Share

Berebut

Setelah selesai makan, Pak Yanto dan Mas Kamal berbincang di teras rumah sambil melihat turunnya hujan. Kubuatkan kopi untuk Pak Yanto dan segelas susu untuk suamiku. Sementara Mawar dan Ibunya masuk ke dalam kamar.

Aku kembali ke dapur dan merapikan piring bekas makan. Kucuci semuanya sampai bersih.

"Masa aku harus tinggal serumah dengan kedua orang tua Mawar juga?" gerutuku.

Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil mengelap meja makan. "Apa aku menginap dulu di rumah Mas Rendi? Mmm ... apa ga ada jalan lain?” pikirku.

"Ga mungkin. Masa aku nyerahin Mas Kamal gitu aja? Dia 'kan suamiku. Kalau aku pergi, ya ... sama aja aku kalah. Engga, ga mau aku kalau sampai jadi janda.” Kugosok nasi yang menempel di meja. Sudah lengket.

"Mas Kamal ada-ada aja, sih! Pake bawa Mawar ke rumah lagi. Jadi repot 'kan?!" Peluhku berjatuhan.

Pukul dua siang aku tidur karena lelah dan mengantuk. Lalu pukul lima sore aku bangun dan kudengar suara hujan masih saja turun.

Aku tidak tahu apa-apa yang telah mereka semua lakukan ketika aku tidur. Sambil mengikat rambut, aku pun keluar dan mencari suamiku.

Aku berhenti melangkah saat kulihat dari celah pintu kamar Mawar ada sosok yang sedang kucari. Mas Kamal ternyata sedang bersama ketiganya di sana. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.

"Ngomongin apa, sih? Kok Mas Kamal ketawa-ketiwi gitu?" Aku penasaran.

"Ah, udahlah. Aku ga perlu khawatir, mereka di kamar 'kan juga ada orang tuanya Mawar. Lebih baik aku salat dulu, udah kelewat berapa jam nih, gawat!"

Terbirit-birit aku lari menuju kamar mandi dan berwudhu. Kutunaikan kewajibanku meski terlambat.

Setelahnya aku yang masih menggunakan mukena pun keluar dan mengintip kamar Mawar lagi. Jujur, aku masih penasaran. Entahlah, dalam salat pun sepertinya pikiranku melayang-layang.

"Astagfirullah," ucapku sambil mengusap wajahku kasar dan kembali ke kamarku lagi.

"Harusnya aku ga berpikiran buruk. Aku harus percaya sama Mas Kamal."

Aku tak menghiraukan mereka lagi dan lebih memilih untuk bermain ponsel milik Mas Kamal.

Aku bermain game kesukaanku. Cacing, ya. Entahlah namanya apa karena aku tidak mengerti bahasa Inggris. Aku mengenal permainan itu sebelum menikah dengan Mas Kamal. Ya, dia yang telah mengenalkan jenis permainan ini.

Drrt ... drrt ... drrt ...

Ponsel Mas Kamal bergetar. Kulihat ada pemberitahuan tentang pesan baru. Kuhentikan sejenak permainanku dan kubaca pesan itu.

"Mal, kembalikan Mawar!"

Itu bunyi pesannya. Di sana pengirimnya dinamai dengan -Bos- Ya, mungkin itu memang atasan Mas Kamal.

"Aku harus balas apa?" Aku bingung. Akan tetapi setelah aku berpikir, aku lebih memilih untuk tidak membalasnya saja.

"Nanti aja, biar Mas Kamal yang membalasnya," ucapku sambil membuka permainan lagi.

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, baterai ponsel pun sudah berwarna merah, tanda harus segera mengisi daya.

"Padahal masih seru," dengkusku, kesal.

Lalu aku keluar lagi dan mereka semua kini berada di ruang tengah. Kuhampiri Mas Kamal. Sepertinya ia juga tak sadar ketidakhadiranku tadi. Tidak ada yang bertanya. Tidak ada yang memedulikanku.

"Bapak capek. Bapak harus tidur di mana?" tanya Pak Yanto.

"Di kamar Mawar aja, Pak!" sahut Mawar.

"Eh?! Mana bisa?! Terus nanti kamu tidur di mana?" tanya Pak Yanto seraya menolak.

"Di sofa aja," jawab Mawar.

"Di sofa apanya? Nanti perutmu sakit,” ucap Bapaknya sedikit meninggikan suaranya.

Pak Yanto melirik suamiku. Katanya, "Tidurlah bersama suamimu, ya 'kan, Mal?"

Mas Kamal gelagapan. "I-iya, Pak," jawabnya. Ia menatapku sesaat setelah berucap.

