Azra POV 12 Tahun Lalu
Hari itu, adalah saat pertama kali dia bertemu Icha. Saat itu hari senin, satu minggu setelah UTS, Azra menjadi siswa pindahan pertama di kelas tujuh. Sepanjang jalan dari kantor kepala sekolah ke ruang kelasnya, semua mata memandangnya melalui jendela yang terbuka. Pasti bertanya - tanya, kenapa pindah sekolah padahal baru saja selesai ujian tengah semester? Kenapa nggak pas kenaikan kelas kemarin? Itu karena Papanya. Papa yang sudah bertahun - tahun mengidap kanker paru-paru akhirnya bersedia melakukan operasi setelah mendapat rujukan ke Singapura. Dokter dan Mama menyakinkannya selama berbulan - bulan bahwa tumornya bukanlah tumor ganas dan kemungkinan sembuhnya mencapai enam puluh persen.
Karena Mama akan menemani Papa di Singapura selama beberapa waktu selama pengobatan Papa, maka Azra dan sang adik perempuannya Azizah, pindah ke Jogja. Di sana ada sepasang Eyang dan Adik bungsu Mama Bulik Indah yang rumahnya sebe
Azra Current POV Sudah tiga hari sejak Icha tidak satu hotel dengannya. Jujur, dia merasa kelabakan. Banget. Karena itu artinya satu - satunya tempat di mana dia bisa bertemu dengan Icha adalah kantor. Dan nggak mungkin sekali baginya jika terlihat terus – menerus mendatangi Icha saat dirinya ingin melihat gadis itu. Dia harus professional. Dan lagi, Icha juga bisa jadi nggak nyaman karenanya. Untuk main ke mess juga bukan pilihan bijak, karena satu kamar mess bisa diisi dua hingga empat orang. Icha juga pasti merasa nggak nyaman. Dan kalau Icha nggak nyaman, dia bakal menarik diri, dan kalau dia menarik diri, artinya dia nggak lagi punya kesempatan. Jadi, no, it’s not a good choice. Sama seperti karyawan lain yang ikut dalam yearly meeting, yang berarti nggak buka email kerjaan selama beberapa waktu, emailnya juga mendadak membludag. Nggak sampe yang bikin orang mendadak nyebut dan diikuti dengan sumpah serapah seperti yang terdengar dari kolega - koleganya
Azra Current POV "Ini dalam rangka apa?" Kegugupannya yang sempat agak reda kini kembali. Kali ini malah dua kali lipat lebih besar saat pertanyaan itu dilontarkan. Pertanyaan yang ditunggu sekaligus nggak ditunggu olehnya. Dia sampai meneguk setengah gelas air putih saking gugupnya. Beser, beser deh dia nanti malam. Icha cewek yang cerdas. Dia pintar dan peka. Tidak mungkin tidak ada alasan kalau dia tiba - tiba diajak makan ke tempat mewah seperti ini. "Makan dulu, deh. Keburu dingin, nggak enak." Icha malah semakin waspada. Garpu yang sudah siap diangkat kembali diturunkan lagi. Azra merutuki pemilihan kalimatnya. Sekarang Icha malah berpikir kalau ada yang tidak beres sedang terjadi. "There's nothing wrong. Swear!" Dia mengangkat jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya ke atas. "Makan dulu, ya. Aku ngomongnya nanti abis makan, Okay?" Icha masih belum sepenuhnya percaya, tapi dia men
Azra’s Current POV Lagi - lagi Rashida terbengong karena permintaannya. Kemarin minta pindah hotel, sekarang minta ganti flight. “Kamu nggak ikut famtrip?” Azra menggeleng, membenarkan pertanyaannya. “Are you sure?” “Yes Rashida. You’ll help me right?” “Aku paham sih, kalo Cuma kamu yang pulang. But this girl too?” Keningnya semakin berkerut saat melihat kembali tiket Icha. Tadi pagi dia meminta gadis itu untuk membawa tiketnya ke kantor dan memberikan padanya untuk diurus reschedule nya. Dan dia melakukannya, tapi Rashida lagi dalam mode detektif dan malah menanyainya macam - macam begini. “She knows my Mom personally.” “She knows Ibu Shinta?!” Katanya semakin kaget. Cewek itu siapa? Jadi makin mecurigakan. Apa dia....hmmm,mau nggak mau dia jadi ikut berspekulasi. Dia bilang pada Rashida bahwa dia harus pulang karena Mamanya memintanya pula
