Azra Current POV
Dia menangis. Tiba belas tahun mengenalnya, baru kali ini Azra melihatnya menangis dengan mata kepalanya sendiri. Dan dialah yang menjadi sebab air matanya jatuh. Alah, kaya nggak selalu dia aja yang jadi sebab kesedihan Icha, hatinya menambahkan sinis. Gadis itu kini menunduk membekap mulutnya dengan kedua tangan, bahunya terguncang karena tangisnya.
"Cha, aku...."
"Kok kamu jahat!" pekiknya masih sambil tersedu. Mampus! Azra mulai panik. Dia pasti marah gara - gara tadi dia nyosor sembarangan. Iya kan?
"Cha...."
"Kamu kan tau aku alergi susu! Cordon Bleu ada kejunya! Azra Pe'a!" Katanya kurang jelas karena mulutnya ada isinya.
Oh iya!
Azra menepuk dahinya pelan. Dia beneran lupa tentang alerginya Icha. Dia menarik beberapa lembar tisu dari atas meja dan mengangsurkannya ke mulut Icha. "Lepeh! Buruan!"
Icha menurut. Mengelap bersih mulutnya dari sisa
Azra’s Current POV Icha menyantap Padthai nya pelan dalam diam, sementara Azra melahap Cordon Bleu nya. Yah, daripada mubadzir, mending dimakan, kan. Lagipula, Icha tidak suka melihat makanan mubadzir. Kebiasaannya dari dulu. Sempat tadi dia tertarik untuk membiarkannya tak termakan, karena dia toh juga belum terlalu lapar sebenarnya, dia ingin melihat Icha mengomelinya lagi seperti dulu kalau menyia - nyiakan makanan, tapi tidak dilakukannya. Sesekali, mereka bertatapan dan berakhir dengan saling membuang muka canggung. Azra merutuki kedatangan room service yang seperti tidak mendukungnya. Kenapa, selalu saja ada halangan saat situasinya dengan Icha sedang mengarah ke... ah! Memikirkannya membuatnya sebal hingga membuatnya tersedak karena makan sambil menggeram. "Minum, minum." Icha mengangsurkan gelasnya dengan panik. "Pelan - pelan, kan, jadi tambah keselek." Tegurnya sambil menepuk - nepuk punggung Azra
Azra’s Current POV Nggak ada acara penting dari ferry cruise hari ini selain untuk lebih saling mengenal antar devisi sales baik inbound maupun outbond dari berbagai Negara tempat kantornya tersebar. Kantor pusat mereka yang di Bangkok menyewa satu kapal ferry yang biasa beroprasi di Chao Praya River, salah satu sungai yang menjadi destinasi wisata air terkenal di Bangkok, untuk mengakomodasi mereka seharian ini. Karena semua berkumpul jadi satu, Azra nyaris nggak punya kesempatan untuk menemani Icha. Dia sibuk menyapa balik orang - orang yang menyapanya dan yang ingin ngobrol dengannya. Duh, nasib jadi orang terkenal. Ke sana - sini ada aja yang menyapanya. Di acara seperti ini nggak jarang juga teman - teman seprofesinya memanfaatkan momen untuk ajang mencari jodoh. Lumayan lah, siapa tau klop. Yang cuma cari one night stand juga ada. Memang jarang dibahas, tapi bukan berarti it
Icha Current POV "Gak usah ngaco!" Nisya masih tidak terima saat Icha menceritakan kejadian hari ini pada mereka. "Bikin dia minta maaf dengan tulus. Kadal kayak dia gak layak dikasih gampangnya aja. Tapi balik lagi ke kamu ding, Cha. Your feelings matter here." Itu nasehat teman - temannya saat dia menelepon mereka untuk meminta saran. Sambil sekalian curhat. Icha tau itu. Sepayah apapun pilihannya, teman - temannya akan terus mendukungnya dan akan selalu di sana untuk menemaninya. Seberuntung itu dia memiliki mereka. "Ya udah lah. Aku juga masih bingung sama maunya Azra. Udahan ngobrolin dia. Gimana persiapan merit kalian, Calon Manten?" Ida dan Hafid akan melepas masa lajang mereka dalam enam minggu. Icha merasa agak bersalah karena tidak ada di sana untuk membantu persiapannya. Padahal mereka sengaja memilih tanggal itu dengan asumsi Icha sudah kembali dari yearly meeting yang hampir selalu diadakan di luar neger
Azra Current POV "Kamu kenapa? Dari tadi diajakin ngobrol aku dicuekin terus." Dia mengulang lagi pertanyaannya, masih sambil berjongkok. Dia suka posisi ini, membuatnya bisa melihat wajah Icha dari dekat. Tapi sepertinya Icha agak keberatan. Sejak tadi dia terus - terusan membuang muka dan melirik apa saja kecuali netra cowok yang sedang berlutut di depannya ini. Kenapa, sih? Dia tadi udah cuci muka sama gosok gigi loh! Jadi nggak mungkin belekan atau malah sampai bau jigong. "Nggak denger." jawabnya kaku. Kesal, sih sebenernya dengan jawaban asalnya, tapi apa daya, dia tidak bisa marah pada gadis ini. Selalu. Sejak awal mereka bertemu 12 tahun yang lalu. "Mau langsung berenang atau mau makan dulu? Kamu nggak fokus jangan - jangan laper." Icha mengerucutkan bibirnya sebal. Menurutnya, dia paling jelek saat membuat ekspresi seperti itu, tapi dia nggak tau aja, bagi Azra, malah itu salah satu ekspresi gemas favoritnya.
