Share

Chaps 7: I Didn't Mean To Hurt You

Azra’s 8 Tahun Yang Lalu

Ternyata Hesti temen Icha. Parahnya lagi, mereka teman sebangku. Hesti bilang Icha adalah teman pertamanya SMA tersebut, begitu juga sebaliknya, karena keduanya sama - sama berasal dari SMP yang kurang terkenal dan bukan SMP negeri. Ini tentu aja bikin Azra panik.

Dia nggak tau. Dia ceroboh kali ini. Biasanya, dia selalu berkencan dengan orang - orang yang tidak memiliki latar belakang yang sama dengan Icha agar cewek itu nggak tau siapa yang dikencaninya kali ini. Buat apa? Toh paling seminggu dua minggu lagi akan dia putuskan kalau bosan. Dan alasan lainnya, dia nggak ingin Icha merasa sakit karena ulahnya. Dia tahu dia nyakitin Icha, but he just can’t stop. Dia sedang menghukum dirinya sendiri karena kecerobohannya.

Rekor terlamanya pacaran adalah sembilan minggu. Itu pun karena saat itu dia malas ber drama ria. Jadi dia diamkan saja cewek yang saat itu dikencaninya. Nggak ngabarin, sering nyuekin saat ketemu, hingga akhirnya cewek tersebut nggak tahan lagi dan minta putus. Yang tentu saja langsung iya kan oleh Azra. Dia bahkan nggak mencoba mencari excuse saat itu, langsung iya aja.

Azra jarang menembak duluan. Biasanya mereka yang datang padanya minta jadi pacarnya, ngajak jalan dan sebagainya. Hesti pun sama. Dikenalkan temannya. Hesti yang nyamperin ke sekolah Azra dan memintanya menjadi kekasihnya. Azra bilang Oke, seperti biasanya.

“Kenapa?!” Cewek itu, Hesti, memekik nggak terima.

Mereka sedang ada di taman. Biasa mereka kencannya emang di taman kota, sih. Mau ngafe, tapi nggak punya duit. Masih pelajar. Tentu saja Azra ada uang, tapi buat traktir cewek - cewek ini…. Mmmm, kok sayang ya? Emang dia jadi pelit sih setelah nggak ngobrol sama Icha.

“Ya… nggak papa. Udahan aja ayok.”

“Tapi kenapa?!” Hesti tetap menuntut. Ini yang Azra males kalo mutusin. Drama.

“Temenmu tau beberapa mantanku, nggak enak aja sama dia. Lagian… kayaknya kita nggak gitu cocok juga. Mungkin aku bukan cowok yang baik buat kamu. Soalnya aku juga… udah suka sama cewek lain.”

Plak!

“Kamu keterlaluan!”

Teriakan dan tamparan Hesti padanya membuat beberapa pasang mata para pengguna fasilitas umum di sana menoleh tertarik. Bahkan ada yang terang - terangan menyimak. Azra mulai jengah. Dia harus buru - buru pergi dari sini.

“Kamu bisa pulang sendiri, kan?”

“Zra, pertimbangin lagi. Harus banget putus?”

“Makasih udah sama aku beberapa minggu ini. Mumpung masih sore, masih ada angkot. Ati - ati pulangnya.”

“Azra, please.”

“Aku pulang dulu.”

“Azra!”

***

Icha’s Current POV

"Hai. Can I come in?" Sapa Azra di depan pintu.

Icha menyingkir menyilakan dia masuk. Azra membawa baki yang tertutup di tangan kanannya. Lengan kemejanya tergulung hingga siku, membuat penampilannya terlihat agak santai. Dari bajunya, Icha tau dia langsung ke sini begitu kegiatannya selesai.

Icha juga buru - buru mandi tadi begitu dia mendapat pesan dari Azra yang sedang menuju ke hotelnya. Dia bahkan tidak sempat berdandan dan mengeringkan rambutnya yang setengah basah terkena air. Dia hanya sempat mandi dan mengganti dasternya dengan kaus dan celana kulot yang lebih ‘pantas’ untuk menerima tamu.

Azra langsung masuk begitu dipersilakan. Dia mengikuti Azra menuju sofa double di sebelah ranjangnya yang dilengkapi dengan coffee table. Untung juga tadi dia sempat merapikan kasurnya, sehingga nggak terlihat terlalu acak - acakan. Mereka duduk disana dalam diam, saling menunggu. Canggung luar biasa.

