"Apa yang akan kau lakukan, Nay?"
"Tenang saja, aku nggak bakalan bikin kamu kecewa dengan apa yang akan kukerjakan, sekarang kamu boleh memejamkan mata." Nay mulai beraksi dengan guntingnya.
"Boleh sambil ngetik, nggak?" tawar Ratna.yang melihat apa yang dikerjakan sahabatnya dari kaca yang besar di depannya.
"Eh, aku lupa kalau kau adalah penulis picisan."
"Hei ...." Mata Ratna langsung membesar indah saat mendengar sahabatnya mengejek sumber uangnya selama ini.
"Hahahaha, lakukanlah apa yang mau kau lakukan."
Ratna terdiam, mata dan tangannya fokus ke benda pipih yang ia pegang.
"Masya Allah, itu hape yang pernah Nita almarhum kasih, Na? Kamu nggak pernah ganti?" Nay tampak berhenti memainkan guntingnya, dari kaca Ratna melihat betapa herannya wajah Nay melihat ponsel yang ia pegang.
"Iya, kenapa?" tanya balik Ratna, tanpa sedikitpun menoleh ke arah sahabatnya.
Nay tak menjawab apa yang di tanyakan oleh Ratna, tangannya kembali sibuk menggunting, menyisir dan menjepit rambut Ratna, setelah tadi tertegun melihat benda pipih yang berada di tangan sahabatnya itu.
"Sudah," kata Nay, setelah sekian waktu tadi keduanya terdiam.
Ratna mengangkat kepala, rambutnya masih panjang walaupun sisa separuh dari panjang awalnya, dan hitam, hanya saja lebih rapi tidak seperti saat dia datang tadi.
"Perempuan yang tak terawat."
"Terima kasih." Ratna memutar pupil matanya jengah mendengar ujaran dari sahabatnya yang tidak bohong.
"Mmm ...." dengus Nay dengan menggelengkan kepalanya.
"Apa sekarang aku boleh bertemu dengan bosmu?"
Nay menganguk, dia melepaskan kain kip-kain penutup badan saat sedang memotong rambut.
Kemudian melangkah lebih dulu lebih masuk lagi ke dalam, melewati sebuah ruangan yang tampak seperti ruang keluarga. Ratna mengikutinya dari belakang.
Took! Took!
Nay mengetuk pintu yang terbuat dari kayu itu pelan. Pintu satu satunya yang ada di dalam ruangan itu.
"Masuk!"
Nay membuka pintu setelah ada perintah yang tadi mereka berdua dengar.
Tampaklah di mata Ratna seorang pria tampan berkulit putih bersih dengan rahang yang kuat, sedang berkutat dengan komputer.
"Pak Aldo, ada yang ingin saya bicarakan dengan anda." Nay masuk lebih dulu dan berdiri di belakang kursi, dan Ratna hanya terdiam di belakangnya.
"Ada apa, Nay?"
Lelaki yang Nay tadi panggil dengan sebutan pak Aldo mengangkat wajahnya dan menatap Ratna dan Nay bergantian.
"Siapa dia?" Pak Aldo bertanya dengan pandangan mata fokus ke Ratna.
Ratna tergugu, mata itu sangat tajam dan sangat indah.
"Dia sahabat saya, Pak. Ingin melamar kerja di sini, apakah bisa?" tanya Nay yang juga menjawab pertanyaan dari bosnya, tadi.
"Dia bisa apa?"
"Dia ...."
"Saya bisa membuat pembukuan, juga bisa merias walaupun tidak ahli."
"Benarkah? Tapi kenapa di wajahmu tidak tampak ada bedak sedikit pun?"
"Karena ...."
"Karena dia belum mempunyai uang untuk membelinya, Pak. Tapi saya akan menjadikan diri saya sebagai jaminan kalau sekarang dia di terima kerja, besok dia bakalan merias dirinya, Pak." Potong Nay yang paham kalau Ratna bakalan bingung untuk menjawabnya.
Pak Aldo terdiam, di liriknya Ratna dari atas ke bawah, matanya mengernyit dengan mata menyipit seperti sedang berpikir keras.
"Nay, bawa perlengkapan rias. Suruh dia merias dirinya sendiri di sini di depan saya."
"Sekarang pak?" tanya Nay yang tampak kaget dengan perintah yang baru saja ia dengar dari sang bos.
"Iya, sekarang!"
