Audy Queena seorang yang memiliki profesi yang sama seperti Alva. Wanita itu duduk di samping Alva seraya bergelayut manja di lengannya. Alva merasa risih dengan kedatangan Audy, ia menghempaskan tangan itu berkali-kali tapi Audy terus kembali melingkarkannya.
"Audy! Gue risih tau gak." Alva sungguh geram, ia pun memilih untuk segera melajukan mobilnya meninggalkan parkiran butik.
“Lo turun di halte depan,” ucap Alva yang segera melajukan mobilnya. Dengusan kesal terdengar dari arah sampingnya. Alva tak memperdulikan itu, ia fokus pada jalanan yang ada di depan sana.
“Siapa dia?” tanya Audy seraya menoleh ke arah samping, Alva tak kunjung menjawab membuat Audy kesal dibuatnya.
“Aku kecewa semalam kamu gak datang.” Kini Audy mengganti topik pembicaraannya. Tapi masih saja Alva terdiam tak menimpali. Sungguh dirinya kesal, ia meremas pakaiannya menahan kekesalan yang ia rasakan.
“Turun,” perintah Alva. Audy mengedarkan pandangannya, benar saja mobil ini berhenti tepat di depan sebuah halte. Alva tak main-main dengan ucapannya. Audy tak menurut, ia tetap diam di tempatnya.
Terdengar Alva yang berdengus kesal. Tak lama keluar dari mobil dan berjalan memutari mobil untuk membuka lebar pintu bagian Audy kembali menyuruh wanita itu untuk segera keluar dari sana.
“Gue gak punya waktu banyak, lo bisa keluar sekarang?” suara dingin itu terdengar memuat Audy terpaksa turun. Alva menutup pintu mobilnya, ia berdiri menghadap Audy dengan kedua tangan yang dimasukan ke dalam saku celana.
“Lo liat cewek tadi?” tanya Alva. Audy mengangkat wajahnya membalas tatapan Alva tanpa menjawab pertanyaan itu.
“Dia cewek gue,” ucap Alva kemudian. Mata Audy terbelalak, tak menyangka dengan apa yang Alva ucapkan sampai ia tak bisa berucap apa-apa. Tanpa pamit, Alva kembali memasuki mobilnya dan meninggalkan Audy di sana.
Emosi sungguh tak dapat Audy tahan, apa yang baru saja Alva katakan sungguh menyakiti hatinya. Wajah wanita tadi kembali ia ingat, seorang wanita asing yang baru ia temui begitu saja Alva akui sebagai kekasihnya. Ada apa ini, Audy merasa dipermainkan.
***
Elena keluar dari butik sekitar jam 5 sore, ia menghentikan taksi yang lewat dan segera menaikinya. Ia menyandarkan tubuhnya rileks ke sandaran kursi dan memejamkan matanya sejenak. Elena teringat mamanya tiba-tiba. Ma aku kangen, batinnya. Elena langsung mengeluarkan ponsel dari tas dan mencari nomor kontak orang yang selalu ia rindukan.
Ckittt! Tapi tiba-tiba taksi berhenti mendadak dan menjadikan ponsel Elena hampir saja terjatuh.
"Ada apa pak?" tanya Elena pada sang sopir taksi.
"Maaf mbak, ada mobil yang tiba-tiba berhenti didepan," jawab Pak sopir.
Elena hendak melihat tapi kaca mobilnya terlebih dulu diketuk seseorang. Matanya membulat melihat Alva di luar sana. Alva langsung membuka pintu taksi.
"Keluar," suruhnya.
"Alva, aku-"
Alva memberikan dua lembar uang seratus ribuan pada sang sopir taksi. "Pak ini."
"Alva gak usah, aku bisa bayar sendiri."
"Kembaliannya mas."
"Gak usah, ambil aja pak."
"Makasih mas."
"Ayo cepet keluar?"
"Maaf mas siapanya mbak ini ya?"
"Saya.. suaminya." Alva segera menarik tangan Elena dan membuat Elena keluar dari taksi. Alva membuka pintu mobilnya dan menyuruh Elena masuk. Elena segera masuk karena beberapa mobil di belakang sudah mengantri menunggu mobil di depannya segera melaju.
