Aku membuka mata, memberanikan diri menatap wajah Mas Dimas. Sorotan tajam mata lelaki itu kembali ditujukannya padaku.
Aku mengalah, lalu membuang tatapan. Tak ingin rasanya berlama-lama berada dalam kamar bersama suami yang sedang terbakar emosi. Perlahan aku bergegas menuruni kasur.
"Mau kemana kamu?!" Mas Dimas mencegah langkahku yang baru saja hendak meninggalkan kamar.
"Aku mau keluar, Mas."
"Tunggu!" Tangan lelaki itu mendorong bagian bahuku. Tentu saja dengan tenaga kuatnya aku terpental satu langkah ke belakang.
Aku menghela nafas dalam. Mencoba mengatur irama jantung yang sedari tadi berdegup tak berirama.
Aku memperkuat mentalku. "Cukup, Mas! Aku ini istrimu. Jangan seenaknya memperlakukanku dengan sikap kasarmu itu."
"Oh! Jadi kamu sudah berani melawan suami? Ha!"
Hentakan suara di ujung kalimat yang diucapkan Mas Dimas, mencoba untuk menghancurkan pertahananku. Tapi aku tahu kalau saat itu dia hanya menggertak.
"Ya! Aku berani! Kenapa?" teriakku menantang sembari mendongak ke wajah lelaki itu.
Aku merasa berada diposisi yang tak salah saat itu. Wajar kalau aku membela diri.
Mas Dimas tersentak, mungkin dia heran menyaksikan istrinya sekarang mulai berani membungkamnya.
"Mas, apa salahku? Bukankah Mas Dimas yang sekarang tengah membuat kesalahan terhadapku?"
Sepasang mataku garang menatap lelaki itu. Entah apa yang sekarang membuat keberanian semakin memuncak. Mas Dimas benar-benar padam. Kepalan tinjunya mulai terurai lemas.
"Tolong jawab aku dengan jujur, Mas. Kemana kamu semalam?" Akhirnya kalimat yang telah lama terpendam itu muntah dari mulutku.
"Jawab, Mas!" Sekali lagi aku mendesak dengan nada naik satu oktaf.
"Bukan urusanmu!" jawab Mas Dimas sembarang.
"Itu urusanku. Karena aku ini istrimu."
Lelaki itu membalikan tubuhnya. Dia berlalu meninggalkanku.
Braght!
Sekali lagi pintu kamar dibantingnya.
Aku hanya mengelus dada, mencoba melemaskan syaraf-syaraf yang sedari tadi tegang semua.
Tubuhku mulai layu, otot-otot terasa mengendor. Dengan lemas aku kembali duduk di bibir ranjang.
Ternyata selama ini aku salah dengan haya diam dan takut. Kalau saja sejak dulu aku bersikap seperti ini, mungkin tak terlalu ditindas oleh suami kasarku itu.
Klung!
Suara pesan singkat yang baru saja masuk ke ponsel Mas Dimas. Aku baru menyadari kalau dia lupa membawa ponselnya yang tergeletak di atas meja kamar.
Aku meraih ponsel itu. Jiwa penyidikku seketika menyeruak. Ingin rasanya menguliti semua jejak informasi dari ponsel Mas Dimas.
[Mas, terima kasih untuk semalam. Aku sungguh bahagia]
Deg!
Jantungku kembali bergetar hebat, setelah membaca pesan singkat dari ponsel Mas Dimas.
Ternyata ini biang keladinya.
Lina, itu nama yang tertulis di kontak ponsel yang barusan saja mengirim pesan singkat.
Sesaat emosiku meledak-ledak. Pikiran mulai tak sehat. Ternyata ada sesuatu yang ganjil telah terjadi pada rumah tangga kami.
Pantas!
Aku berusaha menjernihkan otak. Sebab, tak ingin mengambil tindakan yang gegabah. Lebih baik aku selidiki dulu sampai semuanya benar-benar terkuak.
Kusambar ponselku, lalu mengetik nomor telepon wanita tadi dan save, nomor itu tersimpan.
****
Pagi senin, awal hari yang agak mendung. Namun, aku harus tetap mengajar ke sekolah.
Setelah siap dengan seragam, aku keluar dari kamar. Mas Dimas nampak masih tertidur pulas di atas kursi ruang tamu. Padahal aku tak melarangnya jika saja lelaki itu hendak tidur di kamar semalam.
Aku hanya ingin kelihatan biasa-biasa saja olehnya. Walaupun di relung hati yang paling dalam sedang menyimpan luka menganga yang sangat menyakitkan. Biarlah nanti setelah terbukti saja, baru aku menumpahkan semuanya.
