Share

Past 3 | Akhir dari Kebahagiaan Semu

***

Susah payah Caitlin menguatkan lahir dan batinnya atas rencana yang diusulkan Zara. Meski enggan, ia juga tahu sudah sebaiknya expressing gratitude dimanfaatkan. Setengah yakin Caitlin mengitari lantai jurusan IPS yang berisik oleh kehebohan di kelas masing-masing, sangat berbanding terbalik dengan wilayah IPA.

“Cait, what are you doing here?” tanya salah satu anak yang cukup mengenal Caitlin sebab satu ekstrakurikuler.

“Enggak apa-apa.” Untuk sedikit memasangkan sifat tidak sombong, Caitlin tersimpul sebentar dan terus melanjutkan langkahnya.

“Lagi mencari Efrain bukan, nih?”

Caitlin kenal orang itu. Anak buah Efrain yang selalu mengekorinya di lingkungan sekolah maupun luar. Sekarang Caitlin yang bingung, apa ia harus meminta bantuan Stefan atau berjalan sendiri ke kandang singa?

“Efrain di kelasnya, lagi kumpul sama anak-anak lain.” Tidak dikode apa-apa, dan Stefan kembali terkekeh sebab kepekaannya benar.

“Hem—” Caitlin menggigit bibir bawahnya, dilanda ragu. “A-apa berbahaya?”

Are you seriously asking that?”

Umh, yeah.”

Stefan geleng-geleng kepala, di otaknya masih tidak terpikir bagaimana gadis—walau manis—di hadapannya itu begitu menarik perhatian seorang Efrain Reagan. “Mengingat kamu gebetan terbaru Efrain, sepertinya aman-aman aja.”

“Serius?” tanya Caitlin meragu.

“Apa perlu aku yang menghubungi biar Efrain tahu kamu di sini?” Belum sempat Caitlin menolak, Stefan lanjut berujar ke khalayak, “Apa benefit kalian memperhatikan kami? Aku dan Caitlin bukan artis dadakan!”

“Sori, Stef!”

Detik berikutnya, Caitlin bernapas lega dan menggumamkan terima kasih sepelan mungkin pada Stefan berbarengan sekitar mulai berdecak kecewa meninggalkan tempat. Caitlin tidak pernah suka dijadikan center akan benih-benih gosip, jauh berbeda dengan Efrain yang hilir mudik di televisi.

“Bos, keluar kelas, nih. Ada yang cari!”

Caitlin menggeleng, lehernya yang jenjang ke kanan dan kiri. Bahu terangkat bersamaan serta lirikan mata mengode ke arah jam sembilan ala Stefan berkali-kali lipat membiarkan aliran darah Caitlin terhenti. Tidak lama kemudian, tepukan khas Efrain di belakang menopang kerapuhannya kembali.

“Mencari aku, hem?”

“A-aku ... aku ... i-iya.”

Efrain menahan gemas untuk tidak menggigit pipi merona Caitlin, berganti dengan mencubitnya saja. “I’m here, Honey. What’s happened?”

Thank you,” cicit Caitlin, nyaris dikatakan berbisik. “Semalam ... hem, semalam kamu menjagaku dengan sangat baik, Ef. Aku ... terima kasih banyak.”

“Sama-sama setelah kamu menerima tawaranku.”

“Ya?”

“Makan malam bersamaku nanti, besok, dan seterusnya.” Efrain menyeringai. “Bagaimana?”

Respons terkejut Caitlin terbukti oleh gigitan di bibir bawahnya. “Apa itu wajib?”

Efrain menganggut semangat, merasa mulai berhasil mengambil perhatian Caitlin. “Ya. Aku tidak butuh terima kasih, cukup kamu menyetujui ajakanku. Bagaimana?”

Kemudian, tampak Caitlin berpikir panjang dan Efrain yang setia menunggu. Keduanya berhadapan, sementara pikiran masing-masing melayang tak tentu arah. Ada rahasia tersendiri yang sama-sama disimpan, enggan saling berbagi oleh fakta kedekatan semu di antara mereka tidaklah jelas.

“A-aku akan mengabarimu nanti,” putus Caitlin akhirnya, lalu menghela napas canggung. “Kalau begitu, aku permisi ke kelas.”

“Tunggu, Honey.” Seringai Efrain kembali bermain saat menangkap Caitlin yang kaku begitu dirinya menyentuh lengan gadis itu. “Apa kamu sudah sarapan?”

“Hem, iya.”

“Jangan ke perpustakaan hari ini, kamu temani aku ke kantin, oke?”

Kening Caitlin mengerut sengaja, sedangkan kakinya gatal hendak berlalu. “Kenapa?”

“Aku enggak mau lihat kamu menangis lagi di sana.” Tangan Efrain telah mencapai puncak kepala Caitlin sebelum mengelusnya lembut.

“Bagaimana kamu tahu?”

“Karena aku memperhatikanmu,” kata Efrain lugas. “Belajarlah menerima kehadiran dan mulai percaya padaku, Honey, maka kamu tidak akan sendirian.”

Lantas Caitlin menimbang-nimbang. Apakah Efrain Reagan yang tidak manusiawi dari segi fisik dan kepribadian ... patut diberi kesempatan besar berupa kepercayaan?

***

“Enggak apa-apa, Om. Saya rasa, Caitlin lebih senang pulang dijemput Om dan Tante.”

“Terima kasih, Efrain. Kamu anak yang baik.”

Efrain tersenyum hormat, tetapi tidak menghilangkan kewibawaannya yang terpatri sejak lahir, sehingga siapa pun akan segan. “Terima kasih juga, Tante. Saya berusaha menjadi anak baik agar pantas bersama Caitlin,” ujarnya bernada candaan.

