Share

6-Undangan

Alva berjalan mendekat ke arah Elena, Elena pun mundur dan sialnya langkahnya terhenti karena kabinet yang berada di belakangnya.

"Tinggal di sini, gue gak bisa urus apartemen sendirian," ucap Alva dengan mata memperangkat mata Elena yang sedang terbelalak.

"Tapi Va, kita gak bisa tinggal satu apartemen," lirih Elena.

"Gue gak tinggal, mungkin sesekali datang ke sini untuk memastikan apartemen gue aman." Alva menimpali.

Aman? Apa maksudnya Elena memanyunkan bibirnya.

"Lo boleh pake kamar utama, ruang sebelahnya bakal gue ubah jadi kamar biar gampang buat gue tidur kalo datang kesini," papar Alva. Ruang lain? Elena sendiri tak mengetahui ruangan itu. Ia merasa enggan membukanya walaupun ia sangat penasaran ingin melihat apa yang ada di dalamnya.

"Tapi Va-"

"Apa? Lo mau kita tidur seranjang, gue sih gak masalah." Alva mengedikkan bahunya sedangkan Elena terperanjat dengan ucapan Alva yang menurutnya sensitif.

Alva terkekeh melihat mata Elena yang membulat sempurna, ia mendekat dan membuka kabinet yang ada di atas kepala gadis itu dengan Elena yang terperangkap di depannya. Wangi tubuh Alva menyeruak di penciuman Elena. Sungguh wangi yang maskulin.

"Va aku bisa geser dulu."

"Bentar gue mau ambil wajan." 

Ck! Apaan sih kan bisa bilang dulu, geruru Elena. Elena pun mendorong dada Alva tapi tubuhnya malah ditarik kesamping dan ...

Plak! Prang!

Sesuatu terjatuh dan mengenai pundak Alva, benda yang jatuh itu menggema dan membuat Elena menutup kedua matanya.

"Aw!" Alva meringis seraya memegang bahunya.

"Va maaf, kamu sakit?" Elena terlihat khawatir karena benda itu mengenai bahu Alva.

"Lo sih, kenapa dorong-dorong."

"Siapa suruh kamu kurung aku, kan bisa bilang dulu dan suruh aku minggir." Elena membela diri.

"Tau ah, ambil wajahnya." Alva kembali berjalan menuju meja bar. Sedangkan Elena menggerutu kesal seraya menghentakkan kakinya beberapa kali.

"Ih Va kabinetnya tinggi."

"Siapa suruh pendek."

"Iih nyebelin," Elena mengambil kursi dan meletakkannya di sana. Ia naik dan menjadikan dirinya dapat meraih wajan yang ada di dalam kabinet. Alva terkekeh melihat wajah Elena yang memperlihatkan jelas kekesalannya.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 tapi Alva belum juga keluar dari ruangan itu. Elena yang sudah mengantuk pun masih menunggu Alva di ruang tamu. Tadi laki-laki itu mengatakan bahwa ia akan pulang tapi sampai saat ini ia masih berdiam diri di dalam sana.

Elena sudah tak tahan untuk menahan kantuknya, ia bangkit untuk menemui Alva di ruangan tersebut. Sebelum masuk ia ketuk pintu terlebih dahulu. Tak ada respon dari dalam, Elena kembali mengetuk pintu itu.

"Masuk," seruan Alva kini terdengar. Elena Pun mulai membuka pintu dengan perlahan. Matanya membulat ketika melihat apa yang ada didalamnya Ruangan yang bersih dan mengagumnkan. Apakah ini sebuah ruangan kerja? Tapi Elena lihat ini terlihat mirip sebuah studio musik. Elena menangkah sosok Alva yang menempati kursi yang mengarah ke sebuah monitor lebar di depannya. Posisi kursi itu membelakangi Elena jadi ia bisa melihat apa yang ada di layar monitor itu. Tapi sayangnya ia tak mengerti dengan apa yang ada di layar tersebut, menampilkan sesuatu yang membingungkannya tapi jika bisa ia tebak layar itu sepertinya menampilkan sebuah audio editing. Musik? Apa Alva sedang membuat sebuah musik? batin Elena.

Elena ingin sekali bertanya tapi ia kini ia lebih memilih untuk tak bersuara dan sibuk memperhatikan setiap inci ruangan itu. Elena berkeliling melihat benda-benda yang ada disana, furniture simple modern dan beberapa foto yang berbingkai menempel di dinding. Sebuah foto keluarga, keluarga Alva memang bukan keluarga biasa, mereka terlihat seperti keluarga terpandang. Di foto itu memperlihatkan seorang pria paruh baya yang sangat tampan dan wanita paruh baya yang terlihat masih segar dan memancarkan kecantikannya.

Jadi ini nyonya Rosie, gumamnya.