"Maksud kamu apa sih Va?" Elena yang tak mengerti maksud Alva geram dan segera bertanya. Alva tak menjawab, ia terus melajukan mobilnya. Elena yang kesal hanya diam dan melihat keluar jendela. Beberapa menit jalanan ditelusuri, dan kini Alva memasukkan mobilnya ke sebuah basement mal.
"Ayo turun," pinta Alva.
"Mau ngapain kita kesini." Elena mengedarkan pandangannya.
"Nonton bola," Elena mengerutkan keningnya seraya mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Ya belanjalah."
"Ya terus, buat apa aku ikut. Kamu yang mau belanja."
"Kita belanja bahan masakan, kulkas di apartemen sudah hampir kosong, kemarin semua gua masak. Lo gak sadar?"
"Apa?" Apa iya, kenapa Elena tak menyadarinya. Padahal ia sendiri yang belanja dan ikut makan juga.
"Cepet turun, jangan bikin gue nunggu, gue gak suka." Walaupun sedikit kesal Elena tetap keluar dari mobil dan mengikuti Alva dari belakang. Elena mengambil troli, Alva mengambil alih dan mendorongnya.
"Eh."
"Udah cepet, pilih aja mau beli apa." Elena Pun melihat-lihat, sebenarnya ia belum hafal beberapa nama sayuran dan bumbu yang harus digunakan, walaupun dulu dia sering bertanya tapi belum tentu Elena mengingatnya.
"Ko lama banget sih, gue udah laper nih," gerutu Alva.
"Ya udah makan aja sana," timpal Elena yang masih melihat-lihat sayuran yang da di depannya.
"Gue pengen makan di apartemen," balas Alva.
Ck! Ribet banget sih ni orang, batin Elena.
Lama banget elah, gumam Alva. Di satu jenis sayuran saja Elena bisa menghabiskan waktu berpuluh-puluh menit.
"Tunggu di sini, biar gue yang cari.” Elena mengerjapkan matanya ketika melihat Alva berjalan mendekat ke beberapa sayuran, ia terlihat begitu mahir membuat Elena terperangah melihatnya.
Alva memilih beberapa bahan masakan beserta bumbu-bumbunya. Tak lupa ia juga membeli beberapa daging.
"Kamu beli daging?"
"Lo gak suka?"
"Suka, tapi masaknya gimana?"
Alva tak menjawab, ia kembali mendorong troli dan memasukkan beberapa bahan lagi yang Elena tak tahu itu apa. Setelah satu jam berputar, akhirnya mereka menghampiri kasir.
Sumpah demi apa ini troli penuh banget, gumam Elena.
"Alva, kenapa banyak banget sih belanjanya. Aku gak mungkin makan semua ini.” Elena mengeluh melihat belanjaan mereka begitu banyak.
"Lo pikir, lo aja yang mau makan? ya gue juga lah," timpal Alva.
Hah! Apa maksudnya, apa dia mau tiap hari makan di apartemen, iya aku tau itu tempat tinggal dia, tapi kan ah sudahlah. Alva harus memperjelas semua ini nanti.
Diperjalanan menuju apartemen, Elena tak bersuara. Ia terus memikirkan apa maksud Alva belanja sebegini banyaknya.
Sampai di basement apartemen. Elena keluar dari mobil sambil membawa dua kantong kresek kecil sedangkan Alva membawa dua kantong besar lainnya. Elena segera menekan pin apartemen dan membuka lebar pintu itu. Belanjaan itu mereka tahun di area dapur tepatnya di atas meja bar.
"Va, maksudnya kamu mau makan di sini tiap hari?"
Alva mengeluarkan beberapa bahan masakan dan mencucinya, tak lupa juga ia mengeluarkan bumbu-bumbu yang diperlukan "Kalo iya, kenapa?"
"Tapikan Va rumah kamu jauh, masa setiap jam makan datang kesini."
"Gue pindah aja ke sini, gampangkan." mata Elena membulat, maksudnya kita tinggal satu apartemen gitu. Elena ingin mengomel tapi ia urungkan. Elena tahu, di sini dialah yang menumpang.
"Yaudah, aku usahakan secepatnya aku pindah Va, makasih ya sebelumnya udah kasih aku tempat tinggal." Alva yang sedang memotong sayuran pun langsung berbalik. Ia meletakkan pisau dan berjalan mendekati Elena.
