Share

Chaps 4: You Live Vividly In My Heart

Azra’s Current POV

Bebeda dengan Icha yang wajahnya terlihat agak merengut beberapa hari terakhir ini, dia malah sebaliknya. Cerah ceria seperti mentari pagi di musim panas. Dia hepi luar biasa. Alasannya? Karena seminggu ini dia berada di tim yang sama dengan Icha. Untuk saat ini, berada dekat dengan gadisnya itu cukup. Halah, gadisnya.

Meskipun nggak sesering yang dia mau, dia juga kerap bergabung dengan Icha dan Tya saat makan siang maupun coffee break. Yang tentu saja disambut dengan ramah oleh Tya. Ya, dia sekarang tau nama teman yang selalu bersama Icha saat berangkat dan pulang ke hotel. Namanya Tya, dia Outbond Supervisor Jogja Based. Icha? Seperti biasa. Hanya menunduk dan menggumam tanpa memberikan pendapat yang jelas. Nggak papa, yang penting Azra terlihat eksis di depan Icha. Untuk langkah awal itu cukup.

Mereka sedang berdiskusi heboh bersama membahas topik yang disediakan panitia tadi. Kelompok kecilnya yang berisi delapan orang itu sibuk membahas materi yang tadi menjadi bahan diskusi, sementara Azra lihat dia sibuk mencatat poin pentingnya. Icha bukan orang yang suka menjadi centre of attention. Dari dulu dia begitu. Dia memang pemalu. Karenanya Azra membiarkan saja. Toh memang harus ada notulen untuk diskusi kecil mereka ini.

 "Here, we need something to Wow - ing our customers," Marika dari Philippines menutup diskusi mereka dengan pencarian ide.

"Hmm, I like it! But How?" Azra bertanya, memancing.

"Paying attention to details like their favorite music, wine, books, or special occasion like birthday? Or simply leave a welcome or goodbye message and petit souvenir."

Semua terdiam memandang Icha yang mengatakannya setengah melamun. Dia tergagap, lalu tertunduk malu saat semua mata sudah tertuju padanya dan suasana di meja bundar itu mendadak hening.

"Ah.. Em.. S.."

"That's it, right?" Azra berseru, diikuti oleh teman - teman setimnya. "We'll do like that, ya. Next, who's gonna volunteer to explain to the crowds in front?"

Ryujin dari Jepang menawarkan diri dengan berani, disambut tepuk tangan meriah mereka berdelapan yang berkerumun di meja pojok ruangan. Ruang meeting dadakan untuk kelompok kecil mereka sebelum dikumpulkan kembali untuk presentasi antar kelompok setelah ini.

Azra tersenyum senang sepanjang Ryujin presentasi. Bukan karena cowok itu menyampaikannya dengan baik, malah kalau mau jujur dia nggak terlalu memperhatikan apa yang Ryujin sampaikan. Dia tersenyum karena memikirkan hal lain. Dia merasakan hawa - hawa segar usahanya akan berbuah manis. Dia benar - benar serius tentang menebus kesalahannya selama sepuluh tahun terakhir. Dan dia juga serius mencuri kesempatan. Apa saja yang ditawarkan, padanya.

Di sisi lain, yang jadi objek kebahagiaan Azra malah tengah melamun tentang hal - hal antara dia dan Azra di masa lalu. Lagi - lagi bertanya - tanya sebenarnya di mana semua kerumitan ini berawal?

***

10 Tahun yang lalu

Semuanya sudah berkumpul di depan rumah Jaja, siap untuk berangkat ke hutan pinus seperti kata Jaja pada Icha kemarin. Tapi yang terlihat sumringah dan bersemangat hanya Icha.

Ida dan Hafid terlihat kebingungan dan tidak yakin harus bagaimana saat Icha dengan menggebu - gebu membeberkan rencananya nanti di hutan pinus. Nisya juga malah terang - terangan meminta penjelasan Jaja 'kenapa kita ikut juga? '. Dan Jaja yang paling tidak bersemangat seperti ban kemps hanya mengangkat kedua bahunya lesu. Maunya dia juga nggak kayak gini awalnya.

Mereka berlima ke hutan pinusnya diantar oleh Pak Abu, supir Kakek Jaja. Rencana awalnya sih mau naik motor, tapi karena jumlahnya ganjil, kasihan kalau harus ada yang naik motor sendirian, akhirnya diputuskan untuk naik mobil saja. Untung Kakek baik, minjemin Pak Abu buat anter mereka jalan - jalan.

Icha belum sempat menangkap adanya keganjilan apapun, karena mood teman - temannya sudah kembali seperti semula saat tiba di hutan pinus.

