Share

Kedok Lingga

"Kak Aksa enggak beneran sama Sara, kan?"

Kedua tanganku terasa kebas, bersembunyi di belakang tubuh. Sengaja. Biar enggak gampang mukul.

Cewek di depanku ini sepertinya belum menyerah.

Enggak ngerti dari mana dia bisa tahu kalau aku lagi enggak berada di dalam area sekolah. Dia malah sengaja duduk di seberang meja.

"Elo ngapain ngikutin gue?"

Kinar namanya. Dia sempat kulihat akrab dengan Sara dulu. Terus, aku enggak tahu masalah mereka sampai enggak bertegur sapa seolah enggak kenal.

"Kakak tuh jadi sosok idaman tau buat cewek-cewek di sekolah."

"Oh, ya?"

Aku menahan raut datar seraya menyedot vanilla milkshake dari atas meja tanpa mengangkat gelas. Lumayan. Enggak terlalu manis. Biasanya aku pesan kopi atau semacamnya.

"Kakak tuh pakai apa aja selalu keren." Kinar menggerakkan tangannya seolah enggak cukup hanya menjelaskan dengan kata. "Kenapa enggak jadi model aja sih, Ka?"

"Terus?"

"Kayak anak-anak lain, aku juga suka Kakak."

Aku mengembuskan napas kasar. Sempat berdecak. Enggak nyangka aja cewek sekarang pada berani nyatain suka. Sampai dua kali lagi.

Ambu sama Abah yang sudah nikah aja masih malu-malu kalau bicarain perasaan, apalagi di depan anak. Lebih banyak pakai kode. Seperti... yang Sara lakukan padaku belakangan ini.

Ciuman malam itu terasa masih membekas. Bahkan aku sendiri sering tanpa sadar menyentuh permukaan bibir jika mengingatnya.

Nyonya pernah bilang mengenai kelainan yang kumiliki. Aseksual. Enggak tertarik sama tindakan yang menjurus pada hubungan ranjang.

Makanya enggak heran kalau sering banget dikerjain pelanggan. Salah satu tante yang pernah pakai jasaku bilang, "Kamu itu menantang, Lingga."

Ingetnya aja jijik. Belum tahu sejauh mana aku tidak tertarik. Belum pernah terlibat hubungan yang melibatkan perasaan juga hingga akhir-akhir ini.

"Terus?"

"Ih, Kakak! Enggak peka atau gimana, sih?"

"Kali ada tanjakan atau belokan. Yang jelas gue enggak bakal nuju ke elo. Bisa pergi sekarang?"

Kusipitkan mata dan mengisyaratkan padanya untuk menyingkir dari hadapan. Enggak suka ngelihatnya. Memang cantik. Sayang, agresif.

Standar cantik tuh gimana, sih? Aku juga enggak paham. Menurutku, dilihat enak aja sudah termasuk cantik. Subjektif banget.

"Sudah lama, Ga?"

Kan? Keburu datang yang buat janji. Belum juga minumanku tandas.

Aku sempat menepuk dahi sebelum mengubah mimik biar bisa menyunggingkan senyum.

"Ini siapa, Ga?"

"Enggak kenal."

Aku langsung memanggul ransel dan meraih pinggang si pelanggan agar segera meninggalkan Kinar tanpa perlu banyak bertanya atau menoleh.

Enggak peduli dengan spekulasi yang bakal muncul kalau Kinar bicarakan dengan teman-temannya nanti. Yang penting, dia enggak lagi ngeganggu.

***

"Mau ke mana, Sa?" Cewek rese menegur saat aku menyalakan si belalang. Biarpun masih dalam lingkungan rumahnya sendiri, tetap saja terusan yang Sara kenakan terlalu pendek.

"Rapi amat?" Pertanyaan darinya masih berlanjut.

Pakai kemeja lengan panjang yang digulung. Enggak biasa. Berasa keliatan kayak orang dewasa beneran.

"Nanya?"

"Aksa, ih."

"Bukan urusan lo."

Aku segera mengenakan jaket seraya duduk di atas motor, memasang helm yang menutupi wajah selain mata.

Sara menghalangi jalan keluar. Dia bilang, "Kinar ngelabrak. Nanyain berapa banyak gue ngebayar elo."

Aku enggak nanggepin, malah menutup kaca helm dan menggerakkan telunjuk kiri agar dia menyingkir.

Sara langsung merengut karena terpaksa minggir setelah lututnya menyentuh ujung sepatbor depan ketika kumajukan. Ternyata dia bisa takut juga.

Dalam sekejap, roda telah melaju di atas aspal. Melalui beberapa kemacetan hingga berhenti tepat di depan kantor yang baru buka dengan berbagai pernik pesta sederhana.

Salah satu penjaga menghampiri, mengambil alih kendaraan roda dua milikku untuk dipindahkan. Sedang yang lain, mengganti jaketku dengan jas baru.

"Resmi banget?" tanyaku begitu wanita dengan gaun peraknya mengiringi langkah saat masuk.

Tangannya menggamit lenganku sambil bersandar. "Gue jadi apa lagi hari ini?"

"Lingga... ini cuma opening. Peresmian doang."

"Terus?"

"Bakal ada banyak tamu. Minuman. Musik. Dansa. Tentunya pelanggan baru."

Si nyonya mulai berangan tinggi. Tempat baru yang dijanjikannya hanya sebagai kedok. Semacam agensi yang melatih pelaku entertain. Enggak tahu entertain beneran atau yang mau diajak berkeringat.

"Elo sendiri kapan pecah perjaka?" Nyonya menghentikan langkahnya, mendorongku masuk dalam salah satu ruangan tanpa diikuti penjaga.

Aku tergelak, menyadari jemarinya mulai bergerilya ketika meraup bibirku. Wajahnya mampu menyamarkan usia yang jauh lebih tua sekitar dua atau tiga puluhan dariku.

"Belum mau." Aku membalik keadaan, membiarkan dia mendesah ketika menerima perlakuan.

Aku cepat belajar untuk memuaskan para wanita tanpa perlu memiliki rasa atau hasrat, tanpa harus menggunakan milikku.

"Teruskan, Lingga."

Nyonya lebih meneriakkan nama yang diberikannya daripada harus memanggil nama asliku. "Merasa bersalah sama Nimas," katanya jika menyebutkan nama Ambu.

Gaunnya tidak lagi menutupi tubuh ketika aku selesai membuatnya klimaks dua kali. Hanya ada minuman dari botol anggur yang kuambil pada bar mini di sudut ruang.

Keringat dan minuman yang sengaja ditumpahkan membasahi tubuhnya, seolah berusaha menggodaku untuk melakukan lebih.

Tapi sayang, "Gue enggak minat sama nenek-nenek."

Nyonya mengumpat sambil menertawakan kelakar yang terlontar. Aku punya batasan, dan mungkin tetap seperti itu sampai waktu yang tepat.

"Ayo berpesta!" Kurapikan jas dan kemeja yang hampir terbuka sebelum keluar lebih dulu dari ruangan. Pesta mengerikan lain berkedok pembukaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status