Share

Chaps 6: I Know It Hurt So Bad, I Do Hurt Too

Azra’s Current POV

Dia dipanggil ke kantor pusat untuk menyelesaikan sesuatu kemarin, jadi dia nggak bisa menunggui Icha yang pingsan hingga siuman. Di tengah kepanikannya, dia menghubungi sahabatnya Hafid. Selama mereka diem - dieman, Azra memang hanya masih berkontak dengan Hafid.

Apalagi sejak cowok itu kerja di Jakarta. Di antara teman - temannya memang hanya Hafid yang paling rajin membujuknya untuk kembali ke jalan yang benar. Karena dia tau perasaan Azra pada Icha. Hafid yang di telpon pun kemarin panic luar biasa dan malah nyumpahin Azra.

“Kok gue yang lo sumpahin dodol!”

“Dia pingsan kenapa?" Azra nggak digubris oleh Hafid.

“Tadi diperiksa dokter katanya asam lambung naik. Kecapean sama overstressed.”

“Pasti gara - gara lo.”

“Lo emang temen gue paling baik, Dul!” Sindirnya. “ Dulu lo maksa gue minta maaf, sekarang gue lagi usaha lo sumpahin. Baik bener dah emang lo.”

Hafid terkekeh sebentar.

“Ini lo dimana, Dul? Icha sama siapa?”

“Ini masih di mobil. Anter dia pulang.”

“Abis itu? Dia ada temennya nggak?”

“Ya sendirian. Emang gue boleh nemenin? Males kalo gue kalian roasting macem - macem.” Padahal mah dia mau banget nemenin Icha. Seumur hidup juga ayo.

Hafid di seberang sana diam. Seperti menimbang - nimbang sesuatu yang berat. Beberapa kali Azra mendengar helaan nafas pasrahnya sebelum akhirnya suaranya kembali terdengar.

“Dul, lo temenin Icha sampe siuman ya. Psatiin dia makan sama minum obat abis ini.”

“Siap.”

***

8 Tahun yang lalu

Dua tahun berlalu sejak Jaja mengabaikannya. Mereka sekarang sudah kelas dua SMA. Sejak tahun terakhirnya di SMP terasa seperti neraka, dia menjadi orang yang lebih tertutup. Kepercayaan dirinya hilang nyaris tanpa bekas. Bu Dewi adalah contoh dari beberapa orang yang ‘merayakan’ keadaan Icha. Beliau semakin gencar membully nya karena anak - anak cheers suka sekali mengadu jika Icha melawan.

Sekarang dia sudah kelas dua SMA. SMA nya berbeda dengan Jaja dan teman - teman SMP nya yang lain. Nggak ada lagi Bu Dewi yang menerornya.

Selain Jaja, keempatnya masih sering bertemu dan berkumpul. Jaja seperti ditelan bumi baginya. Icha hanya melihat sekilas dari luar gerbang sekolah saat kebetulan dia menunggu Ida dan Nisya pulang. Jaja masih dengan Hafid, berangkat dan pulang bareng, menjadi BFF goals bagi yang melihat. Asalkan, Hafid tidak mengungkit nama Icha di depan Jaja. Pernah beberapa kali Hafid nekad bertanya, mengajak Jaja kembali. Dan bogem mentah pun nggak tanggung-tanggung bersarang di pipinya meninggalkan bekas biru keesokan harinya. Bekas biru yang membuat Ida geram bukan main. Salah satu alasan kenapa Ida dan Azra jadi susah akur hingga sekarang.

Ida dan Nisya, karena terlalu sering dititipi surat permohonan maaf Icha kepada Jaja, malah didiamkan dan ikutan dicuekin. Membuat Icha merasa bersalah. Icha terpaksa menulis surat karena Jaja dengan tiba - tiba mengganti nomor hape dan memblokir Icha dari kontaknya.

Memang itu Jaja tega luar biasa. Raja tega pokoknya.

"Cha, yuk!" Hesti memanggilnya. Mereka berencana menonton festival olahraga antar SMA di kotanya hari ini. Dia juga sudah janjian untuk bertemu dengan Ida dan Nisya di sana.

Hesti adalah teman sebangkunya dari kelas satu SMA. Kebtulan kelas dua ini mereka juga sekelas, dan sebangku lagi. Bisa dibilang Hesti adalah satu - satunya teman yang akrab dengannya di SMA ini. Dan hari ini, dia ingin mengenalkan pacar barunya kepada Icha. Pacarnya kebetulan ikut turnamen basket disana.

"Nanti aku jangan dikacangin ya, Hes." Icha mewanti - wanti. Keki lah, temennya pacaran, terus dia ngapain? Hesti tertawa renyah mendengarnya.

"Apaan, sih. Kan dia main basket, kita mau cuci mata di sana."

"Loh, katanya udah punya pacar, kok cuci mata?"

"Kan cuma cuci mata, Cha hahahaha."

Mereka kesana naik angkutan umum, lalu berjalan kaki sekitar tiga ratus meter untuk mencapai gedung olahraga yang dimaksudkan. Hesti asyik bertukar pesan dari ponsel sambil senyum - senyum sendiri di sampingnya. Sepertinya dengan pacarnya.

