Share

2- Tertarik

Alva mengulurkan tangannya dan memperkenalkan diri. "Alva,” katanya. Elena menerima uluran tangan itu lalu tersenyum.

"Elena," ucap Elena ikut memperkenalkan diri.

Dia tersenyum? Mata Alva terpaku melihat sosok yang berada di depannya tersenyum. Bahkan tangannya belum juga melepaskan tangan mungil itu.

Mata Elena mengerjap beberapa kali, apakah ini si tuan muda yang tadi dibicarakan. Ia akan menjadi partnernya kali ini, benarkah? Rasanya Elena ingin pingsan saja. Ia cukup terpesona pada sosok di depannya, apalagi gaya rambut yang menurutnya cukup menarik perhatian. Rambut itu diikat sebagian ke belakang membentuk kuncir yang tak terlalu besar, dengan beberapa helai rambut bagian depan yang dibiarkan tergerai tapi dengan lengkungan yang sangat sempurna. Penataan rambut yang sangat bagus, ah Elena menyukai itu. Masih saja seperti ini, tak jarang alasan Elena tertarik pada seseorang itu berawal dari gaya rambutnya.

"Hei Alva Melviano!" suara Mei mengagetkan keduanya.

"Kalian bersalaman terlalu lama," tambah Mei seraya tersenyum lebar.

Alva dan Elena menoleh pada tangan mereka, Elena langsung menarik tangannya. Wajahnya bersemu merah karena malu. Alva yang melihat itu tersenyum karena Elena yang menurutnya menggemaskan.

"Ayo kita mulai,” seru Andres yang kini sudah mengambil kamera andalannya.

Semua properti telah disiapkan. Butik ini memiliki ruangan khusus yang luas untuk pemotretan jadi memudahkan mereka dalam penataan properti sesuai konsep yang telah disepakati.

Rasa canggung terus menjalar pada tubuh Elena. Padahal mereka baru berpose tanpa ada kontak fisik tapi tetap saja jantungnya tak karuan. Walaupun begitu Elena berusaha keras mengikuti arahan sang fotografer.

"Oh Elena. You are so great, i like it!" ucap Andres seraya melihat hasil jepretannya. Elena menghela nafas lega, untungnya ia dapat mengatur ketegangannya.

"Apa kamu sering berhadapan dengan kamera?" tanya Andres di sela sesi foto yang hanya memotret Elena saja.

"Mm, dikatakan sering juga tidak," jawab Elena yang kembali mengatur posisinya.

"Kamu sangat mudah diarahkan, dan tak jarang kamu bisa menyesuaikannya sendiri, posemu juga oke terima kasih sudah sangat membantu," ucap Andres lagi.

"Sama-sama tuan," ucap Elena seraya tersenyum.

"Masih ada dua gaun lagi Elena. Semangat!" Elena terkejut, dia kira hanya satu gaun saja. Ia hanya mampu mengangguk kikuk.

Alva yang masih berdiri disana terus memperhatikan Elena yang masih menjalankan pemotretan. Walaupun sebelumnya Andres sudah menyuruhnya berganti kostum, tapi Alva bersikeras untuk tetap disana memperhatikan Elena, seorang model dadakan tapi terlihat profesional.

***

Elena memandangi dirinya di depan cermin besar, ia merasa risih dengan gaun yang dipakainya. Gaun pertama itu aman-aman saja tapi kali ini mermaid wedding dress dengan strapless trumpet yang mengekspos jelas bahunya, dan belahan dadanya terlihat. Elena baru pertama kali menggunakan gaun, dan baru pertama kali mengenakan pakaian dengan jenis seperti ini. Walaupun ibunya seorang penjahit tapi belum pernah menjahit pakaian model gaun seperti ini dan ia pun belum pernah merancang gaun-gaun pengantin, Elena lebih banyak merancang pakaian kasual karena itu ia cocok bekerja di butik Mei. Ia merasa sangat gugup. Tapi jika dilihat-lihat tubuhnya memang tidak gemuk. Pinggangnya ramping walaupun tak seramping model pada umumnya. Dengan rambut yang digerai dan di curly bagian bawahnya menambah kesan anggun bagi penampilannya.

"Elena sudah siap?" Mata Mei membulat melihat penampilan Elena yang begitu mempesona.

"Oh darling, you're so beautiful." Mei menghampiri Elena yang masih memperhatikan penampilannya.

"Tapi nyonya, apakah ini tidak terlalu terbuka?" Mei memperhatikan bagian dada Elena, lalu menggeleng.

"Modelnya memang seperti ini sayang. Kamu terlihat sangat cantik dan sexy," ucap Mei lalu mengedipkan matanya dan tersenyum. Hal itu menambah keresahan bagi Elena.