***
Alva berjalan mendekat ke arah Elena, Elena pun mundur dan sialnya langkahnya terhenti karena kabinet yang berada di belakangnya."Tinggal di sini, gue gak bisa urus apartemen sendirian," ucap Alva dengan mata memperangkat mata Elena yang sedang terbelalak."Tapi Va, kita gak bisa tinggal satu apartemen," lirih Elena."Gue gak tinggal, mungkin sesekali datang ke sini untuk memastikan apartemen gue aman." Alva menimpali.Aman? Apa maksudnyaElena memanyunkan bibirnya."Lo boleh pake kamar utama, ruang sebelahnya bakal gue ubah jadi kamar biar gampang buat gue tidur kalo datang kesini," papar Alva. Ruang lain? Elena sendiri tak mengetahui ruangan itu. Ia merasa enggan membukanya walaupun ia sangat penasaran ingin melihat apa yang ada di dalamnya."Tapi Va-""Apa? Lo mau kita tidur seranjang, gue sih gak masalah." Alva mengedikkan bahunya sedangkan Elena terperanjat dengan ucapan Alva yang menurutnya sensitif.Alva t
Elena memandangi pantulan dirinya di cermin, ia memegang dadanya. Ia merasakan hal aneh, ini sungguh menegangkan. Ia akan datang melihat dirinya yang terekspos di khalayak ramai. Entah foto yang mana yang akan diperlihatkan dan sedang mengenakan baju yang mana Elena tak tahu, yang ia tahu saat ini adalah dirinya merasa gugup.Ting tong!Suara bel apartemenemenemen berbunyi, ia segera keluar untuk membukanya.Ceklek!Seorang laki-laki mengenakan setelan jas berdiri membelakanginya. Elena sangat mengenalinya. Itu adalah Alva.Tapi kenapa ia harus memencet bel? Kenapa tak langsung masuk seperti biasanya."Alva," panggil Elena. Alva membalikkan badannya. Mata Elena membulat melihat penampilan Alva yang lebih memukau dibandingkan biasanya setelan jas berwarna maroon dengan dalaman kemeja hitam membuatnya terlihat semakin mempesona. Mata Elena kembali membulat, kini ia melihat gaun yang ia kenakan memiliki warna yang coc
"Aku bisa makan sambil melakukan pekerjaanku Alva." Alva menggeleng, ia kembali mengajak Elena untuk duduk di sofa dan mendudukkannya."Gak El, makan ya makan dulu aja, jangan nyambi.""Ish," Elena menggerutu, tapi ia tetap menurut dan hal itu membuat Alva senang."Gitu dong," Alva mengusap sisi wajah Elena. Elena terbelalak lagi-lagi Alva memberi perlakuan manis padanya. Bersamaan dengan itu, Rosie datang dan melihat aksi Alva."Alva," keduanya menoleh. Elena tampak kaget sedangkan Alva merasa santai saja."Ya ma?""Kamu, lagi apa? Disini?"Elena langsung bangkit dari duduknya ia tak enak karena sebelumnya duduk berdekatan dengan Alva, ralat Alva yang mendekatinya."Mm ma..maaf Nyonya kami..""Sudah saya bilang, jangan panggil saya Nyonya, panggil saja Tante hm."Mata Elena mengerjap, membuat Alva gemas melihatnya. Bukannya membantu Elena untuk menjelaskan keberadaannya di tempat ini. Alva malah menyandarka
Suara berisik itu membangunkan Alva yang masih sangat mengantuk, ia mulai membuka matanya seraya menguap. Bangun dari tempat yang cukup membuatnya sakit badan, karena walaupun empuk tetap saja sofa tidak senyaman tempat tidur. Alva merenggangkan ototnya, ia menoleh ke arah dapur dimana seseorang berada. Ia mengulum senyumnya seraya berjalan menghampiri Elena yang sedang sibuk dengan perlengkapan tempur."Pagi Al," sapa Elena ketika melihat Alva datang dengan wajah khas bangun tidurnya."Hm pagi." Alva menghampiri Elena yang sedang menyiapkan sarapan."Mm aku cuman masak nasi goreng, g..gapapa?" Elena tak berani menatap Alva yang melirik bergantian dirinya dan nasi goreng yang sudah tersedia di atas meja."Thanks." Alva mengusap puncak kepala Elena seraya tersenyum. Senyum yang membuat Elena menahan nafasnya sejenak. Senyuman Alva cukup membuatnya terpesona. Alva sudah duduk manis dan meminum air putih yang tersedia di dalam gelas tinggi itu.Alva m
