Share

6. Ayam Kecap

Minggu. Waktu di mana seluruh Warga Negara Indonesia melakukan acara tidur berjamaah di hari libur. Terkecuali yang lembur atau yang pergi berlibur. Kalau aku dan Ibu memilih untuk masak-masak di dapur. Menu kita hari ini yaitu ayam kecap. Masak ayamnya cuma seperempat, tapi kecapnya bisa sampai dua botol. Oke, aku berbohong soal itu. 

Ibu memang suka sekali masak. Sedangkan aku suka makan. Jadi, kita adalah pasangan simbiosis mutualisme. Kakak tertuaku suka masak dan suka makan. Makanya aku suka nggak kebagian makanan kalau berkunjung ke rumahnya yang baru dibangun sekitar enam bulan yang lalu itu. Sedangkan kakak keduaku nggak suka masak dan jarang makan. Namun, di rumahnya suka banyak sekali cadangan makanan. Pokoknya kalau aku ke sana, pasti perut kenyang hati pun senang.

Kembali lagi ke topik masak-masak bersama ibu. Beliau sekarang sedang menyusun sayur di piring. Ayam kecap dihias ala chef Desi di acara Master Chef yang tayang di RCTI. Aku nge-fans sama chef tersebut karena namanya mengingatkanku pada seorang penulis abal-abal yang selalu meratapi kejombloannya dan hampir menyerah untuk mencari pacar. 

Setelah masak-masak, sekarang waktunya makan. Namun, belum juga menyendok nasi ke piring, segerombol induk tawon dan anak-anaknya menyerang negara ini. 

Ada Kak Juli, kakak tertuaku. Dia datang bersama dua anaknya, Shopia dan Eline. Shopia itu umurnya nggak beda jauh sama aku. Saat ini dia masuk SMA dan memilih sekolah yang saat ini menjadi markas besarku, SMEA. Sialnya dia diterima dengan mudah tanpa tes ini-itu. Nggak kayak aku yang kudu mengerjakan dulu soal sebanyak lima puluh butir. Salahkan sistem sekolah yang selalu berubah-ubah dan makin mudah. Tahun ini, Eline juga masuk ke sekolah baru. SMP favorit di Jatiwangi. Aku juga membangun markas besar di situ dulu. Ah, entah kenapa kedua keponakanku ini mengikuti jejakku.

"Suamimu ke mana, Kak?" tanya ibu. Beliau nggak jadi makan demi menyambut anak cucunya yang datang tanpa diduga itu. Aku sendiri bodo amat dengan kehadiran mereka. Ayam kecap lebih menggoda imanku saat ini.

"Biasalah, nganterin galon."

Suami Kak Juli memang punya usaha kecil-kecilan. Isi ulang air minum yang mereknya sudah dikenal seluruh masyarakat Indonesia.

"Hari libur masih kerja begitu," kata ibuku. Itu sindiran atau apa, sih? Ibu ini kalau ngomong suka asal ceplos. Pantas saja aku juga sering ceplas-ceplos, genetik dari ibu, toh.

"Yah, mau gimana lagi? Itu Shopia sudah harus bawa uang ke sekolah buat beli seragam."

"Ibu doakan semoga rezekinya lancar, Nak," ucap Ibu tulus seraya mengusap puncuk kepala Kak Juli.

Aku berhenti mengunyah ayam kecap ketika kulihat Kak Juli memeluk erat tubuh ibu dan menangis tersedu. Shopia dan Eline yang juga sama-sama bengong melihat adegan mellow ala FTV itu. Aku mau ikutan nangis. Namun, Shopia segera menarikku untuk ke kamar. Kuikhlaskan nasi yang tinggal seperempat di piring dan mengikuti Shopia berbaring di kasur. Yah, diabetes deh, karena habis makan langsung molor.

"Kenapa?" tanyaku pada Shopia dan Eline yang kini diam sejuta bahasa. "Ada masalah?" Mereka masih diam kayak patung pancoran. Shopia sendiri meremas tangannya kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Eline menopang dagu di atas bantal dengan muka masam yang minta dilempar bata.

"Kalau kalian diem terus, aku mau lanjut makan. Kasihan ayam kecapku yang tinggal sepotong itu. Terus kasihan juga nasinya nanti nangis."