"Bangun, Mas!" ujarku sambil menggoyang-goyang lengan Mas Dimas.
Bukannya bangun, malah ia semakin menyembunyikan wajahnya.
"Mas! Bukankah kamu juga harus kerja hari ini? Ayo bangun. Udah pagi."
Lelaki itu akhirnya membalik badannya. Beberapa kali ia mengucek mata sembari menguap cukup lebar. Setelah itu ia menggaruk-garuk kepala.
"Aku minta uang, Mas. Buat ongkos ojek. Uangku sudah habis."
Mas Dimas tak membalas perkataanku. Dia hanya merogo saku jeans-nya. Dengan mata yang masih berat, ia mengeluarkan dompet kulit, mengambil selembar uang lima puluh ribu lalu menyerahkannya padaku. Entah hal itu ia lakukan dengan sadar atau tidak.
"Kamu nggak kerja?" tanyaku sekali lagi.
"Iya kerja." Akhirnya Mas Dimas menjawab.
"Ya udah, aku permisi dulu berangkat ke sekolah."
Seperti biasa, ojek langgananku telah siap menunggu di depan rumah. Dia adalah Mang Toyib, seorang lelaki yang cukup senior di dunia perojekkan kota sekayu.
"Ayo, Mang. Kita berangkat," pintaku pada Mang Toyib.
"Ayo, buruan, Bu. Kayaknya bentar lagi mau hujan."
Motor honda yang memboncengku itu kemudian menuju ke sekolah tempat aku mengajar.
Langit semakin gelap, suara petir saling bersahutan terdengar dari arah kejauhan. Untung saja kami telah sampai. Kini air hujan mulai berjatuhan membasahi bumi.
Aku langsung menuju kedalam ruang kantor guru.
"Pagi Bu Rindu," sapa Pak Arif dengan wajah cerianya.
"Pagi, Pak."
Aku masih merasa bersalah terhadap Pak Arif, atas apa yang telah dilakukan oleh suamiku padanya. Namun, sepertinya guru yang mengenakan kaos olahraga itu telah melupakan kejadian di teras rumah kemarin.
Bel tanda mulainya jam pelajaran telah berbunyi. Aku bergegas menuju ruang kelas empat. Hari ini akan mengisi pelajaran pada jam pertama di kelas itu.
"Pagi anak-anak," sapaku ramah setelah tiba di dalam ruang kelas.
Serentak murid-murid yang mengenakan seragam putih merah itu berdiri. "Selamat pagi ibu guru!"
Selalu saja wajah-wajah riang dari bocah-bocah polos itu menyejukkan hati. Terkadang rupiah malah jadi nomor dua jika harus dibandingkan dengan keinginanku mendidik anak-anak penerus bangsa itu.
"Baik anak-anak. Hari ini ibu mau menyuruh kalian semua menulis cerita di hari minggu kemarin. Nanti gantian maju kedepan membaca ceritanya. Setuju?"
"Setuju!" jawab mereka tak kompak. Karena ada saja yang enggan saat di suruh maju kedepan untuk bercerita.
Aku mulai mondar-mandir mengawasi mereka yang nampak begitu antusias menulis ceritanya di buku. Beberapa dari mereka kelihatan mengerutkan dahi karena kesulitan merangkai kisah mereka.
Setelah waktu yang kuberikan terasa cukup. "Sudah selesai semua?"
"Selesai, Bu." Tiga puluh persen yang menjawab selesai. Selebihnya diam seribu bahasa.
"Joni! Maju ke depan."
Bocah lelaki itu melangkah dengan berat untuk maju ke depan kelas.
"Hari minggu. Saya pergi ke kebun mangga nenek. Saya menjolok mangga. Ternyata ada sarang tawon. Saya berlari di kejar tawon. Lalu terjun ke sawah nenek. Nama nenek saya itu adalah Nuning. Terima kasih." Joni baru saja menyelesaikan ceritanya.
"Hu!" ledek teman-temannya. Tentu saja muka Joni jadi memerah.
"Baik, sekarang coba maju, Indah!"
Sorak sorai tepuk tangan murid laki-laki bergemuruh. Karena memang Indah adalah murid paling cantik di kelas.
"Pagi minggu yang indah. Seindah nama yang di berikan oleh papa padaku. Namun, kisah hidupku tak seindah namaku. Karena semenjak kepergian papa dua tahun lalu, membuat aku rindu ingin berjumpa dengannya. Sehingga, hari minggu kemarin aku mengajak mama untuk menjenguk papaku. Sebelum menjenguk papa, aku membeli seikat bunga sebagai ole-ole buat papa tercinta. Aku membawa bunga itu untuk papa yang telah tenang berada di pemakaman umum."
