Gerimis siang ini tak mengurungkan niatku untuk pulang. Ibu mertua pasti ngomel kalau saja aku sampai telat tiba di rumah.
"Makasih ya, Mang," ucapku setelah menyodorkan selembar uang kertas lima ribu pada tukang ojek itu.
Aku berlari-lari kecil, menuju rumah. Tas jinjing kini malah berfungsi sebagai payung, menutupi kepala terhadap jatuhan air dari langit.
Huh!
Sebagaian besar seragam coklat yang kukenakan itu basah, setelah melalui perjalan dari Sekolah Dasar yang tak begitu jauh dari rumah kami.
Iya, aku harus banting stir untuk menambal kebutuhan sehari-hari dengan menjadi seorang guru honorer. Sebenarnya gelarku bukanlah Sarjana Pendidikan. Tapi, mau bagaimana lagi.
"Assalamualaikum," ucapku dari depan pintu.
Biasanya ibu mertuaku selalu menyahut salam. Tapi kali ini tak ada balasan dari arah dalam.
Mungkin dia tidur.
Aku melepaskan sepatu semi kulit warna hitam yang telah mengelupas di bagian tengahnya. Namun, sepatu itu tak pernah terganti. Jangankan untuk beli sepatu baru, untuk beli bedak pun aku harus nabung dulu dari sisa honor yang di bayar tiga bulan sekali. Ya, begitulah.
Ceklek!
Kubuka pintu yang dipenuhi bekas tempelan kertas selebaran pemilu itu. Ada-ada saja caleg jaman sekarang. Masa, sampai pintupun ditempel iklan, coblos saya! Bisa saja nanti selebarannya di tempel hingga ke dalam kamar, saking pengennya menang.
Aku masuk ke dalam rumah, melihat-lihat ke ruang tamu. Tak berpenghuni. Pandanganku hanya terbentur pada TV tabung 14 inci sebelah dinding ruang tamu sempit.
Kuputar bola mataku sedikit, berharap ibu ada di atas kursi rotan dengan jok busa warna merah tua sebagai alas duduknya itu. Ternyata juga nihil.
Kemana ibu?
Kulirik jam KW3 di pergelangan tangan. Baru pukul sebelas
Nanti aja ah masak, nasi sudah ada di rice cooker, paling nanti cuma numis kangkung sama ceplok telor buat ibu.
Kepala ini terasa pusing, aku memang tak bisa kehujanan. Selalu saja migrain menyerang sehabis kena air itu.
Setelah ganti seragam setengah basah tadi dengan daster. Aku merebahkan tubuh ke atas dipan berbahan kayu jati model lama. Sedikit berisik suara dipan itu beradu dengan tembok kamar.
Aku menerawang, menatap kosong ke arah atap seng rumah. Rumah tipe tiga enam ini memang belum rampung. Belum ada plafon, sebagian dindingnya pun masih belum diplaster. Rumah ini adalah peninggalan almarhum bapak mertuaku.
Sambil berbaring aku melamun, meratapi nasib dikandung badan.
Dua tahun, bukanlah waktu yang singkat bagiku. Apalagi dengan kondisi yang belum juga dikaruniai seorang buah hati.
Lebih-lebih setelah Mas Dimas, suamiku, harus menelan pil pahit setelah enam bulan di PHK dari perusahaan perkebunan sawit tempat ia mengais rejeki.
Beginilah realita hidup.
Rasa pusing mengantarkanku lelap dalam mimpi.
"Rindu?!" pekik seorang wanita.
"Rindu ... ?!" Kali ini dia berteriak agak kencang.
Terkejut mendengar ibu memanggil namaku.
Mimpikah aku? Perasaan baru sebentar aku terlelap.
Ya Tuhan! sekarang sudah jam dua siang. Mana Aku belum memasak buat ibu.
"Iya, Bu. Sebentar," sahutku cemas.
