Share

Kangen

"Mawar masuk!"

Mas Kamal menyuruh wanita yang bernama Mawar itu masuk ke dalam rumah. Ia pun mengantarnya ke kamar yang biasa tamu gunakan.

Sementara itu, aku hanya berdiri sambil memperhatikan gerak-gerik keduanya. Kulihat Mas Kamal membantu Mawar untuk membaringkan tubuhnya. Ia pun menyelimutinya juga.

"Astaga ... sudahlah, Mas! Dia juga 'kan bisa sendiri," dengkusku kesal. Ia begitu perhatiannya kepada wanita yang baru kukenal itu.

"Iya, Sayang. Sebentar," sahut Mas Kamal.

"Ayo kita tidur!" ajaknya padaku. Mas Kamal menggiringku ke kamar. Ia memegang kedua pundakku.

Kami berada di kamar. Mas Kamal berbaring di kasur sedangkan aku duduk bersandar pada bantal.
Sebersit pemikiranku bekerja. Kuolah hingga menjadi sebuah asumsi yang bisa diterima oleh akal sehat orang lain juga.

"Mas, bukannya ga sah ya, kalau nikah sedang dalam keadaan hamil?"

Mas Kamal sejenak berpikir. "Memang iya. Itu hanya formalitas aja. Untungnya keluarga Mawar ga ngerti hal itu,” tutur Mas Kamal yang malah beringsut.

"Jadi ... kamu tenang aja! Pernikahan ini palsu. Engga pernah ada. Sesuai perkataanmu, pernikahan ini ga sah," ucap Mas Kamal penuh tekanan.

"Iya, Mas. Aku jadi lega dengernya." Kubuang nafas panjang seraya mengusap dadaku, melepas keresahan hati.

"Ya udah, Mas tidur duluan, ya? Mas capek!” katanya.

"Iya, Mas." Aku mengangguk dan ikut membaringkan tubuhku di sampingnya.

***

Pagi hari suasana terasa hangat, mungkin karena Mas Kamal memelukku dari tadi. Hehe.

Suara ayam berkokok disusul dengan dentuman bedug seakan saling beriringan. Adzan subuh berkumandang. "Mas bangun! Udah adzan!" Kutepuk-tepuk punggung suamiku pelan.

"Duluan aja! Mas masih ngantuk," ketusnya.

Aku mengernyitkan dahi. "Aneh sekali, tidak biasanya Mas Kamal malas begitu," batinku bertanya-tanya.

Segera kutinggal suamiku yang masih enggan bangun itu, lalu kubasuh apa-apa yang akan membawaku untuk menjalankan perintah-Nya. Kugelar sajadah dan kumulai kewajibanku sebagai seorang muslimah. Kupanjatkan doa yang terbaik untuk kelangsungan kehidupan rumah tanggaku.

Sejenak kulihat Mas Kamal yang masih bergeming. "Ada yang aneh deh sama Mas Kamal!" gumamku.

Aku menggaruk kepalaku yang gatal, tempat kutu bersemayam. "Mmm ... mungkin dia capek. Ya, aku harus ngertilah. Dari Bengkulu ke Bandung ‘kan perjalanannya jauh banget," pikirku.

"Mas Kamal ‘kan ke Bengkulu baru dua bulan, sedangkan kandungan wanita itu kira-kira udah delapan bulanan. Syukurlah, berarti itu juga bukan anak Mas Kamal.” Aku tersenyum lagi. Banyak fakta yang tidak menjurus pada dugaan burukku.

Pukul enam pagi, aku pun keluar untuk membeli gorengan. Aku beli agak banyak karena jumlah penghuni rumahku bertambah. "Kenapa Mas Kamal harus membawa simpanan bosnya ke rumah? Uang belanja 'kan jadinya nambah." Biasa, Ibu-ibu kalau pengeluaran mendadak besar, ya ... mengeluh.

Sebelum perkumpulan ibu-ibu rumpi datang, secepat kilat kuberlari dan menutup pintu dengan rapat.

"Bahaya! Mungkin saja mereka sudah tahu kalau Mas Kamal membawa wanita hamil ke rumahku. Nanti disangka yang aneh-aneh lagi!" Kucoba untuk mengatur nafas. Dadaku kembang-kempis karena berlari terlalu cepat.
Setelahnya lalu kuintip kamar Mawar, ternyata dia masih tidur.

"An!" Tiba-tiba suara yang berat mengagetkanku.

"Astaga!" ucapku, spontan. "Mas Kamal? Ngagetin aja,” kataku pelan.

"Ngapain ngintip-ngintip?" tanyanya.

"Eh?! Engga, Mas. Mmm ... sarapan yuk!" Kualihkan perhatiannya.

Mas Kamal mengangguk. Aku pun pergi ke dapur mengambil piring dan menyajikan gorengan kesukaan suamiku itu. Tak lupa kutuang air dari teko ke dalam gelas.

