Alva berjalan mendekat ke arah Elena, Elena pun mundur dan sialnya langkahnya terhenti karena kabinet yang berada di belakangnya.
"Tinggal di sini, gue gak bisa urus apartemen sendirian," ucap Alva dengan mata memperangkat mata Elena yang sedang terbelalak.
"Tapi Va, kita gak bisa tinggal satu apartemen," lirih Elena.
"Gue gak tinggal, mungkin sesekali datang ke sini untuk memastikan apartemen gue aman." Alva menimpali.
Aman? Apa maksudnya Elena memanyunkan bibirnya.
"Lo boleh pake kamar utama, ruang sebelahnya bakal gue ubah jadi kamar biar gampang buat gue tidur kalo datang kesini," papar Alva. Ruang lain? Elena sendiri tak mengetahui ruangan itu. Ia merasa enggan membukanya walaupun ia sangat penasaran ingin melihat apa yang ada di dalamnya.
"Tapi Va-"
"Apa? Lo mau kita tidur seranjang, gue sih gak masalah." Alva mengedikkan bahunya sedangkan Elena terperanjat dengan ucapan Alva yang menurutnya sensitif.
Alva terkekeh melihat mata Elena yang membulat sempurna, ia mendekat dan membuka kabinet yang ada di atas kepala gadis itu dengan Elena yang terperangkap di depannya. Wangi tubuh Alva menyeruak di penciuman Elena. Sungguh wangi yang maskulin.
"Va aku bisa geser dulu."
"Bentar gue mau ambil wajan."
Ck! Apaan sih kan bisa bilang dulu, geruru Elena. Elena pun mendorong dada Alva tapi tubuhnya malah ditarik kesamping dan ...
Plak! Prang!
Sesuatu terjatuh dan mengenai pundak Alva, benda yang jatuh itu menggema dan membuat Elena menutup kedua matanya.
"Aw!" Alva meringis seraya memegang bahunya.
"Va maaf, kamu sakit?" Elena terlihat khawatir karena benda itu mengenai bahu Alva.
"Lo sih, kenapa dorong-dorong."
"Siapa suruh kamu kurung aku, kan bisa bilang dulu dan suruh aku minggir." Elena membela diri.
"Tau ah, ambil wajahnya." Alva kembali berjalan menuju meja bar. Sedangkan Elena menggerutu kesal seraya menghentakkan kakinya beberapa kali.
"Ih Va kabinetnya tinggi."
"Siapa suruh pendek."
"Iih nyebelin," Elena mengambil kursi dan meletakkannya di sana. Ia naik dan menjadikan dirinya dapat meraih wajan yang ada di dalam kabinet. Alva terkekeh melihat wajah Elena yang memperlihatkan jelas kekesalannya.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 tapi Alva belum juga keluar dari ruangan itu. Elena yang sudah mengantuk pun masih menunggu Alva di ruang tamu. Tadi laki-laki itu mengatakan bahwa ia akan pulang tapi sampai saat ini ia masih berdiam diri di dalam sana.
Elena sudah tak tahan untuk menahan kantuknya, ia bangkit untuk menemui Alva di ruangan tersebut. Sebelum masuk ia ketuk pintu terlebih dahulu. Tak ada respon dari dalam, Elena kembali mengetuk pintu itu.
"Masuk," seruan Alva kini terdengar. Elena Pun mulai membuka pintu dengan perlahan. Matanya membulat ketika melihat apa yang ada didalamnya Ruangan yang bersih dan mengagumnkan. Apakah ini sebuah ruangan kerja? Tapi Elena lihat ini terlihat mirip sebuah studio musik. Elena menangkah sosok Alva yang menempati kursi yang mengarah ke sebuah monitor lebar di depannya. Posisi kursi itu membelakangi Elena jadi ia bisa melihat apa yang ada di layar monitor itu. Tapi sayangnya ia tak mengerti dengan apa yang ada di layar tersebut, menampilkan sesuatu yang membingungkannya tapi jika bisa ia tebak layar itu sepertinya menampilkan sebuah audio editing. Musik? Apa Alva sedang membuat sebuah musik? batin Elena.
