***
“Kamu membunuhku!” Caitlin tidak berusaha lebih dulu mengatur napas yang memburu, dan jari telunjuknya khusus terarah pada Efrain. Di pikiran Caitlin, pria dewasa di sebelahnya itu tidak ubah lintah darat dengan seringai panas yang mampu membakarnya bila diam saja. “Apa kamu enggak mengenal penolakan?”
“Enggak.”
“Argh!” Caitlin berteriak frustrasi, sementara Efrain masih setia tersenyum jemawa sambil melipat tangannya di depan dada. “Kamu … gila!”
“Mengumpatlah sepuasmu, dan tanggung sendiri akibatnya. Aku menunggunya, Cait. Selalu,”
“Me—”
Oh my ....
Efrain menarik tengkuk Caitlin dan memajukan tubuhnya sendiri. Tidak butuh satu detik kemudian, lidah Efrain langsung menerobos mulut Caitlin. Begitu dalam, intens, dan bergairah. Sejak dulu, rasanya tetap candu seperti pertama kali. Inilah yang dimaksud Efrain setoran per hari, sesuai harapannya.
“Kamu memang menantikan ini, right?” gumam Efr
*** Setiap minggu sesuai aturan perusahaan, CloudSky memang melakukan pertemuan antar divisi agar terciptanya kerja sama yang harmonis dan saling mengerti. Namun, hal tersebut justru dibenci Caitlin yang selalu diperintahkan ketua divisinya untuk hadir, padahal menghindari Efrain adalah tujuannya. Seperti saat ini, pria arogan itu duduk dengan berwibawa di kursi kebesaran di ruang rapat, tampak memindai para pegawai satu per satu sebelum memulai. Dia memerintahkan Rey lewat lirikan mata. “Baik, sudah semua. Tanpa berlama-lama, saya mengajak kalian berkumpul setelah divisi web development melakukan pengujian akhir. Bagaimana presentasinya … siapa yang bersedia—atau Pak Yoga?” “Saya membawa perwakilan tim programmer, Pak Efrain. Caitlin akan menjelaskan hasil pengujian yang kami lakukan dua hari belakangan.” Efrain menyeringai lebar di posisi, tidak sabar mendengarkan penerangan Caitlin yang selalu indah dan dan sayang dilewatk
*** Caitlin beristigfar di detik pertama kali matanya mengerjap oleh sinar mentari yang mengintip malu-malu di sekat tanpa tirai kamar. Sekali lagi wanita muda itu menguap, mengakhiri sesi tidur panjangnya. Ah, tidak terlalu puas karena bayangan lembur pada hari ini, dipastikan waktu beristirahat hanya angan. Menyadari belum beribadah, padahal waktu sudah menunjukkan lebih dari setengah jam keterlambatan … Caitlin bergegas melaksanakan. Sebelum itu, ia terlebih dulu membasuh wajah, menyikat gigi, dilanjut wudu dan salat. Caitlin berniat mandi total setelah memasak sarapan serta bekal. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering keras. Caitlin yang baru beranjak dari ranjang, seketika melihat gerangan dan lantas mendengus. Memang menyebalkan, pikirnya dramatis. Sejak Efrain berhasil mencuri data nomor teleponnya, hidup Caitlin pun tak tenang walau di apartemen. “Ya, halo,” seru Caitlin malas-malasan. “Apa begitu caramu mengangkat telepon atasan
*** “Apa kita benar-benar harus masuk ke sana barengan?” Efrain menoleh, mendapati Caitlin menggigit bibir bawah dan menatapnya sendu. Rasanya, ia ingin menggantikan gigi-gigi itu dan melumatnya. Efrain sampai mengerang hanya karena memikirkannya. “Don’t do it, Honey. Atau kamu ingin aku yang menciummu, hem?” “Jangan coba-coba!” Efrain terkekeh, lalu tangannya terulur mengelus lembut puncak kepala Caitlin. “Ayo, kita kerja, Honey.” “Kamu duluan aja.” “Hem?” “Aku enggak mau orang-orang melihat kita, Ef,” gumam Caitlin hati-hati, yang diyakini akan membuat Efrain kesal.Di luar, terlihat sejumlah pegawai CloudSky berpakaian formal memasuki gedung delapan tingkat tersebut. Para perempuan tampak cantik dengan rambut panjang yang terurai, diikat, ataupun berjilbab, sementara kaum Adam begitu gagah di balutan kemeja serta dasi, ada ju
***Efrain tengah fokus dengan setumpuk file yang harus ditandanganinya ketika perasaan tidak enak mendadak menyerang. Ia melirik jam di dinding, dan mendesah saat menyadari masih banyak menit-menit yang mesti dilaluinya. Setidaknya, profesionalitas Efrain tinggi, dan tidak memaksa kehendak.Lima menit berlalu tanpa kemajuan berarti, Efrain mengacak-acak rambutnya frustrasi. Nama Caitlin terus terbayang di kepala, membuat Efrain tidak dapat menahan umpatan dari mulutnya. Ketimbang penasaran, ia dengan cepat mengambil ponselnya di meja, lalu menghubungi seseorang.