Share

Pertemuan Pertama dengan Lina

Aku terhenyak mendengar perkataan Indah. Entah ini kebetulan nama yang sama dengan orang yang berbeda. Atau bahkan benar, kalau mama Indah itu adalah orang yang sedang dalam penyelidikanku saat ini.

“Kok, Bu Rindu diam?” tanya murid cantikku itu polos.

“Nggak apa-apa, Nak, Ibu hanya terpesona mendengar ceritamu tadi. Bagus banget.”

Indah hanya tersenyum mendengar pujian dariku.

Bel istirahat telah berbunyi, aku bergegas kembali ke ruang guru. Sesampainya di sana, nampak ruang itu hening karena memang guru-guru lain biasanya sudah di kantin.

Ketika hendak duduk di kursi, mataku membentur sebuah kotak yang telah dibungkus rapi dengan kertas kado.

Aku penasaran kotak itu berisi apa, dan siapa yang meletakkannya di atas mejaku. Sekali lagi aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, namun benar-benar tak kudapati seorangpun.

Hadiah untuk Rindu.

Tulisan secarik kertas yang menempel pada kado itu berhasil membuatku mengulum senyum. Aku kemudian membuka kotak itu, tak sabar rasanya ingin segera mengetahui isinya yang akupun belum tahu dari mana asalnya.

Mataku terpanah, menyaksikan sebuah sepatu Garucci Heels formal berwarna hitam mengkilap yang telah lama kuimpi-impikan.

Mimpiku kini jadi kenyataan.

Sungguh jika aku harus merogo kocek sendiri, pasti takkan pernah terbeli pada sepatu idaman itu.

“Ciye! yang dapat kejutan,” kata Bu Tiara yang baru saja masuk sembari mengunyah bakwan di mulutnya. Sementara tangan kanannya masih memegang separuh sisa bakwan itu.

Mukaku memerah setelah mendengar ucapan Bu Tiara. “Dari siapa ya, Bu?”

“Ada deh. Orangnya nggak mau disebut namanya, Bu,” ujar wanita itu membuatku semakin penasaran.

Aku mengenakan sepatu itu, lalu berjalan beberapa langkah di dekat Bu Tiara.

“Cantik banget, Bu Rin.” Bu Tiara memujiku. “Pasti harganya mahal.”

“Ayolah, Bu. Kasih tau siapa yang memberikan hadiah ini?” rengekku pada teman sekantorku itu.

“Ada deh, nanti Bu Rindu juga bakalan tahu sendiri.”

“Ehm. Udah pake rahasia-rahasiaan ya sekarang?”

“Hehehe. Maaf Bu Rindu. Aku sudah janji untuk tidak mengatakannya.”

“Iya deh. Pokoknya siapapun yang memberikan sepatu ini, bilang makasih banget.”

“Siap, Bu,” jawab Bu Tiara kemudian melahap habis sisa bakwan di tangannya tadi.

Akhirnya waktu untuk pulang tiba juga.

Tiba-tiba petir menyambar begitu kuat, air hujan membesar. Suara berisik jatuhan air yang menimpa atap kantor sekolah semakin nyaring.

Aku telah menunggu Mang Toyib di depan kantor sekolah. Namun, pasti tukang ojek itu tak datang menjemputku. Kasian juga jika lelaki paruh baya itu harus menerobos hujan.

"Hujan nih, Bu. Nanti sepatu barunya malah rusak sebelum dipakai," ujar Pak Arif menggoda. Aku hanya tersenyum sembari memeluk kotak sepatu tadi.

Lelaki itu baru saja datang menghampiriku. Dia harus menunggu sesaat, karena posisi mobilnya terparkir agak jauh di halaman depan kantor sekolah.

"Iya nih, Pak. Deres banget hujannya," jawabku singkat.

"Gimana kalau saya antar, Bu?" Pak Arif menatapku dengan penuh rasa kasihan.

Aku sedikit mengernyitkan dahi, bingung rasanya. Jika menolak, tentu saja aku harus berlama-lama menunggu hingga hujan reda. Tapi, kalau menerima tawaran itu, bisa terjadi perang dunia kedua jika sampai Mas Dimas tahu.

"Gimana, Bu?" tanya Pak Arif sekali lagi.

"Om, Arif. Antar Indah pulang ya," celetuk bocah cantik itu. Dia baru saja tiba dengan nafas yang ngos-ngosan sehabis berlari ke arah kami.

Om? Kok Indah memanggil Pak Arif dengan sebutan itu? Batinku bertanya keras.

"Iya, sayang. Om antar kamu pulang ya," ujar Pak Arif yang tentu saja membuat bocah itu girang.

"Eh, Bu Rindu. Kayaknya hujan bakal lama deh. Mending ikut kami aja. Mau ya, Bu?" rengek murid kesayanganku itu. Aku tersenyum dibuat olehnya.

Ide cemerlang baru saja terbersit di benakku. Sepertinya penyelidikan akan mulai hari ini juga. Dengan ikut bersama mereka aku akan tahu di mana rumah Indah.