Elena ingin sekali bertanya tapi ia kini ia lebih memilih untuk tak bersuara dan sibuk memperhatikan setiap inci ruangan itu. Elena berkeliling melihat benda-benda yang ada disana, furniture simple modern dan beberapa foto yang berbingkai menempel di dinding. Sebuah foto keluarga, keluarga Alva memang bukan keluarga biasa, mereka terlihat seperti keluarga terpandang. Di foto itu memperlihatkan seorang pria paruh baya yang sangat tampan dan wanita paruh baya yang terlihat masih segar dan memancarkan kecantikannya.
Jadi ini nyonya Rosie, gumamnya.
Memang Elena belum bertemu dengan Rosie, selalu ada hambatan ketika akan menemuinya. Mata Elena melihat gadis yang sangat cantik berdiri di samping Alva. Apa ini adik Alva? dan kini matanya berhenti pada sosok Alva dengan kuncir rambut khasnya di dalam foto tersebut. Jika boleh Elena tebak, sepertinya ini adalah foto lama karena gaya rambut yang digunakan Alva cukup berbeda walaupun dengan rambut sama panjangnya dengan saat ini. Alva sepertinya memang hobi memanjangkan rambutnya. Satu hal lain yang Elena sadari, Alva memang mempesona walaupun hanya di lihat dari foto. Tak dapat dipungkiri, ketampanannya membuat Elena terpukau dan tak dapat dipungkiri pula buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya, Alva memiliki ketampanan yang diturunkan dari ayahnya.
"Orangnya ada disini, ngapain liatin fotonya," suara itu mengagetkan Elena. Alva telah berdiri di samping dan menghadapnya. Elena memegang dadanya, kekagetan yang disebabkan Alva membuat jantungnya berdegup kencang.
"Itu mama papa, dan yang berdiri di sebelah gue namanya Felicia adik gue," jelas Alva. Elena mengangguk dengan mulut yang membentuk huruf O. Alva melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Kenapa belum tidur?"
"Mm nunggu kamu."
Alva menaikkan sebelah alisnya seraya tersenyum, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan mencondongkan badannya ke depan. Elena mundur karena wajah Alva mendekat.
"Lo mau tidur bareng gue?" sontak Elena menggelengkan kepalanya cepat.
"Terus?" lanjut Alva.
"Mm itu.. katanya kamu mau pulang." Elena berkata seraya menatap mata Alva yang juga sedang menatapnya.
"Lo ngusir gue?" tanya Alva lagi yang mengundang kembali gelengan cepat kepala Elena.
"Bukan gitu, maksud aku gak enak aja kalau aku tidur duluan, rasanya gak sopan." Kini Elena tak berani menatap mata Alva ia berbicara seraya memperhatikan jemarinya yang sedari tadi ia mainkan. Alva menyunggingkan senyumnya, Elena terlihat sangat lucu di matanya.
"Cepet tidur sana, besok lo harus kerjakan." Elena Pun mengangguk dan langsung bergegas keluar dari ruangan Alva, menuju kamar utama. Ia langsung menaiki ranjang dan mengecek ponselnya terlebih dahulu. Dirasa mata yang sudah berat, Elena memejamkan matanya dan terlelap.
Sudah pukul 23.30 dan Alva baru keluar dari ruangan yang sudah lama tak ia datangi, bersyukur semua yang ada di dalamnya masih dapat dipergunakan dengan baik. Wajahnya menoleh ke arah pintu kamar yang sudah tertutup rapat.