“Caitlin-nya ada, Pak Yoga?”Kemudian, terdengar manager divisi tersebut berteriak menanyai para bawahannya yang kemungkinan besar di satu ruangan karena sekarang belum memasuki jam makan siang. Efrain menunggu sabar dalih harap-harap cemas. Tidak terelakkan jika yang kini dibayangkannya hanya Caitlin.“
Selamat membaca. Hope you like it, Guys! *** Caitlin Deborah R. Begitulah nama yang tersampir di name tag tepat di dada kiri gadis itu. Kulit kecokelatannya sangat kontras dengan seragam putih yang dikenakan, rok abu-abu di atas lutut, serta sepatu berwarna hitam. Ah, penampilan yang sempurna untuk berangkat menuntut ilmu. Kemudian, Caitlin tersenyum kecut begitu matanya tak sengaja melirik kalender. Hari ini, delapan belas tahun lalu, kelahirannya yang tidak diinginkan terjadi. Namun, masalahnya Caitlin masih sering berpikir krisis tentang .... Kenapa dirinya tetap dilahirkan? Kembali, Caitlin menghela napas panjang. Mau bagaimanapun, kehidupan tetap berlanjut. Mungkin saja sebuah keajaiban akan menimpanya suatu saat. Walau saat ini juga, Caitlin berusaha menulikan indra pendengarannya begitu teriakan-teriakan terdengar dari luar. Sudah biasa sekali, sebenarnya. “Mas, kenapa enggak pu
*** Dengan memakai kaus kebesaran sampai menutupi paha yang hanya dilapisi hotpants pendek, Caitlin memanfaatkan kesendiriannya di rumah untuk menonton film China favorit sepanjang masa di ruang keluarga. Sudah terbiasa, maka takut akan hal horor bukanlah halangan. Sesekali Caitlin mencomot popcorn homemade-nya sebagai cemilan ala bioskop. So I Married an Anti-fan, judulnya. Anggap saja Caitlin cuci mata melihat wajah tampan biasnya—Park Chanyeol—yang juga berbakat menjadi aktor. Kurang lebih setengah dari adegan yang ditonton, lalu tiba-tiba ketukan di pintu utama terdengar. Caitlin melirik jam di dinding tepat di atas televisi. Pukul tujuh malam, bahkan suara orang beribadah di masjid terdekat menyeruak di keheningan komplek. “Siapa, sih?” dumel Caitlin, ogah-ogahan beranjak sambil tetap mengemil. “Iya, sebentar!” jeritnya begitu bel kembali berdering. Walaupun malas, Caitlin tidak berniat membiarkan tamu tak tahu
*** Susah payah Caitlin menguatkan lahir dan batinnya atas rencana yang diusulkan Zara. Meski enggan, ia juga tahu sudah sebaiknya expressing gratitude dimanfaatkan. Setengah yakin Caitlin mengitari lantai jurusan IPS yang berisik oleh kehebohan di kelas masing-masing, sangat berbanding terbalik dengan wilayah IPA. “Cait, what are you doing here?” tanya salah satu anak yang cukup mengenal Caitlin sebab satu ekstrakurikuler. “Enggak apa-apa.” Untuk sedikit memasangkan sifat tidak sombong, Caitlin tersimpul sebentar dan terus melanjutkan langkahnya. “Lagi mencari Efrain bukan, nih?” Caitlin kenal orang itu. Anak buah Efrain yang selalu mengekorinya di lingkungan sekolah maupun luar. Sekarang Caitlin yang bingung, apa ia harus meminta bantuan Stefan atau berjalan sendiri ke kandang singa? “Efrain di kelasnya, lagi kumpul sama anak-anak lain.” Tidak dikode apa-apa, dan Stefan kembali terkekeh sebab kepekaannya benar.
*** Caitlin teramat muak berada di situasi ini. Ditatap seolah anak paling berdosa di muka, padahal sekadar menanggung setumpuk maksiat sepasang yang disebutnya Ayah dan Ibu. Malu ... tidak. Justru Caitlin tak peduli apa pun. Hanya saja, ia putus asa oleh pandangan cemooh orang-orang sekitar yang menyebabkannya ingin mengumpat setiap saat. Besok atau lusa kamu temui pengacara Ayah dan Ibu untuk menunjang kebutuhan kamu ke depan. Little gift for you, Sayang. Kamu harus tahu Ayah dan Ibu mencintaimu melebihi apa pun. Para pembohong! Bullshit! Penyesatan anak! Nyatanya, saban kekecewaan Caitlin cukup tertuang di lubuk hati terdalam tanpa pengungkapan lisan. Kebahagiannya malam itu terlalu singkat dan menyakitkan untuk diingat, tetapi kenangan terindah Caitlin selama delapan belas tahun terakhir walau ... walaupun ditutup dengan penangkapan paksa tersebut. “Aku sama sekali enggak menyangka orang