Share

Kabar Duka

Anyelir sudah bersiap-siap dengan koper juga terusan pink selututnya sejak setengah jam lalu. Tapi, tidak ada tanda-tanda taksi yang membawa sang papa berhenti di halaman rumah Damian. Bahkan, saking tidak sabarannya, Anyelir meminta satpam rumah untuk membuka gerbang rumah sang duda tampan lebar-lebar.

Kata Anyelir biar ia leluasa menghadap jalan. Katanya juga, biar Papanya tidak lupa jalan menuju rumah Damian dan tersesat masuk ke rumah orang lain. Memang alasan yang tidak masuk akal. Tapi, Damian membiarkan saja gadis cerewet itu bertingkah sesuka hati. Mumpung hari ini adalah hari terakhirnya berada di sini.

Besok-besok, rumah Damian tentu saja bakal kembali damai dan sepi. Tidak seperti ketika Anyelir mendirikan perkemahan di ruang tengah. Tidak seperti ketika Anyelir menghancurkan dapur pukul 3 malam. Tidak seperti ketika gadis itu masih bisa keliaran di sini dan merecoki kehidupan Damian.

"Anye ... Papamu belum datang juga?" tanya Damian ikutan heran.

Anyelir menoleh dengan mata berkaca-kaca. Wajahnya pias seolah hampir menangis. Dengan lesu, gadis itu menggeleng.

Damian menghela napas berat. Bingung juga. Karena setengah jam lalu Pak Ardi bilang sudah hampir sampai sini kurang lebih 10 menit lagi. Tapi, hingga sekarang dia juga belum menampakkan wajahnya.

"Nggak mau masuk dulu? Nggak capek apa duduk di sini?" tanya Damian sambil ikut duduk di samping gadis itu.

Saat ini, keduanya tengah selonjoran di undakan tangga teras rumah yang tingginya tidak sampai lutut. Kaki Anyelir yang pendek bahkan mampu menyentuh paving halaman.

"Aku mau nungguin Papa sampai dateng, Om." Anyelir menjawab tegas.

Gadis itu bersedekap dada dengan pipi mengembung lucu. Damian memperhatikan sambil memeluk lututnya sendiri.

Rencananya setelah Anyelir dijemput nanti, dia bakal langsung ke tempat kerja. Tapi, hingga detik ini gadis itu rupanya belum dijemput sang papa.

"Kok Papa belum jemput aku sih, Om?!" tanya Anyelir mulai kesal.

Kal ini gadis itu berdiri dan berkacak pinggang. Merasa luar biasa kesal karena kelelahan dan tidak sabaran menunggu. Jadi dia kapan pulangnya dong kalau kayak gini? Anyelir kan sudah rindu kucing dan kasurnya di rumah!

"Nggak sabaran banget aelah, duduk aja dulu." Damian menarik lengan gadis itu dan segera menyuruhnya duduk.

Anyelir menyorot Damian dengan pandangan makin kesal. Damian yang melihat wajah tidak santainya kontan mengusap wajah gadis itu

"Jangan pasang wajah sejelek itu, nggak cocok banget buat kamu. Sana, mending sarapan dulu. Dari kemarin kamu belum makan, kan?" titah dan tanya Damian.

Anyelir menggeleng keras. "Aku nggak mau sarapan kalau nggak sama Papa," putus gadis itu final.

Damian mendengkus keras berikutnya berdiri.

"Dasar anak kecil!" maki duda tampan itu berikutnya menghilang di ambang pintu.

***

Baru beberapa menit masuk ke rumah, Damian kembali keluar dengan wajah pucat. Anyelir yang melihat itu kontan mengernyit keheranan.

"Kenapa, Om?"

Tidak ada jawaban. Pria itu menyorot Anyelir lekat sekaligus cemas membuat gadis itu ikutan cemas.

"Kenapa, Om?!" tanya Anyelir sekali lagi dengan nada setengah memaksa sambil menarik-narik lengan Damian.

"Papa kamu, Anye---Papa kamu, Pak Ardi meninggal."

Gerakan Anyelir di lengan Damian kontan terhenti. Matanya menyorot Damian murka. Pria itu boleh melucu tapi bukan begini caranya. Ini sama sekali tidak lucu bagi Anyelir.

"Om kalau mau bercanda jangan kayak gini lah!" teriak Anyelir tidak terima sambil menghempaskan lengan Damian yang sedari tadi dipegangnya.

