Share

RINDU MENJANDA
RINDU MENJANDA
Penulis: Kukur Kepompong

Pertengkaran

Gerimis siang ini tak mengurungkan niatku untuk pulang. Ibu mertua pasti ngomel kalau saja aku sampai telat tiba di rumah.

 "Makasih ya, Mang," ucapku setelah menyodorkan selembar uang kertas lima ribu pada tukang ojek itu.

 Aku berlari-lari kecil, menuju rumah. Tas jinjing kini malah berfungsi sebagai payung, menutupi kepala terhadap jatuhan air dari langit.

 Huh!

 Sebagaian besar seragam coklat yang kukenakan itu basah, setelah melalui perjalan dari Sekolah Dasar yang tak begitu jauh dari rumah kami.

 Iya, aku harus banting stir untuk menambal kebutuhan sehari-hari dengan menjadi seorang guru honorer. Sebenarnya gelarku bukanlah Sarjana Pendidikan. Tapi, mau bagaimana lagi.

 "Assalamualaikum," ucapku dari depan pintu.

 Biasanya ibu mertuaku selalu menyahut salam. Tapi kali ini tak ada balasan dari arah dalam.

 Mungkin dia tidur.

 Aku melepaskan sepatu semi kulit warna hitam yang telah mengelupas di bagian tengahnya. Namun, sepatu itu tak pernah terganti. Jangankan untuk beli sepatu baru, untuk beli bedak pun aku harus nabung dulu dari sisa honor yang di bayar tiga bulan sekali. Ya, begitulah.

 Ceklek!

 Kubuka pintu yang dipenuhi bekas tempelan kertas selebaran pemilu itu. Ada-ada saja caleg jaman sekarang. Masa, sampai pintupun ditempel iklan, coblos saya! Bisa saja nanti selebarannya di tempel hingga ke dalam kamar, saking pengennya menang.

 Aku masuk ke dalam rumah, melihat-lihat ke ruang tamu. Tak berpenghuni. Pandanganku hanya terbentur pada TV tabung 14 inci sebelah dinding ruang tamu sempit.

Kuputar bola mataku sedikit, berharap ibu ada di atas kursi rotan dengan jok busa warna merah tua sebagai alas duduknya itu. Ternyata juga nihil.

 Kemana ibu?

 Kulirik jam KW3 di pergelangan tangan. Baru pukul sebelas 

 Nanti aja ah masak, nasi sudah ada di rice cooker, paling nanti cuma numis kangkung sama ceplok telor buat ibu.

 Kepala ini terasa pusing, aku memang tak bisa kehujanan. Selalu saja migrain menyerang sehabis kena air itu.

 Setelah ganti seragam setengah basah tadi dengan daster. Aku merebahkan tubuh ke atas dipan berbahan kayu jati model lama. Sedikit berisik suara dipan itu beradu dengan tembok kamar.

 Aku menerawang, menatap kosong ke arah atap seng rumah. Rumah tipe tiga enam ini memang belum rampung. Belum ada plafon, sebagian dindingnya pun masih belum diplaster. Rumah ini adalah peninggalan almarhum bapak mertuaku.

 Sambil berbaring aku melamun, meratapi nasib dikandung badan.

 Dua tahun, bukanlah waktu yang singkat bagiku. Apalagi dengan kondisi yang belum juga dikaruniai seorang buah hati.

 Lebih-lebih setelah Mas Dimas, suamiku, harus menelan pil pahit setelah enam bulan di PHK dari perusahaan perkebunan sawit tempat ia mengais rejeki.

 Beginilah realita hidup.

 Rasa pusing mengantarkanku lelap dalam mimpi.

 "Rindu?!" pekik seorang wanita.

 "Rindu ... ?!" Kali ini dia berteriak agak kencang.

 Terkejut mendengar ibu memanggil namaku.

 Mimpikah aku? Perasaan baru sebentar aku terlelap.

 Ya Tuhan! sekarang sudah jam dua siang. Mana Aku belum memasak buat ibu.

 "Iya, Bu. Sebentar," sahutku cemas.

 Aku mengikat rambut panjang yang sudah berantakan. Membenarkan posisi daster yang tadi sedikit tersingkap hingga ke paha, kemudian bergegas menuju ke sumber teriakan yang memanggilku. Masih keliyengan rasanya. Mau pura-pura nggak dengar? Bisa mati kena omel ibu.

 "Gimana sih, kamu ini! Kerjanya cuma tidur aja. Tau kalau ibu lapar?!" jerit wanita berusia 58 tahun itu.

 "Maaf, Bu. Aku migrain," jawabku lemas. Kepala ini masih terasa melayang-layang.

 "Migrain! migrain! Selalu jadi alasan. Lihat udah jam berapa sekarang? Dasar perempuan pemalas!"

 Aku mulai tersinggung dengan ucapannya.

 "Tapi, Bu---"

 "Hala! Kamu itu, yah! Dibilangin selalu saja menjawab. Memang menantu kurang ajar!" maki wanita keriput itu dengan mata yang hampir saja mau copot.

 Kali ini hatiku bagai tersobek. Sakit rasanya dimaki habis-habisan. Wanita itu selalu saja memandangku rendah tanpa perasaan.

 Tiada kata-kata yang keluar dari mulutku. Adrenalin bagai terpacu untuk segera beraksi ke dapur. Setengah berlari, mencari-cari wajan dan perlengkapannya. Ternyata masih tergeletak di dalam baskom.

 Aku menyambar baskom dengan seabrek isi kotornya, kemudian bergegas ke kamar mandi yang masih berlantai semen kasar.

