Share

Anak Siapa?

Mas Kamal meraih dan menggenggam tanganku. "Iya, Pak. Dia istriku,” jawabnya.

Aku tersenyum, bahagia mendengar pengakuannya. “Kupikir dia tidak akan mengakui statusku,” batinku.

Aku sudah berpikiran negatif dan takut diakui sebagai seorang asisten rumah tangganya saja.

Pak Yanto terus memperhatikanku. Matanya tak beralih sedetikpun. Ia seperti tak suka jika aku diakui sebagai istri Mas Kamal juga.

"Oh, cantik juga. Ya ... tapi masih cantikan anak Bapak. Oh iya, Mawar mana?" Matanya berkeliaran mencari kesana-kemari.

Aku tak suka dibanding-bandingkan seperti itu. Aku mengerucutkan bibirku. Jengkel.

"Di kamar, Pak,” jawab suamiku. Ia tak peduli jika istrinya sedang dibanding-bandingkan dan malah menyuruhku, "An, panggil Mawar!"

“Kenapa harus aku, sih?!” Dengan malas aku berjalan dan mengetuk pintu kamar Mawar. Kupanggil-panggil namanya hingga orang yang ku maksud pun keluar. Ia memakai baju yang kuberikan. Terlihat sangat cocok dipakainya.

Mawar tak menghiraukanku. Ia berlari melewatiku begitu saja dan menghampiri kedua orang tuanya. Kulihat mereka begitu menyayangi putrinya.

Mawar duduk di samping Mas Kamal. Kursi itu sempit hingga tidak memungkinkan jika aku pun berada di antara keduanya. Kuputuskan saja untuk berdiri di samping Mas Kamal sambil memegang nampan kosong. "Kok, aku malah kaya ... babu," gerutuku.

Kuhela nafas panjang, mencoba bersabar sambil mendengarkan apa yang mereka akan bicarakan.

"Mawar, ini Ibu bawakan kamu baju, Nak! Kok bisa sih sampai ketinggalan di teras?" tanya istri Pak Yanto. Aku belum mengetahui namanya. Ya, aku tak peduli.

"Iya, Bu. Mas Kamal buru-buru ngajaknya," jawab Mawar.

Ia merangkul lengan suamiku. Lalu menyandarkan kepala di bahunya. Ia begitu manja. Mataku mendelik. Emosi ini kucoba tahan.

“Tuhan ... apa aku terlalu baik?” batinku sambil menengadah dan mengusap wajahku kasar. Frustrasi.

"Pengen buru-buru bulan madu, ya?" goda Pak Yanto yang membuat mataku melotot.

Menurutku keluarga Mawar sungguh tak punya sopan santun. Mereka sama sekali tak peduli akan kehadiranku. Mereka dengan bebasnya berkata masalah kamar dengan sesuka hati. Sungguh keterlaluan.

"Bulan madu apanya? Memangnya dia ga lihat apa, kalau anaknya lagi melendung kaya gitu?" Pikiranku mulai konyol.

"Hahaha. Bapak bisa aja.” Mas Kamal tertawa geli.

Kulirik suamiku. "Apalagi Mas Kamal? Kaya beneran suaminya aja. Euh, menang banyak dia!" Kepalan tangan sudah siap meluncur kapan saja.

Pak Yanto memandang ke luar dari balik jendela. Katanya, "Kaya mau ujan, ya?"

Kulihat memang langit begitu gelap tidak seperti tadi pagi yang begitu cerah sampai aku berkeringat karena berlarian di pasar.

Selang beberapa menit, hujan pun turun. Tetesannya sudah sampai mengenai tanah.

"Pantas aja gerah banget!" kataku. Entah kegerahan karena cuaca entah karena kedekatan Mas Kamal dengan Mawar. Pokoknya, panas.

"Yah, gimana dong kita pulang, Pak? tanya Ibu Mawar. Panik.

Tanpa perundingan terlebih dahulu, Mawar langsung berkata, "Menginap aja, Bu! Mas Kamal juga ga keberatan kok! Iya ‘kan, Mas?" Kulihat ia mengedipkan matanya, genit.

"Eh?! Mmm ..." Mas Kamal berpikir. Ia memainkan jenggot tipisnya. Mengusapnya pelan. Bulu-bulu halus itu memang sangat asyik dimainkan. Geli.
Aku menatap Mas Kamal tajam. Kedua alisku sampai menukik dan bersentuhan satu sama lain. Kugelengkan pelan kepala ini dan lalu tersenyum pada kedua orang tua Mawar.

"Boleh," ucap Mas Kamal yang mengejutkanku. Tanganku yang jahat lalu mencubit punggung suamiku itu. Ia menggelinjang, kesakitan.

