Share

Chaps 3: A Glimpse Of Memory

10 Tahun Lalu

Hari ini hari pembagian raport dan pengumuman juara umum class meeting SMP Nusantara. Hafid sudah sibuk sejak pagi karena OSIS membutuhkan seluruh anggotanya agar dua acara besar penutup semester ganjil ini berjalan dengan baik. Para orang tua, wali murid dan murid - murid sudah berkumpul di Aula belakang. Bersemangat menanti sambutan kepala sekolah dan sekaligus juga pengumuman ranking 3 besar tiap kelas.

Icha duduk berjejer di samping Jaja, Ida dan Nisya. Mereka menyisakan satu bangku kosong untuk Hafid jika nanti cowok itu mau bergabung. Wajah mereka datar, bosan dan ngantuk luar biasa mendengarkan sambutan kepsek yang diulang - ulang tiap tahunnya. Hari ini Bapak yang datang mengambilkan raportnya. Bapak sudah datang dan duduk di barisan belakang berjejer dengan orang tua Ida, Nisya, Hafid dan juga Jaja.

"Hafid lagi deh yang ranking satu." Jaja menggumam, meramalkan nasib temannya saat pengumuman ranking dimulai.

"Terus kamu ranking berapa, Ja?" Nisya berisik di sebelahnya.

"Gak tau. Masih sepuluh besar juga udah syukur. Gak konsen tau kemaren ujiannya." Jaja mendadak curhat.

"Kenapa?"

Jaja mendadak agak salting dengan pertanyaan Icha. "Yah... yang dipelajari gak ada yang keluar."

"Masa? Kan yang kita belajar kelompok itu pada keluar." Icha menambahkan heran, tidak peka sama sekali dengan Jaja yang semakin salah tingkah di sebelahnya.

"Hahaha tauk nih, paling Jaja lupa belajar." Nisya membantu Jaja dari cecaran Icha yang kalau tidak dihentikan bisa meleber kemana - mana.

"Sst! Kelas kita, tuh!" Iya, itu Ida yang menengahi.

"Ranking satu, Putra Bapak Fadli, Al-Hafid Muzaki." Mereka bertepuk tangan heboh, sampai - sampai Ida bahkan berdiri saking lebay nya. Tebakan Jaja benar. Hafid yang duduk di barisan paling belakang aula bersama teman - teman OSOS nya mengampiri ayahnya dan berjalan maju ke panggung untuk menerima raport dan hadiah. Dia berjalan dengan sok sambil melambaikan tangan. Jiwa Narsisnya dapat kesempatan untuk eksis, tentu saja dia tidak akan menyia - nyiakannya. "Rangking Dua, Putri Bapak Joko, Icha Dwi Aryani." Dengan muka merah, walaupun sebenarnya ini bukan pertama kali baginya dipanggil saat pembagian raport, Icha berdiri, berjalan menuju ujung lorong dan menunggu Bapak untuk naik ke panggung bersama - sama. "Rangking tiga, Putra Ibu Ayu Shinta Muhammad Azra Rifai." Jaja terlihat kaget sebentar, tidak menyangka dia masih bisa mempertahankan rangking 3 nya. Kemudian ikut berseru heboh dan langsung menggandeng Mamanya naik ke panggung.

Serah terima raport dan hadiah kecil selesai, wali murid pun sudah banyak yang undur diri, termasuk orang tua mereka. Hafid juga sudah kembali dengan mereka. Rupanya rangking empat dan lima adalah Ida dan Nisya. Kelimanya sedang asyik makan di kantin, menunggu jam diperbolehkan pulang. Tiba - tiba Ida dan Hafid membuat pengumuman heboh bahwa mereka sudah jadian. Jaja tidak terlihat kaget, hanya Nisya dan Icha yang heboh sendiri Mendengarnya.

"Aduh, serius! Sejak kapan, sih?" Nisya langsung beralih ke mode kepo.

"Awas kalo uda lama terus kalian diem - diem bae. Gak ikhlas aku!! " Eits, yang ini Icha yang bilang, saking gemesnya, tanda serunya sampai dua.

Pasangan baru itu cengar cengir. "Baru kemarin, kook. Beneran. Itu saksinya lagi ngabisin mangkuk kedua mie ayam."

"Adow! Kok mukul sih, Cha! Aduh, ampun, kamu juga ikutan, Nis!"

"Salah sendiri gak bilang - bilang!"

Jaja mengusap pelan kedua lengan atasnya yang di lcubit bergantian kanan dan kiri oleh Icha dan Nisya. Dia menoleh sebal pada Hafid yang malah memberinya kode sambil monyong - monyongin mulutnya. Apaan dah dia. Tapi Hafid nggak menyerah. Dia terus memonyong - monyongkan bibirnya pada Icha. Ah! Akhirnya dia paham maksud Hafid.

"Eh.. Cha, ikut bentar yok, beli keripik di sebelah," Jaja menarik tangan Icha yang sedang sibuk makan siomay begitu saja. Samar - samar, namun tak yakin, Icha mendengar Nisya mengeluh,' bakal jadi obat nyamuk buat dua pasangan, aku. Sial.'

