Share

8. Hari Pertama PKL

Bayangan-bayangan indah PKL dalam kepalaku buyar seketika. Karena saat pertama masuk ke kantor pos aku nggak disambut ala Princess Syahrini. Boro-boro berjalan di red carpet terus dikasih ucapan welcome. Pertama masuk ke gerbangnya, aku dan temanku langsung disuruh kerja. Barisan orang pensiunan yang mau ambil duit di tanggal dua merupakan hal yang menakjubkan. Iya, aku perhalus bahasanya biar nggak ngenes amat.

Pembimbingku baru datang satu jam setelah aku mondar-mandir kayak orang linglung. Setelah menghadap kepala perusahaan, pembimbingku balik lagi.


Udah gitu doang?


Bete!


Jadi beginilah nasibku dan Mita, temanku. Jadi kacung dadakan. Bisa disuruh gini-gitu, apa aja pokoknya. Dari mulai mengkilokan barang sampai disuruh melakban barang yang akan dikirim. Kerja serabutan. Giliran mendalami peran sebagai seorang akuntan, kami malah disuruh menghitung uang receh lima ratus ribu. Ya Salam, padahal pas pelajaran akuntansi perusahaan dagang, aku selalu menghitung uang sampai miliaran. Giliran prakteknya, aku megap-megap bareng uang recehan. Mataku melotot terus lihat uang gepokan. Kalau aku mangap dikit, pasti ilerku juga berjatuhan bagai hujan deras. 


Sekitar pukul sepuluh, barulah kami bisa bernapas. Aku duduk dengan nyaman sekaligus mengistirahatkan kakiku yang terasa pegal selepas mondar-mandir.


Aku sampai lupa mengamati sekeliling kantor ini. Baiklah, kantor ini ukurannya agak besar. Cuma bangunannya dibagi dua dengan Bank Mandiri di samping kanan. Ruangan ini didominasi dengan warna putih. Bukan cuma tembok yang bercat putih, tapi mejanya juga warna putih. Meja yang ditempati karyawan memanjang dan terbagi dalam tiga sekat. Tiap meja ada komputernya dan ada lacinya buat menyimpan uang. Selain memanjang ke samping, mejanya juga memanjang ke belakang. Aku bingung mau jelasinnya gimana. Pokoknya karyawan jadi dikelilingi meja dan keluar dari celah belakang. Aku sendiri duduk di antara sekat mereka. Jadi, kalau ada yang butuh bantuanku, aku nggak ribet. Nah, di atas meja karyawan yang tadi aku jelaskan, ada meja memanjang ke samping. Itu gunanya untuk pelanggan mengisi formulir dan lain-lain. Kayak di Bank gitu, lho.


Di depan meja ada jajaran kursi tunggu. Pintu masuknya kayak pintu minimarket, tarik-dorong. Di atas pintu ada jam dinding berwarna putih juga. Samping kiri ada air conditioner dan di bawahnya ada piagam dari Bank Indonesia. Samping kananku ada kelender dan pengharum ruangan.


Di belakang ruangan kerja ini ada dua meja. Yang satu tempat menaruh barang karyawan. Satunya meja tempat menaruh barang kiriman. Ada rak khusus juga buat menyimpan surat yang sudah disortir berdasarkan desa. Di belakangnya lagi ada kamar mandi dan tempat sholat. Sudah segitu doang. Nggak luas kayak Istana Presiden, kan? Namun, semoga aku betah PKL selama tiga bulan di sini.


Pukul 12.00 WIB kami disuruh makan siang. Aku dan Mita melipir ke ruangan khusus sholat. Usai sholat aku disapa bapak-bapak. Dia kayaknya bapak yang tadi baru saja mengambil uang pensiunan. Namun, kenapa dia belum juga pulang? Malah mangkal di sebelah kantor.


"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku, menirukan Ibu Suri yang dulu memberi materi tatakrama pas pembekalan PKL.


"Ada Januari?"


"Januari itu manusia?"


Oke, itu memang pertanyaan ambigu yang pasti dilontarkan sama orang nggak berotak. Hahaha ... Bodo amat.