Ceklek! rupanya pintu itu tak dikunci, apa Elena tak takut pada dirinya. Alva melihat tubuh Elena yang tak ditutupi selimut. Iapun masuk dan menyelimuti tubuh Elena. Wajah Elena yang tertutup helaian rambut panjang itu Alva sibakkan. Melihat wajah Elena yang damai membuat hatinya tenang. Pipi Elena yang chubby tertekan oleh tangan yang disimpan sebagai tumpuan wajah cantik nan manis itu. Alva kembali tersenyum, Elena membuatnya gemas ingin sekali mencubit pipi chubby itu tapi tak mungkin ia lakukan, Elena sedang tidur dan tak mungkin ia usik. Alva pun duduk di single sofa yang tak jauh dari ranjang, menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa dengan masih memandangi Elena yang tertidur lelap sampai ia pun ikut terlelap.
***
Atas dasar paksaan, Elena kembali diantar Alva ke butik. Ia sudah bersikeras menolaknya tapi tetap saja Alva memaksanya agar menuruti keinginannya. Pagi tadi ia sempat kaget karena mendapati Alva yang tertidur dengan posisi duduk pada single sofa yang tak jauh dari ranjang yang ia tiduri. Alva mengatakan bahwa ia cukup malas untuk pulang karena sudah larut. Elena tak berbicara banyak karena ia tak mempunyai hak untuk mengatur Alva, toh apartemen itu milik Alva. Sesampainya di depan butik. Alva ikut keluar dan masuk ke dalam butik. Elena sempat risih karena mereka menjadi pusat perhatian di butik. Ini kali kedua Alva mengantarnya dan itu sungguh membuatnya kurang nyaman. Kurang nyaman dalam artian takut adanya kesalahpahaman atas apa yang mereka tanggapi dari apa yang mereka lihat. Kemarin ada seorang wanita yang menatapnya tak suka hingga membuatnya hampir terjatuh karena membuka pintu mobil Alva tiba-tiba ketika Elena masih berdiri tak jauh dari sana. Ia sangat penasaran dengan wanita itu, ingin sekali bertanya tapi rasanya ia belum berani. Kini para karyawan sedang berdesas-desus ketika Elene dan Alva memasuki butik.
"Ekhm," suara deheman terdengar dan keduanya menoleh.
"Hai tan."
"Nyo..Nyonya Mei."
"Ada apa kamu pagi-pagi kesini?" tanya Mei pada Alva seraya tersenyum seraya menoleh kearah Elena. Elena tersenyum canggung.
"Ma..maaf Nyonya saya duluan," ucap Elena lalu sekilas melirik Alva yang juga sedang menatapnya. Elena meninggalkan Mei dan Alva.
"Apa kalian sedang berkencan?" tanya Mei penuh selidik. Alva terkekeh.
"Aku pergi dulu ya tan, bye," pamit Alva.
“Eh bentar.” Mei memegang lengan Alva menahannya agar tak pergi dulu.
“Si Reno udah risih,” kata Alva seraya mengangkat ponselnya yang menampilkan adanya panggilan atas nama Reno. Alva mendekat lalu mengecup kening Mei, setelah itu ia langsung meninggalkan Mei yang mengerutkan kening.
"Apa karena bekerja dalam satu proyek mereka jadi dekat?" tanya Mei pada diri sendiri. Masih dengan memikirkan hal itu, Mei berjalan masuk ke arah ruangan Elena.
"Elena," suara panggilan Mei terdengar membuat Elena menoleh.
"Besok kamu ikut ke acara pameran ya, pameran yang pernah kita bicarakan."
Elena terdiam sebentar dan kini ia ingat, itu adalah pameran fashion photography. Eh sebentar apa itu artinya foto yang waktu itu akan diperlihatkan. Mata Elena membulat, ia tahu pasti akan seperti ini namanya juga pameran. Tapi bagaimana nanti jika orang-orang mengenali bahwa itu dirinya.
"Rosie yang mengatakannya, sekalian ia ingin bertemu denganmu di sana, karena hari-hari biasa sulit sekali untuk bertemu dan Andres juga mengatakan bahwa kamu dan Alva harus hadir."
"Ta..tapi."
"Besok kamu berangkat bareng Alva ya, kita bertemu di sana. Sudah sore ini sudah waktunya kamu pulang, kamu harus beristirahat," ucap Mei menepuk pundak Elena pelan. Tak memberikan ruang untuk Elena mengatakan sesuatu karena Mei telah berlalu keluar ruangan.
