Share

Chapter 2: Vincent Hogan Kiel

Sepatu kulit hitam terhentak elegan ditengah kegusaran pria tampan berdarah campuran Russia-Turkey, jas surbiton yang melekat ditubuhnya terlihat sempurna dan berusaha menyembunyikan otot pria itu yang terus memberontak ingin memperlihatkan nya dengan menawan.

Kemeja biru dengan merk Turnbull & Asser ikut menyempurnakan penampilan pria tersebut.Seisi Rumah Sakit menjadi gaduh saat kehadiran kedua pria yang benar benar mencuri perhatian.

Mata cokelat indah itu tampak mengamati nomor kamar yang ia lewati bersama sahabatnya Matt Lebiance. Alis tebal yang dimiliki pria itu mengerut begitu tak mendapati nomor kamar yang ia cari. Namun hembusan nafas lega terdengar samar saat Matt terlebih dahulu menemukannya.

"Hallo Dad," sapa Matt saat pintu terbuka dan menemukan sosok pria paruh baya terbaring tak berdaya diatas bed berukuran setengah dari kasur king size yang biasa ia tempati di mansion.

"Mr Kiel masih dalam pengaruh obat anastesi, butuh sekitar 4 jam agar kesadarannya kembali." Perawat tersebut keluar setelah memasang beberapa infusan ditangan Tn. Kiel yang merupakan ayah kandung Vincent.

"Vin, sebaiknya kau segera menikah," Matt berjalan mendekati bed dimana pria paruh baya itu terkulai lemas dan menatap iba saat melihat kondisi Dadd yang mulai lemah.

”Hentikan omong kosong mu." Vin menggenggam jemari Dadd yang tampak rapuh dan mulai keriput.

"Tak semua wanita seperti ibumu, kau harus melihatnya dengan cara pandang yang lebih luas dude!" peringat Matt menusuk.

Vin memilih diam daripada membalas perkataan Matt yang akan berujung dengan pertengkaran diantara mereka. Ia mengecup punggung tangan sang ayah dan berlalu meninggalkan Matt dan Daddy.

Vin butuh udara segar untuk menghilangkan segala kegusaran yang terus menyelimuti dirinya. Ia tahu diusia 34 tahun adalah hal yang wajar untuk mulai memikirkan pernikahan dan anak anak dari darah keturunannya.

Namun, ia juga tak dapat menampik kejadian keji yang ia alami oleh wanita yang begitu dicintainya 'Sonnia Kiel' ibu kandungnya sendiri dan bayangan itu terus menerus merenggut segala pikiran Vin dengan tragis.

Ia tak bisa mencintai wanita manapun bahkan ia selalu membunuh siapa saja yang bersinggungan dengan dirinya. Langkah kaki Vin terus melewati lorong sepanjang Rumah Sakit hingga menemukan taman yang indah dan beberapa orang yang tampak bercengkrama dengan teman, kerabat bahkan ada beberapa yang tengah berkeliling menggunakan kursi roda untuk sekedar melihat pemandangan yang sejuk.

Vin menggaruk tengkuknya sebelum duduk menghampiri kursi yang mengarah pada danau dibawah rimbunnya pohon trembesi.

Sesaat memori menyedihkan dalam hidup nya tertarik kembali dan berputar seperti CD kusut dengan menampilkan beberapa potongan kejadian di masa lalu.

Siksaan demi siksaan mulai menghadang penglihatan Vin namun dengan cepat Vin menggeleng kasar dan mengusap wajahnya gusar, peluh mulai bercucuran di pelipis yang tampak mengerut dalam merusak kesempurnaan wajah tampan yang biasa ia perlihatkan.

***

"Kau akan pergi visite sekarang?" Gabriella mengikat rambutnya dengan cekatan sebelum kembali mengambil beberapa list pasien yang akan mereka kunjungi.

"Hmmm," Tara membiarkan rambut hitam nya terurai menutupi sebagian punggung yang terbalut oleh jas dokter. Tak lupa ia selalu membawa stetoskop yang setia tergantung dileher wanita tersebut.

"Hoaaammm kalian bekerjalah aku akan pergi tidur sebelum pesta pertunangan ku malam nanti," Joey menaruh beberapa list di meja nurse station dan segera berlalu meninggalkan Tara dan Gabriella yang mendelik malas.

"Mengapa kau tak mengambil spesialisas anastesi?" tanya Tara yang mulai berjalan mendahului Gabriella.

"Karena aku tak ingin bertemu dengan Joey si bodoh yang menyebalkan," kekeh Gabriella lalu membuka pintu kamar salah satu pasien yang mereka tangani.

