Saat aku terjaga, ternyata hari sudah mulai gelap. Aku beranjak untuk menyalakan lampu kamar.
Kring! Kring! Kring!
Suara nyaring ponsel memecah keheningan kamar.
"Halo!"
"Halo Bu Rindu," sapa Pak Rudi kepala sekolah kami. "Saya mau kasih info mendadak. Indah, muridmu, diminta mewakili Kabupaten kita, untuk berangkat ke Palembang besok pagi."
"Palembang? Acara apa ya, Pak?"
"Lomba siswa berprestasi dan lomba catur tingkat Propinsi. Tahun kemarin 'kan dia menang mewakili kabupaten kita. Nah, tahun ini bapak Kepala Dinas ingin dia maju lagi."
"Oh, alhamdulillah kalau gitu, Pak"
"Saya minta kamu mendampingi dia ya, sama Pak Arif juga."
Aku tertegun sejenak. "Baik, Pak."
"Tolong segera kasih tahu Indah. Tadi saya menghubungi nomor Pak Arif, tapi belum aktif kayaknya. Kasih tau juga sama beliau."
"Baik, Pak. Nanti aku kasih tahu sama mereka."
"Akomodasi dan sebagainya, sudah saya minta ditransfer ke rekening Bu Rindu."
"Iya, Pak."
Setelah telepon diakhiri, aku beranjak menuju ruang tamu.
Kemana Mas Dimas? Kenapa belum pulang juga?
Perasaan pagi tadi dia bilang kalau mau kerja. Masa sih dia lembur sampai jam segini?
Aku kemudian mandi, setelah itu kembali ke kamar untuk ganti baju.
Saat membuka lemari pakaian, mataku menatap ke arah kantong berwarna hitam yang menyembul di balik tumpukan baju Mas Dimas.
Tanganku meraih kantong plastik itu kemudian membukanya.
Susu Prenugen Momy? Apa ini dibelikan oleh Mas Dimas untukku? Tapi aku kan belum hamil. Atau jangan-jangan dia salah beli.
Aku teringat obrolan kami seminggu yang lalu. Bahwa aku ingin meminum susu program kehamilan itu.
Ah, sudahlah. Aku tidak memikirkan hal itu lagi.
Aku merapikan kantong plastik itu lalu meletakkannya pada posisi semula.
Setelah mengenakan pakaian, aku duduk di bibir ranjang sembari menimbang-nimbang permintaan dari kepala sekolah tadi.
Saat menghubungi nomor telepon Pak Arif, ternyata benar, nomornya tak aktif.
Aku mulai berpikir keras, memberanikan diri menghubungi nomor Lina untuk memberikan informasi ke Indah.
Demi Indah.
Aku mengumpulkan segenap mental keberanian untuk menelpon wanita itu. Perlahan, aku mulai mengatur napas lalu menelponnya.
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi."
Arght!
Setelah termenung beberapa saat. Akhirnya aku memutuskan untuk menghampiri wanita itu ke rumahnya. Sambil menyelam minum air. Ya, Aku akan bicara dari hati ke hati dengan wanita itu. Sekalian memberitahu ke Indah rencana keberangkatan besok.
"Mau kemana kamu, kok rapi banget?" tanya ibu sambil menonton televisi di ruang tamu.
"Aku mau keluar. Mau cari Mas Dimas," jawabku berbohong tanpa menoleh ke arah ibu. Aku tak begitu menghiraukan pertanyaannya.
Mang Toyib telah siap dengan motornya. Lelaki itu akan mengantarku menuju rumah Lina.
Motor melaju pelan, kilatan petir berulang kali menyambar dari arah kejauhan. Sepertinya hujan sudah tak sabar ingin turun.
Setiba di depan rumah Lina. Kebetulan pagar rumahnya tidak dikunci.
"Saya ada kerjaan sebentar ya. Nanti telepon saja kalau mau pulang," ujar Mang Toyib menjelaskan.
"Baik, Mang."
Lelaki itu berlalu meninggalkanku. Sementara aku bergegas masuk ke halaman rumah Lina.
Ketika tiba di depan rumah, aku mencoba untuk memberi isyarat dengan mengetuk pintunya.
Tok! Tok! Tok!
Belum ada tanda-tanda dari arah dalam.
Tok! Tok! Tok!
"Assalamualaikum."
Rasa gugup perlahan mulai menjalar di tubuh ini. Entah mengapa tiba-tiba saja perasaanku tak enak.
"Waalaikumsallam," sahut seorang wanita dari arah dalam.
Ceklek!
Daun pintu menganga. Pesona kecantikan wajah janda muda itu terpancar menyambut kedatanganku. Bibirnya yang merah, hidung mancung, bulu mata lentik, lengkap dengan bodinya yang montok. Wajar saja kalau Mas Dimas terpikat olehnya.
"Siapa, ya?" tanyanya penasaran. Kami memang belum saling mengenal. Ketika mengantar Indah siang tadi, kami memang tak sempat bertemu langsung.
"Saya Rindu, Mbak. Guru Indah," jawabku sedikit gugup.
Debar-debar tak menentu kini memacu darah mengalir deras. Kalau saja tak bisa menguasai diri, mungkin saat itu juga sudah kulabrak pelakor itu. Namun, sekuat tenaga aku membuang rasa luka yang kini tersemat di hati.