Cerita Indah terhenti sejenak, dia tak kuasa melawan tangisnya. Menyaksikan hal itu aku mendekat kemudian memeluknya erat-erat. Sedangkan teman-temannya yang lain hanya membisu, terharu oleh cerita Indah.
"Saya lanjut ya, Bu," pinta Indah sembari melirikku.
"Baik, Nak."
Selain cantik, Indah memang murid paling pintar di kelas ini. Dia pandai menyanyi, bisa melukis, dan ramah terhadap siapa saja. Itulah kenapa aku sangat menyayanginya. Terlebih lagi, mungkin karena hingga saat ini aku belum juga punya seorang anak.
"Setelah aku menjenguk papa. Kami akhirnya pulang. Setiba di rumah, aku sangat kecewa mendengar permintaan dari mamaku. Beliau mengatakan kalau ia akan memberikan pengganti papaku. Mamaku mau menikah lagi."
Air matanya kembali berderai. Anak seumur itu ternyata sudah sensitif sekali tentang perasaannya.
Aku lalu memeluknya sekali lagi.
"Siapa nama mamamu, Nak?" Bisikku pada Indah.
"Lina, Bu."
Bersambung ....
Aku terhenyak mendengar perkataan Indah. Entah ini kebetulan nama yang sama dengan orang yang berbeda. Atau bahkan benar, kalau mama Indah itu adalah orang yang sedang dalam penyelidikanku saat ini.“Kok, Bu Rindu diam?” tanya murid cantikku itu polos.“Nggak apa-apa, Nak, Ibu hanya terpesona mendengar ceritamu tadi. Bagus banget.”Indah hanya tersenyum mendengar pujian dariku.Bel istirahat telah berbunyi, aku bergegas kembali ke ruang guru. Sesampainya di sana, nampak ruang itu hening karena memang guru-guru lain biasanya sudah di kantin.Ketika hendak duduk di kursi, mataku membentur sebuah kotak yang telah dibungkus rapi dengan kertas kado.Aku penasaran kotak itu berisi apa, dan siapa yang meletakkannya di atas mejaku. Sekali lagi aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, namun benar-benar tak kudapati seorangpun.Hadiah untuk Rindu.Tulisan secarik kertas yang menempel pada kado itu berhasil
Setelah mencium punggung tanganku dan Pak Arif. Indah lalu membuka pintu mobil dan keluar menghampiri mamanya.Pak Arif menurunkan kaca mobilnya, lalu ia menyapa Lina. “Mbak, kami tinggal dulu ya.”“Makasih ya, Rif,” balas wanita itu singkat. Pak Arif hanya memberikan senyuman pada wanita itu.Sementara aku hanya membeku duduk di sebelah. Sengaja aku tak ingin melihat wanita itu lebih lama lagi, karena takut emosi besar ini nanti meluap.Mobil perlahan menjauh meninggalkan Indah bersama mamanya.“Sepatunya sudah dicoba, Bu?” tanya Pak Arif memecah kebisuan di mobil.“Sudah, Pak. Pas banget di kakiku.”“Bu Rindu suka sepatunya?” Lelaki itu menatapku penuh arti.Aku mulai canggung berada dalam posisi itu. “Itu sepatu impian saya, Pak.”Dia mengembangkan senyum manis di bibirnya. Aku mulai curiga, jangan-jangan hadiah itu dari Pak Arif.“Pa
Saat aku terjaga, ternyata hari sudah mulai gelap. Aku beranjak untuk menyalakan lampu kamar.Kring! Kring! Kring!Suara nyaring ponsel memecah keheningan kamar."Halo!""Halo Bu Rindu," sapa Pak Rudi kepala sekolah kami. "Saya mau kasih info mendadak. Indah, muridmu, diminta mewakili Kabupaten kita, untuk berangkat ke Palembang besok pagi.""Palembang? Acara apa ya, Pak?""Lomba siswa berprestasi dan lomba catur tingkat Propinsi. Tahun kemarin 'kan dia menang mewakili kabupaten kita. Nah, tahun ini bapak Kepala Dinas ingin dia maju lagi.""Oh, alhamdulillah kalau gitu, Pak""Saya minta kamu mendampingi dia ya, sama Pak Arif juga."Aku tertegun sejenak. "Baik, Pak.""Tolong segera kasih tahu Indah. Tadi saya menghubungi nomor Pak Arif, tapi belum aktif kayaknya. Kasih tau juga sama beliau.""Baik, Pak. Nanti aku kasih tahu sama mereka.""Akomodasi dan sebagainya, sudah saya minta ditransfer ke rekeni