Belum sempat aku bangkit dari tidur, Shopia sudah menarikku lagi untuk diam. Aku jadi ngeri sama dua manusia ajaib yang selalu bikin kamarku kayak kapal pecah ini. Iya, meskipun mereka telah remaja--Eline sedang beranjak remaja--tapi, hobi mereka masih kayak anak tadika. Kalau datang ke kamarku mereka pasti perang bantal. Atau mereka akan mengobrak-abrik novel-novelku yang tersusun rapi di meja belajar. Lebih parahnya mereka suka tidur dengan iler yang berjatuhan bagai hujan badai di bantal sampai membentuk pulau. Esoknya pasti pekerjaanku mencuci seluruh sprei. Menyebalkan.

"Mamah berantem sama Bapak," kata Shopia.

"Terus?"

"Mamah kabur."

"Terus?"

"Aku nggak tahu cara menyelesaikannya gimana. Bantuin."

"Bantuin gimana?"

"Ngomong sama Mamah."

"Terus?"

"Nabrak!"

Aku mengerucutkan bibir. "Ngomong jangan setengah-setengah makanya," ujarku sewot.

Shopia cuma berdehem. Selanjutnya dia membenamkan wajah di bawah bantal.

Dia mau aku merespon bagaimana memangnya? Pertengkaran dua manusia yang terikat pernikahan itu haram hukumnya direcoki oleh orang lain. Aku yang notabene adalah adiknya yang masih ingusan nggak mungkin bisa menyelesaikan sengketa orang-orang dewasa.

"Kenapa bisa bertengkar?" tanyaku pada Eline. Cewek itu diam saja menyimak pembicaraan nggak jelasku sama Shopia tadi. Kali ini dia yang harus menjelaskan kalimat potong-potong Shopia.

"Kemarin, nenek datang. Dia menyuruh Bapak menjual rumah yang diberikan pada nenek itu. Katanya nenek lagi butuh uang untuk melunasi hutang Bi Gian di Jakarta."

Sinting! Aku memaki dalam hati.

Desember lalu, Ibu Saniya alias neneknya Eline ingin agar hak kepemilikan rumah yang sudah dibagi oleh Kak Tio itu menjadi milik Gian--adik Kak Tio. Beliau berpesan agar rumah itu jangan dijual karena sudah diwariskan olehnya untuk Gian. Jelas Kak Tio marah besar. Rumah yang merupakan warisan dari almarhum abahnya mau dibagi dengan adik tirinya. Jelas itu salah. Kak Tio memberikan rumah yang telah dibagi itu untuk tempat tinggal ibunya. Dia nggak peduli dengan bapak tiri dan adik perempuannya itu. Dia tidak berurusan dengan mereka.

Namun, tampaknya bapak tirinya tak terima dan malah mengembalikan rumah itu pada Kak Tio. Dia bilang dia nggak butuh rumah petak kayak gitu. Dengan sombong dia bilang dia bisa membeli rumah yang lebih besar.

Bapak tirinya akan pergi membawa Ibu Saniya ke Jatiwangi dan tak peduli dengan rumah warisan abah. Sebelum pergi dia menyumpahi Kak Tio dan Kak Juli di depan semua orang. Entah apa salah Kak Tio. Padahal ia hanya ingin ibunya memiliki tempat tinggal. Kak Tio dan Kak Juli sudah meminta maaf, bahkan sampai mencium kaki mereka demi menghalang mereka pergi. Bagaimana pun surganya masih ada di ibunya. Dia tak ingin mencampakkan ibunya di tempat yang jauh atau bahkan sampai tak layak.

Mereka menyadari kesalahan masing-masing, kemudian saling memafkan. Keputusan final yang didapat adalah rumah itu tetap milik Ibu Saniya. Namun, akan diserahkan pada Gian dengan catatan Gian membelinya dari Ibu Saniya. Karena Ibu Saniya mau membangun rumah di Jatiwangi saja. Perkara selesai.

Sekarang, di saat keadaan sudah membaik, Ibu Saniya malah ingin menjualnya demi melunasi hutang-hutang Gian di Jakarta. Gile lu, Ndro!

"Terus kalau itu masalahnya, kenapa yang bertengkar malah orang tua kalian? Bukan Kak Tio sama Ibu Saniya?"

"Ya, karena Mamah mau menuruti nenek dan Bapak nggak."

"Loh, Kak Juli kenapa mendukung mereka?"

"Mamah bilang Bi Gian harus dibantu karena kasihan dikejar-kejar terus rentenir. Nanti kalo rumahnya terjual, dia bisa mengganti uangnya."

"Dan pada akhirnya rumah mereka terjual dan Ibu Saniya sekeluarga jadi nggak punya rumah. Habis perkara."

"Bibi, kok, ngomong gitu?"

"Terus kudu gimana?"

"Harusnya Bibi bantuin Mamah dan Bapak."

Au ah, aku angkat kaki saja!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status