Share

Past 4 | Lift Up Your Chin!

***

Caitlin teramat muak berada di situasi ini. Ditatap seolah anak paling berdosa di muka, padahal sekadar menanggung setumpuk maksiat sepasang yang disebutnya Ayah dan Ibu. Malu ... tidak. Justru Caitlin tak peduli apa pun. Hanya saja, ia putus asa oleh pandangan cemooh orang-orang sekitar yang menyebabkannya ingin mengumpat setiap saat.

Besok atau lusa kamu temui pengacara Ayah dan Ibu untuk menunjang kebutuhan kamu ke depan.

Little gift for you, Sayang.

Kamu harus tahu Ayah dan Ibu mencintaimu melebihi apa pun.

Para pembohong! Bullshit! Penyesatan anak!

Nyatanya, saban kekecewaan Caitlin cukup tertuang di lubuk hati terdalam tanpa pengungkapan lisan. Kebahagiannya malam itu terlalu singkat dan menyakitkan untuk diingat, tetapi kenangan terindah Caitlin selama delapan belas tahun terakhir walau ... walaupun ditutup dengan penangkapan paksa tersebut.

“Aku sama sekali enggak menyangka orang sehebat Pak Andra melakukan hal keji yang merugikan negara.”

“Bu Yeni juga. Hilir mudik di telivisi menyiarkan partai yang katanya bebas korupsi. One more, katanya. Ternyata ... oh, ternyata ....”

“Pasangan yang meresahkan negara kita, memang sepantasnya dihukum berat. Koruptor sepatutnya dhukum mati!”

Tangan Caitlin terkepal, berupaya menolak dentuman jiwa pemberontak yang ingin menguasai. Tiga hari belakangan, koridor lantai dua gedung kelas dua belas tiga pun bak mengadakan pergelaran red carpet dengan Caitlin didaulat bintang tamunya. Sayang, gadis itu bukanlah tipe mudah terjerat mental breakdown.

Bak kaset rusak, bayang-bayang menyesakkan yang selalu datang terpaksa Caitlin ikhlaskan, begitu juga fragmen kedatangan tepat waktu Efrain dan pelukan hangatnya. Tidak lupa akan tegasnya langkah Efrain serta teguran keras memarahi pihak berwajib yang menarik Caitlin menjauh saat ingin memeluk orang tuanya, mengabaikan pula atraktifnya pencari berita mengambil wajah keduanya.

Karena setitik malu dan rasa tidak pantas yang menyelimutinya, Caitlin memutuskan menghindari laki-laki—pelindungnya—sendiri. Wajar ia rendah diri, sementara tidak pantas berharap berlebihan. Mengingat Efrain telah berjanji hanya memberi Caitlin waktu tiga hari untuk kesendiriannya menerima keadaan.

“Ah, aku benar-benar kasihan pada anaknya. Ya, Caitlin. Aku enggak menyangka satu sekolah dengan anak sampah negara.”

“Sama. Enggak satu kelas aja aku bersyukur.”

“Ya ... ya ... ya. Aku pun sama. Perlu hati-hati memiliki teman seperti orang tuanya, pelanggar hukum.”

Anak koruptor; begitulah istilah tersembunyi warga sekolah yang coba tak diacuhkan Caitlin meski sia-sia. Toh, melawan sama dengan menyanggah, dan ia tidak mempunyai hak. Semua limpahan kemarahan benar adanya. Penggelapan uang negara bukan sesuatu yang bisa dimaafkan sebab menyangkut kesejahteraan setanah air.

“Ikut aku!”

“Ef!” Spontan Caitlin balas meremas sebuah cengkeraman di lengannya, serta memenjarakan kakinya yang dipaksa berjalan oleh ... ah, ini adalah hari terakhir menghindari Efrain Reagan. “Lepaskan aku!”

Your time is over, Cait.”

“Setop. Kamu enggak punya hak mengaturku, Efrain!” kekeh Caitlin, tidak peduli kalau-kalau semua pasang mata menjadikan mereka tontonan gratis yang menambah daftar playlist kesalahan sang anak koruptor.

“Aku punya hak atas dirimu. So ... oke, kamu cukup pegang tanganku. Aku tahu kamu ingin ke perpustakaan. Together.”

“Ef, hanya aku. Kamu tetaplah di kelas mengikuti pelajaran.”

Efrain mengerang sebab nada dingin Caitlin meladeninya. “Enough, Honey. Aku yang akan menemani kamu. Ingat, kan, waktumu sudah habis untuk menghindariku.”

“Efrain!”

“Ya, Honey.” Sekeras kepalanya Caitlin, tidak mampu mengalahkan Efrain. Ia tahu cara meruntuhkan tembok kokoh yang dibangun Caitlin sejauh dirinya menerobos jauh.

Detik berikutnya, semerbak wangi buku menguat di penjuru ruangan. Senyum Efrain terbit sesudahnya menutup akses perpustakaan hingga hanya menyisakan dirinya dan Caitlin. Laki-laki itu bersandar di daun pintu, sedangkan tangannya mengurung Caitlin dengan teratur.

“Ef!”

“Menangislah ....”

