangi embun di kaca setelah hujan deras mengguyur daerah rumahnya beberapa saat yang lalu.Semenjak kepulangannya tadi siang, Rena sengaja mengurung diri di kamar dan enggan ditemui oleh siapa pun. Ia ingin menenangkan diri, selain masih syok akan perlakuan Alan. Ia juga ingin merenungi permintaan Davin, berkali-kali pria itu meminta kesempatan. Seperti waktu di jalan menuju festival musik, Davin juga mengatakan hal yang sama. Pria itu terlihat sangat bersungguh-sungguh, membuatnya dilema. Bingung harus bagaimana, ia tak ingin menyakiti perasaan Davin yang sudah baik padanya. Tapi di sisi lain, ia masih belum yakin dengan dirinya sendiri.
"Aaa ...." Teriakan Rena yang paling kencang di antara pengunjung lain. Bukan karena wahana yang memacu adrenalin, melainkan karena dada yang terasa sesak. "Huaaa!"Davin menolehkan kepalanya ke Rena, ketika tornado yang dinaikinya berhenti di atas. Matanya terfokus pada Rena, walau memakai masker dan kaca mata, ia bisa melihat ada tetes air mata di sudut mata wanita itu. Dadanya nyeri, melihat wanita yang begitu dicintainya terluka. Jika luka fisik, mungkin Davin bisa mengobati, tapi bagaimana dengan luka hati? Yang bisa ia lakukan hanya membuat Rena kembali tersenyum, dengan begitu luka di hatinya akan berangsur terlupakan. Meski ia sendiri tak tahu seberapa lama wanita itu akan memendamnya seorang diri."Huwaaa!" Davin memekik, ketika ia ingin menyeka sudut mata Rena, wahana tornado yang dinaikinya justru terjun ke bawah. "Huuuaaa ..
"Will you marry me."Suara itu berdengung di telinga Davin, tanpa mendapat tanggapan setelah beberapa menit terucapkan. Ia masih senantiasa menunggu, berlutut di hadapan seorang Rena Tara Ardiansyah, satu-satunya wanita yang telah menggetarkan hatinya selama setahun ini. Hari-harinya selalu dipenuhi bayangan Rena yang tak bisa digapai, bukan hanya terpaut oleh jarak, tapi juga sekat dalam rasa yang tak direstui oleh semesta. Di mana wanita itu sudah melabuhkan hatinya pada pria lain, namun ketika wanita itu kembali mencari sebuah tempat untuk berlabuh, dengan gagah berani Davin mengajukan diri. Bahkan tanpa ba-bi-bu langsung melamar Rena saat itu juga, ia tak ingin kehilangan kesempatan untuk yang kesekian kali.Namun manusia hanya bisa berekspetasi tinggi, kadang hasilnya tak sesuai dengan yang diharapkan. Seperti itu yang Davin rasakan saat ini, merasa terombang-ambing, d
Udara pagi berembus pelan, begitu menyejukkan ketika menerpa wajah yang dipenuhi dengan bulir keringat. Hawa dingin menusuk kulit, tak menghalau Rena untuk terus memacu laju kakinya. Sudah jadi rutinitasnya setiap pagi, ia akan berlari mengelilingi jalanan komplek menuju taman. Meski beberapa hari yang lalu ia mengalami insiden penculikan, nyatanya hal itu tak lantas membuat Rena takut untuk lari pagi sendirian.Napasnya memburu, Rena sedikit memelankan langkah kakinya. Ketika fokusnya tertuju di depan, tanpa ia sadari ada suara langkah kaki mendekat."Hai."Rena terkesiap, seketika menoleh saat merasakan embusan angin menerpa lehernya, bersamaan dengan suara bisikan yang menyapa gendang telinganya."Davin!" Rena memekik, langsung ber