Share

Kepulangan Papa

Anyelir mondar-mandir di kamarnya dengan perasaan gelisah. Sudah sejak kemarin gadis itu tidak mau keluar kamar dan menolak makan. Damian bahkan kebingungan dengan tingkahnya yang tidak seperti biasa.

'Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi, cobalah beberapa saat lagi ....'

Gadis dengan piyama ungu itu melempar ponselnya ke ranjang dengan perasaan marah. Papanya kemana? Sudah satu minggu dan dia belum dijemput juga untuk pulang. Bahkan, pria itu sudah tidak meneleponnya lagi.

Dia jarang sekali jauh dari Papanya begini. Jadi, rasanya aneh dan menyebalkan saat Anyelir tidak melihatnya dalam jangka waktu yang lama.

Tok ... tok ... tok ...

"Siapa?" tanya gadis itu begitu mendengar suara ketukan pintu di luar kamarnya.

"Kalau Bi Wati yang mau nyuruh aku sarapan, balik aja ke dapur. Aku nggak mau," jawab Anyelir begitu tidak mendengar suara apapun lagi.

"Boleh masuk?"

Menyadari orang yang ada di sana, Anyelir segera membukakan pintu. Damian berdiri di sana dengan wajah khawatir begitu Anyelir membuka pintu.

"Kenapa, Om?" tanya Anyelir yang Damian sadari tidak sesemangat biasanya.

"Kenapa kamu nggak makan sejak kemarin? Nanti kamu sakit, Anyelir." Damian bertanya cepat.

Anyelir diam. Sepersekian detik kemudian berbalik dan segera duduk di kasur kamarnya. "Biarin aja," jawab gadis itu tidak peduli.

Damian mendengkus. Duda tampan itu berjalan mendekat dan berdiri sambil berkacak pinggang di depan Anyelir.

"Biarin aja apanya? Kalau kamu sakit memangnya siapa yang repot? Terus kalau kamu sakit, ntar aku dikira nggak becus ngurus kamu sama Pak Ardi."

Mendengar nama Papanya disebut, seketika mata Anyelir memanas. Tanpa dapat dicegah, tangis gadis itu pecah. Damian yang kaget dengan reaksi tiba-tiba Anyelir, kontan ikut duduk dan memeluknya menenangkan.

"Kenapa? Kok nangis?" tanya Damian panik sekaligus bingung.

Meski mengesalkan dan merepotkan, Damian selalu tidak tega kalau melihat anak kecil menangis di depannya seperti ini. Mata pria itu menyorot Anyelir lekat berikutnya mengapus air mata di pipi gadis itu.

"Kenapa? Hm?" tanya Damian lagi. Dengan nada paling lembut yang tidak pernah Anyelir dengar keluar dari mulut pria itu sebelumnya.

"Papa kemana, Om? Kapan mau jemput aku? Aku mau pulang," tanya Anyelir sambil menangis lagi.

"Ooh ... kamu rindu Om Ardi? Tenang aja ish, hari ini dia pulang kok. Hari ini pasti dia jemput kamu, kan udah seminggu. Tadi malam juga dia habis ngabarin aku," jelas Damian mencoba menenangkan.

Mata Anyelir berbinar senang. Tapi, sepersekian detik kemudian kembali digenangi air mata.

"Kok malah Om yang dikabarin?! Seharusnya aku, anaknya aku atau Om sih?!" tanya Anyelir ngegas membuat Damian tertawa geli.

"Kamu ini, masak cemburu sama aku sih? Ya jelas lah anaknya kamu, kalau anaknya aku, nggak mungkin tiap hari nelepon cuma buat nanyain anak bandelnya udah makan tengah malem apa belum," jawab duda tampan itu sambil terkekeh.

"Seharusnya kan dia nelepon aku, kan aku rindu." Anyelir cemberut.

Damian yang gemas dengan ekspresi cemberut gadis itu, kontan menjawil pipi tembang Anyelir dan mengeluarkan ponsel dari saku celana.

"Nih, coba telepon lagi. Btw Papamu bukannya nggak rindu, malah kayaknya dia yang paling rindu. Tapi ... ya gitu. Katanya dia nggak mau ngomong langsung sama kamu, soalnya kalau denger suara kamu pasti dia pengen langsung pulang."

Mendengar alasan yang diberikan Damian, Anyelir merasa sedikit lega. Tadi dia sempat berpikir bahwa Papanya bertemu calon istri baru dan meninggalkannya di sini. Tapi, pikiran buruknya ternyata jauh sekali dari kata benar.

"Coba teleponin, Om." Anyelir meminta sambil kembali menyodorkan ponsel pria itu pada pemiliknya.

Damian segera menelepon Pak Ardi. Beberapa detik, panggilan tersambung dan berdering. Lalu, beberapa menit kemudian, panggilan diangkat.