Damian menggeleng. Tangannya menyodorkan ponsel yang sedari tadi masih tersambung dengan sebuah nomor dengan nama 'Pak Ardi'. Melihat itu, Anyelir segera mengambil ponsel Damian dan menempelkan benda pipih itu di telinga.

"Halo, Pa? Papa dimana? Kok belum sampai sini sih? Anye nungguin daritadi loh! Ish kap---"

"Halo, Dek. Ini siapa ya? Tolong dong kasih hp-nya ke Mas yang tadi, saya mau nanya jenazah korban mau dibawa kemana."

Mendengar sahutan orang di seberang sana, tangan Anyelir kontan gemetar hebat. Cairan bening berkumpul di pelupuk matanya. Perempuan itu menyorot kosong dengan mata diliputi amarah.

"Bapak jangan semabarangan! Papaku nggak mungkin meninggal! Dasar tukang bohong!" teriak Anyelir murka.

Begitu selesai mengatakannya, gadis itu melempar ponsel Damian keras ke lantai.

BRAK ....

"Kalian semua ini ngomong apasih?!" maki Anyelir lagi sebelum Damian mampu protes karena ponselnya yang kini sudah retak.

Damian baru saja akan menjelaskan tapi gadis itu malah berlari keluar rumah. Pria itu kontan mengejar tapi langkah Anyelir rupanya begitu lincah dan cepat.

Tapi, kaki Damian yang panjang tentu saja mampu menyaingi kecepatan gadis kecil itu. Segera menarik Anyelir, pria itu memilih memeluk gadis itu dari belakang guna menahan gerakan memberontaknya.

"Tenangin diri kamu, Anyelir. Tolong tenang dulu," pinta Damian dengan lembut.

Dia juga terkejut dengan kabar duka ini. Kata orang yang menolong Pak Ardi, taksi yang ditumpangi Papa Anyelir oleng dan bertabrakan dengan truk pengangkut pasir.

Supir taksi termasuk penumpang tidak terselamatkan. Sedangkan supir truk hanya luka ringan. Damian bingung menjelaskan pada Anyelir bagaimana. Makannya dia tadi langsung menyodorkan ponselnya ke gadis itu. Damian tidak tahu kalau reaksi Anyelir bakal sekalap itu.

"Lepasin aku! Aku mau jemput Papa! Dia pasti udah pulang ke rumah kami!" teriak Anyelir yang masih berada dalam kungkungan Damian.

"Tolong tenang, Anye! Jangan memperburuk keadaan!" bentak Damian karena bingung harus menghadapi gadis di dekapannya dengan cara apa.

"Papaku udah pulang, Om!" teriak Anyelir pilu dengan isak yang menggema nyaring.

Damian yang mendengarnya, akhirnya merasa kasihan juga. Menghela napas berat, pria itu membalikkan tubuh Anyelir dan menangkup pipi gadis itu dengan mata menyorot menenangkan.

"Ayo kita temui Papa kamu, jangan kayak gini." Tidak ada nada perintah ataupun amarah dari bibir Damian.

Dan hal itu, berhasil membuat pertahanan Anyelir akhirnya rubuh juga. Gadis itu terduduk di tepi jalanan sambil menutup wajahnya. Bahunya bahkan berguncang hebat karena tangis yang tidak kunjung berhenti.

"Papaku masih hidup, Om. Papaku masih hidup. Orang itu ... orang itu yang harusnya mati."

Mendengar racauan kacau gadis itu, Damian ikut jongkok dan memeluk Anyelir lagi. Mencoba memberikan kekuatan pada gadis yang saat ini begitu terguncang jiwanya.

"Tenang, Anye." Lagi dan lagi, Damian tidak bisa mengucapkan kata lain selain itu.

"Jangan sentuh aku! Sana pergi! Aku mau nunggu Papa di sini!" teriak Anyelir lagi yang dibalas Damian dengan gelengan.

"Jangan kekanakan, Anyelir. Tolong jangan mempersulit keadaan. Ayo kita jemput jenazah Papa kamu di tempat dia kecelakaan." Damian mencoba meminta pengertian.

Anyelir semakin menenggelamkan kepalanya di balik lipatan tangan juga lutut.

"Aku emang kekanakan! Aku nggak akan jadi orang dewasa kalau jadi dewasa bikin aku kehilangan Papa."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status