Share

Makan (Tengah) Malam

Damian baru saja masuk ke kamar sehabis makan malam saat menemukan seorang gadis keluar dari kamar mandinya. Siapa lagi kalau bukan Anyelir.

Gadis itu berjalan santai dengan handuk yang melilit tubuh. Benda berbulu berwarna merah muda tersebut tentu saja hanya mampu menutup setengah paha dan dadanya. Selebihnya ... aih tidak usah disebutkan.

"Dasar anak kecil! Mentang-mentang kecil apa kau kira boleh keluar masuk kamarku dengan baju setidak layak itu? Kau sedang menggodaku atau bagaimana, Anyelir?!" tanya Damian lebih tepatnya memekik sambil melempari wajah putri seorang pengusaha kaya bernama Ardi itu dengan bantal kamar.

Anyelir mendengkus begitu sebuah bantal menabrak wajah sekaligus hidungnya lagi. Kalau begini, dia bakal benar-benar terancam pesek inimah. Dasar duda tidak berperasaan!

"Salahku apa, Om Duda? Aku cuma numpang mandi, air di kamar tidak bisa menyala." Anyelir cemberut sambil bersedekap dada.

Damian mengalihkan pandangan. Mencoba mencari objek lain selain figur perempuan yang kerap ia teriaki anak kecil sejak tadi sore tersebut. Kecil-kecil begitu, tubuhnya lumayan juga sih.

Begitu menyadari kepalanya yang malah berkelana sana-sini, Damian menggeplak kepalanya sendiri. Anyelir yang melihat itu kontan mengernyit bingung dengan kelakuan pria yang hari ini mengenakan kaos hitam berlengan pendek.

"Kenapa, Om?" Gadis yang mencepol tinggi rambutnya dengan beberapa anakan rambut yang terjatuh di sisi pelipis itu, bertanya sambil memperpendek jarak antara keduanya.

Damian melotot begitu menyadari pergerakan Anyelir. Pria itu mundur lagi dan semakin mengalihkan pandangan.

"Keluar, Nona Adisthy!" teriak Damian dengan nada perintah.

Anyelir mengernyitkan dahi semakin bingung. Tingkah Damian terasa aneh sekali di matanya.

"Keluar sekarang atau kucekik lehermu, Anyelir?!"

Mendengar ancaman bernada amarah itu, Anyelir melotot dan segera berlari keluar. Begitu sampai ambang pintu, demi menuntaskan perasaan kesalnya karena diusir tanpa merasa pernah melakukan kesalahan, gadis pendek itu melepas sendal jepit merah mudanya dan melemparkan pada kepala Damian keras.

Tanpa melihat apakah sasarannya kena atau tidak, Anyelir segera menutup pintu keras. Lebih tepatnya membanting sih.

BRAK ....

"Aduuh ... Anak kecil! Sini kamu! Minta dicekek emang!"

Anyelir tersenyum puas. Tanpa melihat pun dia tahu sasarannya kena. Kepala Damian memang mirip ring basket yang sering Anyelir mainkan bersama Papa sih. Jadi, tangan gadis itu merasa gatal ingin melempar sesuatu ke sana.

"Anak kecil! Sini kamu! Udah numpang, nyusahin pulak!" teriak Damian lagi.

"Jangan panggil aku anak kecil, Paman!" teriak gadis berambut sebahu itu tak kalah keras sambil berlalu menuju kamarnya.

***

Damian merasakan tenggorokannya kering begitu terbangun dari tidurnya. Pria itu melirik jam di layar ponsel. Baru jam 3 malam.

Melirik pada gelas di atas nakas yang biasanya terisi air, duda 27 tahun itu mendengkus sebal. Airnya sudah habis dan dia harus turun ke bawah untuk minum.

Baru saja membuka pintu kamar, Damian malah mengernyit bingung begitu menemukan lampu dapur masih terlihat menyala dari lantai atas. Siapa yang jam segini masih keliaran di dapur? Bi Wati dan Bi Siti biasanya tidak pernah bangun tengah malam begini.

Berjalan menuruni tangga guna menuju dapur, Damian harus melongo kaget begitu menemukan Anyelir duduk di kursi meja makan sambil mengunyah sesuatu entah apa. Begitu menyadari kehadiran Damian, gadis itu tersenyum lebar.

"Hai, Om! Mau makan malam juga?" tanya gadis berpiyama ungu muda itu tanpa dosa.

Damian menggeleng. "Mau ambil minum doang," jawab pria itu mencoba biasa-biasa saja.