"Duduk!"Ratna maju ke depan dan menuruti perintah orang yang mungkin akan menjadi bosnya nanti."Sebelumnya kerja apa?""Tidak kerja, Pak. Hanya jadi ibu rumah tangga biasa aja.""Terus ... kenapa sekarang ingin bekerja?""Karena ingin mendapatkan penghasilan sendiri pak.""Suami sudah mengijinkan?""Saya sudah cerai secara agama, pak."Pak Aldo tak bersuara. Namun, mulutnya mengerucut membentuk huruf 'o'. Dengan pandangan tetap fokus ke komputer."Kamu bisa apa lagi?""Saya hanya bisa mengarang, Pak.""Mengarang? Maksudnya gimana?" Kini atasan yang cakepnya nggak ketulungan ini, menolehkan matanya sejenak ke arah Ratna. Kemudian kembali fokus ke komputer."Sebelum cerai dengan suami, saya mencari rejeki dengan menulis cerita secara online, Pak.""Oooo ... menulis.""Permisi, Pak. Ini saya bawakan yang bapak suruh."Nay langsung masuk ke dalam ruangan karena memang pintuny
"Kamu punya uang nggak? Buat beli kosmetik.""Ada, aku tadi sengaja ngambil lebih.""Kita mampir ke toko dulu ya, buat beli, biar besok nggak repot lagi."Ratna mengangguk sambil tersenyum, terenyuh hatinya melihat betapa perhatiannya Nay, teman dekatnya sejak mereka sekolah SMA dulu.Agak lama Nay dan Ratna di toko kosmetik, sepertinya mereka tidak mau salah memilih, karena memilih kosmetik yang tepat dan sesuai dengan kulit itu penting.Dengan meneteng tas berisi seragam dan kosmetik yang tadi di belinya, Ratna menepati janji untuk menginap di rumah Nay.Melangkah bersama di trotoar, setelah sebelumnya membeli gado gado empat bungkus."Kenapa empat, Nay?""Rahasia," jawab Nay yang menaikkan alisnya berulang kali."Iiih ...," desis Ratna, pupilnya bergerak berputar, jengah dengan sikap yang di tunjukkan sahabatnya.Ratna dan Nay berhenti di depan sebuah rumah sederhana di dalam sebuah gang yang lumaya
"Rizal mau menikah lagi, tapi dia tidak mau menceraikanku, aku harus bagaimana?" ujar Ratna sambil tersedu."Coba kau ceritakan semuanya, Rat. Jangan ada yang kau sembunyikan, kalau setengah setengah begini takutnya bikin kita berpikir yang enggak enggak." pinta Rafi, yang mampu berpikir tenang. Meski di wajah lelaki itu tampak sekali keterkejutan yang tak bisa dia sembunyikan. Pun di antara Mira dan Nay.Ratna pun mulai menceritakan semua yang terjadi tentang hubungannya bersama Rizal, juga musabab kenapa Rizal ingin menikah lagi, dari awal hingga akhir.Semua menghela napas panjang, terdiam, saling pandang."Terus ... apakah kamu bertekad tinggal di rumah itu terus, Rat? Dengan taruhan suatu saat Rizal akan kembali menyakitimu, menyiksamu?" Mira memberanikan diri bertanya, saat semuanya masih malu untuk mengorek lebih dalam lagi pada Ratna."Aku harus bagaimana, itu adalah mandat dari ayah mertuaku almarhum." Ratna memberikan
Ratna melangkahkan kakinya keluar dari tempatnya kerja, hari ini hari pertama dia menyelesaikan kerjanya, dan sesuai dengan rencana , hari ini dia akan pulang ke rumah untuk mengambil barang."Kau sudah mau pulang?" tanya seseorang dari balik punggungnya. Sontak saja Ratna menoleh dan mendapatkan bosnya, pak Aldo sedang melangkah bersama seorang pria tampan bermata tajam dengan rahang kokoh."Iya, Pak." jawab Ratna dengan yang sengaja menghentikan langkahnya hanya untuk menghormati si bos."Masuklah, biarku antar!" suruh si boss, yang lebih dulu masuk bersama temannya di jok depan."Tidak pak, tidak apa, saya naik pedesaan aja." Ratna yang masih merasa sungkan, mencoba menolak tawaran si bos."Ratna, masuklah." Kali ini suara si bos berubah tegas, tampaknya dia tidak mau ditolak.Ratna terdiam, dengan segan tangannya membuka pintu jok belakang, dan masuk ke dalamnya."Di mana alamatmu?" tanya si bos yang mulai menjalankan
