"Ini ...."
Rizal meletakkan lagi se-kresek besar dengan warna dan logo yang sama seperti yang ibunya tadi bawa pulang, di samping kaki Ratna yang duduk di sofa sedang memegang ponsel, depan TV yang juga sedang menyala.
"Mmm ... makasih," jawab Ratna yang meletakkan ponselnya di atas meja, mengalihkan perhatian pada kresek yang di bawa oleh suaminya.
Ia keluarkan semua barang dari dalam kresek, kemudian langsung di letakkan ke tempat yang biasanya.
"Berasnya, mana? Kamu lupa beli ya?" tanya Ratna saat barang pokok untuk makan sehari hari tidak ia temukan di dalam kresek.
"Aku sengaja nggak beli, uangnya sudah habis," jawab Rizal dengan enteng, matanya masih menatap acara di TV.
"Terus kita makannya mau pakai apa?"
"Di motor ada satu dos mie goreng campur mie kuah. Kau ambillah, untuk sementara kita makan mie dulu, aku butuh banyak uang untuk melamar." Rizal menjawab dengan tangan terus menekan remote control TV.
"Mie? Kamu serius?"
"He em ...."
"Wow, katanya mau adil, sekarang aja sudah tidak, bagaimana nanti?"
"Apa maksudmu?" Rizal seketika itu juga langsung memutar leher ke arah istrinya.
"Kau bilang akan adil, tapi sekarang? Lihat! Kau akan memuatku kelaparan dan kurang gizi, hanya agar pinanganmu kelihatan 'wah' bukan?" Cibir Ratna, tangannya kbali memegang benda pipih
"Sekarang kau tambah cerdas, tanpa aku jelaskan, kau sudah tahu apa yang kuinginkan." Rizal menjawab tanpa menoleh lagi.
"Oiya, aku ingin mulai malam ini,. Kau pindah kamarmu ke belakang, kita bukan suami istri lagi, karena aku sudah tak mau lagi menyentuhmu." Rizal menambahi lagi dengan ucapan yang lebih menyakitkan.
"Kenapa kau tidak menceraikan aku saja? Bukankah itu mudah di lakukan? Tapi ...." Wajah Ratna yang tadi terlihat memerah kini berubah sumringah.
"Tapi, tapi apa?"
"Sepertinya,aku tadi mendengar kata yang hampir sama artinya dengan kata kalau kau menceraikanku. Dan itu berarti kau sudah menalak aku. Terima kasih." Ratna langsung mengangkat kedua tangannya ke atas. Mulutnya tak berhenti mengucapkan syukur pada Allah.
"Kau ...!" seru Raizal, dia sudah berdiri dari kursinya dengan tangan kanan mengepal.
"Jangan bersikap kurang ajar. Aku sekarang adalah mantan istrimu, kita sudah orang lain mulai hari ini." Ratna tak mau kalah, dia juga berdiri dan menoleh pada Rizal dengan wajah yang mulai keras.
"Lagian, kalau sekarang kamu berani pukul aku, kupastikan! Pada saat acara lamaran tiba, kau tak akan datang karena harus menginap di dalam penjara."
"Terserah! Kau pikir, hidup di luar sana itu gampang apa kalau tak punya uang? Dasar perempuan nggak punya otak." Agak tersudut juga Rizal mendengar ancaman dari Ratna.
"Tak usah menghina. Aku juga mau terserah kok! Lagian mulai hari ini aku tidak mempunyai kewajiban untuk mematuhi dan melayani, jadi jual saja rumah ini, karena rumah ini adalah harta kita berdua."
"Enak saja, ini aku beli pakai uangku, jangan main-main kamu!?" Mendengar apa yang dikatakan perempuan yang sekarang secara agama telah menjadi mantan istrinya, Rizal tersulut amarah, dia berdiri dari duduknya dengan mata melotot, mendekat ke arah Ratna.
"Tapi atas namaku, jadi kalau kau mau menjualnya, harus ada tanda tanganku, dan ingat satu hal! Aku bisa tahu asli nggaknya tanda tanganku!" Ratna tidak mau kalah, walau tidak ada tekanan dalam ucapannya.
Tapi, apa yang ia katakan. Sudah membuat jiwa Rizal yang tak mau dikalahkan seorang wanita, sedikit tergores.
Ratna bergegas masuk ke dalam kamar, membanting kemudian mengunci pintunya dari dalam.
"Hei, wanita miskin! Pindah kau!"
"Nggak!"
"Dasar, wanita sialan!" Rizal menendang angin di depan pintu kamar yang tadi dibanting istrinya.
Wajahnya memerah karena kesal dan marah.
