***
“Apa kita benar-benar harus masuk ke sana barengan?”
Efrain menoleh, mendapati Caitlin menggigit bibir bawah dan menatapnya sendu. Rasanya, ia ingin menggantikan gigi-gigi itu dan melumatnya. Efrain sampai mengerang hanya karena memikirkannya. “Don’t do it, Honey. Atau kamu ingin aku yang menciummu, hem?”
“Jangan coba-coba!”
Efrain terkekeh, lalu tangannya terulur mengelus lembut puncak kepala Caitlin. “Ayo, kita kerja, Honey.”
“Kamu duluan aja.”
“Hem?”
“Aku enggak mau orang-orang melihat kita, Ef,” gumam Caitlin hati-hati, yang diyakini akan membuat Efrain kesal.
Di luar, terlihat sejumlah pegawai CloudSky berpakaian formal memasuki gedung delapan tingkat tersebut. Para perempuan tampak cantik dengan rambut panjang yang terurai, diikat, ataupun berjilbab, sementara kaum Adam begitu gagah di balutan kemeja serta dasi, ada ju***Efrain tengah fokus dengan setumpuk file yang harus ditandanganinya ketika perasaan tidak enak mendadak menyerang. Ia melirik jam di dinding, dan mendesah saat menyadari masih banyak menit-menit yang mesti dilaluinya. Setidaknya, profesionalitas Efrain tinggi, dan tidak memaksa kehendak.Lima menit berlalu tanpa kemajuan berarti, Efrain mengacak-acak rambutnya frustrasi. Nama Caitlin terus terbayang di kepala, membuat Efrain tidak dapat menahan umpatan dari mulutnya. Ketimbang penasaran, ia dengan cepat mengambil ponselnya di meja, lalu menghubungi seseorang.“Caitlin-nya ada, Pak Yoga?”Kemudian, terdengar manager divisi tersebut berteriak menanyai para bawahannya yang kemungkinan besar di satu ruangan karena sekarang belum memasuki jam makan siang. Efrain menunggu sabar dalih harap-harap cemas. Tidak terelakkan jika yang kini dibayangkannya hanya Caitlin.“
Selamat membaca. Hope you like it, Guys! *** Caitlin Deborah R. Begitulah nama yang tersampir di name tag tepat di dada kiri gadis itu. Kulit kecokelatannya sangat kontras dengan seragam putih yang dikenakan, rok abu-abu di atas lutut, serta sepatu berwarna hitam. Ah, penampilan yang sempurna untuk berangkat menuntut ilmu. Kemudian, Caitlin tersenyum kecut begitu matanya tak sengaja melirik kalender. Hari ini, delapan belas tahun lalu, kelahirannya yang tidak diinginkan terjadi. Namun, masalahnya Caitlin masih sering berpikir krisis tentang .... Kenapa dirinya tetap dilahirkan? Kembali, Caitlin menghela napas panjang. Mau bagaimanapun, kehidupan tetap berlanjut. Mungkin saja sebuah keajaiban akan menimpanya suatu saat. Walau saat ini juga, Caitlin berusaha menulikan indra pendengarannya begitu teriakan-teriakan terdengar dari luar. Sudah biasa sekali, sebenarnya. “Mas, kenapa enggak pu
*** Dengan memakai kaus kebesaran sampai menutupi paha yang hanya dilapisi hotpants pendek, Caitlin memanfaatkan kesendiriannya di rumah untuk menonton film China favorit sepanjang masa di ruang keluarga. Sudah terbiasa, maka takut akan hal horor bukanlah halangan. Sesekali Caitlin mencomot popcorn homemade-nya sebagai cemilan ala bioskop. So I Married an Anti-fan, judulnya. Anggap saja Caitlin cuci mata melihat wajah tampan biasnya—Park Chanyeol—yang juga berbakat menjadi aktor. Kurang lebih setengah dari adegan yang ditonton, lalu tiba-tiba ketukan di pintu utama terdengar. Caitlin melirik jam di dinding tepat di atas televisi. Pukul tujuh malam, bahkan suara orang beribadah di masjid terdekat menyeruak di keheningan komplek. “Siapa, sih?” dumel Caitlin, ogah-ogahan beranjak sambil tetap mengemil. “Iya, sebentar!” jeritnya begitu bel kembali berdering. Walaupun malas, Caitlin tidak berniat membiarkan tamu tak tahu
*** Susah payah Caitlin menguatkan lahir dan batinnya atas rencana yang diusulkan Zara. Meski enggan, ia juga tahu sudah sebaiknya expressing gratitude dimanfaatkan. Setengah yakin Caitlin mengitari lantai jurusan IPS yang berisik oleh kehebohan di kelas masing-masing, sangat berbanding terbalik dengan wilayah IPA. “Cait, what are you doing here?” tanya salah satu anak yang cukup mengenal Caitlin sebab satu ekstrakurikuler. “Enggak apa-apa.” Untuk sedikit memasangkan sifat tidak sombong, Caitlin tersimpul sebentar dan terus melanjutkan langkahnya. “Lagi mencari Efrain bukan, nih?” Caitlin kenal orang itu. Anak buah Efrain yang selalu mengekorinya di lingkungan sekolah maupun luar. Sekarang Caitlin yang bingung, apa ia harus meminta bantuan Stefan atau berjalan sendiri ke kandang singa? “Efrain di kelasnya, lagi kumpul sama anak-anak lain.” Tidak dikode apa-apa, dan Stefan kembali terkekeh sebab kepekaannya benar.
