Share

5. Puisi Pilu

Kakiku baru saja mendarat di permukaan tanah dan seketika gemetar hebat tatkala melihat pemandangan sekelompok orang berseragam putih di depan rumah. Kendaraan beroda dua yang baru saja memboyongku sudah berbelok untuk disimpan Kak Danu di lahan kosong milik tetangga. Aku berjalan mendekati seluruh manusia yang kini menatapku iba. 

Apa yang terjadi? 

Pikiranku semakin keruh dan tak dapat berpikir lagi. Sampai aku melihat bendera kuning tertancap di pohon rambutan depan rumahku. Dunia seolah terhenti beberapa saat ketika pandanganku beralih pada sebuah keranda yang biasa digunakan untuk mengantarkan seseorang ke peristirahatan terakhirnya. Riuh rendah isak tangis yang bergerombol masuk ke telingaku terendam oleh degup jantungku yang bertalu-talu. Seseorang menyambutku di pintu rumah. Dia membentangkan tangannya meraih tubuh lemahku dalam pelukannya. 

Siapa yang meninggal?

Air mata di pelupuk mataku meluruh ketika seseorang yang memelukku berbisik, "Bapak dipanggil Tuhan, Dek."

Lantunan ayat Al-Quran mencoba masuk lagi ke telingaku. Menyadarkanku bahwa ini bukanlah mimpi belaka. 

"Bapak!" Aku langsung berlari masuk. Di sana Bapak sudah dikafani dan siap dikebumikan. Ibuku ada di sana membacakan surat Yasin. Kakak tertuaku memelukku erat sekali. Dia mencoba menenangkanku yang saat ini menangis hebat memanggil Bapak. Kupukuli ubin dingin yang dibalut tikar ini. Kucoba melampiaskan rasa sakitku. Namun, aku tak bisa. Rasanya seperti dihantam godam secara tiba-tiba. Sakit. 

Sebuah tangan yang menyentuh pundakku membuat aku tersentak. Mataku langsung menangkap sosok Kak Okta yang saat ini sedang melambai-lambaikan tangan di depan wajahku. 

"Ngelamun, Dek?" tanyanya sambil menjatuhkan diri di kursi sebelahku.

"Berpikir," jawabku sekenanya. Kuambil lagi novel yang entah kenapa tiba-tiba ada di lantai. Padahal tadi aku sedang memangkunya dan sedang kubaca.

"Berpikir atau melamun?"

"Gini, Kak Okta yang super duper bawel, menurut Prajudi Atmosudirjo ngelamun adalah salah satu cara berpikir."

"Oke, 100+21×80÷4×100-93+1.234÷2×1.980 sama dengan?"

Aku membuka mata lebar-lebar. Shock dengan kelakukan Kak Okta yang seenak jidatnya memberiku soal belibet kayak gitu. Aku hendak memakinya, tapi keduluan sama dia.

"Nah, lamunin coba. Aku nggak yakin kamu nemuin jawabannya. Paling kamu jedukin itu kepala ke tembok sebagai pelampiasan kekesalanmu."

Kutenggelamkan kau di Pangandaran, Kak! Aku melempar novel tebal ke dadanya. Lalu, berjalan masuk ke kamar dan membanting pintunya. Dasar gila! Orang genius juga pasti agak lama menjawab soal yang asal sebut tadi. 

Lagipula teoriku benar, kok. Dia nggak makan bangku SMK, sih. Jadinya nggak tahu kalau ngelamun memang salah satu cara berpikir. Namun, tadi memang kesadaranku sepenuhnya tak berada di tempatnya. Aku nggak berpikir atau mengingat-ingat kejadian dengan cara melamun. Tadi ingatan itu meluap begitu saja tanpa aku berusaha mengingatnya. Agaknya otakku memang merekam dengan apik sekali kejadian itu dan enggan aku melupakan sesekon pun waktu yang terjadi sembilan bulan yang lalu. 