Malam ini, terpaksa dia tidur dia depan tv, tanpa bantal, selimut dan tentu saja di temani nyamuk.
Pagi itu Ratna sudah selesai berdandan ala kadarnya, menggunakan kaos, celana panjang yang warnanya sudah tidak jelas, dan tas yang ia miliki sejak masih sekolah SMA dulu. Sengaja Ratna duduk saja di atas kasur, tidak keluar kamar. Entah apa yang Rizal lakukan di luar sana, tidak ada panggilan atau pun gerakan yang memaksanya untuk ke luar kamar. Hingga saat jam di atas pintu menunjukkan pukul sembilan pagi, Ratna keluar dari kamar setelah sebelumnya terdengar bunyi motor milik Rizal keluar dari pagar. Dengan susah payah, barang Rizal yang semalam sudah dimasukkan ke dalam tas besar, ia keluarkan dan diletakkan begitu saja di depan pintu kamar. Ratna mengunci kamarnya dan bergegas pergi dari rumah setelah sebelumnya mengamankan rumah dan menyalakan beberapa lampu. Lima belas menit melakukan perjalanan dengan mengendarai mobil pedesaan, Ratna berhenti di sebuah ATM. Untung saja sepi, Ratna langsung masuk ke dalam
"Apa yang akan kau lakukan, Nay?""Tenang saja, aku nggak bakalan bikin kamu kecewa dengan apa yang akan kukerjakan, sekarang kamu boleh memejamkan mata." Nay mulai beraksi dengan guntingnya."Boleh sambil ngetik, nggak?" tawar Ratna.yang melihat apa yang dikerjakan sahabatnya dari kaca yang besar di depannya."Eh, aku lupa kalau kau adalah penulis picisan.""Hei ...." Mata Ratna langsung membesar indah saat mendengar sahabatnya mengejek sumber uangnya selama ini."Hahahaha, lakukanlah apa yang mau kau lakukan."Ratna terdiam, mata dan tangannya fokus ke benda pipih yang ia pegang."Masya Allah, itu hape yang pernah Nita almarhum kasih, Na? Kamu nggak pernah ganti?" Nay tampak berhenti memainkan guntingnya, dari kaca Ratna melihat betapa herannya wajah Nay melihat ponsel yang ia pegang."Iya, kenapa?" tanya balik Ratna, tanpa sedikit
"Duduk!"Ratna maju ke depan dan menuruti perintah orang yang mungkin akan menjadi bosnya nanti."Sebelumnya kerja apa?""Tidak kerja, Pak. Hanya jadi ibu rumah tangga biasa aja.""Terus ... kenapa sekarang ingin bekerja?""Karena ingin mendapatkan penghasilan sendiri pak.""Suami sudah mengijinkan?""Saya sudah cerai secara agama, pak."Pak Aldo tak bersuara. Namun, mulutnya mengerucut membentuk huruf 'o'. Dengan pandangan tetap fokus ke komputer."Kamu bisa apa lagi?""Saya hanya bisa mengarang, Pak.""Mengarang? Maksudnya gimana?" Kini atasan yang cakepnya nggak ketulungan ini, menolehkan matanya sejenak ke arah Ratna. Kemudian kembali fokus ke komputer."Sebelum cerai dengan suami, saya mencari rejeki dengan menulis cerita secara online, Pak.""Oooo ... menulis.""Permisi, Pak. Ini saya bawakan yang bapak suruh."Nay langsung masuk ke dalam ruangan karena memang pintuny
"Kamu punya uang nggak? Buat beli kosmetik.""Ada, aku tadi sengaja ngambil lebih.""Kita mampir ke toko dulu ya, buat beli, biar besok nggak repot lagi."Ratna mengangguk sambil tersenyum, terenyuh hatinya melihat betapa perhatiannya Nay, teman dekatnya sejak mereka sekolah SMA dulu.Agak lama Nay dan Ratna di toko kosmetik, sepertinya mereka tidak mau salah memilih, karena memilih kosmetik yang tepat dan sesuai dengan kulit itu penting.Dengan meneteng tas berisi seragam dan kosmetik yang tadi di belinya, Ratna menepati janji untuk menginap di rumah Nay.Melangkah bersama di trotoar, setelah sebelumnya membeli gado gado empat bungkus."Kenapa empat, Nay?""Rahasia," jawab Nay yang menaikkan alisnya berulang kali."Iiih ...," desis Ratna, pupilnya bergerak berputar, jengah dengan sikap yang di tunjukkan sahabatnya.Ratna dan Nay berhenti di depan sebuah rumah sederhana di dalam sebuah gang yang lumaya