"Kenapa, Ja?"

"Eh, ng... anu. Minggu besok kosong gak?" Tumben Jaja tergagap.

"Selo, kok, gak kemana - mana. Kenapa?" Icha menjawab masih tanpa curiga. Dia focus memilih keripik yang mau dibawa balik ke mejanya.

"Ke Hutan Pinus, yuk. Soalnya abis itu kan aku bantuin Mama pindahan, jadi gak sempet main."

"Oh, pindahannya hari apa? Aku bantuin deh packing. Kamu jadinya tinggal berdua sama adek ya?" Fokus Icha malah ke perihal kepindahan Mama Jaja ke ibukota.

"Jumat depan. Jadi, hutan pinusnya?" Jaja mencoba mengembalikan Icha ke jalur yang benar.

"Oh, okay. Jam berapa?"

Jaja menghembuskan nafas yang tidak sadar ditahannya sejak tadi. "Pagi aja ya, jam delapan gitu? Biar nggak panas."

"Okay, nanti aku bilangin anak - anak biar siap di rumahmu jam 8 ya."

He? Lho, kok anak - anak segala sih? Kan harusnya... Jaja tertunduk lemas sementara Icha sudah berlari dengan semangat kembali ke sahabat - sahabatnya.

Haduh, Cha. Peka sedikit lah... .

***

Azra’s Current POV

Setelah Meeting dia langsung menemui Rashida. Selaku Chief Committee yearly meeting kali ini. Dia ingin bertukar hotel. Lebih tepatnya bertukar hotel dengan hotel yang sama dengan yang ditempati Icha.

“Tapi ini jauh, Azra.” Rashida mengernyit bingung. Rashida adalah sedikit dari beberapa orang yang sudah mengenalnya sejak dia bergabung dengan kantor Singapore. Kerenanya mereka bisa dibilang lumayan akrab dan tidak terlalu canggung untuk meminta tolong.

Pertanyaan Rashida tadi, karena Azra sebenarnya menempati hotel yang sama dengan tempat berlangsungnya acara, yang mana tentu saja gradenya lebih tinggi dibandingkan dengan hotel yang ditempati Icha. Mana jaraknya lumayan lagi, sepuluh menit jalan kaki.

Jadi nggak heran kalau sekarang Rashida menatapnya penuh kebingungan seperti dia habis meragain tari ondel - ondel di depannya.

It’s Okay, aku pengen sekalian bisa jalan - jalan.” Alasan yang klasik sekali Saudara Azra.

Are you sure?

Yap. Gantikan saja dengan salah satu dari yang ada di sana. Cowok juga. Aku nggak nyaman gantiin kamar cewek.”

Alasan. Padahal maksudnya biar Icha nggak dipindah - pindah. Icha kan cewek.

Okay, I’ll inform you later.”

Soon, please. Thanks Rashida.”

Sambil menunggu Rashida, dia mengemasi barangnya. Bersiap pindah hotel. Tadi sebelum menelpon Rashida untuk bertemu dan membicarakan ini, dia sempat berjalan mengikuti Icha. Berasa lagi syuting drama dia, buntutin cewek idaman diem - diem gini. Ichanya juga nggak ngeh sama sekali. Dia sedang sibuk dengan ponselnya. Di jalan dia nggak membeli apapun untuk makan malam. Makan malam bukan termasuk akomodasi yang ditanggung selama meeting berlangsung. Dia jadi bertanya - tanya, apa dia makan malam di restoran hotel?

Dia ikut masuk ke lobby hotel, dan mengikuti Icha dengan lift terpisah. Bagaimana dia bisa tau di lantai berapa Icha turun? Itu murni keberuntungan. Dia melihat Icha mengacungkan tiga jarinya saat meminta kunci pada receptionist, dan dia lebih dulu naik ke lantai tiga. Menunggu Icha keluar dari lift.

309.

Sungguh. Di saat biasa, dia pasti akan mengutuk siapapun orang yang berlaku seperti ini. Tapi untuk kaasusnya kali ini, dia punya alasan kuat. Jadi, dimaafkan.

Setelah tau nomor kamar Icha, Azra bergegas turun ke restoran.

“Hai.” Sapanya pada waiters yang berjaga di sana.

Good Evening, Sir. May I Help you?"

I Want to order a room service for room number 309, please.”

Waiters tersebut mengangguk lalu memberikannya buku menu. Azra memilih, lalu memesan dan langsung membayarnya. Menolak tawaran waiters bahwa dia bisa membayar tagihannya di reception saat check out. Kamar akan ditanggung oleh perusahaan, tapi expenses pribadi seperti laundry, dinner dan minibar adalah tanggungan pribadi.

Can I have a papper and a pen, please?

Mereka memberikan yang Azra minta dan dia menuliskan sesuatu di sana. Icha tau nggak kalau dia yang kasih ini buat dia? Hatinya bertanya - tanya saat menulis pesan singkat itu. Ah, tau atau nggak bisa urusan nanti. Yang penting usaha dulu.

A warm meal can fix the mood.

Bon appetit

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status