Tatapan Caitlin menajam dengan retina yang mulai memerah. “Enggak akan,” gumamnya serak.

“Kamu sakit, kamu ingin menangis.”

“Aku baik-baiksaja!”

Efrain berdesis rendah di luar kendalinya mendengar celetukan muslihat Caitlin. “Kamu tahu ..., hanya orang sakit yang merasakan sesak di dadanya. Jangan mengelak. You felt it. Kamu sakit hati, Cait. Please, jangan menahannya sendiri.”

“Kamu apa-apaan, sih, Ef? Please, let me go!”

Hug me and cry now.” Caitlin konstan bergeming sampai Efrain kembali berujar, “Please, Honey, hug me.”

“Apa kamu enggak malu seperti ini?”

“Apa?”

“Aku anak koruptor, you know. Se-Indonesia tahu fakta itu, bahkan ka-kamu menjadi saksi karena berada di TKP, kamu dikejar wartawan, nama keluargamu dipertanyakan dan dikorek habis. Ka—” Kemudian, kecupan di per sekian detik oleh Efrain singgah di sudut bibirnya. “Ef, tolong ... aku enggak mau banyak utang padamu.”

“Kamu enggak pernah berutang, Honey. Just trust me.” Dalam satu tarikan, Efrain sukses melempar tubuh Caitlin padanya, memeluk gadis mungil itu dengan penuh perasaan. “Kamu punya aku, jangan pernah berpikir sendirian.”

Lantas tangis Caitlin luruh. Ia tidak pernah memperoleh perhatian sebesar yang dilimpahkan Efrain. Remasan Caitlin di punggung Efrain menguat, sementara sang empu diam dan balas menyusuri uraian rambut tebal nan panjangnya. “A-aku ... aku—”

“Menangislah sampai puas, Honey.”

“Ef, aku ... terima kasih banyak,” gumam Caitlin susah payah sebab suaranya yang tenggelam oleh isakan.

“Tiga hari ini kamu membuatku takut,” rengut Efrain setelah Caitlin mendongak. Satu tangannya terulur mengelus pipi basah dan mengecup kedua kelopak mata bengkak itu. “Kamu enggak boleh sendirian lagi.”

“Aku memang selalu sendirian.”

No. You’re mine, yang artinya kamu punya aku untuk berbagi apa pun. Kamu hanya perlu melihat ke depan, bersamaku.”

“Ef, ini berlebihan.” Netra sendu Caitlin kembali berair. “Semua orang menjauhi aku, dan kamu juga—”

“Aku bukan orang bodoh yang ikut menjauhi kamu untuk ajang-ajangan karena kesalahan orang tuamu. Anak kemarin sore sekali.” Efrain tersimpul manis, sementara rahangnya terlihat mengeras. “Ingat, Cait, kamu milikku.”

***

Efrain menggeram tertahan selagi Caitlin menunduk selama langkah keduanya yang baru akan meninggalkan kelas. Efrain frustrasi akan akibat dari kejadian malam itu, sehingga Caitlin yang dikenalnya cuek terhadap sekitar dan sanggup tuli atas tanggapan sekeliling, sekarang tampak tidak berdaya di bawah rumor-rumor yang menyeret namanya.

“Setop, Honey!” Sekali lagi Efrain mengumpat sebelum menghalangi Caitlin yang hampir memutar kenop. Cukup ia menahan diri saat Caitlin berkata ingin menunggu semua teman sekelasnya keluar.

“A-apa?”

Lift up your chin!”

“Ef, I’m scared,” cicit Caitlin gemetar.

“Ada aku, Honey.” Efrain mengangkat dagu gadis di hadapannya, lalu meluruskan ke depan. “Tunjukkan Caitlin Deborah Roland yang sesungguhnya. Lagi pula, kamu di sini tinggal kurang lebih satu bulan.”

“Tapi—”

“Cait, kamu punya masa depan. Kamu enggak bisa terus-terusan menanggung beban yang disebabkan ayah dan ibumu. Wake up, jangan hancurkan hidupmu sendiri!”

Lama Caitlin meresapi dorongan Efrain yang menginginkan kebangkitannya. Tiga hari ini, terlalu bodoh ia menyesalkan kehadirannya di dunia, bahkan sampai berdoa semoga umurnya tidak sepanjang harapan. Beruntunglah mental Caitlin tidak selemah itu, dan bunuh diri tidak masuk ke dalam list-nya. Mengingat dosa lebih utama.

“Ef.” Tanpa diduga, Caitlin balas menggenggam telapak tangan Efrain di sisi pinggangnya. Di keheningan ia membuat keputusan untuk mencoba, terlebih mata Efrain memancarkan ketenangan saat menatapnya. “Apa aku bisa mengandalkanmu?”

Mendengar pertanyaan impresif Caitlin, senyum Efrain terbit sampai anggukan penuh keyakinan ditunjukkannya. “Of course, Honey. I’m yours, you’re mine. Kamu boleh mengandalkanku di berbagai kondisi. Mengerti?”

Giliran Caitlin yang mengangguk, sekuat hati menguatkan nafsi bahwa tak ada yang salah dari keputusannya. “Aku mempercayaimu, Ef.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status