Share

Anyelir Sakit

Anyelir mengerjapkan mata guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Begitu matanya terbuka sempurna, hal pertama yang mampu gadis itu tangkap adalah langit-langit ruangan berwarna putih susu.

Ini di mana? Sudah jelas ini bukan kamarnya ataupun kamar Damian.

"Sudah sadar, Anye?"

Begitu mendengar suara si duda tampan, Anyelir hendak menoleh tapi kepalanya malah terserang nyeri. Gadis itu memilih memejamkan mata lagi guna meredakan pening yang menghinggapi kepala. Lehernya terasa kaku dan tegang. Tubuhnya juga terasa remuk redam. Jangan tanyakan perutnya yang bergejolak tak mengenakkan serta tenggorokannya yang kering.

"Kenapa?"

Pertanyaan dengan nada khawatir itu membuat Anyelir membuka kelopak mata. Begitu menemukan keberadaan Damian di depannya, gadis itu mengernyit bingung.

"Kamu di rumah sakit, kemarin kamu pingsan di pemakaman papa kamu," jawab Damian meski gadis itu tidak bertanya.

Sejenak, gadis itu tertegun. Jadi, kematian Papa memang nyata, ya? Padahal hati kecil Anyelir berharap itu semua hanya mimpi buruk.

Seketika, mata Anyelir memanas lagi. Seolah memang tidak pernah lelah dan cukup menangisi kepergian sang papa untuk kesekian kalinya.

"Jangan nangis lagi dong! Mata kamu udah semengerikan itu dan masih mau bikin lebih serem juga?" tegur Damian begitu menyadari mata berkaca-kaca gadis itu.

Anyelir menggeleng lemah. Gadis itu mati-matian mencoba menahan tangisnya biar tidak lagi pecah. Dia harus berusaha menguatkan diri. Dia tidak mau terus-terusan cengeng begini. Lagian, siapa yang bakal meredakan tangisnya seperti ketika sang papa masih ada?

"Enggak nangis kok, Om." Anyelir menyahut serak.

Sehabis berbicara, gadis itu memegangi lehernya. Tenggorokannya terasa sakit dan kering. Damian yang sadar akan hal itu, segera menyodorkan air putih yang tergeletak di gelas atas nakas.

Menaikkan ranjang Anyelir hingga setengah duduk, Damian juga membantu gadis itu minum dengan perlahan. Begitu selesai, pria itu duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Anyelir.

"Kamu ini, bikin khawatir aja! Dari kemarin malah nggak bangun-bangun. Lagian dari lusa belum makan kan? Wajar aja nggak ada tenaga gitu," omel Damian sambil bersedekap dada.

Anyelir tersenyum geli melihat raut kesal Damian. Bukannya takut, kok dia merasa lucu ya?

"Aku nggak papa kok, Om. Cuma nggak makan dua hari, bukan nggak napas. Nggak usah khawatir pokoknya," jawab Anyelir santai membuat Damian melotot tidak terima.

"Kamu ini! Bisa-bisanya bilang gitu, nggak tau apa kalau aku khawatir beneran?" kesal Damian yang dibalas Anyelir dengan kekehan.

Tapi, kekehan gadis itu harus terhenti saat pening lagi-lagi menghinggapi kepala. Gadis itu memejamkan matanya sambil memijat kening. Damian kontan panik dan berdiri guna hendak memanggil dokter. Tapi, tangan Anyelir segera menahan lengan duda tampan itu.

"Kenapa? Biarin saya keluar bentar, mau panggil Dokter," ucap Damian mencoba melepaskan cekalan tangan Anyelir di lengan.

Gadis itu menggeleng masih dengan mata terpejam.

"Di sini aja, temenin aku."

Mendengar suara bergetar Anyelir, Damian jadi merasa tidak tega dan akhirnya memilih duduk kembali. Tiba-tiba, gadis itu menarik lengan Damian dan menyelipkannya di bawah kepala sebagai bantal.

"Biasanya ... Papa begini kalau aku lagi sakit," cerita Anyelir lirih.

Damian menghela napas berat. Tidak tahu harua membalas kalimat gadis itu dengan kalimat macam apa. Pria itu menarik tangannya dari bawah kepala Anyelir.

Baru saja gadis itu akan protes, suara Damian lebih dulu menginterupsi.

"Kalau gitu ...," Damian meletakkan tangannya di puncak kepala Anyelir dengan gerakan mengusap lembut. "Aku nggak mau jadi Papa kamu, aku mau jadi Damian."

Anyelir yang tidak mengerti dengan ucapan pria itu, mengernyit bingung. Damian tersenyum geli. Sudah ia duga. Anyelir terlalu anak kecil untuk mengerti kalimat pria dewasa sepertinya.

"Kalau Papa kamu suka bikin tangan jadi bantal, aku lebih milih buat ngusap kepala kamu pakai tangan." Damian memperjelas yang masih ditanggapi Anyelir dengan wajah bingung.

Duda tampan itu mendengkus sebal. Susah memang ngomong sama anak kecil!

"Yaudahlah, nggak jadi."

"Nggak jadi apa memangnya, Om?" tanya Anyelir makin tidak mengerti.

"Tauk ah! Mau ngambek dulu," jawab Damian makin kesal.