Aku mengikat rambut panjang yang sudah berantakan. Membenarkan posisi daster yang tadi sedikit tersingkap hingga ke paha, kemudian bergegas menuju ke sumber teriakan yang memanggilku. Masih keliyengan rasanya. Mau pura-pura nggak dengar? Bisa mati kena omel ibu.
"Gimana sih, kamu ini! Kerjanya cuma tidur aja. Tau kalau ibu lapar?!" jerit wanita berusia 58 tahun itu.
"Maaf, Bu. Aku migrain," jawabku lemas. Kepala ini masih terasa melayang-layang.
"Migrain! migrain! Selalu jadi alasan. Lihat udah jam berapa sekarang? Dasar perempuan pemalas!"
Aku mulai tersinggung dengan ucapannya.
"Tapi, Bu---"
"Hala! Kamu itu, yah! Dibilangin selalu saja menjawab. Memang menantu kurang ajar!" maki wanita keriput itu dengan mata yang hampir saja mau copot.
Kali ini hatiku bagai tersobek. Sakit rasanya dimaki habis-habisan. Wanita itu selalu saja memandangku rendah tanpa perasaan.
Tiada kata-kata yang keluar dari mulutku. Adrenalin bagai terpacu untuk segera beraksi ke dapur. Setengah berlari, mencari-cari wajan dan perlengkapannya. Ternyata masih tergeletak di dalam baskom.
Aku menyambar baskom dengan seabrek isi kotornya, kemudian bergegas ke kamar mandi yang masih berlantai semen kasar.
Cepat-cepat aku menyiramkan air kedalam baskom itu. Mataku melirik-lirik kesana kemari memburu sabun cuci. Namun, yang didapati hanya botol hijau bergambar lemon yang di dalamnya tak berpenghuni lagi.
"Bu ..., sabun cuci habis, ya?" Aku setengah berteriak supaya suara ini dapat hinggap ke kuping mertuaku.
Tiada balasan darinya. Hanya suara lagu dari sinetron chanel ikan terbang yang aku dengar. Sangat kencang, begitulah kalau mertuaku menonton, pasti volumenya full.
Aku menghampiri ibu. Ia nampak asik menonton sinetron suami menganiaya istri. Ya, selalu begitu cerita sinetron yang bikin muak untuk ditonton, tapi begitu favorit di mata mertuaku.
"Sabun habis, Bu!" ucapku ke arah wanita yang mengenakan baju partai itu.
"Habis? Ya, beli dong!" ucapnya dengan nada tinggi, seiring suara berisik TV yang baru saja mempertontontan iklan pembalut ekstra tipis.
Aku hanya terpaku, bingung mau beli pakai apa. Tiada lagi sisa uang yang parkir di dompet.
"Minta uangnya, Bu," pintaku dengan wajah memelas. Gaji Mas Dimas yang sebagaian besar dikasihkan padanya, kini kupertanyakan.
"Kamu nggak ada uang lagi? Dihabisin kemana gaji suamimu? Makanya berhemat, suami kamu peras keringat banting tulang jadi buruh lepas. Kamu enak-enakan berfoya-foya!" Terus saja mulut tajamnya itu nyerocos bagai busur panah yang berhasil menancap di jantungku.
Apa dia bilang tadi? Apa aku tak salah dengar? Darahku mulai mendidih tak terima dengan tuduhan wanita yang selalu bersikap dingin itu.
Dua tahun tinggal seatap, bukannya aku dikasihani karena telah kabur dari rumah demi menikahi anaknya. Malah perlakuan kasar yang sering kuperoleh.
Ingin rasanya aku menjerit.
"Bu, gaji Mas Dimas itu hanya tiga juta sebulan. Itu pun kalau kerja full. Aku hanya di kasih satu juta. Selebihnya ibu semua yang ambil. Uang sejuta sebulan, cukup apa, Bu?!" Kali ini emosiku benar-benar memuncak. Geram rasanya.
