Share

Past 2 | No Thanks

***

Dengan memakai kaus kebesaran sampai menutupi paha yang hanya dilapisi hotpants pendek, Caitlin memanfaatkan kesendiriannya di rumah untuk menonton film China favorit sepanjang masa di ruang keluarga. Sudah terbiasa, maka takut akan hal horor bukanlah halangan.

Sesekali Caitlin mencomot popcorn homemade-nya sebagai cemilan ala bioskop. So I Married an Anti-fan, judulnya. Anggap saja Caitlin cuci mata melihat wajah tampan biasnya—Park Chanyeol—yang juga berbakat menjadi aktor.

Kurang lebih setengah dari adegan yang ditonton, lalu tiba-tiba ketukan di pintu utama terdengar. Caitlin melirik jam di dinding tepat di atas televisi. Pukul tujuh malam, bahkan suara orang beribadah di masjid terdekat menyeruak di keheningan komplek.

“Siapa, sih?” dumel Caitlin, ogah-ogahan beranjak sambil tetap mengemil. “Iya, sebentar!” jeritnya begitu bel kembali berdering.

Walaupun malas, Caitlin tidak berniat membiarkan tamu tak tahu diri itu membeku. Jadi, tanpa membayangkan yang aneh-aneh, ia membuka pelindung terakhir kediaman sebelum matanya sukses membelalak.

“Hai, selamat malam!”

“Kamu ... kamu kenapa ke sini?”

“Kan, sudah bilang.”

“Kapan?” Caitlin memejam dalih mengerang putus asa, mengingat pemaksaan laki-laki arogan di depannya kini saat di sekolah tadi. “Aku juga sudah bilang, aku enggak menerima tamu.”

“Wah, ada kupu-kupu keluar.” Efrain menyeringai menatap seekor hewan terbang melewatinya di atas kepala. “Kata orang, kupu-kupu mampir ke rumah, berarti ada yang bertamu. Dia baru pergi setelah sang tamu datang. So, I’m here.”

But I don’t want you here,” jawab Caitlin terang-terangan. “Kamu enggak ada kerjaan ke rumahku di jam segini?”

“Aku, kan, juga sudah bilang. Aku ajak kamu jalan or something like that. Kamu enggak mau, makanya aku memutuskan buat dinner talk di rumahmu.”

“Aku enggak suka kamu kalau niatmu untuk pedekate. So, just stop it!”

Waw.” Efrain terkekeh geli meratapi setiap mimik muka Caitlin yang anehnya terlihat imut. “Kamu menolakku.”

Of course.”

Efrain menyengir. Dalam kasus ini, Caitlin memang berbeda, bahkan jauh dari tipenya jika menyangkut fisik. Kulit tak seputih para gebetan tanpa statusnya, tidak terlalu tinggi, mata hitam khas Indonesia, dan body standar. Tidak spesial sama sekali.

Setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan. Maka dari itu, Caitlin memiliki kemampuan menarik lawan jenis dengan kepunyaannya. Hal-hal yang melekat seolah magnet—atau pelet—ampuh yang memikat semua pasang mata memperhatikan.

Bagi Efrain Reagan sendiri, ternyata tak sulit jatuh cinta pada gadis semanis—meski cuek bebek—bernama Caitlin Deborah Roland.

Sadar kesunyian sudah terlalu lama menyelimuti, Efrain membuat pergerakan provokatif dengan maju selangkah. Senyuman tertahan menghiasi wajahnya begitu Caitlin tertangkap mundur. “Mempersilakan aku masuk, Cait?”

“Eng-enggak.”      

Thank you, Honey.” Entah kerasukan apa, Efrain mengecup pipi Caitlin seringai bulu. Hanya di per sekian detik, tetapi ia menggeram tertahan sebab aroma bayi tubuh Caitlin menyebabkannya pening. “Hem, rumahmu cukup nyaman.”

Caitlin mengerjap, memungut kembali kewarasannya. Ia masih saja bergetar karena bekas kecupan basah yang diterimanya. “Untuk apa kamu kemari, Ef?”

“Merayakan ulang tahunmu bersama.” Dorongan kuat menghasut Efrain mengambil jemari lentik Caitlin yang terasa menegang. “Are you okay?”

“A-aku ... kamu enggak perlu begini. Ulang tahunku bukanlah sesuatu yang spesial untuk dirayakan.”

Efrain menunduk, meratapi gadis sok tegar yang sejak kemarin menarik minatnya secara mendadak. Bayangkan, mendapati Caitlin tersenyum amat manis pada ojek online yang mengantarnya ke sekolah, Efrain yang saat itu berada di parkiran dan duduk menelaah sekeliling di jok motor menghadap pagar, langsung terkagum-kagum.

Tidak sampai di situ, perhatian Efrain berlanjut ketika Caitlin termenung di dekat jendela perpustakaan dan perlahan menangis tanpa suara. Kemudian, Efrain bertekad berada di samping Caitlin tatkala suruhannya mengungkapkan senahas apa hidup gadis itu.

Efrain menilik suara berbahasa asing di sudut ruangan, lalu kembali menatap teduh Caitlin. “Kalau kamu enggak mau ikut aku, aku saja yang ikut kamu.”

“Ya?”

“Ajak aku nonton bareng film yang lagi kamu putar.”

Caitlin memilin ujung kausnya yang turut memancing pandangan Efrain ke bagian bawahnya. “For your information, aku enggak membuat pesta ulang tahun. Ja—”

Tawa Efrain mengudara sesaat berhasil membungkam ocehan Caitlin dengan mencium lembut ujung hidung kecil itu. Syoknya Caitlin adalah pemandangan terindah. “Kamu akan merayakannya bersamaku. Berdua.”