"An, hari ini tolong kau masak yang banyak, ya?" Mas Kamal berbicara dengan mulutnya yang penuh itu.

Tempe mendoan yang hampir masuk ke dalam mulut pun, seketika mengerem mendadak. "Memangnya ada acara apa, Mas?" tanyaku dengan posisi tangan yang sibuk memegang cabai rawit dan tempe tepung incaranku.

"Bukan acara sih. Gimana, ya ngomongnya? Mmm , jadi gini ... orang tua Mawar mau berkunjung katanya," jelas Mas Kamal.

"Apa?! Ma-maksudku ... kenapa mereka datang kemari?" Aku tentu terkejut.

"Katanya pengen lihat tempat tinggal Mawar." Mas Kamal meneguk segelas air putih karena ia tak menyukai kopi.

"Tapi,mereka–" ucapku tak selesai.

"Udah, cepet belanja aja! Nih duitnya," sosor Mas Kamal yang menyodorkan uang berwarna merah sebanyak dua puluh lembar. Ya, jika kuhitung.

"Mas kamu punya duit sebanyak ini dari mana?" Aku keheranan.

"Itu dari orang tua Mawar," jawab Mas Kamal dengan singkatnya.

"Kok mereka ngasih duit?" Aku tak mengerti.

"Mas juga ga tau." Mas Kamal menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tapi, Mas nerima gitu aja?" tanyaku pada Mas Kamal yang tak tahu malu itu.

"Masa Mas nolak? Rezeki. Udah, ambil! Sisanya bisa kamu pakai buat belanja baju. 'Kan lumayan," titahnya.

"Ya udah, Mas. Aku pergi. Jangan ngelakuin yang aneh-aneh loh sama Mawar!" Aku mengingatkan.

"Ga akan," sahut Mas Kamal.

"Janji?" Aku menunggu kepastian.

"Bawel banget sih istriku ini," gerutunya. Ia cemberut. Aku terkekeh.

Dengan sangat terpaksa, aku pun pergi meninggalkan mereka berdua. Aku pergi ke pasar naik angkutan umum. Kubeli segala sesuatu yang biasa disuguhkan ketika mengadakan syukuran.
Ke sana-kemari aku berjalan hingga lututku terasa lelah. Setelah kurasa sudah cukup, aku pun pulang ke rumah.

Aku berlari dengan menjinjing keranjang belanja yang berat ini. "Aku takut jika terjadi sesuatu antara mereka berdua," celotehku sesaat sebelum membuka pintu rumah.

Kulihat Mas Kamal tidak ada di ruang makan. Kutaruh belanjaanku di sana. Lalu aku pun pergi ke kamar. Ternyata Mas Kamal sedang memakai handuk.

"Mas aku pulang," ucapku.

"Kok ga ngetuk pintu dulu?" tanyanya, mungkin kaget.

"Hehe. Maap, Mas. Aku buru-buru." Aku menutup mata dengan kedua telapak tanganku.

"Terus kenapa matanya ditutup?" tanyanya lagi. Mungkin kini ia sedang menertawakanku.

"Aku masih belum terbiasa, Mas," jawabku malu-malu.

"Aneh banget sih! Kita 'kan nikah udah hampir empat bulan," katanya.

Terdengar suara resleting yang ditarik, berarti suamiku sudah memakai celana.

"Nikah sih empat bulan, tapi dua minggu setelah pernikahan udah ditinggalin. Baru ketemu lagi sekarang," ketusku, agak menjurus ke marah memang. Haha.

"Hmmm ... bilang aja kangen!" godanya.

"Emangnya Mas ga kangen?" tanyaku, masih dalam posisi memejamkan mata di balik tanganku ini.

"Sama dong!" Mas Kamal tiba-tiba memelukku dan membuat mataku terbelalak. Tubuhnya dingin, segar. Semerbak harumnya sabun mandi bisa kuhirup dengan jelas.

"Maapin Mas, ya? Kalau bukan karena pekerjaan ... mana mungkin Mas ninggalin istri kaya kamu," katanya dengan nada yang sendu. Suaranya yang besar membuat jantungku berdebar. Ia mencubit pipiku.

"Ih, Mas Kamal! Sakit tahu! Udah ah, cepetan pake bajunya!" suruhku. Aku bisa melihat dan menyentuh bagian depan tubuhnya yang sudah seperti roti sobek itu.

"Iya, iya. Gimana ... udah belanjanya?" Mas Kamal memakai pakaiannya.

"Udah, Mas. Aku ke dapur dulu, ya?" pamitku padanya seraya berlalu pergi.

“Kenapa juga aku harus repot-repot menjamu mereka?” Aku berjalan dan mengambil keranjang belanjaanku tadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status