"Good afternoon Madam," sapa Tara tersenyum lembut dibalas dengan pancaran sinar bahagia dari sorot mata wanita tua yang sedang duduk diatas bed ditemani cucunya yang masih duduk di bangku kuliah.

"Kau selalu terlambat mengunjungi ku!" kesal wanita tua tersebut ditengah guratan wajah yang mulai membaik dari sebelumnya.

"Oh God! Kau selalu tampak lebih cantik jika tengah kesal seperti ini, pertahankan! " goda Tara yang dibalas kekehan geli wanita tua tersebut.

"Kau selalu saja mengerjaiku,"

Pembawaan Tara yang supel, ramah, ceria, dan penuh canda membuat beberapa pasien turut bahagia ditengah kondisi nya yang tak sehat dan penuh dengan rasa putus asa.

"Biar aku memeriksa mu, berbaringlah perlahan," Tara menuntun wanita itu dengan hati hati sebelum mencuci tangan lalu meraih stetoskop dan menempatkan nya di area dada.

"Apa kau masih ada keluhan nyeri?" Tara mulai menggeser stetoskop tersebut ke dada sebelah kanan.

"Sedikit"

"Lakukan apa yang aku anjurkan padamu oke?" Tara mulai menarik stetoskop tersebut dan menggantungnya kembali dileher.

"Tapi aku-"

"Jika kau lupa akan aku ingatkan kembali, lakukan latihan fisik aerobik selama 20-30 menit dalam waktu 5 hari selama satu minggu, kedua diet rendah sodium, ketiga harus menurunkan berat badan dan selanjutnya."

"BERHENTI MEROKOK," sambung wanita tua itu dengan memutar bola mata malas.

"Good," balas Tara tertawa geli, ia pun tak habis pikir mengapa seorang wanita bisa sangat menyukai rokok bahkan kepulan asapnya saja dapat membuat sesak napas dan batuk batuk.

"Kau akan lebih sempurna jika meninggalkan kebiasaan itu." Tara mengusap dada wanita tersebut dengan lembut.

"Baiklah aku akan mencoba nya."

"Harus."

"Dokter Tara, bisakah aku belajar banyak padamu?" tanya Maria yang merupakan cucu satu satunya wanita tua yang sedang berbaring saat ini. Rambut burgundy miliknya diikat diatas dengan ikat rambut yang memiliki beberapa pernak pernik didalamnya, kacamata besar membingkai matanya yang diperkirakan minus 3 sebelah kanan juga silinder pada mata sebelah kiri.

"Kau akan mengganggu waktu nya yang berharga," potong neneknya tak enak hati.

"Aku mengambil jurusan kedokteran di kampus ku, aku ingin menjadi dokter hebat seperti dirimu. Maka dari itu bantulah aku," Maria menyatukan kedua telapak tangan didada dan menatap Tara penuh permohonan.

"Aku tidak keberatan sama sekali, berikan ponselmu aku akan menghubungi mu jika senggang," jawab Tara seraya memberikan senyuman manis pada calon anak didik dihadapannya.

"Yeay!" Maria segera memberikan ponsel yang sedang ia genggam, jemari lentik itu menggeser layar dan mengetik nomor handphonenya sendiri.

"Thank youuuuuu soooo muchhh," girang Maria mengambil alih handphone yang diberikan Tara. Senyum Tara mengembang melihat raut kebahagiaan diwajah polos Maria. Jarang sekali ia bertemu dengan mahasiswa polos seperti Maria.

Terkadang Tara selalu melihat Maria menyempatkan diri membaca buku ditengah kesibukannya mengurus sang nenek. Maka dari itu ia tak keberatan jika memang Maria ingin belajar banyak darinya, bahkan Tara akan sangat senang memiliki penerus dirinya yang handal juga tangguh.

'percaya diri sekali' kekeh Tara dalam hati.

***

-To Be Continued-

Terimakasih banyak udah baca sampai chapter ini ;) tinggalkan jejak cintamu di kolom komentar ya ;) dan dukung Luna Lupin dengan VOTE menggunakan GEM, thank you!

Novel karya Luna Lupin yang lain :

- My Wife is Bodyguard (Emily Blunt & Mike Delwyn - Romance Action 21+)

- BEATRIX ADELINE: (Beatrix Adeline & David Mills - Romance Erotic 21+) : Novel ini eksklusif hanya ada di HotBuku

Visual book follow Instagr*m : @_lunalupin

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status