"Pak Abu, minta tolong fotoin kita berlima yaaa." Kata Jaja memberikan kamera digital yang dibawanya, dan kemudian mengambil tempat di sebelah Icha. Pak Abu memotret beberapa kali dengan pose yang berbeda - beda sesuai permintaan mereka. Memang dasar anak - anak kurang ajar, ngerjain orang tua. Di foto terakhir, Jaja mendadak bergeser ke belakang Icha dan mencubit kedua pipinya, membuat si empunya pipi memekik marah nggak terima.

Mereka akhirnya terlibat kejar - kejaran di antara pepohonan  pinus ala film india.

"Sakit tauk!" Icha berteriak marah saat akhirnya Jaja berhenti masih sambil ngakak. Tak tega rasanya melihat muka Icha yang merah karena marah dan berlari. Bocah satu ini memang paling benci jenis olahraga yang satu itu. Alasannya simple, larinya lambat, dia sering banget ketinggalan.

"Tahanin lah, bentar lagi aku nggak bisa nyubitin pipimu." Jaja menjawab cool.

"Tapi kenapa harus dicubit sih??!" Korbannya masih tidak terima.

"Emang mau dicium aja?"

Hah?! Icha melotot kaget. Tapi Jaja nya santai tuh, masih sambil ketawa - ketawa. Bercanda kali ya maksudnya?

"Boleh.” Sahutnya enteng mengimbangi Jaja yang dikiranya sedang guyon itu. “Tapi ciumnya gak boleh sekarang, dong! Kan belom nikah! Week!" Icha membalas meleletkan lidahnya

"Berarti nanti kalo udah nikah boleh ya?"

Wah, Jaja bercandanya nggak berhenti - berhenti. "Apaan, sih Jaja. Kayak iya aja bakal nikahnya sama Icha."

"Ck! Iyain aja dulu, daripada kucubit lagi?" Jaja mengancam, membuat Icha menangkup pipi bakpaonya agar terhindar dari jari - jari jahat Jaja. Membuat wajahnya jadi semakin lucu menggemaskan.

"Iya, deh, iya! Semaunya Jaja aja!"

Jaja tertawa gemas, mengusap puncak kepala Icha. Membuat rona merah di wajah Icha yang belum sempat menghilang sepenuhnya karena berlari tadi muncul lagi.

Mereka lanjut bermain lagi hingga sore menjelang. Tak ada yang aneh bagi Icha. Semuanya menyenangkan dan mereka bersenang-senang.

Selama liburan sekolah, mereka masih baik - baik saja. Beberapa kali Icha sempat membantu Jaja beberes untuk pindahan. Nisya dan Ida juga datang, bukan untuk membantu, tapi buat jadi tim hore. Daripada sepi kan, rumahnya.

Tapi semua berubah seketika, di hari pertama semester genap. Tanpa tanda - tanda tanpa peringatan.

***

Azra’s Current POV

Mereka masih lanjut berdiskusi, presentasi, brainsortming, seperti itu terus sepanjang hari. Ringan sih, cuma ngobrol aja, tapi lumayan menguras tenaga, apalagi bagi yang harus presentasi di depan.

Ini baru selesai coffe break pertama sebelum lunch break. Kelompok mereka barusaja selesai presentasi. Azra melihat Icha sudah pucat sejak pagi. Pandangannya tidak focus, dia juga nggak langsung menyahut saat ada yang mengajaknya bicara. Tadi dia hanya minum tehnya sedikit dan nggak menyentuk canapé yang disediakan pihak panitia sama sekali.

Saat Icha lebih sering menunduk dan mengusak rambut panjangnya ke belakang, dengan nafas yang jelas terlihat pendek - pendek itu, Azra tau dia kenapa - napa. Sakit? Dia terus memberhatikannya selama beberapa saat. Posisi duduknya yang tidak tepat di sampingnya membuatnya menoleh dengan alami pada gadis itu, seperti sedang memperhatikan apapun yang sedang diterangkan di depan padahal tidak.

Dia hampir menowel teman di antara dia dan Icha untuk bertukar duduk untuk mengawasinya saat mendadak tubuh gadis tersebut oleng. Beberapa yang melihat langsung memekik. Beberapa berdiri ingin membantu, tapi terlambat. Azra sudah melesak lebih dulu menangkap tubuhnya yang jatuh.

Can we excuse you guys first?” Katanya meminta ijin, lalu mulau menggendong Icha ke ruangan secretariat untuk mendapat perawatan.

Ada beberapa orang di sana, dan jelas mereka kaget saat Azra masuk dengan Icha dalam gendongannya.