***
Mobil hitamnya sudah terparkir rapi di area basement. Alva mulai keluar dari sana dan berjalan ke arah lift. Bersamaan dengannya, ada seseorang yang juga baru keluar dari mobilnya dan berjalan ke arah lift. Alva menahan pintu lift itu untuk tidak tertutup lebih dulu menunggu wanita itu yang berlari kecil mendekat.
“Oh terima kasih,” ucap wanita berambut panjang yang baru pertama kali Alva lihat.
“Hm,” gumam Alva tersenyum tipis. Sesuatu terbersit, ia menebak-nebak siapa wanita ini sebenarnya dan praduga pun muncul dibenaknya. Mungkin dia model baru, gumamnya.
Pintu lift terbuka, lantai yang Alva tuju telah tiba, ia pun keluar meninggalkan wanita tadi tanpa mengucapkan apa-apa. Wanita itu memperhatikan Alva yang terus berjalan menjauh sampai pintu lift kembali tertutup.
“Hhh, akhirnya datang juga.” Suara itu terdengar, Alva menoleh seraya mengangkat sebelah alisnya, tanda menyapa.
“Reno menunggumu sejak tadi,” ucap laki-laki itu.
“Lebay lo Ren,” timpal Alva dan menimbulkan kekehan si manajer yang berjalan beriringan dengannya. Mereka pun memasuki ruangan, dimana itu adalah ruangan khusus untuknya.
“Ada kabar baik buat lo,” ucap Reno mengawali pembicaraan ke arah yang lebih serius. Alva menoleh ingin mengetahui lebih lanjut maksud dari ucapan Reno.
“Lo gak sendiri dalam pemotretan produk yang akan datang,” lanjut Reno dengan senyum yang mulai mengembang. Alva tahu maksud Reno, akan ada rekan lagi untuknya dalam pemotretan kali ini.
“Katanya sih model baru.” Mendengar Reno mengatakan hal itu, Alva jadi teringat praduganya terhadap wanita yang ia temui di lift tadi.
Tak lama pintu ruangan terbuka. Alva dan Reno menoleh dan pandangan Alva langsung tertuju pada wanita berambut panjang yang juga melihat ke arahnya.
“Hai Don,” sapa Reno pada pria yang baru memasuki ruangan dengan seorang wanita yang ada di belakangnya. Pria bernama Doni itu mengangkat tangannya menyapa.
“Va, Reno pasti udah kasih tau kan. Kenalin Rachel, dia yang akan jadi rekan lo untuk pemotretan produk minggu depan.”
Wanita bernama Rachel itu tersenyum, ia mengulurkan tangannya pada Alva dan kembali memperkenalkan dirinya. “Rachel.”
Tak langsung Alva menjabat tangan itu, ia memperhatikan dahulu wanita yang tadi ia temui di lift. Kemudian tangannya terangkat dan ikut memperkenalkan diri.
“Alva. Alva Melviano.”