Selesai pamit kepada pak RT. Mereka bertiga pun kembali ke mobil, sekarang dengan tujuan utama mengantarkan Ratna ke rumahnya."Terima kasih, Pak. Maap kalau saya tidak menawarkan bapak berdua untuk mampir, karena saya ingin lekas-lekas berkemas," ujar Ratna dengan sedikit takut takut."Pergilah, Rat. Biar kutunggu kau di sini." Pak Aldo malah mematikan mesin mobilnya dan menyuruh Ratna untuk lekas melakukan niatnya."Tapi, Pak ....""Cepat pergi, kau bilang ingin segera berkemas, bukan?" Pak Aldo memotong ucapan Ratna. Kali ini si bos memalingkan wajahnya menatap serius ke arah Ratna.Ratna mengangguk kemudian bergegas keluar dari mobil.Dengan langkah cepat, Ratna bergegas. Namun, Ratna sempat menghentikan langkahnya dan menghela nafas panjang. Rupanya Rizal ada di rumah, terlihat dari motor yang nangkring di teras. Hatinya sudah tidak enak."Akhirnya kamu pulang juga," sapa Rizal yang entah dari mana munculnya. Tiba tiba saja
"Ternyata dugaanmu benar tentang Ratna, untung saja kita membatalkan acara ke kafe tadi, kalau tidak, nyawa perempuan itu pasti tidak akan bisa di selamatkan," ujar Pak Aldo yang melangkah keluar dari ruang ICU di ikuti oleh Delon dari belakang. "Tapi bagaimana kamu bisa merasakan apa yang akan terjadi pada perempuan itu, Delon. Bukankah kalian baru bertemu hari ini?" tanya Aldo yang memilih duduk di kursi yang terbuat dari semen yang tersedia di bahu lorong. "Entah ...." Delon menjawab sambil mengangkat kedua bahunya sesaat, ikut duduk di sebelah Aldo. "Apa yang kau pegang?" tanya Delon saat melihat pak Aldo memainkan rantai berwarna kuning dengan liontin berbentuk hati. Semacam kalung. "Ini punya Ratna, tadi jatuh saat aku meletakkannya di brankar," jawab Aldo, dengan melebarkan jari tangannya, tampaklah kalau yang ia pegang adalah sebuah kalung. "Boleh aku memegangnya?" pinta Delon, dengan mata tak lekang menatap benda yang ada
"Kamu sudah siuman?" Mata Ratna yang awalnya hanya menghadap ke atap atap kamar, langsung bergerak ke arah sumber suara. "Nay ... kok kamu ada di sini?" Dengan suara serak, Ratna menyapa sahabatnya yang entah sejak kapan sudah berada di dalam kamar. "Pak Aldo yang menyuruhku untuk menjagamu, untung saja dia tepat waktu saat menolongmu kemarin, Rat. Kamu kehilangan banyak darah." Nay langsung menjelaskan apa yang mungkin tadi sempat dipikirkan Ratna. "Apa kau mengingat sesuatu?" Nay kembali bertanya, kini dia mengambil posisi duduk di kursi yang terbuat dari plastik yang tampaknya menjadi fasilitas kamar. "Entah, terakhir yang aku ingat aku menolak memasak untuk Rizal, dan sepertinya dia sangat marah hingga memukul ku dengan sesuatu yang sangat membuatku sakit, di bagian leher belakang, setelah itu aku tak ingat apa apa lagi," jawab Ratna dengan suara amat serak dan pelan. Matanya terpejam, seolah ingin buang kenangan buruk dari dalam
"Mila sudah cerai, Rat. Suaminya tidak mau menerima Lauren sebagai anak, bukan karena tidak percaya itu anaknya, tapi dia masih ingin bersenang-senang tanpa hadirnya anak," jelas Nay dengan muka sedih, menceritakan tentang Mila. "Astaugfirulllah ...." Ratna memandangi wajah Nay, di wajahnya terpancar rasa tak percaya, bagaimana mungkin ada manusia yang tak menginginkan anak di dalam hidupnya. Ratna mulai membandingkan dirinya dengan nasib Mila, sungguh sangat berbanding terbalik, dia cerai karena tidak mampu punya anak, sedangkan Mila cerai karena punya anak. "Kamu kaget karena mengira tak mungkin ada orang yang tak menginginkan keturunan, bukan? Tapi nyatanya ada." Nay seperti tahu apa yang ada dalam benak Ratna. "Mila memilih bercerai, untung saja dia masih bekerja, jadinya tidak bingung walau pun si mantan suami tidak memberikan dia sepeser pun uang, Mila masih bisa memenuhi kebutuhan diri dan anaknya," ujar Nay, lagi. "Ya ... k