Damian berkacak pinggang begitu masuk ke rumah besarnya. Seketika, begitu melihat keadaan ruang tengah, dia jadi mau membanting orang yang membuat pepatah 'rumahku adalah surgaku'.
Coba saja lihat kelakuan gadis kecil yang gemar bikin masalah besar itu! Satu minggu rupanya bukan masa yang cukup untuk dia menghancurkan mood juga rumah Damian."Kamu ngapain, Nona Adisthy?!" teriak Damian murka membuat orang yang diteriaki kontan keluar dari persembunyiannya."Eh, sudah pulang kerja, Om. Hai!" sapa Anyelir polos sambil melambaikan tangan heboh dari sofa ruang tengah."Ini apa, Anye?!" tanya Damian tidak santai.Anyelir melihat sekeliling ruangan yang ditata sedemikian rupa mirip area Buper (bumi perkemahan) juga sang sahabat yang memandangnya takut. Tadi pagi dia memang mengundang Ima---mantan teman sebangkunya semasa SMA ke sini. Katanya Anyelir ingin pergi kemah pramuka tapi tidak punya teman.Jadi, berakhirlah Ima di sini. Meladeni keinginan Anyelir untuk bikin kemah rumahan karena Papa gadis kebanyakan akal itu bilang Anyelir tidak boleh keluar dari rumah Damian."Apa apanya, Om Duda?" tanya gadis itu masih bisa mengerjap dengan polosnya.Damian menggemelatukkan gigi menahan kesal. Tapi, sepersekian detik kemudian memasang senyum paling lebar meski dipaksakan."Nggak ada, yaudah ya, Anak manis. Om Dudamu yang ganteng ini mau naik ke kamar dulu," sahut Damian dengan senyum kelewat lebar sambil menghentakkan kaki guna mereaksikan kemarahannya.Begitu pria tinggi itu menghilang di ambang pintu kamarnya, Anyelir rupanya masih mampu mengangkat bahu acuh dan beralih memakan cemilannya lagi. Berbeda sekali dengan sahabatnya yang kini mematung memandang tidak percaya kejadian barusan."Ambilin snack yang itu dong, Im!" pinta Anyelir masih sambil berbaring di pangkuan sahabatnya.Tidak ada sahutan. Mendongak dan menatap wajah gadis yang kini kuliah jurusan sastra itu, Anyelir malah mengernyit heran."Kenapa, Im? Tegang gitu muka'nya?" tanya Anyelir kebingungan.Ima menoleh pada Anyelir masih dengan pelototan. Satu detik. Dua detik. Banyak detik. Tidak ada sahutan."Imaaa ... kenap---""AAA!" Belum sempat Anyelir menuntaskan kalimatnya, gadis berkaca mata itu menjerit histeris.Anyelir yang kaget kontan terlonjak dan berakhir jatuh membentur pinggir meja kaca kemudian lantai.BRUGH ...."Aduuh ... Papa!" pekik Anyelir hampir menangis karena perih di siku juga keningnya yang membentur siku meja."Eh eh eh ... aduh! Maaf, Nye." Ima kaget begitu menemukan sahabatnya malah nyusruk akibat ulahnya.Segera membantu gadis itu duduk di atas sofa lagi, Ima malah panik sendiri begitu mendapati memar di lutut juga kening Anyelir yang berdarah. Baru saja hendak memberikan pertolongan pertama, sebuah dering panggilan membuat gadis berkaca mata itu segera mengangkat telepon. Mengabaikan sejenak Anyelir yang meringis kesakitan di sampingnya."Halo, kenapa Bu?""....""Heh?! Seriusan?!""....""Yaudah deh Ima pulang sekarang. Tunggu bentar! Pokoknya tunggu!"Begitu mematikan sambungan teleponnya, Ima segera mengaitkan tas selempang di bahu dan berdiri. Anyelir menatapnya dengan raut seolah bertanya 'kenapa?'"Aku pulang dulu ya, Nye. Ini urgent banget! Duluan, ya. Daaa ...."Sebelum Anyelir menyahuti ucapannya, Ima bahkan sudah berlari dan menghilang di ambang pintu. Anyelir cemberut. Tidak bertanggung jawab sekali! Padahal mereka belum mencoba masuk tenda sambil nyemil dan nonton drakor seperti rencana awal. Ima juga belum mengobati lukanya. Sekarang malah sudah pulang saja. Terus Anyelir bagaimana?"Ima nggak asik ish! Mau main sama Om Duda aja," kesal Anyelir sambil menghentak-hentakkan kakinya di lantai marmer.Berjalan ke arah tenda yang sudah susah-susah dibuatnya guna mengambil ponsel yang tertinggal di sana, kaki Anyelir malah tersangkut tali tambang yang sebelumnya bakal ia dan Ima pakai untuk membuat ayunan. Kontan gadis itu kembali terjatuh dengan mengenaskan.BRUGH ....Kini, bukan cuma kening saja yang berdarah, lutut gadis itu juga robek dan mengeluarkan darah. Tanpa bisa mencegah lagi, kali ini Anyelir menangis.Sial sekali dia hari ini. Main kemah-kemahan tidak jadi. Jatuhnya dua kali pula.