“Dia kenapa? My Gosh! She looks so pale!” Seru salah satu dari mereka.

“Baringkan dia di sini. Dia demam?”

Azra menurut dengan sigap. Diperiksanya suhu tubuh Icha setelah dibaringkan di ranjang darurat. “Ya, suhu tubuhnya agak tinggi. Can you call the doctor? And ambulance? We need to take her back to her hotel.”

Do you know where’s she staying?"

“Ya, satu hotel kok sama aku.”

***

Icha’s Current POV

Icha tidak tahu berapa lama dia pingsan, saat dia terbangun, hari sudah sore dan dia berada di kamarnya sendiri. Kekagetannya tidak berhenti sampai di situ, di samping ranjangnya sudah ada baki makanan yang masih tertutup, dengan memo di atasnya.

Get well soon!

Don't stress too much, and eat your meal properly.

You're allowed to skip the class until you're fully recovered.

Tulisan yang sama seperti yang dia temukan di memo room service tempo hari.

Siapa? Tya? Masa sih, dia seromantis ini?

Icha mengingatkan dirinya sendiri untuk berterimakasih pada Tya nanti, dan meminta maaf pada teman -teman setimnya yang pasti terganggu oleh insiden pingsannya tadi.

Duh, malu-maluin.

Dipaksanya untuk bangun dan menyantap makan sorenya, obatnya sudah terjejer rapi di sebelah bakinya. Mulutnya masih terasa pahit dan tidak bisa merasakan apa - apa, tapi Icha tidak bodoh untuk menuruti selera makannya yang sedang dalam mood terburuknya. Dia tidak ingin menambah parah keadaannya dan membuat kejadian memalukan ini terulang lagi. Dia masih harus bertahan di sini lima minggu, dan ini baru minggu kedua. Seharusnya dia juga mengingat hal ini sebelum bandel mengacaukan jadwal makannya seminggu belakangan. Dia jauh dari kampung halaman. Dia harus bisa menjaga dirinya sendiri. Jangan sampai sakit - sakit.

Apalagi, setelah sesi Training dan Meeting tahunan ini selesai, dia akan punya kesempatan untuk bekerja di Head Office Bangkok selama sekitar 1 minggu, tergantung lama tidaknya yearly meeting yang mengharuskannya ikut. Dan kompensasi seminggu full untuk menjajal paket wisata yang ada di Bangkok. Jalan - jalan gratis ini tidak boleh dibiarkan mubazir hanya karena dia tidak bisa menjaga kondisi tubuhnya.

Di tengah perjuangannya mengunyah baguette dingin yang rasanya sudah mirip kardus di lidahnya itu, hape di meja sampingnya berbunyi.

Nisya Calling...

"Iya Nis, " sapanya pelan.

"Aduh, kamu beneran sakit di sana, Cha? Sekarang kondisinya gimana? Kok bisa ambruk gitu gimana ceritanya deh? Terus itu dari tadi si Ida coba telpon kenapa gak diangkat?"

Icha menjauhkan hapenya dari telinga sambil meringis. Anak ini, pertanyaannya kaya petasan cina. Berentet.

"Cha? Kok diem aja sih, Cha! Jawab, dong! Kamu nggak pingsan lagi, kan?! Aku kuatir kamu ken... "

"Nis," suara di seberang langsung berhenti. "aku gakpapa, ini lagi makan, mau minum obat."

Hembusan nafas Nisya yang seakan baru bebas dari sembelit seminggu terdengar. Eh bentar. Ada yang aneh nggak sih? Apa ya tapi? Mmm... Ah! Iya.

"Kok kamu bisa tau aku sakit?" Seingatnya, Tya tidak memiliki kontak sahabat-sahabatnya. Tya adalah teman kerjanya dan mereka adalah sahabat - sahabatnya, mereka berada di circle yang berbeda. Bahkan bisa dipastikan mereka nggak saling mengenal. Lalu bagaimana Nisya tau?

"Hafid tadi kasi tau di group."

"Hafid?" Loh makin aneh. Kok bisa Hafid? Apa hubungannya? Kok jadi nggak nyambung sih?

"Iya, tadi Jaja telpon dia katanya kamu pingsan pas sesi brainstorming."

"Jaja?"

Duh, Icha! Bahkan kakak tua aja kosakatanya lebih bervariasi dan tidak melulu mengulang satu kata doang tanpa makna.

"Iya, tadi dia menelpon Hafid pas lagi di mobil nganter kamu pulang ke hotel."

Eh? Apa? Jaja? Nganter pulang ke hotel? Bukan Tya??

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status