"Oh, jadi kamu menuduh ibu yang menghabiskan uang suamimu? Sudah berani kamu, yah?!" Kali ini dia menghardikku, sorotan mata penuh amarah menghujamiku.
Dia mulai berdiri, dengan tangan mengayun ingin menamparku.
"Tampar, Bu! Tampar aku!" pekikku menantang.
Aku yang selama ini dikenalnya sebagai perempuan lembut berperasa, mungkin dianggapnya takkan berani melawan.
Bertahun sudah memendam rasa ini. Takut dan selalu takut. Kali ini aku tak peduli.
"Kurang ajar ya, kamu! Dasar menantu tidak tahu diuntung!" Lagi-lagi mertuaku menggertak hendak menampar.
Tiba-tiba Mas Dimas datang dari arah pintu, membuat ibu melemah dan mengurungkan niatnya tadi.
Kulihat pakaian Mas Dimas sedikit basah akibat gerimis yang belum kunjung reda.
Tangannya memegang tas warna hitam banyak bolongan dengan jahitan benang beda warna. Di dalam tas itu penuh dengan perlengkapan alat tukang bangunan.
"Apa sih, ribut-ribut?" tanya Mas Dimas penasaran sambil mengibas-ngibas bajunya yang basah.
Terlihat bekas semen masih belepotan di tangan dan pakaiannya. Dia sekarang menjadi kuli bangunan di proyek gedung pemerintahan kota Sekayu.
"Istrimu ini, Dimas! udah berani membentak ibu," ucap mertuaku dengan wajah memelas. Sepertinya dia minta dikasihani oleh anak lelakinya itu. Fix, itu drama!
"Benar itu, Rindu?!" tanya suamiku sambil mendongak garang ke arahku.
"Mas---"
"Benar, Nak! Istrimu sangat kasar sama ibu. Hik ... hik ... hik ...," ujar ibu memotong ucapanku. Wanita itu merintih dengan lakon tangisnya.
"Aku bisa menjelaskannya, Mas!"
Braghtt!
Suara besi beradu dengan lantai akibat tas Mas Dimas dijatuhkan sengaja dengan paksa. Hampir saja mengenai kakiku.
"Diam kamu!" bentak lelaki berotot itu.
Suara lantang khas laki-laki itu, menciutkan nyaliku. Suamiku itu langsung naik pitam. Matanya merah padam menatap ke arahku.
Plak!
Aku tak sempat menepis.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiriku. Tak tanggung-tanggung, aku hampir terhuyung kekanan.
Aku meringis, mengusap pipi yang telah memerah bekas jemari kasar Mas Dimas. Perih rasanya.
"Tega kamu, Mas!" Air mata mulai membanjiri pipiku.
Hati ini benar-benar hancur, bagai ditumbuk batu. Lelaki yang aku cintai kini telah berubah. Seharusnya aku yang dibelanya, tapi mengapa selalu saja diri ini yang disalahkan.
Aku berlari ke kamar. Menghempaskan tubuh ke kasur lalu memeluk guling. Aku tersedu-sedu. Menangis sejadi-jadinya.
Bersambung ....