***
Elena memandangi pantulan dirinya di cermin, ia memegang dadanya. Ia merasakan hal aneh, ini sungguh menegangkan. Ia akan datang melihat dirinya yang terekspos di khalayak ramai. Entah foto yang mana yang akan diperlihatkan dan sedang mengenakan baju yang mana Elena tak tahu, yang ia tahu saat ini adalah dirinya merasa gugup.Ting tong!Suara bel apartemenemenemen berbunyi, ia segera keluar untuk membukanya.Ceklek!Seorang laki-laki mengenakan setelan jas berdiri membelakanginya. Elena sangat mengenalinya. Itu adalah Alva.Tapi kenapa ia harus memencet bel? Kenapa tak langsung masuk seperti biasanya."Alva," panggil Elena. Alva membalikkan badannya. Mata Elena membulat melihat penampilan Alva yang lebih memukau dibandingkan biasanya setelan jas berwarna maroon dengan dalaman kemeja hitam membuatnya terlihat semakin mempesona. Mata Elena kembali membulat, kini ia melihat gaun yang ia kenakan memiliki warna yang coc
"Aku bisa makan sambil melakukan pekerjaanku Alva." Alva menggeleng, ia kembali mengajak Elena untuk duduk di sofa dan mendudukkannya."Gak El, makan ya makan dulu aja, jangan nyambi.""Ish," Elena menggerutu, tapi ia tetap menurut dan hal itu membuat Alva senang."Gitu dong," Alva mengusap sisi wajah Elena. Elena terbelalak lagi-lagi Alva memberi perlakuan manis padanya. Bersamaan dengan itu, Rosie datang dan melihat aksi Alva."Alva," keduanya menoleh. Elena tampak kaget sedangkan Alva merasa santai saja."Ya ma?""Kamu, lagi apa? Disini?"Elena langsung bangkit dari duduknya ia tak enak karena sebelumnya duduk berdekatan dengan Alva, ralat Alva yang mendekatinya."Mm ma..maaf Nyonya kami..""Sudah saya bilang, jangan panggil saya Nyonya, panggil saja Tante hm."Mata Elena mengerjap, membuat Alva gemas melihatnya. Bukannya membantu Elena untuk menjelaskan keberadaannya di tempat ini. Alva malah menyandarka
Suara berisik itu membangunkan Alva yang masih sangat mengantuk, ia mulai membuka matanya seraya menguap. Bangun dari tempat yang cukup membuatnya sakit badan, karena walaupun empuk tetap saja sofa tidak senyaman tempat tidur. Alva merenggangkan ototnya, ia menoleh ke arah dapur dimana seseorang berada. Ia mengulum senyumnya seraya berjalan menghampiri Elena yang sedang sibuk dengan perlengkapan tempur."Pagi Al," sapa Elena ketika melihat Alva datang dengan wajah khas bangun tidurnya."Hm pagi." Alva menghampiri Elena yang sedang menyiapkan sarapan."Mm aku cuman masak nasi goreng, g..gapapa?" Elena tak berani menatap Alva yang melirik bergantian dirinya dan nasi goreng yang sudah tersedia di atas meja."Thanks." Alva mengusap puncak kepala Elena seraya tersenyum. Senyum yang membuat Elena menahan nafasnya sejenak. Senyuman Alva cukup membuatnya terpesona. Alva sudah duduk manis dan meminum air putih yang tersedia di dalam gelas tinggi itu.Alva m
"Hhh..." Elena berjalan gontai memasuki lift, satu jam lalu ia baru kembali setelah acara pulang kampungnya beberapa hari kebelakang. Cukup melelahkan membuat Elena ingin segera sampai dan merebahkan tubuhnya, kulit yang terasa lengket rasanya ingin segera berdiri di bawah shower dengan air dingin yang menghujaninya. Membayangkannya saja sudah membuat Elena nyaman. Tapi apa daya keinginannya harus tertunda terlebih dahulu karena keberadaan Alva di sana yang berdiri seraya melipatkan kedua tangan menyambut kedatangan Elena. Tatapannya terasa mengintimidasi, sedikit membuat Elena heran."Hai Va, apa kabar?" Tak kaku memang, tapi mata mengintimidasi Alva membuat Elena semakin lama menjadi takut."Mm aku bersih-bersih dulu." Baru tiga langkah kakinya berjalan, suara Alva membuatnya kembali berhenti."Kenapa gak bilang d