***Damian membaringkan tubuh telentang di atas kasur begitu selesai mandi dan berganti pakaian. Sejenak, pria itu menghela lega. Setidaknya, hari ini Anyelir tidak banyak bertingkah.Membuat ruangan tengah seberantakan hutan tidak lebih buruk dari gadis itu yang menelepon ketika Damian sedang di kantor sambil menangis. Padahal begitu pria itu pulang dengan tergesa, Anyelir hanya menangisi kucing pembantu mereka yang mati.Itu juga tidak lebih buruk dari ketika gadis itu membangunkannya tengah malam dengan alasan minta diseduhkan mie instan. Intinya, seminggu bersama Anyelir adalah satu minggu paling berantakan yang pernah Damian temukan selama ini.Baru saja akan memejamkan mata dan masuk ke alam mimpi saking lelah dan ngantuknya, sebuah ketukan di pintu membuat Damian terlonjak dan kembali membuka mata. Apalagi begitu mendengar panggilan dari gadis yang sangat malas ia ladeni detik ini, pria itu semakin kesal saja.Menyadari ketukan di pintu yang tidak juga berhenti, akhirnya dengan perasaan kesal luar biasa, Damian membuka pintu kamarnya. Kekesalan pria itu seketika menguap begitu menemukan Anyelir berdiri di depannya dengan mata sembab juga beberapa luka di lutut, siku, juga keningnya."Heh? Kamu kenapa?" tanya Damian panik."Tadi jatuh, Om." Anyelir mengadu sambil mengusap air matanya yang kembali berderai jatuh.Damian yang tidak tega dengan wajah pias gadis itu, akhirnya menarik Anyelir masuk kamar dan mendudukkannya di atas kasur. Pria itu segera berlari dan mengambil kotak P3K.Anyelir diam saja saat kemudian Damian mengobati lukanya dengan telaten. Begitu selesai diobati, Damian ikut duduk di samping gadis itu dan menatapnya heran."Kok bisa luka gitu sih, Anye? Habis jatuh darimana?" tanya Damian lembut."Si Ima tuh tadi, Om. Aku dikagetin terus jatuh dari sofa, kebentur siku meja terus jatuh ke lantai. Habis itu mau ambil hp di dalam tenda, tapi malah kesandung tali tambang yang mau kita pakai bikin ayunan sama Ima." Anyelir mengadu panjang lebar masih dengan sisa sesenggukan yang terdengar lucu di telinga Damian."Nah makannya, itu jadi pelajaran buat kamu. Kalau habis ngehancurin---, maksudnya ... kalau habis main itu, barang-barangnya diberesin biar nggak berantakan terus bikin kesandung orang." Damian memberi nasehat seolah sedang berbicara pada anak TK.Bodohnya, Anyelir malah mengangguk patuh. Gadis cengeng itu mengusap sisa air matanya yang mengalir lagi."Masih sakit?" tanya Damian sambil memandang Anyelir lekat.Gadis itu mengangguk. "Sedikit, Om. Kalau kata Papa, lebih sakit ditinggal pas lagi sayang-sayangnya."Damian melongo. Pak Ardi bisa bucin juga, ya? Kok dia baru tahu?"Papa kamu bilang gitu?" tanya Yuta penasaran.Anyelir mengangguk."Dia bilang apa lagi?" tanya Damian malah kepo."Banyak, Om. Tapi kata Papa, nggak boleh bilang-bilang apa yang dia bilang ke orang lain." Anyelir menjawab polos."Lah itu namanya udah bilang," komentar Damian tidak mengerti."Kan aku cuma bilang apa yang perlu dibilang, kalau bilang yang lain ya nggak dibilangin." Anyelir menyahut membingungkan.Damian menggaruk tengkuk bingung. Lah ini kok jadi dia yang merasa bodoh sendiri, ya?"Ohiya, Om. Aku laper," lapor Anyelir sambil memandang Damian polos.Damian memutar bola mata malas. "Terus?""Ambilin makan dong, tadi Tante Wati sudah masak sate kelapa, loh," pinta sekaligus cerita Anyelir."Nggak.""Ayolah, Om. Nggak kasihan apa kakiku masih sakit gini. Papa biasanya kalau aku sakit malah nggak dibolehin turun dari kasur. Masak Om---""Iya iya, saya ambilin!"Anyelir mondar-mandir di kamarnya dengan perasaan gelisah. Sudah sejak kemarin gadis itu tidak mau keluar kamar dan menolak makan. Damian bahkan kebingungan dengan tingkahnya yang tidak seperti biasa.'Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi, cobalah beberapa saat lagi ....'Gadis dengan piyama ungu itu melempar ponselnya ke ranjang dengan perasaan marah. Papanya kemana? Sudah satu minggu dan dia belum dijemput juga untuk pulang. Bahkan, pria itu sudah tidak meneleponnya lagi.Dia jarang sekali jauh dari Papanya begini. Jadi, rasanya aneh dan menyebalkan saat Anyelir tidak melihatnya dalam jangka waktu yang lama. Tok ... tok ... tok ..."Siapa?" tanya gadis itu begitu mendengar suara ketukan pintu di luar kamarnya."Kalau Bi Wati yang mau nyuruh aku sarapan, balik aja ke dapur. Aku nggak mau," jawab Anyelir begitu tidak mendengar suara apapun lagi."Boleh masuk?" Menyadari orang yang ada di sana, Anyelir segera membukakan pintu. Damian berdiri di sana dengan wajah khawatir begitu
Anyelir sudah bersiap-siap dengan koper juga terusan pink selututnya sejak setengah jam lalu. Tapi, tidak ada tanda-tanda taksi yang membawa sang papa berhenti di halaman rumah Damian. Bahkan, saking tidak sabarannya, Anyelir meminta satpam rumah untuk membuka gerbang rumah sang duda tampan lebar-lebar. Kata Anyelir biar ia leluasa menghadap jalan. Katanya juga, biar Papanya tidak lupa jalan menuju rumah Damian dan tersesat masuk ke rumah orang lain. Memang alasan yang tidak masuk akal. Tapi, Damian membiarkan saja gadis cerewet itu bertingkah sesuka hati. Mumpung hari ini adalah hari terakhirnya berada di sini.Besok-besok, rumah Damian tentu saja bakal kembali damai dan sepi. Tidak seperti ketika Anyelir mendirikan perkemahan di ruang tengah. Tidak seperti ketika Anyelir menghancurkan dapur pukul 3 malam. Tidak seperti ketika gadis itu masih bisa keliaran di sini dan merecoki kehidupan Damian."Anye ... Papamu belum datang juga?" tanya Damian ikutan heran.Anyelir menoleh dengan mat
Damian menghela napas berat. Merasa kasihan sekaligus kebingungan harus membujuk Anyelir bagaimana lagi. Gadis yang kini duduk di lantai sambil memeluk lutut itu, terlihat kacau dan sangat berantakan.Tadi, sehabis menjemput jenazah Pak Ardi, gadis itu mengamuk lagi di sana. Polisi bahkan sampai kesusahan untuk mengevakuasi korban juga bekas kecelakaan karena Anyelir yang terus memeluk jenazah Papanya yang penuh luka.Akhirnya, dengan perasaan luar biasa tidak tega, Damian membawa paksa gadis itu untuk kembali ke rumahnya. Sudah cukup lama Damian menenangkannya tapi gadis itu terus melempar berbagai macam benda yang mampu ia gapai ke arah Damian.Anyelir baru bisa tenang saat Damian bilang jenazah sang papa bakal diurus dan diantar ke rumah Damian. Pria itu sangat kasihan melihat kondisi Anyelir. Gadis itu seperti orang yang kehilangan kewarasan semenjak mengetahui kematian Papanya. Bahkan, Damian kuwalahan untuk mengendalikannya."Kamu nggak mau ganti baju dulu? Bentar lagi jenazah Pa
Anyelir mengerjapkan mata guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Begitu matanya terbuka sempurna, hal pertama yang mampu gadis itu tangkap adalah langit-langit ruangan berwarna putih susu.Ini di mana? Sudah jelas ini bukan kamarnya ataupun kamar Damian. "Sudah sadar, Anye?" Begitu mendengar suara si duda tampan, Anyelir hendak menoleh tapi kepalanya malah terserang nyeri. Gadis itu memilih memejamkan mata lagi guna meredakan pening yang menghinggapi kepala. Lehernya terasa kaku dan tegang. Tubuhnya juga terasa remuk redam. Jangan tanyakan perutnya yang bergejolak tak mengenakkan serta tenggorokannya yang kering."Kenapa?"Pertanyaan dengan nada khawatir itu membuat Anyelir membuka kelopak mata. Begitu menemukan keberadaan Damian di depannya, gadis itu mengernyit bingung."Kamu di rumah sakit, kemarin kamu pingsan di pemakaman papa kamu," jawab Damian meski gadis itu tidak bertanya.Sejenak, gadis itu tertegun. Jadi, kematian Papa memang nyata, ya? Padahal hati kecil Anyelir