"Sudah, ayo kita keluar. Mempelai pria sudah menunggu." Mei terkekeh geli begitu juga Elena. Memang seperti sedang foto prewedding saja. Tapi sayangnya bukan, batin Elena lalu disusul dengan kekehannya lagi.

"Oh ya, aku belum berkenalan dengan pemilik butik ini."

"Ka Rosie sedang ada urusan di luar kota, malam ini ia pulang. Untuk itu dia percayakan semua ini padaku," tutur Mei.

"Apa dia sudah tahu adanya pergantian model?" tanya Elena dan Mei pun mengangguk.

"Aku sudah memberitahunya, dan itu tak menimbulkan masalah sama sekali malah dia ingin bertemu denganmu dan mengucapkan terima kasih." Elena lega mendengarnya.

Elena berjalan menghampiri Andres, entah kenapa ia merasa semua mata tertuju padanya begitu juga pria tampan yang berdiri disamping Andres.

"Oh, you're so beautiful." Andres terlihat sangat mengagumi penampilan Elena.

"Thank you," ucap Elena.

Alva tak berkata atau berkutik, ia terus memperhatikan Elena yang sangat cantik, dengan balutan gaun yang mengekspos bahu cantiknya dan rambut hitam pekatnya yang tergerai indah dengan gelombang dibagian bawahnya dan kini mata Alva melirik bagian dadanya. Oh shit! Stop Alva. Alva langsung mengalihkan pandangannya.

"Ok jadi kalau ini, aku benar-benar minta sama kalian berdua harus bisa menciptakan feel seakan nyata. Elena anggaplah Alva sebagai orang yang kamu sangat cintai dan begitu juga kamu Alva dan sekarang pasti ada sentuhan-sentuhan kecil. Ok. Tak masalahkan Elena?" Mata Elena membulat, sentuhan? Sentuhan seperti apa?

"Ok tak masalah," ucap Alva.

Elena langsung menoleh dan mendapatkan Alva yang tersenyum miring, dan itu membuat jantung Elena berdegup cepat karena takut.

Entah keberapa kalinya ia harus menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan perlahan menenangkan jantungnya yang terus bergemuruh.

"Elena lebih dekat lagi," seru Andres.

Elena tak ingin terlalu dekat dengan Alva ini benar-benar membuatnya salah tingkah. Menyadari Elena tak mendekat sama sekali, Alva mendorong punggung gadis itu agar mendekat padanya. Elena yang belum siap menerima dorongan itu refleks menempelkan kedua tangannya pada dada bidang Alva yang terbalut tuksedo.

"Ok sip, Elena kamu melihat kearah lain dan kamu Alva, kamu pasti sudah tau." Andres mengedipkan sebelah matanya dan Alva tersenyum mengerti.

"Rileks aja," bisik Alva pada Elena. Elena hanya mengangguk dan tersenyum kikuk. Bagaimana bisa rileks, dekat tak berjarak seperti ini dengan orang yang ia kagumi ketampanannya.

Sebelum Elena datang, Andres memberitahu Alva pose apa saja yang harus dilakukan mereka berdua, dan kini Andres memberitahukannya pada Elena. Matanya sangat menyiratkan keterkejutan dan itu terlihat lucu dimata Alva.

Kini Alva dan Elena kembali berpose dan semua itu terus mengundang perhatian para pegawai yang lainnya. Tak sedikit diantara mereka merasa iri dengan Elena yang dapat menggantikan posisi model di samping Alva dan mereka memperlihatkan jelas kecemburuannya karena sang idola mereka bersama perempuan lain yaitu Elena.

Alva duduk di sebuah sofa yang sudah menjadi properti pendukung pemotretan. Ia mengulurkan tangan pada Elena agar segera duduk di pangkuannya. Kecanggungan terus melanda. Elena menerima uluran tangan itu lalu duduk menyamping di pangkuan Alva.

"Tolong itu bagian bawah gaunnya dirapikan," perintah Andres pada salah satu pegawai butik.

Elena mendekatkan wajahnya ke arah Alva, mata Alva fokus pada bibir mungil Elena. Kenapa ia merasa tergoda seperti ini, tak seperti biasanya. Elena sedikit memiringkan kepalanya lalu terpejam. Jika bukan karena arahan dari Andres Elena tak ingin melakukan ini, bibir yang nyaris bersentuhan. Percayalah jantung ini terus bekerja lebih cepat.

Kini gaun terakhir, dan apalagi ini? Elena semakin gelisah.

***

A-Line dress dengan bagian punggung terbuka sampai ke pinggang. Oh please, tak adakah gaun lain.

"Maaf, apakah harus gaun ini yang dipakai? Tak adakah gaun yang lain?" tanya Elena pada penata busana.