"Boleh 'kan, Om. Bu Rindu ikut kita?" Indah meraih lengan Pak Arif sembari melancarkan akting memelas.

"Boleh dong," sahut lelaki itu dengan senyum renyah.

Indah membidikkan pandangannya padaku, berharap agar mengiyakan permintaannya.

"Oke deh. Ibu ikut. Nanti ke rumah Indah dulu ya. Habis itu baru mengantar Ibu," ucapku yang tentu saja membuat rona muka Indah riang.

"Hore!" teriak anak itu dengan luapan rasa gembiranya.

Hujan masih belum kunjung reda. Akhirnya Pak Arif bergegas berlari menuju mobilnya. Setelah itu kendaraan roda empat miliknya mendekat. Aku dan Indah masuk ke dalamnya.

Indah duduk di kursi belakang mobil, sedangkan aku duduk di sebelah kiri Pak Arif yang sedang menyetir.

"Pak, boleh nanya nggak?" Aku menatap ke arah Pak Arif.

"Boleh, nanya apa, Bu?"

"Pak Arif siapanya Indah ya? Kok manggilnya om?"

"Oh. Almarhum papanya indah itu sepupuku, Bu. Jadi Indah ini ponakanku."

Aku mengangguk beberapa kali setelah mendengar penjelasan dari lelaki itu.

"Aku juga bisa pindah mengajar ke sini karena rekomendasi dari Mbak Lina, mamanya Indah," sambung Pak Arif lagi.

Ya, Pak Arif memang baru satu bulan mengajar di Sekolah Dasar kami. Lelaki berkulit putih itu berasal dari Kota Pagar Alam, sebuah daerah yang terletak di dataran tertinggi Sumatera Selatan.

Sebenarnya aku heran, lelaki yang lumayan tampan itu masih saja betah hidup membujang. Padahal, secara materi ia sudah mapan, dan tentu saja berpenampilan cukup menarik.

Kadang-kadang aku juga tak tega menyaksikan Pak Arif sering dibully oleh teman-teman sekantor dengan status bujang seniornya.

Beberapa saat kemudian, mobil yang kami kendarai mulai melambat.

"Nah, ini rumah Indah, Bu," ujar muridku itu sembari menunjuk ke arah rumahnya yang lumayan besar.

Sebuah senyum kulontarkan sebagai respon pada Indah.

Perlahan Pak Arif telah menepikan mobilnya di depan pagar rumah itu. Namun, Hujan masih saja setia membasahi bumi.

"Pagarnya masih dikunci, Om. Bisa teleponin mama nggak?" pinta Indah pada Pak Arif.

"Biar aku yang menelpon mamamu ya, Nak," pintaku padanya.

Ini kesempatan aku untuk memastikan nomor telepon yang telah aku simpan di ponselku itu.

"Pak Arif ada nomor telepon mamanya Indah?" Aku menatap ke arah lelaki itu.

Belum sempat Pak Arif menjawab, Indah menyerobot omongan. "Indah hafal nomor telepon mama. Biar Indah sebutin ya, Bu."

Setelah aku memencet beberapa angka yang disebut oleh Indah. Aku menekan tombol call pada ponselku.

Lina.

Sontak aku terperanjat dibuatnya. Jantungku mulai memacu kuat. Desiran darah mengalir deras hingga ke ubun-ubun. Ternyata benar wanita itu yang mengirim pesan singkat ke Mas Dimas kemarin.

Aku mencoba menguasai diriku, dengan mengatur nafas yang sudah tak menentu.

"Halo!" sapa dari balik telepon.

"Halo, ini benar mamanya indah?"

"Iya benar."

"Ini Indah, Ma!" Pekik bocah itu dari arah belakang. Ia menjulurkan kepalanya ke arah depan. Kemudian aku menyodorkan ponsel ke arah wajahnya.

"Indah? Kenapa, Nak."

"Bukain pintu pagar, Indah udah di depan sama Om Arif, sama Bu Rindu juga."

"Oh, ya udah tunggu sebentar ya. Mama cari payung dulu."

"Baik, Ma."

Aku belum sempat ngomong apa-apa lagi. Namun, telepon telah diputus.

"Bu, mampir dulu ya ke rumah Indah?" pinta bocah cerdas itu padaku.

"Lain kali aja ya ibu mampir. Ibu harus buru-buru pulang."

"Mmm ..., iya deh," jawabnya sedikit kecewa.

Aku menatap ke arah seorang wanita yang baru saja tiba di balik pagar. Karena derasnya hujan, belum begitu jelas wajahnya terlihat.

Saat dia menghampiri pintu mobil bagian belakang, wajah cantik dengan tubuh putih sedikit berisi itu kutatap dalam-dalam. Ia mengenakan daster panjang selutut warna toska dengan motif kembang.

Kehadiran janda beranak satu itu benar-benar membuat hatiku luka namun tak berdarah.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status