*** Caitlin teramat muak berada di situasi ini. Ditatap seolah anak paling berdosa di muka, padahal sekadar menanggung setumpuk maksiat sepasang yang disebutnya Ayah dan Ibu. Malu ... tidak. Justru Caitlin tak peduli apa pun. Hanya saja, ia putus asa oleh pandangan cemooh orang-orang sekitar yang menyebabkannya ingin mengumpat setiap saat. Besok atau lusa kamu temui pengacara Ayah dan Ibu untuk menunjang kebutuhan kamu ke depan. Little gift for you, Sayang. Kamu harus tahu Ayah dan Ibu mencintaimu melebihi apa pun. Para pembohong! Bullshit! Penyesatan anak! Nyatanya, saban kekecewaan Caitlin cukup tertuang di lubuk hati terdalam tanpa pengungkapan lisan. Kebahagiannya malam itu terlalu singkat dan menyakitkan untuk diingat, tetapi kenangan terindah Caitlin selama delapan belas tahun terakhir walau ... walaupun ditutup dengan penangkapan paksa tersebut. “Aku sama sekali enggak menyangka orang
*** Sialan! Waktu terlalu cepat berlalu, di sisi lain kata ‘perubahan’ adalah momok ketakutan bagi Efrain. Nyaris dua minggu belakangan kedekatannya dan Caitlin terjalin, pun banyak hal mereka kerjakan bersama-sama. Caitlin yang berusaha membuka diri, serta Efrain menunjukkan bagaimana gadis itu begitu berharga. Setidaknya, Caitlin tahu jelas perasaan Efrain tidak sekadar permainan belaka. Tindakannya bahkan bernilai menggelikan jika dilakukan pada insan lain. Hanya pada Caitlin, maka lembutnya seorang Efrain Reagan akan muncul ke permukaan. Namun, saat ini pemandangan tak mengenakkan terpampang nyata. Efrain yang tidak satu kelas teramat berang ketika melongok keakraban pujaannya sedang tertawa puas dengan pria selain dirinya di sudut ruangan. Entah sejak kapan sifat posesif muncul, pastinya Efrain tahu tawa tersebut mengandung berjuta makna—khusus ditunjukkan laki-laki yang memiliki perasaan lebih pada lawan jenis. Sial, saingan Efr
*** Ini tepat dua minggu setelah kejadian di gudang, dan prom night masa putih abu-abu sebagai pergelaran menyimpan kenangan akhirnya tiba. Sebuah ajang memamerkan segala hal untuk sebagian siswa-siswi, tetapi tidak bagi beberapa yang menghindari malam mewah nan glamor ini, termasuk Caitlin. Efrain tahu, membawa Caitlin ke sini bukanlah ide bagus, bahkan dirinya terkadang jijik. Walaupun berasal dari keluarga yang cukup, tetapi Efrain yakin Caitlin tidak terbiasa akan dunia malam meski sekadar acara sekolah. Martabat Caitlin Deborah Roland tinggi laksana perempuan, dan ia amat beruntung bisa memilikinya. Caitlin milik Efrain, it’s his nice obsession. Satu jam lalu, Efrain terpaksa meninggalkan Caitlin di balkon saat didapuk pemenang king of the year. Di sudut hatinya terdalam, Efrain benar-benar bahagia, dan beberapa rencana tersimpan baik di kepala. Sebentar lagi memasuki perkuliahan, ia berniat membawa Caitlin ke mana pun
*** Sepuluh tahun kemudian .... Namanya Caitlin Deborah Roland, wanita dewasa dengan kulit eksotis, lesung pipi di sebelah kiri, dan tubuh semampai hingga dianggap idaman di ruangan sakral itu. Visual yang bisa menghapus jejak berita bahwa kedua orang tua Caitlin adalah politikus terkenal—setidaknya sepuluh tahun lalu, sebelum masalah korupsi yang mencuat. Berbagai masalah di lampu membuat kepribadian Caitlin lebih keras daripada perempuan lain, kata ‘berjuang sendiri’ adalah kunci kehidupannya. Di umur yang menginjak dua puluh delapan tahun, Caitlin masih belum—tidak ingin—dekat pria sembarang, tetapi bukan berarti enggan berumah tangga suatu hari. Menghadirkan senyuman di bibir seksinya dikatakan gampang-gampang susah. Berbahagia di depan Caitlin, maka wanita tersebut akan menyoraki kegembiraan yang menopang dari bawah. Sesimpleks itu mengerti seorang Caitlin. “Thank you, Cait. Kamu benar, pernikahan tidak seburuk bayanganku. Aku se