Memang Elena belum bertemu dengan Rosie, selalu ada hambatan ketika akan menemuinya. Mata Elena melihat gadis yang sangat cantik berdiri di samping Alva. Apa ini adik Alva? dan kini matanya berhenti pada sosok Alva dengan kuncir rambut khasnya di dalam foto tersebut. Jika boleh Elena tebak, sepertinya ini adalah foto lama karena gaya rambut yang digunakan Alva cukup berbeda walaupun dengan rambut sama panjangnya dengan saat ini. Alva sepertinya memang hobi memanjangkan rambutnya. Satu hal lain yang Elena sadari, Alva memang mempesona walaupun hanya di lihat dari foto. Tak dapat dipungkiri, ketampanannya membuat Elena terpukau dan tak dapat dipungkiri pula buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya, Alva memiliki ketampanan yang diturunkan dari ayahnya.

"Orangnya ada disini, ngapain liatin fotonya," suara itu mengagetkan Elena. Alva telah berdiri di samping dan menghadapnya. Elena memegang dadanya, kekagetan yang disebabkan Alva membuat jantungnya berdegup kencang.

"Itu mama papa, dan yang berdiri di sebelah gue namanya Felicia adik gue," jelas Alva. Elena mengangguk dengan mulut yang membentuk huruf O. Alva melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Kenapa belum tidur?"

"Mm nunggu kamu."

Alva menaikkan sebelah alisnya seraya tersenyum, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan mencondongkan badannya ke depan. Elena mundur karena wajah Alva mendekat.

"Lo mau tidur bareng gue?" sontak Elena menggelengkan kepalanya cepat.

"Terus?" lanjut Alva.

"Mm itu.. katanya kamu mau pulang." Elena berkata seraya menatap mata Alva yang juga sedang menatapnya.

"Lo ngusir gue?" tanya Alva lagi yang mengundang kembali gelengan cepat kepala Elena.

"Bukan gitu, maksud aku gak enak aja kalau aku tidur duluan, rasanya gak sopan." Kini Elena tak berani menatap mata Alva ia berbicara seraya memperhatikan jemarinya yang sedari tadi ia mainkan. Alva menyunggingkan senyumnya, Elena terlihat sangat lucu di matanya.

"Cepet tidur sana, besok lo harus kerjakan." Elena Pun mengangguk dan langsung bergegas keluar dari ruangan Alva, menuju kamar utama. Ia langsung menaiki ranjang dan mengecek ponselnya terlebih dahulu. Dirasa mata yang sudah berat, Elena memejamkan matanya dan terlelap.

Sudah pukul 23.30 dan Alva baru keluar dari ruangan yang sudah lama tak ia datangi, bersyukur semua yang ada di dalamnya masih dapat dipergunakan dengan baik. Wajahnya menoleh ke arah pintu kamar yang sudah tertutup rapat.

Ceklek! rupanya pintu itu tak dikunci, apa Elena tak takut pada dirinya. Alva melihat tubuh Elena yang tak ditutupi selimut. Iapun masuk dan menyelimuti tubuh Elena. Wajah Elena yang tertutup helaian rambut panjang itu Alva sibakkan. Melihat wajah Elena yang damai membuat hatinya tenang. Pipi Elena yang chubby tertekan oleh tangan yang disimpan sebagai tumpuan wajah cantik nan manis itu. Alva kembali tersenyum, Elena membuatnya gemas ingin sekali mencubit pipi chubby itu tapi tak mungkin ia lakukan, Elena sedang tidur dan tak mungkin ia usik. Alva pun duduk di single sofa yang tak jauh dari ranjang, menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa dengan masih memandangi Elena yang tertidur lelap sampai ia pun ikut terlelap.

***

Atas dasar paksaan, Elena kembali diantar Alva ke butik. Ia sudah bersikeras menolaknya tapi tetap saja Alva memaksanya agar menuruti keinginannya. Pagi tadi ia sempat kaget karena mendapati Alva yang tertidur dengan posisi duduk pada single sofa yang tak jauh dari ranjang yang ia tiduri. Alva mengatakan bahwa ia cukup malas untuk pulang karena sudah larut. Elena tak berbicara banyak karena ia tak mempunyai hak untuk mengatur Alva, toh apartemen itu milik Alva. Sesampainya di depan butik. Alva ikut keluar dan masuk ke dalam butik. Elena sempat risih karena mereka menjadi pusat perhatian di butik. Ini kali kedua Alva mengantarnya dan itu sungguh membuatnya kurang nyaman. Kurang nyaman dalam artian takut adanya kesalahpahaman atas apa yang mereka tanggapi dari apa yang mereka lihat. Kemarin ada seorang wanita yang menatapnya tak suka hingga membuatnya hampir terjatuh karena membuka pintu mobil Alva tiba-tiba ketika Elena masih berdiri tak jauh dari sana. Ia sangat penasaran dengan wanita itu, ingin sekali bertanya tapi rasanya ia belum berani. Kini para karyawan sedang berdesas-desus ketika Elene dan Alva memasuki butik.

"Ekhm," suara deheman terdengar dan keduanya menoleh.

"Hai tan."

"Nyo..Nyonya Mei."

