Share

Sogokan

"Aksa, kan?"

Kea langsung menyapa ketika duduk di sampingku. Pacarnya Nabas itu ikut menonton dan mengambil kacang dari toples yang kupegang.

"Rajin mampir sekarang?" tanya Kea lagi sambil melepas ikatan rambutnya untuk dirapikan.

Aku mengangguk, merebut remote dari atas meja lebih dulu sebelum Kea ngambil. "Jangan diganti."

Enggak ada sofa di rumah Nabas. Cuma duduk lesehan sambil bersandar di dinding. Lantainya keramik, dingin.

"Apaan? Sudah besar masih nonton film berantem," gerutu Kea. Dia mungkin bosan sampai memilih memainkan ponselnya sambil menunggu Nabas keluar.

"Kamen rider. Yang ini punya Indo."

Pacar Nabas menggumam, tidak tertarik. Kalau aku lama enggak nonton tayangan gini. Punya ponsel bisa aja streaming. Males doang ngehabisin kuota.

"Nah, lo ngapain ke sini?"

"Males di kos."

"Lo ngekos?"

Kea takjub mendengar jawabanku. Dia bilang, "Bapak enggak suka kalau gue enggak bisa diawasin."

Tawa lolos dari mulutku, "Zaman gini? Lo pernah ngelanggar aturan kali sampai enggak dipercaya."

Kea menggeleng. "Gue takut kena sumpahan orang tua kali, Sa."

Asli. Aku tergelak. Masih ada aja ya cewek kayak Kea? Banyak cewek di kelas yang ngajakin hangout tengah malam malahan. Ke mana coba?

"Bicarain apa?" Nabas keluar dari kamar dalam keadaan wangi dan rapi. Mungkin mau jalan.

"Enggak ada." Aku mematikan saluran televisi. Berdiri lebih dulu. "Lo mau jalan sama Kea?"

"Enggak lama. Tunggu aja di sini."

"Oke."

Maksud "Tunggu" berarti stay di rumahnya. Mungkin aku bisa ngehampirin ibunya Nabas yang lagi repot jemuran.

Perasaan, tiap aku mampir pagi atau siang, ada aja yang dikerjain sama ibu paruh baya itu.

"Namanya juga ibu tunggal," katanya, mengingatkanku pada Ambu dulu.

Aku ngebantu jemurin beberapa sambil berbincang, menunggu Nabas yang punya janji sama pacarnya.

Lebih hangat jika bertemu orang-orang yang memperlakukan diri layaknya keluarga. Seperti ibunya Nabas yang dengan senang hati menerima kehadiranku tiap kali mampir. Ditawarin makan bahkan nginap.

"Dipa kapan keluar, Bu?"

"Belum tau. Ini masih libur. Bisa jadi besok atau lusa."

Sepertinya menyenangkan punya saudara, melihat Nabas yang sering mengerjai adiknya setiap menjenguk. Seru kali ngerecokin orang lain.

"Sebelum kos, tinggal sama siapa?"

"Ada kerabat Ambu."

Perawakan ibunya Nabas yang sedikit membungkuk, menegaskan lelahnya mencari nafkah. Tuhan sayang sama Ambu. Enggak mau Ambu terlalu lama menderita dengan beban penyakit atau lelah karena berusaha berkorban untukku.

"Ibu?"

"Ambu meninggal karena sakit. Kanker getah bening."

"Bapak ke mana?"

"Enggak tau, Bu. Enggak pernah ketemu lagi."

Ibunya Nabas terkejut dengan jawabanku, hampir menjatuhkan keranjang cuciannya kalau enggak langsung kutangkap.

Aku mengambil alih keranjang berisi pakaian kering yang terasa berat untuk diangkut ke dalam. "Aksa masih nyari Abah. Bantu doa aja yah, Bu."

***

"Apalagi, Ra?"

"Temenin. Anak-anak enggak percaya kalau gue enggak dateng sama lo."

"Enggak mau."

Sara masih aja merengek, mengetuk setelah pintu tertutup. Mengganggu liburan aja. Ngeselin.

"Aksa!"

Aku hampir mencapai kasur ketika dia terus berteriak. Kuambil lakban dan tali dari rak sebelum membuka pintu.

"Apa?"

"Kubayarin."

"Enggak."

"Aksa!"

Langsung kubekap mulutnya, menariknya masuk ke dalam kamar daripada membuat gaduh seluruh penghuni kos di minggu pagi.

Mulutnya sudah tertutup rapat, dan tuan puteri terikat di pojokan.

"Makanya diem! Bukannya ikut kebaktian malah ngerecokin gue tidur."

Aih! Gara-gara cewek rese, jadi enggak bisa tidur beneran.

"Kenapa melotot?"

Dia menatapku seperti waktu itu lagi. Mungkin karena kebiasaanku yang tidur enggak pakai baju. Masih pakai celana semalam. Rada bau pas nyium aroma ketiak sendiri. Kayaknya aku butuh mandi.

Sara enggak bakal ngejawab. Peduli amat. Biar dia kapok. Tinggal mandi dulu.

***

"Apa?"

Sara enggak ngejawab. Jelas. Mulutnya masih dilakban. Ngelihatin kayak horor aja.

Saat kulepasin, dia malah teriak. "Aksa! Elo nodain mata gue, Njir!"

"Lah gue kagak telanjang." Cuma enggak pakai baju. Seriusan. Aku bawa celana ganti ke kamar mandi karena nyadar masih ada anak orang terikat di pojokan.

"Pake mimisan lagi. Gue kira cowok doang yang liat cewek bugil bisa ampe mimisan." Aku menertawakan Sara yang keliatan banget polosnya.

"Mata gue enggak perawan lagi, Aksa!"

Enggak jelas. Padahal rajin aja dia ngeliatin boyband dari negeri ginseng enggak pakai atasan.

Kulepaskan ikatan tangan dan kakinya sebelum memilih pakaian di lemari. Sempat ngelempar kotak tisu, pas kena kepalanya.

Sara mengaduh dan mengumpat, tapi aku berdalih, "Sumpah enggak sengaja."

"Lo dendam amat sama gue, Sa."

"Nah, itu bener. Elo rajin banget gangguin gue. Wajar gue dendam."

Sara merengut sembari memijat bekas ikatan yang tercetak di pergelangan tangan dan kakinya bergantian. "Padahal gue bawain bensin se-jeriken di depan."

"Nyogok lagi?"

Sara mengangguk cepat.

Aku meraup oksigen sebanyak mungkin di udara, menghela napas yang rasanya kurang jika seruangan dengan dia.

"Bersiap, gih. Asal janji enggak lama."

"Janji."

Sara mengacungkan dua jari di samping pipinya. Untuk sesaat, senyumannya terlihat lucu. Menarik.

Aku menggeleng cepat, menepis sesuatu yang aneh mempengaruhi raut wajahku. Terlihat jelas di depan cermin, bahkan sampai salah ambil gel rambut buat wajah.

"Kan?"

Dia segera berlari pulang setelah menunjukkan wadah yang dimaksud sampai aku tepok jidat. Cewek nekad.

Cuma buat hangout bentaran sampai nyogok pakai 25 liter bensin?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status