Malam telah menjelang. Aku hanya meringkuk di atas kasur. Mata pun sembab akibat meratapi nasib diri yang kini bagai orang terbuang.Keluarga yang telah aku tinggalkan, papa dan mama. Dua tahun silam, hingga saat ini aku tahu persis kalau mereka masih belum merestui pernikahan kami. Kini bagai hadir kembali di benakku.Maafkan anakmu yang hina ini, Pa, Ma."Kamu tidak makan?" tanya Mas Dimas mencoba membujuk. Tiba-tiba saja lelaki itu datang lalu duduk di bibir ranjang.Aku tak menghiraukan ucapannya. Bujukan itu hanya basa-basi busuk bagiku. Hati ini sudah terlanjur luka oleh sikapnya tadi siang."Rindu! Kamu tak menyahut pertanyaanku?!"Lengan Mas Dimas perlahan meraih bahuku. Dengan sedikit tenaga, lelaki itu mencoba untuk membalik tubuhku yang sedari tadi masih berbaring membelakanginya."Rindu! Kamu masih punya mulut kan?"Kali ini, ucapan Mas Dimas memaksaku berbalik. Aku memberanikan diri menatapnya."Aku
Walaupun hari ini libur, aku tetap saja sibuk. Setelah mandi dan mengenakan daster, aku melakukan rutinitas seperti biasa. Cuci piring, bikin sarapan untuk ibu mertua dan suami, nyapu, ngepel dan bersih-bersih rumah.Aku melirik jam dinding yang ada di ruang tamu. Sudah pukul tujuh lewat namun Mas Dimas belum juga pulang. Aku semakin gelisah dibuatnya. Hati diselimuti berjuta tanya, kemana gerangan suamiku itu?Aku duduk di atas kursi ruang tamu. Kuraihremotetelevisi yang tergeletak di atas meja. Seperti biasa, aku akan menghabiskan pagi minggu dengan menonton berita gosipselebritytanah air.Ya, aku sangat senang mendengar berita seputar pesohor dunia keartisan. Apalagi tentang gosip kawin cerai dengan usia pernikahan yang masih seumur jagung. Gemes rasanya.Tiba-tiba ibu mertuaku keluar dari pintu kamarnya. Sepertinya dia baru saja bangun dan pasti perutnya kosong. Kalau saja sarapan belum ada, singa betina itu a
Aku membuka mata, memberanikan diri menatap wajah Mas Dimas. Sorotan tajam mata lelaki itu kembali ditujukannya padaku.Aku mengalah, lalu membuang tatapan. Tak ingin rasanya berlama-lama berada dalam kamar bersama suami yang sedang terbakar emosi. Perlahan aku bergegas menuruni kasur."Mau kemana kamu?!" Mas Dimas mencegah langkahku yang baru saja hendak meninggalkan kamar."Aku mau keluar, Mas.""Tunggu!" Tangan lelaki itu mendorong bagian bahuku. Tentu saja dengan tenaga kuatnya aku terpental satu langkah ke belakang.Aku menghela nafas dalam. Mencoba mengatur irama jantung yang sedari tadi berdegup tak berirama.Aku memperkuat mentalku. "Cukup, Mas! Aku ini istrimu. Jangan seenaknya memperlakukanku dengan sikap kasarmu itu.""Oh! Jadi kamu sudah berani melawan suami? Ha!"Hentakan suara di ujung kalimat yang diucapkan Mas Dimas, mencoba untuk menghancurkan pertahananku. Tapi aku tahu kalau saat itu dia hanya menggertak.
Aku terhenyak mendengar perkataan Indah. Entah ini kebetulan nama yang sama dengan orang yang berbeda. Atau bahkan benar, kalau mama Indah itu adalah orang yang sedang dalam penyelidikanku saat ini.“Kok, Bu Rindu diam?” tanya murid cantikku itu polos.“Nggak apa-apa, Nak, Ibu hanya terpesona mendengar ceritamu tadi. Bagus banget.”Indah hanya tersenyum mendengar pujian dariku.Bel istirahat telah berbunyi, aku bergegas kembali ke ruang guru. Sesampainya di sana, nampak ruang itu hening karena memang guru-guru lain biasanya sudah di kantin.Ketika hendak duduk di kursi, mataku membentur sebuah kotak yang telah dibungkus rapi dengan kertas kado.Aku penasaran kotak itu berisi apa, dan siapa yang meletakkannya di atas mejaku. Sekali lagi aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, namun benar-benar tak kudapati seorangpun.Hadiah untuk Rindu.Tulisan secarik kertas yang menempel pada kado itu berhasil