"Ia Nona, karena ini adalah koleksi terbaru kami," jawab wanita paruh baya itu tersenyum dan kembali membantu Elena mengenakannya. Elena pasrah saja, yang harus ia lakukan saat ini adalah segera menyelesaikan pekerjaan dadakan ini agar tak terlalu lama mengenakannya. Sungguh Elena tak nyaman.

Alva berjalan memasuki ruang rias sang model perempuan. Ia Pun terperangah melihat penampilan Elena. Elena sedang bercermin, menunggu aksesoris yang sedang dipasangkan pada sebagian rambutnya yang dikepang berbentuk bunga mawar. Alva semakin terperangah melihat punggung wanita itu yang terekspos jelas. Kaki Alva begitu saja melangkah mendekati Elena. Keterkejutan Elena yang tiba-tiba melihat Alva yang berjalan di belakangnya membuatnya langsung berbalik.

"Kamu lagi apa?" tanya Elena.

Alva berdehem dan berjalan semakin mendekat. "Udah siap?" Elena mengangguk kikuk. So awkward. Alva menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.

"Ayo keluar," ajak Alva kemudian. Ia Pun berjalan mendahului, tapi tiba-tiba Alva kembali berbalik.

"Mmm perlu bantuan?" Elena tersenyum dan menggeleng. Oh shit! Your smile is so stunning.

"Oh ok." Alva kembali melangkah.

Lagi-lagi semua orang menatapnya intens, apalagi saat ini. Elena berjalan beriringan bersama Alva.

"Kalian seperti pengantin sungguhan," ujar Mei berjalan mendekat menghampiri Alva dan Elena yang terbatuk sedangkan Alva terkekeh geli.

Arahan kembali terdengar. Elena merasa lega karena kini jaraknya tak begitu dekat dengan Alva, ia bisa lebih fokus mengekspresikan dirinya. Tapi kelegaan itu tak berlangsung lama.

Kini Elena berdiri menghadap Alva membelakangi kamera, bertujuan untuk memperlihatkan bagian belakang gaun yang ia pakai. Punggungnya tidak terlalu terekspos jelas karena rambutnya yang terurai menutupi sebagian punggungnya yang terbuka. Alva meletakkan kedua tangannya di pinggang Elena, dengan wajah menghadap ke wajah Elena.

Tangan kanan Elena berada di samping pipi kiri Alva dan tangan kirinya berada di bahu kanan Alva.

"Elena lebih rileks ya," Andres berseru.

"Santai aja," ucap Alva membuat mata Elena ikut menatapnya dengan segenap kegugupannya, Elena berusaha untuk merilekskan jantungnya.

Setengah jam kemudian pemotretan selesai. Rasa lega menjalar ke seluruh tubuh Elena. Setelah mengganti gaun dengan pakaiannya kembali. Ia menghampiri Mei, yang sedang duduk di sofa.

"Oke sih tapi gak terima saja. Dia baru loh dibutik Nyonya Mei. Tapi udah bisa deket-deket sama tuan muda."

"Beruntung banget dia. Tapi tetep gue gak rela."

"So' cantik ya gak."

Desas desus itu terdengar dari arah ruang rias, perasaan lega itu bercampur aduk dengan rasa sakit. Walaupun berusaha untuk biasa saja, tapi rasa tak nyaman tetap ada.

Elena izin pergi kembali ke butik Mei, walaupun sebelumnya Andres menahannya agar mengobrol dulu seraya minum teh. Tapi ia menolaknya dengan lembut.

"Kamu pasti lelah, ya sudah istirahat aja ya. Pakai ruang istirahat aku aja," kata Mei menawarkan ruang istirahatnya untuk Elena beristirahat. Elena kembali menolak, ia memilih untuk pulang ke apartemen. Beristirahat disana akan lebih baik.

Alva hanya diam seraya memperhatikan perbincangan antara Elena dan Mei. Ia tak bertanya atau menawarkan tumpangan. Takut terlalu terburu-buru pikirnya.

***

Elena memasuki apartemen, rasanya kegiatan hari ini sungguh membuatnya lelah. Ia Pun memilih untuk segera membersihkan badannya yang lengket. Setelah menghabiskan waktu kurang lebih 30 menit, Elena keluar dengan menggunakan handuk yang ia lipatkan menutupi sebagian tubuhnya bagian dada dengan batas panjang diatas lutut. Elena berpikir hanya dirinya seoranglah yang berada di sana. Jadi, ia bebas melakukan apapun dan berpenampilan bagaimanapun. Kebiasaan yang masih berlanjut sampai sekarang. Ia selalu mengecek ponselnya terlebih dahulu seraya menunggu tubuhnya benar-benar kering. Berjalan menuju dapur dan menuangkan air putih, tenggorokan yang sedari tadi belum diisi air pun meronta karena kekeringannya. Meminta untuk segera diguyur oleh air mineral segar.