"Ngambek kenapa emangnya, Om?" tanya Anyelir makin mengundang emosi.

"Udah ah, mau beli mie instan di kantin rumah sakit dulu!" kesal Damian akhirnya memilih berdiri.

"Eh ... mau juga dong!" sahut Anyelir semangat.

Damian tersenyum miring. "Mau apa emangnya, Om?" tanya pria itu lebih tepatnya mempraktikan gaya bicara Anyelir.

Gadis itu mendengkus sebal. Dasar duda tukang copas! Untung ganteng, eh.

***

Anyelir yang tengah sibuk bermain game My Talking Angela di ponselnya, seketika menghentikan permainan begitu mencium bau khas mie instan. Gadis itu menoleh pada pintu ruangan dan menemukan Damian tengah menenteng dua cup p*p mie rasa soto ayam.

"Waaah ... mie!" pekik Anyelir senang.

Seolah dengan melihat makanan instan itu saja, segala jenis sakit yang menghinggapi tubuhnya terangkat seketika. Bagi Anyelir, mie instan memang moodboster terbaik!

Damian terkekeh geli melihat wajah antusias gadis yang kerap ia katai anak kecil itu. Melihat mie seolah baru saja melihat keajaiban dunia saja.

Menyodorkan satu cup pada gadis itu, Anyelir malah menggeleng tegas.

"Aku yang pilih!" putus gadis itu sambil memberi kode agar Damian mendekat.

"Cap cip cup kembang kuncup ... pilih yang mana yang mau di cup~ nah, ini! Aku yang ini aja," jawab gadis itu sambil menuju salah satu cup mie setelah membaca mantra entah apa.

Damian melongo bingung tapi membiarkan saja gadis itu bertindak sesuka hati. Padahal di mata Damian kedua mie itu sama saja.

Melihat mie yang di mata Anyelir belum mengembang sempurna, gadis itu meletakkan kembali makanan tersebut di atas nakas. Damian yang melihat itu hanya mengangkat bahu acuh.

Semingguan ini tinggal bersama gadis itu membuat Damian tahu apa saja kebiasaannya. Seperti dia yang bakal lapar pukul 3 malam, gadis itu yang gemar jatuh dan jatuh, Anyelir yang suka makan mie (kelewat) mengembang, gadis itu yang suka pakai baju berwarna pink dan biru muda, atau Anyelir yang suka memelihara kucing.

"Kapan aku bisa pulang, Om?" tanya Anyelir di sela menunggu mienya.

"Belum bisa! Anemia kamu kambuh, maag juga, belum lagi itu dehidrasi kamu parah mana kena gejala tifus. Kalau kaya penyakit gitu jangan miskin niat buat berobat dong," sahut Damian mengabsen penyakit yang diidapnya.

Anyelir mengerjap tidak percaya. Bisa sebanyak itu, ya? Kalau kata Ima, lebih banyak dari cintaku pada Suho.

"Nah kan kamu aja kaget," komentar Damian melihat raut tidak percaya Anyelir.

"Makannya sekarang istirahat dan makan yang rajin, biar bisa cepet pulang ke rumah. Kamu juga masih lemes banget itu sebenernya," perintah Damian panjang lebar.

Anyelir cengengesan. "Nggak papa kok lama-lama di sini, biar bisa lebih lama sama Om Duda," goda Anyelir yang dibalas Damian dengan putaran bola mata malas.

"Lah terus di rumah kamu nggak ketemu aku juga gitu?" tanya Damian tidak habis pikir.

"Ya enggak ketemu lah," jawab Anyelir santai.

"Kamu pulang ke rumahku, Anyelir. Bukan ke rumahmu," perjelas Damian membuat Anyelir melotot kaget.

"Tapi aku mau pulang, Om," jawab Anyelir dengan wajah memelas.

"Di rumah kamu emang mau ketemu siapa?" tanya Damian tidak habis pikir.

"Dolly," jawab Anyelir jujur.

"Siapa Dolly?" tanya Damian heran. Tumben sekali mendengar ada anggota keluarga Pak Ardi bernama demikian.

"Kucing betinaku, Om. Udah lama nggak liat, kasihan loh kalau aku nggak segera jemput."

Damian mendengkus sebal. Ternyata cuma kucing.

"Cuma kucing toh, aku kira saudara kamu yang terlupakan," jawab Damian asal.

"Dia Mamaku, Om! Jangan ngeremehin kayak gitu!" tegur Anyelir tegas.

"Bodoamat!" kesal Damian sambil menyeruput kuah terakhir mie instannya.

"Enak aja bodoamat! Setelah pulang dari sini pokoknya Om Duda harus nganter aku ke rumah. Aku mau jemput Mama Dolly," putus Anyelir final.

"Malesss! Aku nggak kenal Dolly."

"Nggak boleh gitu ish, Om! Lagian panggil dia Dek Dolly!" kesal Anyelir sekalian mengoreksi panggilan yang layak untuk Mamanya.

Damian memutar bola mata malas. "Mie kamu nggak mau dimakan?" tanya Damian mengalihkan topik.

"Eh iya, lupa!"

Berikutnya, gadis itu tidak berkicau lagi. Damian tersenyum lega. Mie memang media paling ampuh untuk membuat gadis itu berhenti mengoceh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status