***

“Jadi, sudah berapa lama kamu tinggal di sini sendirian?” tanya Efrain memulai pembicaraan walau Caitlin tetap membentang jarak tak kasat mata.

“Aku tinggal sama orang tuaku.”

“Ah, aku salah bertanya.” Efrain terkekeh, menghentikan sejenak kenikmatan sejumlah sate ayam yang dipesannya. “Maksudku, aku dari tadi tidak lihat orang tuamu, right. Jadi, aku menyimpulkan seperti tadi.”

“Mereka sedang pekerjaan di luar kota dan di luar negeri.” Caitlin tampak acuh memakan bagiannya, lalu mengernyit menangkap beberapa tusuk sate kembali memenuhi piringnya. “Kenapa?”

“Aku sudah kenyang. Kamu habiskan punyaku.” Sikap monoton Caitlin membuatnya sekadar mengangguk, Efrain sampai memutar kepala untuk melanjutkan perbincangan. “Kamu jarang makan malam, ya?”

“Makan sendiri enggak enak.”

Tenggorokan Efrain bergelombang, senantiasa ambisinya terhadap Caitlin makin menguat. “Kamu bisa ajak aku makan malam mulai sekarang, sesuai keinginanmu.”

Caitlin mengembuskan napas, sekejap melepaskan sendok dan garpu yang dipegangnya. “Setelah ini, anggap aja kita enggak saling kenal seperti kemarin-kemarin. Bisa?”

“Enggak.”

“Ef.”

I love you at the first sight,” kata Efrain dalam satu tarikan napas. Matanya memancarkan keseriusan luar bisa.

Tentu respons Caitlin tak memuaskan. Seperti berpengalaman menolak laki-laki lain, tatapan datarnya bermain sementara. Namun, Caitlin pun sadar siapa yang sekarang dihadapinya. “No thanks.”

Efrain terkekeh geli. “Kamu memang tidak ada balasan lain, ya?”

No thanks.”

Be my girl, please?”

“Aku enggak suka kamu,” jawab Caitlin melakukan penekanan di saban katanya.

Well, aku positive thinking. Bukan tidak, tapi belum.” Malam ini untuk sekurang-kurangnya belasan kali Efrain menyeringai. “I will try to make you love me.”

It’s useless. Vain.”

“Oh, it’s so easy, Honey. Aku pastikan sebelum prom night kamu sudah membalas perasaanku.” Caitlin kian gelisah, pergerakannya yang tak lagi bernafsu makan memicu tidak enak hati di diri Efrain. “Kamu masih punya banyak waktu untuk berpikir.”

“Bolehkah kita berganti topik, atau kamu pulang sekarang juga?” Caitlin berpaling, jarum pendek yang terus dilihatnya sepanjang malam ini terasa melambat. Sudah kurang lebih seratus dua puluh menit rumah yang biasanya tenang bagi Caitlin, berubah panas sebab pertanyaan cinta. “Kedatanganmu mengganggu.”

I always waiting you answer.”

“Aku kenyang.”

Efrain tidak menyerah. Ia menarik Caitlin mendekat padanya setelah gadis itu menyingkirkan peralatan yang dipakai makan ke atas meja, kembali menuntunnya menghadap televisi. Caitlin sempat memberontak, tetapi Efrain makin mengeratkan rengkuhan posesifnya. “I’m still here. Just sleep now.

Anehnya, Caitlin tak menolak sedikit pun. Tontonannya tak lagi menarik, kekhawatirannya akan hari esok melebur, serta ketakutan akan dunia yang tidak menerimanya lenyap. Menakjubkan. Tersisa hanya bagaimana pelukan Efrain menjadi tempat ternyaman yang selama ini Caitlin idam-idamkan.

“Mimpiku indah sekali. Terima kasih, Efrain.”

Sungging Efrain merekah mendengar kalimat tersebut walakin setengah sadar. Ia senang bisa ada di saat Caitlin seharusnya memeluk tubuh sendiri—atau mungkin juga ditambah menangis semalaman. Memikirkannya saja Efrain sudah sesak.

“Kamar.”

Berikut tujuan Efrain. Pelan-pelan ia membenarkan posisi Caitlin agar tidak membangunkan sang empu, lalu memapahnya di pangkuan. Merasa posisi itu tepat dan menenangkan, Efrain mengambil kesempatan memandang wajah memukau Caitlin yang hari per hari selalu judes. Satu kecupan mampir di dahi, Efrain belum berani bertindak lebih.

Setelah beberapa waktu dan kian larut, Efrain bangkit hati-hati dengan menggendong Caitlin. Langkahnya tertatih menaiki tangga yang terasa panjang nan curam, tetapi Efrain tetap semangat membawa gadisnya menuju tempat beristirahat.

Melihat huruf-huruf balok tertempel di sebuah pintu yang sedikit terbuka, menandakan kamar Caitlin di depan mata. Efrain mengusap lembut punggung Caitlin begitu membaringkannya di ranjang, serta merta mencari remote AC untuk mengatur suhu ruangan.

Good night. Have a nice dream, Honey.” Selanjutnya, kening, ujung hidung, dan kedua pipi Caitlin dijadikan Efrain target bibirnya mampir. “Aku pulang.”

Oh, bagaimanapun Efrain bukan remsaja berengsek yang sembarang menginap dan tidur hingga pagi di bawah selimut bersama lawan jenis incarannya. Ia hanya memutuskan menghubungi seseorang guna meminta melakukan perintahnya.

Efrain menutup pintu kamar, mematikan televisi yang menganggur, meletakkan bekas santapan mereka ke dapur, terakhir merapatkan pintu utama dan memastikan tidak ada stranger yang mengincar rumah politikus terkenal seperti orang tua Caitlin.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status