"Yaudah."

Anyelir melanjutkan makan lagi. Damian memandangi dengan wajah aneh. Ini yang makan beneran gadis itu bukan sih?

"Kamu makan apa? Kok pakai panci? Emang Bi Wati nggak pernah cuci piring sampai kamu harus makan pakai begituan?" tanya Damian heran.

"Aku?" tanya gadis itu sambil menunjuk diri sendiri dengan mulut penuh nasi. Damian mengangguk sebagai respon.

"Ini nasi, Pak. Campur mie instan rasa soto sebungkus. Terus ada orek tempe yang kata Bi Wati sisa kemarin, sama ayam sambal limau." Anyelir mengabsen isi panci sambil menyodorkan pada Damian santai.

Duda tampan itu meneguk ludah kasar. Ini makanan macam apa? Kok berantakan sekali bentuknya? Mie-nya bahkan terlalu lembek dan mengembang terlalu besar.

"Kamu seriusan makan ini, Anye? Nggak mau ganti makanan aja?" tanya Damian memastikan.

Tidak enak sekali memberikan makan anak kesayangan Pak Ardi dengan lauk kemarin juga mie instan tidak sehat begini. Tapi, yang ditanya malah menggeleng kelewat semangat.

"Ngapain ganti, Om? Ini enak loh, laukku banyak, 'kan?"

Mendengar sahutan gadis itu, Damian menghela napas berat. Dia tidak tahu kalau anak konglomerat makanannya se'keren' itu.

"Kenapa makan jam segini? Bukannya dari tadi jam 8 si Bi Wati nyuruh kamu makan?" tanya Damian mengubah topik pembicaraan.

"Nggak laper kalau jam segitu, Om. Aku biasanya laper jam segini emang," jawab Anyelir sambil menyeruput kuah terakhir di wadah makan kerennya (panci).

"Nggak baik cewek makan tengah malam, ntar gendut karena lemaknya ketimbun. Soalnya habis makan biasanya langsung tidur," tegur Damian bijak.

Anyelir mengangguk paham. "Tapi mau gimana lagi, Om. Aku laparnya jam segini doang. Kalau lapar dan selagi nggak ada halangan ya makan aja, Om. Kata Papa nggak boleh ditahan-tahan, ntar kalau mati kelaparan kan rugi." Gadis yang kini sudah menaruh panci makannya ke tempat cucian menyahut tak kalah bijak.

"Yaudahlah ... bodoamat. Sana masuk, tidur lagi gih! Bosen aku liat muka kamu hari ini," suruh Damian akhirnya jengah sendiri. Pria itu juga segera minum karena merasa makin haus setelah berbicara dengan gadis di depannya.

"Ini juga mau masuk kamar kok, Om." Anyelir menyahut santai sambil berjalan mendekati Damian yang tengah hendak mengambil air di dispenser.

"Mau ngapain, Om?" tanya gadis yang tingginya hanya sampai dada Damian itu makin tidak penting.

"Kira-kira kalau di depan dispenser sambil bawa gelas gini mau ngapain?" tanya Damian mulai sewot.

Dia sudah sangat mengantuk dan ingin tidur lagi. Tenggorokannya juga semakin kering menyahuti pertanyaan tidak penting gadis ini.

Baru saja akan menekan tombol air dingin di dispenser, suara gadis banyak tanya itu berkicau lagi.

"Waah ... dispensernya mirip banget sama yang di dapurku, Om! Aku baru sadar loh, aih keren emang."

Damian mengusap dada. Mencoba menabahkan hati. Sudah dia bilang 'kan, tinggal sama anak kecil itu pasti merepotkan. Untung saja dia anak Pak Ardi---orang yang sudah Damian anggap seperti ayah sendiri.

Kali ini, meski Anyelir kembali bersuara, Damian memilih mengabaikannya dan sukses memasukkan air ke dalam tenggorokan. Baru saja bernapas lega, sebuah tepukan di punggung mengacaukan suasana.

"Yasudah ya, Om. Mau balik ke kamar dulu. Selamat malam!" pamit Anyelir sambil menepuk keras punggung Damian yang tengah minum.

Karena kaget, kontan saja air tersebut muncrat keluar. Lalu setelah ini, mungkin Damian bakal membuat giliran Anyelir yang ditendang keluar.

Hidup berdampingan dengan anak kecil ... ternyata memang benar semenyebalkan ini. Kapan-kapan kalau gadis itu dititipkan lagi, sepertinya Damian harus menolak saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status