Tiba-tiba wanita itu meletakkan buku nikahku ke atas meja, lalu ia mendekap tubuh ini dengan erat. Tubuhnya bergetar akibat isak tangis. Kini ia tenggelam dalam pelukanku.Seketika itu, rasa iba menyelinap ke relung hatiku. Tak tega rasanya membiarkan wanita cantik itu terus menangis.Aku menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Mencoba untuk menenangkannya.Perlahan Lina melepaskan pelukan. Matanya telah membengkak nanar menatapku. Aku membalas tatapan mata itu."Sebagai sesama wanita, Mbak Lina tentunya dapat mengerti apa maksudku. Sebelum semua ini berlanjut lebih jauh lagi," ucapku penuh keseriusan.Aku sudah berada di atas angin, kemenangan sebentar lagi aku dapatkan. Rasanya sudah tak sabar lagi ingin mendengar pengakuan kekalahannya."Maafkan aku, Bu Rindu." Tangisnya terus berlangsung.Aku sudah dapat melengkungkan garis bibir, mengembangkan senyum kepuasan.Tiba-tiba wanita itu kembali memelukku. Kali ini dekapannya sa
Nyali Mas Dimas semakin ciut. Mulutnya terkunci, ia tak dapat menjawab pertanyaanku."Jawab! Mas," pekikku sekali lagi. Kadar emosiku terus bertambah. Entah bagaimana ekspresiku saat ini. Yang jelas, gertakan itu berhasil mendominasi keadaan.Mas Dimas membuang tatapan mataku. Ia beringsut menuju kursi. Sepertinya lelaki itu telah sadar kalau aku baru saja membuka semua tabir rahasia besarnya.
Pak Arif menekan saklar lampu yang berada di dinding ruang tamu rumahnya. “Silahkan duduk dulu, Bu,” ujar lelaki itu sembari tersenyum.Aku dan Indah menuruti permintaan Pak Arif. Kami berdua duduk di sofa empuk berwarna abu muda yang memiliki sandaran agak rendah.Setelah duduk, aku mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu rumah Pak Arif. Nampak tata letak dan dekorasinya cukup apik. Di dindingnya menempel sebuah lukisan abstrak yang didominasi warna hitam dan merah. Pas betul dengan paduan warna cat interior bernuansa putih lembut. Ternyata bagus juga selera lelaki yang masih betah menjomblo itu.Pak Arif menuju kamar yang berada di ruang tengah rumahnya. Sepertinya ada dua kamar yang saling berdempetan di sana.“Bu, aku nggak mau pulang ke rumah lagi,” cetus Indah memecah keheningan ruang tamu
Mendengar suara membentak dari seseorang yang berada di ruang depan, nyali Indah ciut. Ia mendempetkan tubuhnya padaku. Tangannya mencengkeram erat ke lenganku.“Sabar dulu, Pak RT. Dia itu sodaraku. Dia hanya numpang menginap di rumahku satu malam ini saja. Besok pagi langsung berangkat ke Palembang. Lagian kami tidak hanya berdua, ada ponakanku juga,” terang Pak Arif panjang lebar.Lelaki itu mencoba membela dirinya. Ia tak ingin ada fitnah atas kehadiranku ke rumahnya malam ini."Bohong!" teriak beberapa orang hampir berbarengan. Sepertinya Pak RT tak sendirian. Kalau dari suaranya, tak kurang tujuh sampai delapan orang yang berada di depan sana."Kita usir saja wanita yang Pak Arif bawa tadi, Pak!" ujar seseorang dengan suara meninggi. Kayaknya orang itu provokatornya.Genggaman tangan
Aku malu bukan kepalang. Mukaku terasa merah menyalah. Kentut berirama panjang yang baru saja aku keluarkan, tentunya terdenger jelas dari arah Pak Arif berdiri sekarang.Aku membuang tatapanku, tak kuasa membendung rasa yang sangat tak enak untuk diungkapkan itu.Mataku beralih mentap wajah Indah, anak kecil itu nampak menahan tawanya sembari menutup mulut dengan telapak tangan. Sungguh, aku telah berhasil mempermalukan diriku sendiri dihadapan mereka.“Aku nggak dengar kok,” ujar Pak Arif pura-pura. Aku tahu kalau lelaki itu sedang meledekku. Ia berlalu menuju dinspenser yang berada di sebelah meja kompor.Glek! Glek! Glek!Lelaki itu meneguk segelas air putih itu hingga tak bersisa di gelas beningnya. “Aku duluan ya, udah nggak tahan mau buang air,” terang lelaki itu sambil