***

Mengenang Oktober Yang Berduka

Tetes air jatuh ke permukaan tanah

Ketika senja ditelan oleh cakrawala

Siluet mega tak nampak indah

Lebur bersama jiwa yang luka

Kepada Oktober dengan sejuta pesona

Biarkan rindu terbang pada kasih tercinta

Bersama api yang membakar hati yang lara

Sampaikan, keping hati kami berdua

Menangisku, jeritku, lebur bersama nestapa

Kurangkul malaikat yang patah sayapnya

Yang menangis seraya menabur bunga di pusara

Bisikku, ciumku, doaku, tetap bersama kita

Pada Oktober yang menyeret jejaknya

Pada Oktober yang membuat patah kita

Sabarku, ikhlasku, kulepas kepergiannya

Malaikat di sampingku, tetap kujaga

Sepenggal puisi berhasil aku publikasikan di facebook. Sebenarnya aku nggak niat sama sekali bikin puisi sore ini. Namun, entah kenapa berbagai diksi bermunculan di otak dan meminta untuk dituliskan segera. Keparat memang otak ini. Suka saja meracuni segala tingkah laku untuk tunduk pada perintahnya.

Satu pesan masuk dari Alfa. Tumben sekali dia menyapa di sore hari. Biasanya dia muncul selepas magrib atau pagi-pagi sekali buat bangunin shubuh.

Alfau: Puisi kamu bikin aku sakit

Aku mengerutkan kening. Gak jelas banget ini manusia. Memangnya puisiku itu ada virusnya yang bikin orang jadi kejang-kejang dan berakhir di rumah sakit? Memangnya puisiku itu panah atau pedang sampai membuatnya berdarah dan merasa sakit? Atau puisiku ...

Sebentar aku melamun dulu buat mikir.

Me: Facebook kamu apa?

Alfa: Rahasia

Me: Dasar manusia rahasia. Jangan mau nikmatin karya orang kalau nggak apresiasi

Alfa: kan kubilang puisimu bikin sakit

Me: itu penghinaan kalau puisiku bikin kamu sakitnya di kepala belibet bahasanya atau kaku. Itu jelek namanya

Alfa: sakit hati, Ta

Me: dapet feel-nya?

Alfa: menurutku iya. Nggak tahu yang lain. Penilaian puisi kan suka subjektif

Me: apresiasi, kek

Alfa: tadi udah

Me: ck, like coment gitu. Masa nggak ngerti arti apresiasi

Alfa: aku menilai tadi, feel-nya dapet

Me: Gitu doang? Like coment dong

Alfa: aku suka. Aku barusan coment. Puisimu bikin aku sakit hati

Sialan! Dari tadi dia ngomong bolak-balik mulu. Aku kan minta dia like dan coment di kolom yang disediakan facebook. Masa gunain aplikasi facebook ciptaan Mark Zukenberg aja nggak bisa. Bikin emosi aja ini manusia.

Me: siapa sih yang bego?

Alfa: pasien rumah sakit jiwa

Me: kamu!!!

Alfa: aku nggak pernah menapakkan kaki di rumah sakit jiwa

Me: sekarang kudu

Alfa: kamu aja dulu, gih

Bener-bener minta dicium si Alfa ini. Aku mengalihkan lagi topik pembicaraan. Suer, aku kepo banget sama akun facebook si Alfa. Kalau dia suka sama puisi-puisiku, berarti dia sudah lama mantengin facebook-ku. Namun, dia nggak pernah like dan coment kayaknya. Haram hukumnya jadi silent readers. Jadi, aku kudu labrak itu orang yang nikmatin karyaku tanpa bersusah payah mainin jari di kolom like dan coment.

Me: nama facebook kamu apa?

Alfa: Rahasia

Me: jujur dong

Alfa: Rahasia

Me: Alfa, nama facebook-mu apa?

Alfa: Rahasia

Me: Ngerti bahasa indonesia nggak?

Alfa: Ngerti. Tapi nama facebook-ku Rahasia

Me: sekali lagi bilang rahasia aku santet kamu

Alfa: Nama facebook-ku 'Rahasia', kamu dari tadi kukasih tahu juga

Kampret. Ngomong kek, dari tadi. Jadi, di sini yang bego itu dia atau aku?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status