"Ada apa kamu pagi-pagi kesini?" tanya Mei pada Alva seraya tersenyum seraya menoleh kearah Elena. Elena tersenyum canggung.

"Ma..maaf  Nyonya saya duluan," ucap Elena lalu sekilas melirik Alva yang juga sedang menatapnya. Elena meninggalkan Mei dan Alva.

"Apa kalian sedang berkencan?" tanya Mei penuh selidik. Alva terkekeh.

"Aku pergi dulu ya tan, bye," pamit Alva.

“Eh bentar.” Mei memegang lengan Alva menahannya agar tak pergi dulu.

“Si Reno udah risih,” kata Alva seraya mengangkat ponselnya yang menampilkan adanya panggilan atas nama Reno. Alva mendekat lalu mengecup kening Mei, setelah itu ia langsung meninggalkan Mei yang mengerutkan kening.

"Apa karena bekerja dalam satu proyek mereka jadi dekat?" tanya Mei pada diri sendiri. Masih dengan memikirkan hal itu, Mei berjalan masuk ke arah ruangan Elena.

"Elena," suara panggilan Mei terdengar membuat Elena menoleh.

"Besok kamu ikut ke acara pameran ya, pameran yang pernah kita bicarakan."

Elena terdiam sebentar dan kini ia ingat, itu adalah pameran fashion photography. Eh sebentar apa itu artinya foto yang waktu itu akan diperlihatkan. Mata Elena membulat, ia tahu pasti akan seperti ini namanya juga pameran. Tapi bagaimana nanti jika orang-orang mengenali bahwa itu dirinya.

"Rosie yang mengatakannya, sekalian ia ingin bertemu denganmu di sana, karena hari-hari biasa sulit sekali untuk bertemu dan Andres juga mengatakan bahwa kamu dan Alva harus hadir."

"Ta..tapi."

"Besok kamu berangkat bareng Alva ya, kita bertemu di sana. Sudah sore ini sudah waktunya kamu pulang, kamu harus beristirahat," ucap Mei menepuk pundak Elena pelan. Tak memberikan ruang untuk Elena mengatakan sesuatu karena Mei telah berlalu keluar ruangan.

***

Mobil hitamnya sudah terparkir rapi di area basement. Alva mulai keluar dari sana dan berjalan ke arah lift. Bersamaan dengannya, ada seseorang yang juga baru keluar dari mobilnya dan berjalan ke arah lift. Alva menahan pintu lift itu untuk tidak tertutup lebih dulu menunggu wanita itu yang berlari kecil mendekat.

“Oh terima kasih,” ucap wanita berambut panjang yang baru pertama kali Alva lihat.

“Hm,” gumam Alva tersenyum tipis. Sesuatu terbersit, ia menebak-nebak siapa wanita ini sebenarnya dan praduga pun muncul dibenaknya. Mungkin dia model baru, gumamnya.

Pintu lift terbuka, lantai yang Alva tuju telah tiba, ia pun keluar meninggalkan wanita tadi tanpa mengucapkan apa-apa. Wanita itu memperhatikan Alva yang terus berjalan menjauh sampai pintu lift kembali tertutup.

“Hhh, akhirnya datang juga.” Suara itu terdengar, Alva menoleh seraya mengangkat sebelah alisnya, tanda menyapa.

“Reno menunggumu sejak tadi,” ucap laki-laki itu.

“Lebay lo Ren,” timpal Alva dan menimbulkan kekehan si manajer yang berjalan beriringan dengannya. Mereka pun memasuki ruangan, dimana itu adalah ruangan khusus untuknya.

“Ada kabar baik buat lo,” ucap Reno mengawali pembicaraan ke arah yang lebih serius. Alva menoleh ingin mengetahui lebih lanjut maksud dari ucapan Reno.

“Lo gak sendiri dalam pemotretan produk yang akan datang,” lanjut Reno dengan senyum yang mulai mengembang. Alva tahu maksud Reno, akan ada rekan lagi untuknya dalam pemotretan kali ini.

            “Katanya sih model baru.” Mendengar Reno mengatakan hal itu, Alva jadi teringat praduganya terhadap wanita yang ia temui di lift tadi.

Tak lama pintu ruangan terbuka. Alva dan Reno menoleh dan pandangan Alva langsung tertuju pada wanita berambut panjang yang juga melihat ke arahnya.

“Hai Don,” sapa Reno pada pria yang baru memasuki ruangan dengan seorang wanita yang ada di belakangnya. Pria bernama Doni itu mengangkat tangannya menyapa.

“Va, Reno pasti udah kasih tau kan. Kenalin Rachel, dia yang akan jadi rekan lo untuk pemotretan produk minggu depan.”

Wanita bernama Rachel itu tersenyum, ia mengulurkan tangannya pada Alva dan kembali memperkenalkan dirinya. “Rachel.”

Tak langsung Alva menjabat tangan itu, ia memperhatikan dahulu wanita yang tadi ia temui di lift. Kemudian tangannya terangkat dan ikut memperkenalkan diri.

“Alva. Alva Melviano.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status