Azra POV 12 Tahun Lalu Hari itu, adalah saat pertama kali dia bertemu Icha. Saat itu hari senin, satu minggu setelah UTS, Azra menjadi siswa pindahan pertama di kelas tujuh. Sepanjang jalan dari kantor kepala sekolah ke ruang kelasnya, semua mata memandangnya melalui jendela yang terbuka. Pasti bertanya - tanya, kenapa pindah sekolah padahal baru saja selesai ujian tengah semester? Kenapa nggak pas kenaikan kelas kemarin? Itu karena Papanya. Papa yang sudah bertahun - tahun mengidap kanker paru-paru akhirnya bersedia melakukan operasi setelah mendapat rujukan ke Singapura. Dokter dan Mama menyakinkannya selama berbulan - bulan bahwa tumornya bukanlah tumor ganas dan kemungkinan sembuhnya mencapai enam puluh persen. Karena Mama akan menemani Papa di Singapura selama beberapa waktu selama pengobatan Papa, maka Azra dan sang adik perempuannya Azizah, pindah ke Jogja. Di sana ada sepasang Eyang dan Adik bungsu Mama Bulik Indah yang rumahnya sebe
Azra Current POV Sudah tiga hari sejak Icha tidak satu hotel dengannya. Jujur, dia merasa kelabakan. Banget. Karena itu artinya satu - satunya tempat di mana dia bisa bertemu dengan Icha adalah kantor. Dan nggak mungkin sekali baginya jika terlihat terus – menerus mendatangi Icha saat dirinya ingin melihat gadis itu. Dia harus professional. Dan lagi, Icha juga bisa jadi nggak nyaman karenanya. Untuk main ke mess juga bukan pilihan bijak, karena satu kamar mess bisa diisi dua hingga empat orang. Icha juga pasti merasa nggak nyaman. Dan kalau Icha nggak nyaman, dia bakal menarik diri, dan kalau dia menarik diri, artinya dia nggak lagi punya kesempatan. Jadi, no, it’s not a good choice. Sama seperti karyawan lain yang ikut dalam yearly meeting, yang berarti nggak buka email kerjaan selama beberapa waktu, emailnya juga mendadak membludag. Nggak sampe yang bikin orang mendadak nyebut dan diikuti dengan sumpah serapah seperti yang terdengar dari kolega - koleganya
Azra Current POV "Ini dalam rangka apa?" Kegugupannya yang sempat agak reda kini kembali. Kali ini malah dua kali lipat lebih besar saat pertanyaan itu dilontarkan. Pertanyaan yang ditunggu sekaligus nggak ditunggu olehnya. Dia sampai meneguk setengah gelas air putih saking gugupnya. Beser, beser deh dia nanti malam. Icha cewek yang cerdas. Dia pintar dan peka. Tidak mungkin tidak ada alasan kalau dia tiba - tiba diajak makan ke tempat mewah seperti ini. "Makan dulu, deh. Keburu dingin, nggak enak." Icha malah semakin waspada. Garpu yang sudah siap diangkat kembali diturunkan lagi. Azra merutuki pemilihan kalimatnya. Sekarang Icha malah berpikir kalau ada yang tidak beres sedang terjadi. "There's nothing wrong. Swear!" Dia mengangkat jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya ke atas. "Makan dulu, ya. Aku ngomongnya nanti abis makan, Okay?" Icha masih belum sepenuhnya percaya, tapi dia men
Azra’s Current POV Lagi - lagi Rashida terbengong karena permintaannya. Kemarin minta pindah hotel, sekarang minta ganti flight. “Kamu nggak ikut famtrip?” Azra menggeleng, membenarkan pertanyaannya. “Are you sure?” “Yes Rashida. You’ll help me right?” “Aku paham sih, kalo Cuma kamu yang pulang. But this girl too?” Keningnya semakin berkerut saat melihat kembali tiket Icha. Tadi pagi dia meminta gadis itu untuk membawa tiketnya ke kantor dan memberikan padanya untuk diurus reschedule nya. Dan dia melakukannya, tapi Rashida lagi dalam mode detektif dan malah menanyainya macam - macam begini. “She knows my Mom personally.” “She knows Ibu Shinta?!” Katanya semakin kaget. Cewek itu siapa? Jadi makin mecurigakan. Apa dia....hmmm,mau nggak mau dia jadi ikut berspekulasi. Dia bilang pada Rashida bahwa dia harus pulang karena Mamanya memintanya pula