"Hhh..." Elena berjalan gontai memasuki lift, satu jam lalu ia baru kembali setelah acara pulang kampungnya beberapa hari kebelakang. Cukup melelahkan membuat Elena ingin segera sampai dan merebahkan tubuhnya, kulit yang terasa lengket rasanya ingin segera berdiri di bawah shower dengan air dingin yang menghujaninya. Membayangkannya saja sudah membuat Elena nyaman. Tapi apa daya keinginannya harus tertunda terlebih dahulu karena keberadaan Alva di sana yang berdiri seraya melipatkan kedua tangan menyambut kedatangan Elena. Tatapannya terasa mengintimidasi, sedikit membuat Elena heran."Hai Va, apa kabar?" Tak kaku memang, tapi mata mengintimidasi Alva membuat Elena semakin lama menjadi takut."Mm aku bersih-bersih dulu." Baru tiga langkah kakinya berjalan, suara Alva membuatnya kembali berhenti."Kenapa gak bilang d
"Kamu tau, Anya pernah memanggilku bibi, padahal aku neneknya." Mei terkekeh, sedangkan Elena membulatkan matanya. Anak kecil saja menganggapnya seperti itu, tidak heran memang Mei masih terlihat muda, mungkin jika Elena tak mengenalinya, ia akan menganggap umur Mei hanya 3 tahun lebih tua darinya."Walaupun begitu aku tidak lupa umur ko, tenang saja. Gini-gini aku sudah punya cucu satu," Mei kembali tersenyum lebar membuat matanya yang sipit semakin menyipit.Elena memang sangat membenarkan itu, Mei memang terlihat 10 tahun lebih muda dari umurnya yang sekarang, ia memang sangat pandai merawat diri dan lihatlah kulitnya masih terlihat kencang dan segar. Tak heran jika cucunya sendiri memanggil bibi, bukan oma atau nenek seperti seharusnya. Mungkin untuk ukuran oma, Mei belum cocok menyandang gelar itu.Drrrttt!Ponsel Mei bergetar, menandakan ada panggilan masuk."H
Elena bergerak kesana kemari, bersyukur tak ada siapapun di toilet kecuali dirinya. Beberapa kali ia bercermin lalu kembali memalingkan wajahnya ke arah lain. Tangan kanannya terangkat dan menyentuh tempat dimana kecupan itu mendarat.“Alva kenapa sih!” gerutunya yang merasa kesal karena Alva yang beberapa saat lalu tiba-tiba mengecupnya. Aku pikir posenya tidak perlu seperti itu, apa dia sengaja, gerutu Elena uang dipusatkan pada laki-laki menyebalkan yang berani membuat perasaannya kalut.Pintu toilet tiba-tiba terbuka dan membuat Elena terkejat.“Elena aku pikir kamu dimana, ternyata masih disini,” tutur Mei yang mulai masuk ke dalam toilet dan mendekat ke arah wastafel dimana Elena berada. “Ada apa? Perutmu sakit?” tanya Mei yang memperhatikan keadaan Elena yang terlihat gelisah.“Oh, enggak tan,” jawab Elena yang mencoba menyembunyikan kekesalannya. Mei mengusap bahu Elena seraya tersenyum.&ldqu
Alva terus melangkah dan menuruni tangga menuju lantai satu. Kedatangannya mengundang perhatian tapi ia tak memperdulikan tatapan mereka yang tertuju padanya. Penampilan Alva yang santai membuat semua heran, termasuk Roy yang merasa malu karena Alva yang tiba-tiba muncul dengan penampilan seperti itu.Alva yang tak memperdulikan sekitarnya terus melangkah menuju pintu keluar, termasuk ia melewati Roy yang menatap tajam ke arahnya. Desas-desus terdengar, Roy semakin malu dibuatnya.“Eh Va, lo mau kemana? Dan penampilan lo?” Reno yang berada di sana mendekat pada Alva dan berusaha menghalangi jalan Alva.“Kunci mobil lo mana?” Alva mengangkat telapak tangannya untuk meminta benda yang baru saja ia sebutkan.“Hah?” Reaksi Reno terhadap apa yang Alva minta. “ Buat apa?”“Gue minta kunci mobil lo,” ucap Alva yang kini menatap tajam mata Reno. Reno bingung dibuatnya, tangannya pun mulai merogoh