Icha nggak suka keadaan begini, Dia memang pendiam, tapi dia nggak suka kesunyian. Dia menikmati suara - suara yang bisa ditangkap indera pendengarnya. Tapi tidak kali ini, dia terlalu takut untuk mengambil inisiatif terlebih dahulu. Takut dicuekin. Takut ditolak.

Azra akhirnya mengalah dan menghalau sunyi diantara mereka.

"You look pale. You sure you're feeling better?"

Icha reflek memegangi pipinya, lalu mengangguk mengiyakan pertanyaan Azra. Matanya masih menunduk memandangi jari kakinya. Hatinya tak karuan saat ini. Berdebar kencang, tapi juga gelisah. Begitu banyak perasaan bercampur menjadi satu menuntut jawaban. Tapi dengan tega, Icha menelan semuanya kembali. Belum. Icha masih belum berani.

Sepanjang siang dia merutuki jawabannya yang tanpa berpikir mengiyakan Azra untuk mampir ke kamarnya. Keputusan bodoh yang masih disesalinya sampai sekarang. Icha tidak suka atmosfer canggung seperti ini, dan lebih - lebih ini terjadi dengan Azra. Rasanya seperti tercekik, nggak nyaman!

"Ibu Bapak apa kabar?" Azra mencoba lagi.

"Baik."

"Mas dan adek?"

"Baik juga." Bukan maksud Icha untuk tidak menanggapi. Tapi dia bingung harus memberikan tanggapan yang bagaimana. Jadi dia lebih banyak diam.

“Cha…”

“Hmm?”

Dia kaget saat jemari Azra memegang dagunya dan meluruskan tatapan matanya pada Azra. Azra terlihat tenang, tapi juga... gusar? Tidak sabar? Matanya menyiratkan berbagai macam emosi yang sulit dipahami Icha. Ibu jarinya mengusap dagunya pelan membuatnya sulit berfikir.

“Hai, how are you?”

Hah? Kan tadi udah?

"It's been a long time, Cha. Too long. We'll make time to catch up later, would you?" Ah, ternyata ngomongin yang lain, bukan keadaannya karena sakit kemaren. Mereka saling bertatapan seperti itu selama beberapa saat.

Rasa kagetnya karena jemari Azra yang menangkup dagunya raib. Kini, dia menikmati belaian konstan yang diberikan Azra pada salah satu sisi wajahnya tersebut. Matanya tanpa sadar berubah sayu.

Sebelum Icha sempat mengangguk menjawab pertanyaan Azra, cowok itu sudah lebih dulu memajukan kepalanya dan menempelkan bibirnya di bibir Icha. Reflek, Icha menjauh karena kaget, tapi Azra menyambungnya lagi, menempelkan bibirnya di bibir Icha.

Itu bukan ciuman yang menggebu - gebu dan penuh gairah seperti yang di film Hollywood, bukan. Hanya sekedar dua pasang bibir yang saling menempel. Sebentar, mungkin hanya beberapa detik? Beberapa detik yang membuat semua indera di tubuh Icha jadi luar biasa sensitive. Mereka kemudian saling menjauh diikuti rona merah yang merambati pipi keduanya.

Meski menjauh, Azra masih tidak melepaskan tangannya dari dagu Icha. Membuat Icha seperti terhipnotis karena usapan ibu jarinya. Kenapa dia tidak mengelak, adalah pertanyaan yang bahkan tidak pernah sampai pada otaknya.

"Makan dulu ya." Tangannya yang satunya lagi menangkup tangan Icha, lalu membawanya ke bibir dan mengecupnya.

Icha linglung. Jadi dia hanya diam saja dan membiarkan Azra yang mengambil inisiatif.

Dibukanya tudung saji yang menutupi nampan yang dibawanya tadi. Azra membawa Beef Cordon Bleu di bakinya. Icha mengernyit. Dengan sigap dia memotongnya menjadi potongan kecil, dan menyuapkannya ke Icha.

Eh, kok….

Sungguh. Demi apapun Icha bingung luar biasa. Dia terlambat menyadari sesuatu saking linglungnya. Jantungnya masih berdentam menghantam dadanya, kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan, dan akhirnya hanya isakan yang keluar dari bibirnya.

Ya, Icha menangis, di depan Azra, setelah 10 tahun berlalu, Icha menangis di depan orang lain lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status