Tatapan marah, jengkel kulayangkan pada suamiku. Mas Kamal malah tersenyum padaku.

"Ya udah, Bu. Kita menginap sehari aja di sini," kata Pak Yanto.

"Iya, Pak.” Ibu Mawar mengangguk, mengiyakan.

"Kalau begitu, kita makan dulu, Pak, Bu?" ajak Mas Kamal, sepertinya ia pun sudah merasa lapar.

Mawar meraih kedua tangan orang tuanya. "Iya, Mawar juga udah laper. Kasian 'kan si utunnya kalau sampai telat makan.”

"Manja banget sih?!" sindirku seraya membuang muka.

Kedua orang tua Mawar pun mengangguk. Mas Kamal mengarahkan mereka ke ruang makan. Aku pun mengikuti mereka.

"Wah, kayanya enak. Siapa yang masak?" tanya Pak Yanto sesaat setelah melihat hidangan yang tersaji.

"Istriku, Pak!" sahut Mas Kamal sambil menarik kursi. Ia duduk.

Pak Yanto masih dalam keadaan berdiri. "Yang mana? Istrimu ‘kan sekarang dua,” ucapnya, terkekeh.

"Apaan? Anakmu cuman istri palsu?" batinku meraung-raung.

"Eh?! Anita yang masak, Pak.” Mas Kamal memegang tanganku, berisyarat agar aku segera duduk.

"Oh begitu, pasti rasanya tidak seenak buatan Mawar." Pak Yanto menepuk pundak suamiku, lalu duduk.

"Iyalah Pak, Ibunya juga ‘kan pinter masak," bela Ibu Mawar. Aku semakin terpojok.

Pipi Mawar memerah. Ia duduk di sebelah kiri dan aku di sebelah kanan Mas Kamal. Pokoknya suamiku berada di tengah-tengah.

"Ih? Apa, sih? Kok mereka berdua gitu banget? Sebel!" Aku hanya bisa menggerutu dalam hati karena aku masih menghormati mereka yang lahir terlebih dahulu.

Tanpa basa-basi lagi. Mereka pun mengambil dan mulai mencicipi semua masakanku. Untuk Mas Kamal, aku yang menyiapkan piringnya. Kuambil tiga centong nasi dan lauk pauknya. "Makasih," ucapnya yang membuat jantungku berdebar. Aku mengangguk dan melempar senyum termanisku padanya.

Di sela-sela makan, tiba-tiba Pak Yanto berkata, "Kau harus makan banyak, Mal! Biar kuat. Dua orang gitu, loh!” Beliau tertawa terbahak-bahak.

"Uhuk! Uhuk!" Aku terkejut sampai terbatuk-batuk. Mas Kamal yang sigap segera memberiku air minum.

"Pelan-pelan!" katanya, mengingatkan. Aku mengangguk pelan.

"Ih, Mbak Anita jorok banget sih?!" cela Mawar.

"Maaf," sahutku, agak malu. Semua mata kini tertuju padaku.

"Oh iya, Bapak juga bawa obat kuat buatmu. Ada jamu juga loh!" tambah Pak Yanto.

"Uhuk! Uhuk!" Lagi-lagi aku terbatuk. Mataku melotot mendengar perkataan Pak Yanto. Kuteguk air minum itu lagi.

"Tidak usah, Pak! Tidak perlu repot-repot," jawab Mas Kamal. Ia mengusap punggungku.

"Gimana Mawar?" tanya Pak Yanto. Ia menyikut tangan Mas Kamal.

Aku dan Mas Kamal saling bertatapan. Lalu mata suamiku beralih karena Mawar menarik dagunya. Mawar menguasai suamiku.

"Gimana apanya, Pak?" Mas Kamal tak mengerti, begitu pun denganku yang malah plonga-plongo.

Pak Yanto menggoyang-goyangkan pinggulnya sambil duduk. Ibu Mawar terlihat tertawa kecil sambil menepuk pundak suaminya. Sementara Mawar tersenyum, tersipu malu.

Mereka seakan tidak menganggap keberadaanku. Aku merasa tersisihkan di rumahku sendiri. “Lalu ... siapa tuan rumah di sini?” pikirku.

"Hahaha. Bapak bisa aja!" Mas Kamal tertawa terbahak-bahak membuat mataku mendelik kesal padanya.

"Hahaha. Itu buktinya! Kalian bakalan cepet punya anak," tutur Pak Yanto seraya menunjuk perut anaknya yang membuncit.

Perkataannya justru mengundang tanya dalam benakku.
Mas Kamal dan Mawar terlihat saling bertukar pandang.

"Ada apa ini? Apa benar itu anak Mas Kamal?" Pikiranku mulai kacau. “Apa aku sedang dibodoh-bodohi?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status