Elena tak biasa mengenakan pakaian di kamar mandi. Ia Pun menaiki lantai atas untuk mengenakan pakaian dikamar. Grwuk! Kini perutnya yang berdemo.

Setelah mengenakan sweater berwarna peach dan celana legging hitam. Ia kembali ke lantai bawah untuk menyiapkan makanan. Ia belum berbelanja untuk keperluan dapur, untung saja ketika di perjalanan pulang ia membeli makanan cepat saji. Jadi Elena hanya perlu menghangatkannya.

Drttt! Ponselnya bergetar.

"Halo ma," sapa Elena yang tanpa berpikir panjang ia langsung menjawab panggilan tersebut.

Elena menceritakan semua kegiatannya hari ini. Setiap hari mamanya pasti menelponnya atau bertukar pesan. Walaupun sudah besar, Naura terus memberikan perhatian penuh pada Elena. Ia selalu menanyakan banyak hal pada putri semata wayangnya itu termasuk tentang kegiatannya. Perhatian itu membuat Elena selalu merasa dekat dengan Naura. Walaupun jarak mereka jauh. Elena Pun selalu menjawab semua pertanyaan Naura dengan apa adanya. Seperti halnya hari ini, Naura cukup terkejut ketika Elena bercerita telah menjadi model dadakan sebuah butik ternama.

Elena anak tunggal dari pasangan Naura dan Haris. Ayah Elena lebih dulu meninggal mereka dua tahun lalu, karena takdir yang mengharuskan Haris meninggalkan Elena dan ibunya lebih awal. Sedangkan Naura bekerja sebagai penjahit di kampungnya, Elena selalu membantu Naura dalam pekerjaannya. Tak jarang para pelanggan Naura tertarik dan menggunakan rancangan milik Elena untuk pakaian mereka. Tak jarang pula dari mereka yang sengaja mendatangi Elena untuk dibuatkan rancangan khusus, dari situlah Elena mulai memperkenalkan rancangannya melalui media sosial.

***

Tok! Tok! Tok! Pintu ruangan pribadi Alva diketuk seseorang dan seorang wanita paruh baya yang berlenggang masuk begitu saja.

"Sudah jam makan siang, kenapa kamu belum juga menghentikan pekerjaanmu untuk sementara." Rosie duduk di sofa yang berada di ruangan tersebut.

Alva tak menoleh sedikitpun ke arah Rosie. Ia terus sibuk dengan laptopnya dan earphone yang masih menempel di kedua lubang pendengarannya. Rosie hanya menggelengkan kepala melihat Alva yang selalu asik dengan dunianya sendiri.

"Mama kesini, mau ajak kamu makan siang. Mama juga udah undang Audy untuk bergabung." Alva kini menghentikan tangannya yang sedari tadi menari diatas keyboard.

"Ma harus berapa kali aku bilang, Alva sama sekali gak ada perasaan apa-apa sama Audy. Stop jodoh-jodohin Alva sama dia."

"Mama cuman mau bantu kamu Alva, mau sampai kapan kamu gak serius dalam berhubungan sudah berapa wanita yang kamu ajak pacaran lalu besoknya kamu putuskan. Audy cantik, pintar dan dari keluarga terpandang. Ia termasuk wanita dalam kategori nyaris sempurna. Memang kamu mau cari yang seperti apa?" Rosie melipatkan kedua tangannya merasa kesal pada putranya.

"Ma tunggu waktu yang tepat, Alva akan menemukan seseorang yang Alva cari."

Rosie yang sudah lelah dengan sikap anaknya memilih untuk bangkit.

"Terserahlah, Mama udah cape dengan sikap kamu yang seperti ini," Rosie yang hendak keluar menghentikan langkahnya dan kembali berjalan menuju sofa yang Alva tempati.

"Kemarin kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik. Andres sangat puas dengan hasilnya, katanya baru kali ini ia melihat wajahmu pada couple season begitu sangat alami, berbeda dari biasanya. Apa kamu sangat menikmatinya, penghayatan yang seperti apa yang kamu lakukan kemarin?"

"Mm, entahlah aku hanya melakukan apa yang hatiku bilang," ucap Alva seraya mengedikkan kedua bahunya.

"Sudahlah mama mau ke butik. Nanti malam ada pesta di rumah Audy, kamu temani mama datang kesana." Setelah mengucapkan itu Rosie keluar dari ruangan Alva. Alva merasa kepalanya pusing karena mamanya selalu mendekatkan dirinya dengan Audy. Ia menangkup kepalanya oleh satu tangan ia tumpukan pada sandaran sofa. Tentang penghayatan, ia jadi kembali teringat saat kemarin menjalankan pemotretan bersama model dadakan itu. Elena.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status