Share

Pulang ke Rumah

Anyelir memandangi Damian yang tengah mempersiapkan kepulangannya dalam diam. Sejenak, gadis itu tersenyum lega. Beruntung karena dipertemukan dengan orang sebaik duda tampan itu. Meski lumayan ketus dan galak pada Anyelir, pria itu selalu siaga satu kala ia membutuhkan atau menginginkan sesuatu.

"Ayo kita pulang, Anye." Damian mengajak sambil mendorong sebuah kursi roda ke depan gadis itu.

Anyelir yang melihat benda itu, menggeleng keras.

"Aku nggak mau naik ini, dikira aku patah tulang apa? Pokoknya gamau," tolak gadis itu sambil bersedekap dada dan memalingkan wajah. Khas anak kecil yang ngambek karena tidak dibelikan mainan impiannya.

Damian memutar bola mata malas. "Emang kamu kuat jalan sampai mobil saya di luar?" tanya Damian yang dibalas Anyelir dengan gelengan.

Dia tidak cukup punya tenaga meski hanya untuk berbicara dengan nada lantang. Apalagi berjalan sampai parkiran. Tubuhnya juga masih terasa lemas dan tidak bertenaga.

"Yaudah makannya, ayok naik ini aja!" titah Damian sambil menyodorkan kembali kursi roda ke hadapan gadis pendek yang kini tengah mengayunkan kaki di sisi bed rumah sakit itu.

Anyelir cemberut dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak mau baik benda itu dan entah kenapa sekarang malah ingin menangis entah karena apa. Semenjak kepergian Papa, dia yang semula cengeng malah jadi super cengeng.

"Lah kok nangis?" tanya Damian panik begitu gadis itu kini malah mulai terisak nyaring.

"Kan udah kubilang aku nggak mau naik kursi roda, Om. Gimana sih? Aku kan mau pulang," sahut Anyelir di sela tangis sesenggukannya.

Damian menghela napas berat. Tangan pria itu meraih pegangan kursi roda dan menempatkan benda tersebut di sudut ruangan.

"Yasudah kalau nggak mau naik kursi roda," jawab Damian mengalah sambil menyampirkan tas berisi barang-barang Anyelir ke punggungnya.

Berikutnya, pria itu berdiri di hadapan gadis pendek itu dan segera menyelipkan tangannya pada tengkuk juga bawah lutut Anyelir. Gadis yang hari ini mengenakan rok merah muda selutut juga baju sweater lengan panjang berwarna hitam terlonjak kaget. Damian menggendongnya dengan kelewat santai.

"K-kok ... kok digendong sih, Om?" tanya Anyelir bingung dengan yang dilakukan pria itu.

Damian menoleh pada gadis yang tengah berada di gendongannya itu sejenak, berikutnya kembali fokus menuju pintu ruangan.

"Emangnya kenapa? Kamu nggak mau naik kursi roda, kan? Yaudah naik aku aja," jawab Damian santai.

Damian melewati koridor rumah sakit dengan wajah kelewat santai. Anyelir yang malu, akhirnya cuma bisa menyembunyikan wajahnya di dada pria tampan meski sudah tua itu.

"Turunin, Om!" pinta Anyelir begitu keduanya sampai di parkiran. Lebih tepatnya di samping mobil Damian yang terparkir.

Damian menurunkan Anyelir dalam diam. Pria itu membukakan pintu mobil untuk Anyelir sebelum masuk ke mobil juga.

"Pakai sabuk pengamannya, Anyelir!" perintah Damian begitu keduanya sudah duduk anteng di jok mobil.

Anyelir menggeleng. "Nggak mau, Om. Pakai begituan bikin nggak bisa gerak, males ah," tolak gadis berambut sebahu itu.

Damian menghela napas berat. Kapan Anyelir akan merespon baik niat baiknya? Mengabaikan wajah tidak setuju gadis itu, Damian menarik 'seatbelt' dan memasangkannya untuk Anyelir.

"Kan sudah kubilang enggak mau pakai ini, Om!" kesal Anyelir melepas lagi benda yang melingkupi tubuhnya.

Tiba-tiba, Damian mendekatkan wajah pada Anyelir membuat gadis itu menahan napas.

"Kan sudah kubilang," Damian memasangkan kembali benda itu pada Anyelir. "kalau disuruh pake ya pake."

Untuk pertama kalinya, Anyelir akhirnya memilih mengalah.