"Mas?!" bisikku. Lagi-lagi aku mencubit punggung suamiku. Mas Kamal menepis pelan tanganku dan mengusap punggungnya yang kesakitan.

Sementara itu, Pak Yanto sibuk mengambil barang bawaannya. "Ya udah, Bapak masuk, ya? Itu Mal, obat kuatnya di meja. Jangan lupa diminum!" tunjuknya. Tak lupa, Ibu Mawar pun membuntuti suaminya masuk ke dalam kamar Mawar.

Mas Kamal mengangguk.

Hening ....

Kutarik tangan Mas Kamal dan mengajaknya masuk ke dalam kamar meninggalkan Mawar yang sedang mematung sendirian.

"Mas! Aku ga mau ya sekamar sama dia!" berangku.

"Hanya sehari, An!" jawabnya. Ia mengacungkan jari telunjuknya dengan nada yang seperti memohon.

"Engga, Mas!" Aku menolak dengan keras, setengah berteriak.

Mas Kamal memegang kedua lenganku. "Jangan teriak-teriak begitu! Nanti kalau mereka denger gimana?" Ia panik.

"Ga tahu! Pokoknya aku ga mau, Mas. Kalau perlu, akan kuusir Mawar dan juga orang tuanya," ucapku penuh dengan tekanan.

"Jangan!" Mas Kamal semakin erat memegang lengan atasku. Agak kasar, memang.

Aku meronta dan mengempaskan tangan kuat suamiku. "Lagian, Mas. Bos tadi ngirim pesan nyuruh ngebalikin si Mawar,” kataku sambil berkacak pinggang.

"Hujan begini? Dia lagi hamil loh, An! Kamu ga kasian?” katanya. Mas Kamal benar-benar membuatku sebal.

"Engga," sahutku, tak peduli.

"An!" Mas Kamal terus membujukku.

Tiba-tiba suara geledek malah semakin terdengar menyeramkan dan membuat Mawar berlari masuk ke dalam kamarku ketika kami masih berbincang.

Yang membuatku kaget bukan geledeknya, tapi saat melihat si Mawar memeluk Mas Kamal di hadapanku. Begitu erat.

"Hei, lepasin!" suruhku. Aku sedikit mendorong tubuh Mawar.

Mawar malah semakin menjadi. Ia malah memeluk suamiku lagi. Katanya, "Tapi aku takut, Mbak.”

"Lepasin ih! Dia suamiku.” Kucoba untuk melepas benalu laknat itu. Sayangnya, pelukannya bak sebuah perangko. "Nempel banget, sih?!"

“Tapi aku juga istrinya," katanya yang membuatku menganga.

"Istri dari Hongkong?" sindirku sambil terus berusaha memisahkan mereka berdua. “Lihat! Mas Kamal malah diem aja. Keenakan. Kurang asem!”

Kudorong Mawar hingga jatuh terduduk. Tidak terlalu keras karena aku pun masih punya hati. Aku kasihan dengan janin yang sedang dikandungnya.

"Aww! Apa sih, Mbak? Kok jahat banget?!” Mawar merintih kesakitan. Lebay.

"Udah, An! Jangan begitu. Kasian Mawar," bela Mas Kamal. Ia membantu Mawar untuk berdiri.

"Lah?! Kok Mas Kamal malah belain dia, sih?!” Aku mengerucutkan bibir ini. Kuentak-entakkan kaki ke lantai dan membelakangi mereka berdua. Aku ingin menangis.

"Bu-bukan gitu--" Mas Kamal memegang pundakku.

"Udahlah. Pergi sana!" Kuempaskan tangannya.

"Aku 'kan lagi hamil, Mas. Masa disuruh pergi ujan-ujan gini? Mas ...,” lirih Mawar, ingin mendapatkan empati dari Mas Kamal. Aku tahu betul maksud dan tujuannya.

"Siapa peduli? Cepat pergi temui bapak dari anak di dalam perut itu!" suruhku.

"Ma-maksudnya Bos Zenal, Mas? Ga mau. Aku ga mau, Mas.” Mawar menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tapi ... Bos udah bilang gitu," ucap suamiku pada Mawar.

"Mas masa tega aku dicakar sama istri-istrinya Bos Zenal yang garang itu?" Tangan Mawar bergelayut pada tangan Mas Kamal.

"Lalu ... apa hubungannya kamu minta perlindungan suamiku?" Kutepis tangan wanita yang tak tahu diri itu.

"Ih, sakit, Mbak!" Ia mengusap tangannya. "Loh, Mbak belum tahu?" tanya Mawar. Ia memasang badan dan membusungkan dada, menghadapiku. Berusaha melawan.

"Tahu apa? Tahu goreng? Tahu bacem apa tahu isi?" Aku tak mau kalah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status