Tidak memberikan ruang untuk Damian sekedar bilang 'Hallo', Anyelir sudah lebih dulu menyabet ponselnya. Gadis itu tersenyum kelewat senang begitu mendengar suara sang papa.

"Halo ... Papaaaa!"

Damian yang mendengar rengekan gadis 19 tahun itu, hanya bisa menggeleng tidak habis pikir. Ini Anyelir beneran 19 tahun atau bukan sih? Kok kelakuannya kayak bocah SD yang sedang merengek minta minum es di musim hujan?

"Anyelir ... apa kabar, Nak? Aih akhirnya Papa bisa denger suara kamu," ucap Pak Ardi terdengar terkejut sekaligus senang di seberang sana.

Anyelir menggigit lidahnya guna menahan teriakan saking senangnya. "Anye baik kok, Pa. Aih Papa! Kenapa teleponan sama Om Duda tiap hari? Kenapa nggak telepon Anye aja tiap hari? Anye tiap hari sengaja nggak matiin data soalnya ngira Papa mau chat Anye lewat WA loh! Papa malah nggak ngechat sama sekali, sesibuk apa sih di sana sampai lupain Anye? Nggak asik ish! Kapan pulaaaang?"

Damian melongo mendengar kalimat kelewat panjang gadis di depannya. Tapi, duda tampan itu lagi-lagi cuma diam saja. Pikirnya, sebahagia Anyelir saja. Lagian dia lebih suka melihat gadis pendek itu heboh begini daripada mengurung diri di kamar dan tidak mau makan.

"Papa udah sampai bandara kok, Anye. Sebentar lagi mau jemput kamu ke rumah Nak Damian ini loh. Tunggu ya!" Anyelir melotot kaget begitu mendengar kalimat Pak Ardi.

Segera melirik Damian, gadis itu menatap pria itu penuh permohonan. "Ayok ke bandara, Om. Anterin aku!" pinta Anyelir memelas.

"Mau ngapain?" tanya Damian mengernyit heran.

"Jemput Papa dong, yakali jemput turis. Dikira aku ini pemandu wisata apa?" tanya Anyelir malah ngegas.

Duda tampan itu memutar bola mata malas. "Nggak, Pak Ardi langsung ke sini kok ntar. Nggak usah nggak sabaran gitu!"

"Duduk yang anteng di rumah Nak Damian, Sayang. Beberapa saat lagi Papa pasti sampai sana. Makannya sekarang mandi terus ganti baju dulu gih, siap-siap buat pulang. Pasti sekarang kamu masih pakai piyama, 'kan?" Mendengar kalimat sang papa, Anyelir nyengir.

"Enggak kok, Pa. Anye sudah mandi ya!" sanggah Anyelir malah berbohong.

Damian yang mendengarnya, kontan mendelik tidak suka. Segera menyabet ponselnya, pria itu menempelkan benda pipih itu di telinga.

"Bohong itu, Pak Ardi. Dia susah kalau disuruh mandi. Kalau nggak jam 10, dia nggak akan lepad piyama. Bahkan kadang meski ganti baju, dia mandinya sore. Anak gadis mana boleh kayak gitu kan ya?"

Anyelir cemberut begitu mendengar aduan Damian pada Papanya. Segera menyabet ponsel pria itu lagi, Anyelir menyembunyikannya di belakang tubuh.

"Om Duda nggak boleh ngomong gitu sama Ayah!" tegur Anyelir galak.

"Aku kan cuma ngomong fakta," jawab Damian santai.

"Halo ... Pa. Awas aja ya kalau Papa percaya sama omongannya Om Duda! Dia bohong itu! Mana ada aku mandi sore, ngawur dia itu. Papa lebih percaya aku kan daripada dia?" tanya Anyelir cerewet.

"Iya-iya, yasudah sana mandi. Taksi Papa sudah sampai ini."

"Okey, Papa!"

Begitu sambungan telepon terputus, Anyelir menyodorkan ponsel Damian dengan wajah kelewat sumringah. Saking senangnya, gadis itu bahkan sudah naik ke atas kasur dan meloncat-loncat di sana kegirangan.

Damian cuma bisa menggeleng-geleng heran.

"Sana mandi, Anak kecil! Kamu juga belum sarapan. Jangan sampai Pak Ardi ngira aku nelantarin anaknya di sini." Damian menitah sambil menarik ujung baju Anyelir dari sisi ranjang.

Anyelir berpikir sejenak. Berikutnya, gadis itu turun dari kasur dan tersenyum makin lebar.

"Karena hari ini hari terakhir aku tinggal di rumah Om, yaudah deh aku nurut aja."

Berikutnya, gadis berpiyama ungu itu berjalan dan menghilang di ambang pintu kamar mandi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status