Azra’s Current POV "Ngetawain apa?" Icha nyaris melempar hapenya karena kaget. Azra urung duduk saat melihat wajah piasnya yang baru pulih dari kekagetan. "Sori, aku udah manggil. Kukira kamu udah denger." Icha mengangguk - angguk. Diambilnya botol air putih yang disodorkan Azra. "Pelan - pelan aja..." "Thanks." "Emang lagi ngapain, sih? Fokus banget." Icha tersenyum kecil, "Ida sama Nisya lagi bully si Hafid." Azra ikut tertawa. "Mereka masih nggak kapok aja sama Hafid. Ini, boarding pass nya disimpen ya." "Kamu nggak sarapan? Mau croissant?" Icha heran karena Azra tidak memesan apapun di depannya. "Aku udah makan tadi di hotel. Kamu abisin aja makannya." “Terus kamu ngapain?” Azra menopang dagunya di depan Icha. “Liatin kamu.” "Yah? Masa aku makan sendiri sih?" "Mau ditemenin?" Icha langsung mengangguk. Makan sendiria
Azra Current POV "Hey sleepyhead, wakey." Dia berbisik di telinga Icha. Dia baru tau kalau Icha selalu grogi saat terbang, dan harus meminum obat tidur atau pereda mabuk untuk menenangkan dirinya saat take off dan landing. Selain mabok laut, dia ternyata juga mabok darat dan udara. Dia meminum obatnya tadi setelah sarapan. Katanya obat anti mabok. Dia pengen protes, karena Icha habis minum kopi, tapi terlanjur dimasukin ke mulut dan didorong oleh hashbrown yang tinggal segigit itu. Icha memeng bukan tim minum obat pake air. Dan tadi, dia langsung tertidur begitu kepalanya menyentuh sandaran kursi. Azra jadi was - was, selama ini jika bepergian sendiri, apakah dia juga seperti ini? Mengkhawatirkan sekali, bagaimana jika teman seperjalanannya orang yang iseng. Icha bergerak, mengumpulkan kesadarannya sebelum mata sayunya mengerjap dan akhirnya terfokus padanya. Azra bersyukur sekaligus mengumpat dalam hati. J
Azra Current POV Dia agak bete sebenarnya, karena sejak dari bandara tadi dia nggak dibiarkan berdua sendirian dengan Icha. Tersangkanya? Siapa lagi kalau bukan nenek lampir Farida... Zein future Al-Hafid di sebelah sana itu. Adaaa saja alasannya untuk menjauhkan Icha darinya. Masih mending pas tadi masih ada Mama, mereka masih bisa ngobrol berdekatan. Ida walaupun garang, masih segan sama Mama juga ternyata. Sekarang setelah Mama balik ke kantor dia ngekor aja kemana pun Icha pergi. Bahkan pas Azra berniat membantu Icha membongkar kopernya, Ida langsung teriak nggak usah!!! Kalau begini, kapan berduaan dengan Icha nya? Kan jadi menyesal pulang ke Jakarta. Tau gitu pas di Bangkok kemarin dia bawa Icha kabur aja, nggak usah balik Jakarta. Azra membatin sebal. "Yang, nanti jam tujuh kita ada janji ya sama Mas Fendi." Hafid mengingatkan, masih dengan posisi rebahannya di sofa. Mereka sedang di ruang keluarga Azra di lan
Azra Current POV Icha nggak keluar kamar lagi setelah dia meninggalkan Azra di luar kamarnya dengan pintu terbanting sore tadi. Dia juga nggak keluar buat makan malam. Kata Jijah, kamarnya sepi walaupun udah di ketok berkali – kali. Mungkin Tidur? Kecapean? Dia nggak bisa tidur. Ini udah lewat jauh tengah malam. Dia juga capek, tapi banyak yang dipikirkannya. Pertama dia harus minta maaf sama Icha tentang tadi sore. Lalu… tentang rencananya selanjutnya. Kalo Icha nolak gimana? Dia harus punya plan B. Dan harus punya strategi biar Icha nggak bisa nolak dia lagi. Kalo di perhatiin sih, dia sekarang kaya lagi duduk santai baca buku di ruang tengah lantai dua. Padahal pikirannya bercabang, kaya medusa. Dia mendongak saat pintu kamar Icha terbuka. Gadis itu terlihat kaget mendapati lampu baca di ruang tengah menyala dan ada dirinya juga masih terjaga di sana lagi baca buku. "Mau ke toilet?" Azra bertanya setelah beberapa saat mere
Azra Current POV Icha membelalak kaget mendengar perkataannya. Dia sendiri kaget. Bukan karena aslinya Icha nggak cantik. Icha cantik, bukan cantik yang glamor dan bikin orang ngiler dalam sekali lihat, tapi seluruhnya. Inside out, dari atas ke bawah, semuanya cantik. Tentu saja wajahnya cantik, walaupun cantik tidak akan menjadi kata yang tepat untuk menggambarkan kesan pertama saat bertemu dengannya. Pembawaannya, cara berfikirnya, tutur katanya, semuanya cantik. Cantik yang elegant kalau menurut Azra. Kecanggungan yang aneh itu terputus karena dering ponselnya yang mengejutkan mereka berdua. Amyra. Azra menatap ponselnya lama, sebelum pamit, beranjak ke balkon untuk mengangkat telpon. "Ih, lama nggak diangkat!" Suara di seberang sana terdengar jengkel. Azra menghela nafas panjang. "Ada apa?" "Ampun, dingin amat, sih. Lagian, udah balik dari Bangkok nggak bilang - bilang."