 Cepat-cepat aku menyiramkan air kedalam baskom itu. Mataku melirik-lirik kesana kemari memburu sabun cuci. Namun, yang didapati hanya botol hijau bergambar lemon yang di dalamnya tak berpenghuni lagi.

 "Bu ..., sabun cuci habis, ya?" Aku setengah berteriak supaya suara ini dapat hinggap ke kuping mertuaku.

 Tiada balasan darinya. Hanya suara lagu dari sinetron chanel ikan terbang yang aku dengar. Sangat kencang, begitulah kalau mertuaku menonton, pasti volumenya full.

 Aku menghampiri ibu. Ia nampak asik menonton sinetron suami menganiaya istri. Ya, selalu begitu cerita sinetron yang bikin muak untuk ditonton, tapi begitu favorit di mata mertuaku.

 "Sabun habis, Bu!" ucapku ke arah wanita yang mengenakan baju partai itu.

 "Habis? Ya, beli dong!" ucapnya dengan nada tinggi, seiring suara berisik TV yang baru saja mempertontontan iklan pembalut ekstra tipis.

 Aku hanya terpaku, bingung mau beli pakai apa. Tiada lagi sisa uang yang parkir di dompet.

 "Minta uangnya, Bu," pintaku dengan wajah memelas. Gaji Mas Dimas yang sebagaian besar dikasihkan padanya, kini kupertanyakan.

 "Kamu nggak ada uang lagi? Dihabisin kemana gaji suamimu?  Makanya berhemat, suami kamu peras keringat banting tulang jadi buruh lepas. Kamu enak-enakan berfoya-foya!" Terus saja mulut tajamnya itu nyerocos bagai busur panah yang berhasil menancap di jantungku.

 Apa dia bilang tadi? Apa aku tak salah dengar? Darahku mulai mendidih tak terima dengan tuduhan wanita yang selalu bersikap dingin itu.

 Dua tahun tinggal seatap, bukannya aku dikasihani karena telah kabur dari rumah demi menikahi anaknya. Malah perlakuan kasar yang sering kuperoleh.

 Ingin rasanya aku menjerit.

 "Bu, gaji Mas Dimas itu hanya tiga juta sebulan. Itu pun kalau kerja full. Aku hanya di kasih satu juta. Selebihnya ibu semua yang ambil. Uang sejuta sebulan, cukup apa, Bu?!" Kali ini emosiku benar-benar memuncak. Geram rasanya.

 "Oh, jadi kamu menuduh ibu yang menghabiskan uang suamimu? Sudah berani kamu, yah?!" Kali ini dia menghardikku, sorotan mata penuh amarah menghujamiku.

 Dia mulai berdiri, dengan tangan mengayun ingin menamparku.

 "Tampar, Bu! Tampar aku!" pekikku menantang.

 Aku yang selama ini dikenalnya sebagai perempuan lembut berperasa, mungkin dianggapnya takkan berani melawan.

 Bertahun sudah memendam rasa ini. Takut dan selalu takut. Kali ini aku tak peduli.

 "Kurang ajar ya, kamu! Dasar menantu tidak tahu diuntung!" Lagi-lagi mertuaku menggertak hendak menampar.

 Tiba-tiba Mas Dimas datang dari arah pintu, membuat ibu melemah dan mengurungkan niatnya tadi.

 Kulihat pakaian Mas Dimas sedikit basah akibat gerimis yang belum kunjung reda.

 Tangannya memegang tas warna hitam banyak bolongan dengan jahitan benang beda warna. Di dalam tas itu penuh dengan perlengkapan alat tukang bangunan.

 "Apa sih, ribut-ribut?" tanya Mas Dimas penasaran sambil mengibas-ngibas bajunya yang basah.

 Terlihat bekas semen masih belepotan di tangan dan pakaiannya. Dia sekarang menjadi kuli bangunan di proyek gedung pemerintahan kota Sekayu.

 "Istrimu ini, Dimas! udah berani membentak ibu," ucap mertuaku dengan wajah memelas. Sepertinya dia minta dikasihani oleh anak lelakinya itu. Fix, itu drama!

 "Benar itu, Rindu?!" tanya suamiku sambil mendongak garang ke arahku.

 "Mas---"

 "Benar, Nak! Istrimu sangat kasar sama ibu. Hik ... hik ... hik ...," ujar ibu memotong ucapanku. Wanita itu merintih dengan lakon tangisnya.

 "Aku bisa menjelaskannya, Mas!"

 Braghtt!

 Suara besi beradu dengan lantai akibat tas Mas Dimas dijatuhkan sengaja dengan paksa. Hampir saja mengenai kakiku.

 "Diam kamu!" bentak lelaki berotot itu.

 Suara lantang khas laki-laki itu, menciutkan nyaliku. Suamiku itu langsung naik pitam. Matanya merah padam menatap ke arahku.

 Plak!

 Aku tak sempat menepis.

 Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiriku. Tak tanggung-tanggung, aku hampir terhuyung kekanan.

 Aku meringis, mengusap pipi yang telah memerah bekas jemari kasar Mas Dimas. Perih rasanya.

 "Tega kamu, Mas!" Air mata mulai membanjiri pipiku.

 Hati ini benar-benar hancur, bagai ditumbuk batu. Lelaki yang aku cintai kini telah berubah. Seharusnya aku yang dibelanya, tapi mengapa selalu saja diri ini yang disalahkan.

 Aku berlari ke kamar. Menghempaskan tubuh ke kasur lalu memeluk guling. Aku tersedu-sedu. Menangis sejadi-jadinya.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status