***

Anyelir membuka gerbang rumahnya diikuti Damian. Mobil pria itu sengaja ia tinggal di depan gerbang karena keduanya memang hanya bakal mampir sebentar untuk menjemput Dolly---kucing kesayangan Anyelir.

Tapi, niat untuk singgah sejenak sepertinya bakal Damian urungkan begitu melihat wajah sedih gadis di sampingnya. Bahkan sekarang, Anyelir sudah mulai menangis lagi.

Dalam hati, Damian merutuk diri sendiri. Kalau saja tahu membawa Anyelir ke sini bakal bikin mood gadis itu memburuk lagi, ia mungkin memilih untuk mengabaikan rengekan Anyelir selama perjalanan pulang tadi.

Dia tidak suka melihat gadis itu menangis lagi. Cukup satu minggu di rumah sakit belakangan pria itu menyaksikan bagaimana terluka perasaan Anyelir sehabis ditinggal Pak Ardi. Sekarang, dia hanya ingin melihat wajah cerah gadis itu seperti hari-hari biasanya.

Sementara Damian sibuk memandanginya, Anyelir sudah lebih dulu berjalan di halaman rumahnya yang luas. Gadis itu menghentikan langkah begitu sebuah bola basket tertangkap mata.

Anyelir segera mengangkat bola berwarna jingga itu dan melakukan dribble atau pantulan. Damian segera berlari mendekat begitu mendapati gadis banyak tingkah itu berlari sambil menggiring bola.

"Heh! Ngapain kamu?!" tanya Damian murka.

Anyelir menoleh dengan wajah polosnya. "Main basket, Om. Mau ikut?" tanya gadis itu santai.

Damian menggeleng tegas. "Nggak! Udah jangan main basket sekarang, kamu belum sembuh banget. Baru juga dilepas infusannya," kesal Damian sambil merebut bola basket di tangan Anyelir.

Gadis itu tersenyum miring.

"Ayo buat perjanjian!" putus Anyelir semangat.

"Kalau Om bisa masukin bola ke ring yang ada di sana," Anyelir menunjuk ring di sebelah kanan rumah dengan dagu. "Kita langsung pulang sekarang."

Begitu kalimatnya selesai, gadis itu merebut bola basket dari tangan Damian dengan lincah. Duda tampan itu bahkan belum sempat mengiyakan apalagi berpikir untuk menentukan keputusan.

Tapi, karena merasa terdesak, akhirnya Damian berlari mengejar langkah lincah gadis yang di matanya terlihat kecil itu. Gerakan mengecoh juga lincah Anyelir membuat Damian kuwalahan.

Rupanya, Anyelir hebat juga soal bermain basket. Sejenak, pria itu tersenyum lega. Setidaknya dengan bola berwarna jingga itu saja, mood gadis itu sudah berangsur membaik secepat ini.

Tapi, kelegaan Damian harus terhenti saat mendengar kalimat yang dilontarkan gadis itu di sela berlarinya.

"Kalau kayak gini, aku berasa lain main basket sama orang lain. Biasanya, Papa nggak pernah biarin aku masukin bola ke ring kalau main sama dia. Om bukan Papa."

Damian menghentikan gerakan mengejarnya. Anyelir belum baik-baik saja dan mungkin tidak akan pernah baik-baik saja semenjak kehilangan sosok yang begitu disayanginya.

Damian berlari dan segera merebut bola dari tangan Anyelir saat gadis itu lengah.

"Aku emang bukan Papa kamu, Anye." Pria itu mendribble bolanya dengan gerakan santai. Berikutnya, Damian melakukan shoot atau lemparan yang hebatnya tepat memasuki ring. "Karena aku Damian."

Bahkan, sampai pria itu melemparkan bola kembali untuk Anyelir, gadis itu cuma bisa termangu. Matanya menyorot kosong ring yang tadi dimasuki bola dari lemparan Damian.

"Om bukan Papa." Gadis itu menggumam lagi.

"Seperti perjanjian kamu, ayo pulang sekarang!" ajak Damian.

Anyelir tidak mengalihkan pandangannya dari ring basket. "Om emang bukan Papa."

Selesai mengatakannya, gadis itu hampir saja ambruk tapi Damian rupanya lebih sigap menahan tubuhnya. Damian menghela napas berat.

"Sudah kubilang, kamu masih belum sembuh."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status