Setelah mencium punggung tanganku dan Pak Arif. Indah lalu membuka pintu mobil dan keluar menghampiri mamanya.Pak Arif menurunkan kaca mobilnya, lalu ia menyapa Lina. “Mbak, kami tinggal dulu ya.”“Makasih ya, Rif,” balas wanita itu singkat. Pak Arif hanya memberikan senyuman pada wanita itu.Sementara aku hanya membeku duduk di sebelah. Sengaja aku tak ingin melihat wanita itu lebih lama lagi, karena takut emosi besar ini nanti meluap.Mobil perlahan menjauh meninggalkan Indah bersama mamanya.“Sepatunya sudah dicoba, Bu?” tanya Pak Arif memecah kebisuan di mobil.“Sudah, Pak. Pas banget di kakiku.”“Bu Rindu suka sepatunya?” Lelaki itu menatapku penuh arti.Aku mulai canggung berada dalam posisi itu. “Itu sepatu impian saya, Pak.”Dia mengembangkan senyum manis di bibirnya. Aku mulai curiga, jangan-jangan hadiah itu dari Pak Arif.“Pa
Saat aku terjaga, ternyata hari sudah mulai gelap. Aku beranjak untuk menyalakan lampu kamar.Kring! Kring! Kring!Suara nyaring ponsel memecah keheningan kamar."Halo!""Halo Bu Rindu," sapa Pak Rudi kepala sekolah kami. "Saya mau kasih info mendadak. Indah, muridmu, diminta mewakili Kabupaten kita, untuk berangkat ke Palembang besok pagi.""Palembang? Acara apa ya, Pak?""Lomba siswa berprestasi dan lomba catur tingkat Propinsi. Tahun kemarin 'kan dia menang mewakili kabupaten kita. Nah, tahun ini bapak Kepala Dinas ingin dia maju lagi.""Oh, alhamdulillah kalau gitu, Pak""Saya minta kamu mendampingi dia ya, sama Pak Arif juga."Aku tertegun sejenak. "Baik, Pak.""Tolong segera kasih tahu Indah. Tadi saya menghubungi nomor Pak Arif, tapi belum aktif kayaknya. Kasih tau juga sama beliau.""Baik, Pak. Nanti aku kasih tahu sama mereka.""Akomodasi dan sebagainya, sudah saya minta ditransfer ke rekeni
Tiba-tiba wanita itu meletakkan buku nikahku ke atas meja, lalu ia mendekap tubuh ini dengan erat. Tubuhnya bergetar akibat isak tangis. Kini ia tenggelam dalam pelukanku.Seketika itu, rasa iba menyelinap ke relung hatiku. Tak tega rasanya membiarkan wanita cantik itu terus menangis.Aku menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Mencoba untuk menenangkannya.Perlahan Lina melepaskan pelukan. Matanya telah membengkak nanar menatapku. Aku membalas tatapan mata itu."Sebagai sesama wanita, Mbak Lina tentunya dapat mengerti apa maksudku. Sebelum semua ini berlanjut lebih jauh lagi," ucapku penuh keseriusan.Aku sudah berada di atas angin, kemenangan sebentar lagi aku dapatkan. Rasanya sudah tak sabar lagi ingin mendengar pengakuan kekalahannya."Maafkan aku, Bu Rindu." Tangisnya terus berlangsung.Aku sudah dapat melengkungkan garis bibir, mengembangkan senyum kepuasan.Tiba-tiba wanita itu kembali memelukku. Kali ini dekapannya sa
Nyali Mas Dimas semakin ciut. Mulutnya terkunci, ia tak dapat menjawab pertanyaanku."Jawab! Mas," pekikku sekali lagi. Kadar emosiku terus bertambah. Entah bagaimana ekspresiku saat ini. Yang jelas, gertakan itu berhasil mendominasi keadaan.Mas Dimas membuang tatapan mataku. Ia beringsut menuju kursi. Sepertinya lelaki itu telah sadar kalau aku baru saja membuka semua tabir rahasia besarnya.