"Rizal mau menikah lagi, tapi dia tidak mau menceraikanku, aku harus bagaimana?" ujar Ratna sambil tersedu."Coba kau ceritakan semuanya, Rat. Jangan ada yang kau sembunyikan, kalau setengah setengah begini takutnya bikin kita berpikir yang enggak enggak." pinta Rafi, yang mampu berpikir tenang. Meski di wajah lelaki itu tampak sekali keterkejutan yang tak bisa dia sembunyikan. Pun di antara Mira dan Nay.Ratna pun mulai menceritakan semua yang terjadi tentang hubungannya bersama Rizal, juga musabab kenapa Rizal ingin menikah lagi, dari awal hingga akhir.Semua menghela napas panjang, terdiam, saling pandang."Terus ... apakah kamu bertekad tinggal di rumah itu terus, Rat? Dengan taruhan suatu saat Rizal akan kembali menyakitimu, menyiksamu?" Mira memberanikan diri bertanya, saat semuanya masih malu untuk mengorek lebih dalam lagi pada Ratna."Aku harus bagaimana, itu adalah mandat dari ayah mertuaku almarhum." Ratna memberikan
Ratna melangkahkan kakinya keluar dari tempatnya kerja, hari ini hari pertama dia menyelesaikan kerjanya, dan sesuai dengan rencana , hari ini dia akan pulang ke rumah untuk mengambil barang."Kau sudah mau pulang?" tanya seseorang dari balik punggungnya. Sontak saja Ratna menoleh dan mendapatkan bosnya, pak Aldo sedang melangkah bersama seorang pria tampan bermata tajam dengan rahang kokoh."Iya, Pak." jawab Ratna dengan yang sengaja menghentikan langkahnya hanya untuk menghormati si bos."Masuklah, biarku antar!" suruh si boss, yang lebih dulu masuk bersama temannya di jok depan."Tidak pak, tidak apa, saya naik pedesaan aja." Ratna yang masih merasa sungkan, mencoba menolak tawaran si bos."Ratna, masuklah." Kali ini suara si bos berubah tegas, tampaknya dia tidak mau ditolak.Ratna terdiam, dengan segan tangannya membuka pintu jok belakang, dan masuk ke dalamnya."Di mana alamatmu?" tanya si bos yang mulai menjalankan
Selesai pamit kepada pak RT. Mereka bertiga pun kembali ke mobil, sekarang dengan tujuan utama mengantarkan Ratna ke rumahnya."Terima kasih, Pak. Maap kalau saya tidak menawarkan bapak berdua untuk mampir, karena saya ingin lekas-lekas berkemas," ujar Ratna dengan sedikit takut takut."Pergilah, Rat. Biar kutunggu kau di sini." Pak Aldo malah mematikan mesin mobilnya dan menyuruh Ratna untuk lekas melakukan niatnya."Tapi, Pak ....""Cepat pergi, kau bilang ingin segera berkemas, bukan?" Pak Aldo memotong ucapan Ratna. Kali ini si bos memalingkan wajahnya menatap serius ke arah Ratna.Ratna mengangguk kemudian bergegas keluar dari mobil.Dengan langkah cepat, Ratna bergegas. Namun, Ratna sempat menghentikan langkahnya dan menghela nafas panjang. Rupanya Rizal ada di rumah, terlihat dari motor yang nangkring di teras. Hatinya sudah tidak enak."Akhirnya kamu pulang juga," sapa Rizal yang entah dari mana munculnya. Tiba tiba saja
"Ternyata dugaanmu benar tentang Ratna, untung saja kita membatalkan acara ke kafe tadi, kalau tidak, nyawa perempuan itu pasti tidak akan bisa di selamatkan," ujar Pak Aldo yang melangkah keluar dari ruang ICU di ikuti oleh Delon dari belakang. "Tapi bagaimana kamu bisa merasakan apa yang akan terjadi pada perempuan itu, Delon. Bukankah kalian baru bertemu hari ini?" tanya Aldo yang memilih duduk di kursi yang terbuat dari semen yang tersedia di bahu lorong. "Entah ...." Delon menjawab sambil mengangkat kedua bahunya sesaat, ikut duduk di sebelah Aldo. "Apa yang kau pegang?" tanya Delon saat melihat pak Aldo memainkan rantai berwarna kuning dengan liontin berbentuk hati. Semacam kalung. "Ini punya Ratna, tadi jatuh saat aku meletakkannya di brankar," jawab Aldo, dengan melebarkan jari tangannya, tampaklah kalau yang ia pegang adalah sebuah kalung. "Boleh aku memegangnya?" pinta Delon, dengan mata tak lekang menatap benda yang ada