Haaah, di saat teman sebayanya sibuk pamer kemesraan dengan pacarnya, dia malah takut dengan lawan jenisnya. Berteman oke, sekali dua kali ngobrol masih bisa, tapi icha hanya membatasinya sampai disitu saja. Dia sangat trauma dengan Jaja yang sudah terlanjur dekat, bahkan dianggap keluarga, tapi ternyata mampu menyakiti luar biasa dalam sampai meninggalkan trauma.

Ida dan Nisya belum sampai. Tadi dia sempat menelpon salah satunya dan mereka bilang akan telat karena ada piket.

"Yang!" Hesti melambai pada seseorang di samping pintu masuk. Jika saja Hesti tidak menggandeng erat lengannya, Icha pasti sudah kabur sekarang. "Cha, kenalin, ini pacarku, Azra."

Iya! Pacar Hesti itu Azra yang itu. Jajanya. Kenapa dia harus bertemu Jaja sih? Out of all male students in Jogja, why him? Jogja sempit banget apa?!

"Oh, hai. Icha." Dia menyapa kikuk. Jaja hanya mengangguk lalu perhatiannya teralihkan pada Hesti. "Hes, aku di sana ya. Kalian ngobrol aja." Pemitnya pada mereka berdua.

Langkahnya lunglai. Dia tidak ingin berada di sini lagi. Tidak dengan mata Jaja yang selalu memancarkan laser dingin padanya. Dan lagi, dia tidak suka melihat Jaja baik pada cewek lain tapi ketus padanya. Nggak suka!

Sore itu berlangsung garing bagi Icha. Walaupun ada Nisya dan Ida di sana, tetap saja pemandangan Hesti yang menempel pada Jaja membuatnya jengah.

Dan agak... marah?

***

Azra’s Current POV

Azra memandangi deretan nomor yang tampak di layar ponselnya. Nomor Icha. Dia punya sudah lumayan lama. Bukan dari Hafid, tapi dari Asti, Head HR Indonesia. Tentu saja dengan alasan lihat profil karyawan. Dan semudah itu dia dapatkan kembali nomor Icha.

Tapi sayangnya, belum pernah digunakan. Dia belum pernah menghubungi Icha sekalipun sejak sepuluh tahun yang lalu. Bahkan dia memutus semua hubungan dengan gadis itu dan memblokir nomornya. Bukan apa - apa, Azra tahu apa yang dia lakukan dulu, berganti - ganti pacar nyaris tiap bulan dan mencuekinya pasti amat menyakitkan bagi Icha. Jadi dia memutuskan lebih baik kalau Icha nggak tau apapun tentangnya atau kabarnya lagi.

Berhasil? Tentu aja nggak. Seakan - akan dunia memang sesempit itu, sehingga kemana pun mereka selalu saja bersinggungan. Dia ingin memutus hubungan dengan Ida, Nisya dan Hafid juga, tapi itu berarti memutus satu - satunya hal yang menghubungkannya dengan Icha.

Hari ini Icha nggak ikut meeting maupun pelatihan. Dia masuh harus pemulihan. Dan dia kangen. Dia ingin bertemu, tapi dia nggak berani menghubungi…

“Ah, bodo lah. Tinggak ngomong aja apa susahn ya, sih?!”

***

Azra akhirnya mendialnya. Dia sedang menunggu dengan jantung berdentam kencang. Diangkat nggak ya?

"H-halo?" Icha menyapa ragu - ragu. Sepertinya dia tahu kalau ini dia.

"Hai." Jawab Azra pelan, hanya berupa bisikan kecil. Gila, jantungnya lama - lama bisa jalan balik sendiri ke Indonesia kalau terus - terusan berdetak sekencang ini.

"Y-ya?" entah kenapa Icha jadi ikut - ikutan berbisik.

"How are you?" suaranya masih sepelan helaan nafas.

"Much better now."

"You scared me to death when you passed out, you know?"

Diam. Yah, mana mungkin Icha tau. Bahkan awalnya mereka berlagak seperti dua orang yang nggak saling kenal di sini.

"Mind if I came to visit this evening?"

"Ya." Jawabnya agak sedikit terlalu cepat. Suara Icha pecah, sepertinya menahan tangis. Azra menyentak nafas tajam mendengarnya. Kaget. Dia tau dia brengsek. Dia jahat pada Icha. Tapi mendengar sendiri gadisnya menangis membuatnya sejuta kali lebih buruk dari perkiraannya. Dia nggak tau harus bilang apa tentang ini, jadi dia memilih mengabaikannya dulu.

"Okay. Rest well. See you." Azra akhirnya mengakhiri panggilan teleponnya.

“See you.” Balasnya dengan susah payah.

Dia langsung membungkuk di atas wastafel untuk mengatasi debaran jantungnya dan perasaan muak yang menyeruak di dalam dirinya hingga membuatnya ingin muntah. Ya, dia sedang berada di toilet. Dia harus segera keluar dari sini sebelum dia digedor oleh pengguna yang lain. Tapi pertama - tama, dia harus menormalkan debaran jantung dan nafasnya dulu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status