“Cait, Ayah dan Ibu menunggu di dalam mobil. Silakan pamit dulu pada Efrain.”

Melihat kedua orang tuanya telah bertengger nyaman di bangku depan kendaraan, Caitlin mengerkah sudut bibirnya sebelum Efrain menyentuh hati-hati aset kenyal itu.

“Enggak apa-apa, jangan memikirkan aku. Aku tahu kamu bahagia sekali dijemput mereka, kan?” Sunggingan Efrain bertahan cukup lama sambil mengelus ujung dagu Caitlin. “Aku hanya berpesan, kamu jangan menangis kalau enggak ada aku.”

Tidak kuat atas segala ucapan manis Efrain yang sukses menggetarkan jiwanya, Caitlin mengangguk kecil, pun senyumannya turut terbit. “Thank you, Efrain,” katanya tulus.

Your welcome. I feel your feelings. Good luck, Honey!”

Kini, di sini Caitlin berada, termenung syok di dalam Mercedes Benz yang juga dikendarai ayahnya. Sesekali Caitlin memilin jari-jarinya karena canggung. Sebuah keajaiban dunia bila Andra dan Yena tidak terlibat perselisihan, melainkan senyampang menjemputnya di sekolah.

Kalau semua ini dilakukan Efrain, maka bertambah perasaan bersalah Caitlin. Ia anti membagi kehidupan mengenaskannya pada orang lain, dan memang tidak pernah. Namun, Efrain yang nahasnya baru memperkenalkan diri, sudah mampu menggorok segenap tentang Caitlin sedemikian rupa.

“Cait, saran Ayah ... jangan menonton televisi untuk ke depannya.” Andra membuka suara setelah menoleh sebentar ke belakang—di mana anaknya mengangguk kecil. “Akhir-akhir ini tontonan sedang tidak layak.”

“Begitu pun membaca berita abal-abal. Itu enggak baik bagi konsentrasi belajarmu, Sayang,” lanjut Yena menasihati.

“Aku nyaris enggak pernah melakukan keduanya. Menonton ataupun membaca berita” tutur Caitlin jujur. “Not my style.”

Yeah. Kamu anak Ayah dan Ibu yang terbaik.”

Secara menakjubkan, senyum tertahan Caitlin terpatri indah. Hanya sejenak, sebab berikutnya ia melihat ke luar dan mendapati suasana asing yang tampak glamor. “Kita sedang di mana, Yah, Bu?”

“Merayakan ulang tahunmu, Anakku Sayang.”

Tanpa sadar Caitlin meneguk saliva susah payah saat menerima uluran tangan Andra yang membuka pintu dan lanjut menggandengnya di sebelah kiri, sementara sisi kanannya telah ada Yena sedang tersenyum lembut. Penggambaran keluarga bahagia yang sesungguhnya, tetapi terasa tidak nyata.

“Reservasi atas nama Andra Roland.”

Caitlin kembali mengernyit, tidak menyangka Andra—selaku kepala keluarga—membawanya ke salah satu restoran fine dining terkenal di tengah kota. “Yah, apa enggak berlebihan?”

Everything for you, Baby,” kata Andra menenangkan.

Ketika sang suami berjalan mendahului mengikuti arahan pelayan, Yena berganti menghela Caitlin penuh khidmat seakan menunjukkan ke dunia bahwa gadis kebanggaannya sudah beranjak dewasa dengan baik.

Let’s light the candles and sing a birthday song!” ujar Yena semangat dalih bertepuk tangan.

Lagi-lagi Caitlin terpana dihadapkan tatanan kue ulang tahun bertema kastil di atas meja, tidak terlalu tinggi, terkesan sederhana, serta tertanam kesucian dari warna putih gading yang mendeskripsikan bagaimana gadis menginjak delapan belas tahun sebenarnya.

Belum hilang keterkejutannya, Andra dan Yena benar-benar menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun dengan intonasi merdu serta nada manis yang membuat Caitlin berkaca-kaca. Ia berusaha keras menahan air matanya agar tidak meleleh, lalu memejam yang disambung tiupan dari bibirnya sampai api di dua lilin angka tersebut mati.

Happy birthday to you

Happy birthday to you

Happy birthday, happy birthday

Happy birthday to you

One more candle to light

On your birthday cake

Hope your wishes all come true

Now let’s celebrate

Selesai.

Come, let’s cut the cake!”

Caitlin mengangguk, tahu apa yang mesti dilaksanakannya lagi. Hatinya yang melambung mengikuti perintah lembut Andra untuk memotong kue ulang tahun. Agar adil, Caitlin menyuap orang tuanya bersamaan menggunakan dua tangan sekaligus. Sunggingan haru Caitlin diiringi ciuman ganda di setiap sisi pipinya.

“Terima kasih, Yah, Bu.”

Terima kasih, Ef. Di dalam hati, Caitlin menyebut orang berjasa yang banyak membantunya beberapa hari terakhir.

“Sama-sama, Sayang. Mari kita nikmati malam ini.” Andra mengecup kening Caitlin sebelum menempatkan diri di tengah-tengah anak dan istrinya. “Oh, ya, Cait. Hem ... hem, besok atau lupa kamu temui pengacara Ayah dan Ibu untuk menunjang kebutuhanmu ke depan, oke?”

“Untuk apa?”

Little gift for you, Sayang.” Silih Yena terkekeh pelan menangkap raut curiga Caitlin. “Kamu harus tahu kalau Ayah dan Ibu mencintaimu melebihi apa pun.”

“Oke.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status