"Iya. Cucu saya. Bisa dipanggilin?"


"Ciri-cirinya?"


"Masih sekolah. Kayak Neng ini. Lagi PKL di telkom Indonesia."


Lah, si Bapak suka bercanda. Kalau nyari cucunya yang di telkom, ngapain nyasar di kantor pos?


"Oh. Kenapa Bapak mencari di sini? Telkomnya di sebelah, Pak."


"Kirain yang di sebelah sana itu," kata si Bapak sambil menunjuk bangunan di samping kanan kantor pos.


"Bukan, Pak. Yang itu Bank Mandiri. Kalau telkom di samping kiri ini."


"Bisa tolong panggilin Januari nggak? Bapak nunggu di sini. Nggak kuat buat jalan ke sana."


"Tunggu ya, Pak."


Mita aku suruh menunggu si bapak, sedangkan aku langsung lari ke telkom.


Di tenda kecil tempat biasa orang numpang wi-fi ada sekumpulan anak STM. Aku tahu karena seragamnya yang ketat dan rambutnya yang digundul keren. Entah apa namanya potongan rambut itu. Cepak kalau nggak salah. Namun, meskipun dicukur pendek mereka tetap ganteng. Malah semakin terlihat gagah macem tentara.


"Selamat siang. Ada yang namanya Januari?"


Sepersekian detik kemudian, semua mata tertuju padaku. Ada yang mengernyitkan dahi, ada yang pasang muka datar, ada yang pasang muka kepo, macem-macem. Ada juga muka yang aku kenal di situ. Si Fanta. Orang yang dulu pernah nyolot depan wajahku saat menabrak ban motor Eris.


"Kamu?!" Aku memekik. Ternyata bukan hanya aku, dia juga melakukan hal yang sama.


"Alien. Kenapa sih, Tuhan mempertemukan aku dengan manusia terkutuk macam kamu?" Aku menggerutu sambil menginjak-injak tanah meluapkan emosi.


"Mulut perempuan gitu amat, Neng."


"Heh, ini mulut juga punyaku, kenapa kamu yang repot?"


"Gak jelas beneran ini cewek. Diajarin sopan santun nggak sama gurumu?"


"Diajarin tanggungjawab nggak sama ibumu?"


"Cewek gila."


Aku mengepalkan tangan kuat-kuat. Kudekati dia dan secepat kilat aku tarik kerah bajunya. Lalu, kupukuli dia kayak orang kesetanan. Bodo amat nanti malam dia bakal nelepon tukang urut juga. Yang pasti egoku tercubit saat dia panggil aku gila.


Teman-teman Nanta langsung berdiri, berniat memisahkan aku yang memukuli Nanta penuh emosi. Namun, emang dasar aku udah ahli mukul orang. Jadi, mereka pasrah temannya dianiaya. Mereka meninggalkan kami yang masih bertengkar dan adu mulut.


"Stop! Jaga jarak aman!" Dia melepaskan tanganku di kerahnya. Lalu, menjauh beberapa langkah.


"Gak bisa. Kamu udah hina aku tadi. Aku nggak gila. Seenaknya aja kamu bilang gitu."


"Oke, maaf. Namaku Januari. Ada perlu apa nyariin?"


Rahangku hampir saja menggelinding di tanah. "Nama kamu Nanta, kan?"


"Kenalin, Arkananta Januari."


"Terus ngapa Eris bilang nama kamu Nanta."


"Nanta panggilan khusus untuk orang asing. Januari panggilan dari keluarga. Arkan nama yang dikenal teman-temanku."


"Kalau malam kamu jadi Ijem?" 


"Jangan ngaco."


"Namaku April."


"Oh, Ap- Apa?" Kulihat dia menampilkan ekspresi kaget. Ada yang salah sama namaku?


"Kenapa?"


"Kehabisan stok nama ya sampai ngambil dari nama bulan?"


"Sendirinya juga kehabisan stok nama ngambil nama bulan Januari. Mikir!"


***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status