Share

7. Suara Alfa

Aku bukan Spongebob Squarpants yang selalu semangat tiap pergi ke Krusty Krab. Aku cuma April yang doyan molor di kasur sambil meluk guling. Buat apa pula aku bangun pukul empat pagi cuma buat melamun di kantor tempatku PKL? Toh, aku janjian sama pembimbing pukul delapan. Namun, ibu tetaplah manusia cerewet yang tidak mau anaknya terlambat. Makanya pukul empat pagi dia sudah sibuk nyentilin hidungku supaya aku bangun. 


"Ibu, ini masih pagi. Belum adzan shubuh pula," gumamku masih dalam keadaan mata terpejam.


"Kamu, tuh, sholat tahajud biar dilancarkan kerja pertamanya."


"Di sana aku mau belajar kerja bukan kerja beneran. Aku doanya nanti aja, Bu, pas shubuh."


"Kamu, tuh ...."


"Udah, Bu, sejam lagi ini waktu tidurku. Ibu mau aku ngantuk di meja kerja?"


Mendengar itu, ibu langsung keluar kamar dan berisik nyalain air di kamar mandi. Huasyem, bener. Dapur tiba-tiba disulap jadi pertunjukkan orkestra. Suara air keran dan ulekan yang beradu menjadi pengiring tidurku. Ditambah radio yang menyiarkan musik silat dengan terompet penari ular. Tenggelamkan aku di Danau Kaspia, please!


Belum hilang kekesalanku, kini bunyi ponsel di atas kepalaku juga ikut meraung-raung. Ya Salam, apa salah dan dosaku? Pagi-pagi sudah banyak yang ganggu! 


Kuraih ponsel laknat yang nggak berhenti bernyanyi itu. Mataku langsung melotot nyaris keluar dari sarangnya. 


Alfa's calling


Dengan ragu-ragu kujawab panggilannya. 


"Hallo," sapaku dengan suara serak khas bangun tidur. 


"Entah ini anugerah atau cobaan," jawabnya di seberang sana. Suara Alfa itu adem bener. Lembut-lembut gimana gitu. Kayak sutra. 


Ini kali pertama dia meneleponku. Berani sekali. Padahal kita baru kenal lima hari. Sudah kubilang kita ini memang seperti teman lama yang baru saja dipertemukan setelah sekian lama terpisahkan. Alfa itu kayak Agis--teman SMP-ku. Dia orangnya asyik. Namun, kadang menyebalkan juga. Info terbaru yang kudapat setelah mengecek facebook-nya yang bernama Rahasia itu ternyata dia orang Majalengka. Menurut Maps, rumahnya kira-kira sekitar Yogya Grand Majalengka. Nggak ada foto sama sekali di berandanya. Jadi, aku masih belum yakin kalau Alfa ini cowok. 


Aku kira dia itu cewek, karena kalau berbalas pesan denganku, bahasanya itu sopan. Pake logat aku-kamu. Nggak pake lo-gue kayak anak-anak Jakarta yang gaul. Dia juga nggak pakai bahasa Sunda. Pernah sekali-dua kali dia menggunakan bahasa Sunda. Namun, nggak kasar seperti aku. Malah kupikir dia itu suka menelan kamus bahasa Sunda tiap hari. Abis tata bahasanya rapi banget. Dia tahu kalimat apa yang digunakan untuk orang tua, teman sebaya, dan kepada yang lebih muda darinya. Aku, sih, mana bisa. Bahasa Sunda itu kadang ribet bin ruwet. Makan aja bisa nyampe tiga bahasa. Untuk orang tua kita sebut makan itu tuang, untuk teman sebaya dahar, untuk yang lebih muda dari kita emam. Pokoknya susah, deh. 


Keyakinan bahwa Alfa itu laki-laki baru saja timbul sekarang. Ketika dia meneleponku dengan suaranya yang merdu dan menenangkan. Udah kayak suara Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan aja. Pokoknya aku suka suaranya Alfa. Dia maskulin sekali. 


"Maksudnya?"


"Denger suara kamu."


"Mungkin ini anugerah. Kamu harus berterima kasih kalau kupingmu masih baik-baik saja."


Aku tahu suarabangun tidurku itu mengganggu. Jadi, aku sih, berharap Alfa segera menutup teleponnya. Namun, harapanku hancur berkeping-keping. Karena Alfa justru terkekeh di seberang sana. 


"Kamu lucu."


"Seratus persen aku yakin kalau kamu lihat mukaku yang baru bangun ini, kamu bakal muntah nggak berhenti-berhenti."


Tawa Alfa semakin kencang. Kujauhkan ponsel dari kuping. Perlu diruqyah ini Manusia Alfabet.


"Hallo. Kamu masih di situ?" tanya Alfa saat kudekatkan lagi ponsel ke kuping.


"Kamu berharap aku pindah planet?"


"Nggak. Nanti aku sendirian di bumi."


"Bodo amat."


Lagi-lagi Alfa itu tertawa terbahak-bahak. Aku merasa aneh sama ini orang. Hobi banget ketawa. Lima hari kenal Alfa dan aku yakin seratus persen dia gila karena sering sekali tertawa. 


"Alfa," panggilku.


"Hm."


"Kamu udah pernah cek ke psikiater?"


"Belum pernah."


"Coba deh sekali-sekali cek. Siapa tahu beneran otak kamu ada yang konslet."


Dan lagi ... terjadi ...


Aku nggak tahu itu potongan lagu apaan. Pokoknya soundtrack lagu itu jadi pengiring aku mengawali pagi. Habis lagi-lagi Alfa tertawa karena omonganku.


"Alfa jangan ketawa. Kamu nggak takut pita suaramu rusak kayak si Squidward?"


"Nggak."


"Ya samhyang ..."


"Apa? Sayang?"


"Aku benar-benar merasa bersalah."


"Kenapa?"


"Karena sapaanku tadi, kamu budek beneran."


"Kamu bilang sayang tadi."


"Enggak. Suer!"


Hening beberapa menit. 


"Kamu nggak ada niatan buat pasang foto kamu di akun Whatsapp gitu?" tanyanya tiba-tiba. Kok, jadi bahas beginian?


"Nggak niat."


"Kenapa?"


"Karena aku takut fotonya kamu screenshoot abis itu dicetak terus dikasih ke dukun."


"Wow, ide brilian."


"Pasti kamu juga takut aku ngelakuin gitu, kan?"


"Salah. Aku takut kamu jatuh cinta."


"No, no, no. Jangan berpikiran begitu Tuan Alfabet. Aku nggak akan jatuh cinta sama orang yang kukenal lewat Whatsaap doang."


"Yakin?"


"Astagfirullah aladzim." Aku kaget luar biasa saat melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit. Ya Salam, shubuhku. Segera kulempar ponsel ke kasur dan aku ngacir ke kamar mandi.



***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
carsun18106
kata2 utk makan ada aatu lagi, yaitu neda ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status