"Kamu tau, Anya pernah memanggilku bibi, padahal aku neneknya." Mei terkekeh, sedangkan Elena membulatkan matanya. Anak kecil saja menganggapnya seperti itu, tidak heran memang Mei masih terlihat muda, mungkin jika Elena tak mengenalinya, ia akan menganggap umur Mei hanya 3 tahun lebih tua darinya."Walaupun begitu aku tidak lupa umur ko, tenang saja. Gini-gini aku sudah punya cucu satu," Mei kembali tersenyum lebar membuat matanya yang sipit semakin menyipit.Elena memang sangat membenarkan itu, Mei memang terlihat 10 tahun lebih muda dari umurnya yang sekarang, ia memang sangat pandai merawat diri dan lihatlah kulitnya masih terlihat kencang dan segar. Tak heran jika cucunya sendiri memanggil bibi, bukan oma atau nenek seperti seharusnya. Mungkin untuk ukuran oma, Mei belum cocok menyandang gelar itu.Drrrttt!Ponsel Mei bergetar, menandakan ada panggilan masuk."H
Elena bergerak kesana kemari, bersyukur tak ada siapapun di toilet kecuali dirinya. Beberapa kali ia bercermin lalu kembali memalingkan wajahnya ke arah lain. Tangan kanannya terangkat dan menyentuh tempat dimana kecupan itu mendarat.“Alva kenapa sih!” gerutunya yang merasa kesal karena Alva yang beberapa saat lalu tiba-tiba mengecupnya. Aku pikir posenya tidak perlu seperti itu, apa dia sengaja, gerutu Elena uang dipusatkan pada laki-laki menyebalkan yang berani membuat perasaannya kalut.Pintu toilet tiba-tiba terbuka dan membuat Elena terkejat.“Elena aku pikir kamu dimana, ternyata masih disini,” tutur Mei yang mulai masuk ke dalam toilet dan mendekat ke arah wastafel dimana Elena berada. “Ada apa? Perutmu sakit?” tanya Mei yang memperhatikan keadaan Elena yang terlihat gelisah.“Oh, enggak tan,” jawab Elena yang mencoba menyembunyikan kekesalannya. Mei mengusap bahu Elena seraya tersenyum.&ldqu
Alva terus melangkah dan menuruni tangga menuju lantai satu. Kedatangannya mengundang perhatian tapi ia tak memperdulikan tatapan mereka yang tertuju padanya. Penampilan Alva yang santai membuat semua heran, termasuk Roy yang merasa malu karena Alva yang tiba-tiba muncul dengan penampilan seperti itu.Alva yang tak memperdulikan sekitarnya terus melangkah menuju pintu keluar, termasuk ia melewati Roy yang menatap tajam ke arahnya. Desas-desus terdengar, Roy semakin malu dibuatnya.“Eh Va, lo mau kemana? Dan penampilan lo?” Reno yang berada di sana mendekat pada Alva dan berusaha menghalangi jalan Alva.“Kunci mobil lo mana?” Alva mengangkat telapak tangannya untuk meminta benda yang baru saja ia sebutkan.“Hah?” Reaksi Reno terhadap apa yang Alva minta. “ Buat apa?”“Gue minta kunci mobil lo,” ucap Alva yang kini menatap tajam mata Reno. Reno bingung dibuatnya, tangannya pun mulai merogoh
Hampir selesai, tinggal campurkan sausnya dan jadi. Elena tersenyum lebar karena apa yang ia buat sebentar lagi siap dikonsumsi dan itu artinya Alva akan segera mencoba masakannya. Elena menoleh ke arah Alva yang sedang menonton televisi. Masih seperti tadi, tatapan Alva terlihat kosong. Matanya tertuju pada layar besar itu tapi Elena rasa Alva tak memperhatikannya betul. Elena kembali memusatkan perhatiannya pada makanan yang sebentar lagi siap dihidangkan, aromanya enak ia berharap Alva menyukainya dan spageti yang ia buat tak mengecewakan.Selesai, serunya dalam hati. Elena hendak mengangkat wadah yang berisi spageti itu untuk dipindahkan ke atas meja makan, tapi sesuatu mengagetkannya dan membuatnya terdiam membeku. Sepasang tangan melingkar di pinggangnya dan bahu kirinya teras berat.Alva memeluknya dari belakang dan membuat Elena terdiam begitu saja, keterkejutan membuat Elena seperti itu.“A..Alva.” Elena mulai menjemput kesadarannya, tangann