Anyelir memandangi Damian yang tengah mempersiapkan kepulangannya dalam diam. Sejenak, gadis itu tersenyum lega. Beruntung karena dipertemukan dengan orang sebaik duda tampan itu. Meski lumayan ketus dan galak pada Anyelir, pria itu selalu siaga satu kala ia membutuhkan atau menginginkan sesuatu."Ayo kita pulang, Anye." Damian mengajak sambil mendorong sebuah kursi roda ke depan gadis itu.Anyelir yang melihat benda itu, menggeleng keras."Aku nggak mau naik ini, dikira aku patah tulang apa? Pokoknya gamau," tolak gadis itu sambil bersedekap dada dan memalingkan wajah. Khas anak kecil yang ngambek karena tidak dibelikan mainan impiannya.Damian memutar bola mata malas. "Emang kamu kuat jalan sampai mobil saya di luar?" tanya Damian yang dibalas Anyelir dengan gelengan.Dia tidak cukup punya tenaga meski hanya untuk berbicara dengan nada lantang. Apalagi berjalan sampai parkiran. Tubuhnya juga masih terasa lemas dan tidak bertenaga."Yaudah makannya, ayok naik ini aja!" titah Damian sa
Damian mengendarai mobilnya memasuki gerbang rumah. Setelah melewati banyak macam bujukan juga paksaan, akhirnya Anyelir mau ikut pulang dengannya ke sini lagi. Awalnya, gadis pendek itu keukeuh ingin tetap tinggal di rumahnya sendiri. Tapi, Damian tidak setuju. Karena di pertemuan terakhir ia dan Pak Ardi, pria itu menitipkan Anyelir padanya. Dia tidak mungkin juga tega membiarkan gadis ceroboh itu tinggal sendiri tanpa pengawasan.Tapi, Anyelir tetaplah Anyelir. Gadis itu selalu punya banyak macam cara untuk merepotkan Damian. Gadis itu bilang tetap bakal tinggal di rumahnya dan segera mencari pekerjaan untuk bertahan hidup sendiri. Kalau saja Damian tidak mengancam bakal memotong leher kucing betina kesayangannya, mungkin sekarang pria itu tidak bisa membawa Anyelir ke rumah ini lagi berikut kucingnya."Waaah ... Mama Dolly lapar, ya? Ayok kita cari makanan di kulkasnya Om Duda, di sana ada banyak snack loh, aku yang suka masukin ke freezer." Anyelir berucap sambil mengelus kepala
Damian baru saja membuka pintu kamarnya saat menemukan Anyelir tengah berlari hanya dengan berbalut handuk merah muda di lantai bawah. Dengan tidak pakai malunya, gadis itu mengenakan handuk pendek sambil mengejar kucingnya yang dari sependengar Damian, tidak mau mandi dan kabur di guyuran air pertama.Damian mungkin akan bersikap abai jika pakaian yang dikenakan gadis itu cukup sopan. Tapi, handuk dengan tinggi setengah paha juga hanya mampu menutup dada itu bukan hal yang sopan untuk gadis 19 tahun loh. Dia juga tahu gadis itu tepos. Tapi tidak usah pamer-pamer juga lah. Dikira Damian bakal peduli apa?"Anyeee ... setidaknya sana mandi dulu kamunya, urusan kucing biar belakangan!" tegur Damian mulai kesal sendiri melihat gadis itu yang tidak berhenti berlari.Anyelir menghentikan langkahnya. Tangannya berkacak pinggang berikutnya melenggang menaiki tangga lagi guna ke kamar mandi."Dasar Mama Dolly! Disuruh mandi kok nggak mau?! Kayaknya mau ngikut kakaknya yang bau," dumel gadis itu
"Kamu ngapain lagi, Anyeeee?" tanya Damian tidak mengerti begitu membuka pintu rumah.Gadis itu tidak apa-apa. Hanya saja, kewarasannya yang sangat apa-apa. Damian sudah capek-capek khawatir bahkan sampai terburu-buru pulang ke rumah, tapi gadis itu rupanya capek berperang dengan kebodohannya."Ish ... Mama Dolly tuh, Om!" adu Anyelir hampir menangis.Gadis itu masih sibuk terduduk di lantai ruang tengah dengan cat air yang tumpah di pakaian juga beberapa bagian lantai rumah. Damian berkacak pinggang. Matanya menyorot Anyelir menghakimi."Bersihkan sekarang atau leher Mamamu itu kugorok pakai gergaji?!" ancam Damian membuat gadis itu segera berdiri."Jangan gitu dong, Om! Bukan salah Mama Dolly kok, aku yang tadi mau warnain bulu dia pakai cat air warna biru, tapi dia nyakar terus lari. Terus pas ngejar dia aku kesadung habis itu kena beginian. Pokoknya jangan potong lehernya Mama Dolly! Aku bersihin sekarang kok," cerita sekaligus bujuk Anyelir dengan mata sudah hampir menangis.Damia