"Oh, silahkan masuk, Bu." Senyum manis ia lontarkan padaku.
Senyum yang kini tengah membuat suamiku mabuk kepayang dibuat olehnya. Senyum yang akan memporak porandakan rumah tangga kami.
Aku menyunggingkan bibir, membalas senyum itu.
"Ada apa ya? Tumben malam-malam Bu Rindu ke sini." Kami telah berada di sofa empuk ruang tamunya.
Pandanganku beredar ke penjuru ruang besar itu. Nampak barang-barang mewah ada di dalamnya.
"Besok pagi Indah harus berangkat ke Palembang. Dia terpilih mewakili Kabupaten kita dalam lomba siswa berprestasi dan lomba catur. Aku yang akan mendampinginya nanti, Mbak," terangku pada Lina.
"Wah, alhamdullilah akhirnya dia terpilih lagi. Tapi maaf, Bu. Kayaknya Indah lagi ngambek. Dari sore tadi dia tidak mau ke luar kamar. Dia lagi marah samaku. Biasa anak kecil."
Aku kembali mengembangkan senyum palsu. "Gitu, ya."
"Iya, Bu. Coba ibu bujuk dia. Kasian Indah belum makan dari sore," pinta wanita itu sembari mengaduk susu berwarna coklat dalam gelas panjang.
"Nanti coba aku bujuk dia, Mbak."
"Bu Rindu mau minum apa?"
"Nggak usah repot-repot, Mbak. Sebenarnya ada hal penting juga yang ingin aku sampaikan."
"Hal penting apa, Bu?" tanya Lina penasaran.
Aku menghela nafas panjang. Mengatur irama jantung supaya tak kelihatan gugup.
"Mbak Lina kenal sama Dimas?" tanyaku dengan nada biasa saja. Walaupun sebenarnya perasaan bergejolak kuat.
Wanita itu terdiam, dia menghentikan mengaduk susunya tadi. Lalu menatap wajahku penuh selidik.
"Iya, kenal."
Tutur kata wanita itu begitu lembut. Dia sangat pandai membuat grogiku hilang.
"Kenal sejauh apa?"
"Maksud Bu Rindu?" tanya Lina bingung. Wanita itu menautkan sepasang alisnya.
"Apakah Mbak Lina ada hubungan spesial dengan Dimas?"
Matanya membulat. Sepertinya dia mulai terusik oleh pertanyaan yang barusan kulontarkan.
"Maaf, Bu. Kayaknya pertanyaan Bu Rindu sangat personal. Ada apa ya?" Lina bertanya balik. Lagi-lagi dengan tempo bicara yang sangat teratur.
Deg!
Tentu saja aku terpojok mendengar ucapannya. Aku sudah tak sabar lagi untuk mengatakan yang sebenarnya.
Tenang Rindu. Tetap kuasai keadaan. Batinku bergejolak hebat.
Tanganku merogoh ke dalam tas jinjing, mencari sebuah buku kecil dari dalamnya. Lalu aku menyodorkan buku itu pada Lina.
Wanita itu mengambilnya, kemudian ia membaca halaman buku itu.
Lina tersentak menyaksikan sepasang foto suami istri yang menempel di sana. Iya, itu adalah buku nikah yang sengaja aku bawa untuk diperlihatkan pada wanita itu.
Dengan refleks sebelah telapak tangan wanita itu menutup mulutnya. Sedangkan yang satunya lagi masih memegang buku nikahku. Ia tak percaya atas apa yang barusan dilihatnya.
Mukanya mulai kelihatan pucat. Tiba-tiba terdengar isak kecil yang keluar dari mulutnya, air matanya seketika bergelinang. Semakin lama semakin deras air itu bercucuran.
Tangisnya pecah setelah membaca nama Dimas Anugerah dan Rindu Anisa yang tertera pada buku sakral itu.
Hiks! Hiks! Hiks!
"Jadi? Dimas---"
Kata-katanya terhenti, ia semakin sesegukan melawan tangis yang begitu mengiris.
"Iya, Mbak. Mas Dimas adalah suamiku."
Aku menguatkan diri, mencoba tak ikut hanyut dalam kepiluan yang sedang wanita itu rasakan.
Entah apakah Lina benar-benar belum tahu kalau Mas Dimas telah beristri. Atau itu hanya aktingnya saja supaya aku tidak melabraknya.
Aku menyunggingkan senyum kemenangan. Lega rasanya dapat mengungkap kebenaran yang hampir saja terlambat ini.
Sementara Lina terus saja larut dalam tangisnya.
Bersambung ....
Tiba-tiba wanita itu meletakkan buku nikahku ke atas meja, lalu ia mendekap tubuh ini dengan erat. Tubuhnya bergetar akibat isak tangis. Kini ia tenggelam dalam pelukanku.Seketika itu, rasa iba menyelinap ke relung hatiku. Tak tega rasanya membiarkan wanita cantik itu terus menangis.Aku menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Mencoba untuk menenangkannya.Perlahan Lina melepaskan pelukan. Matanya telah membengkak nanar menatapku. Aku membalas tatapan mata itu."Sebagai sesama wanita, Mbak Lina tentunya dapat mengerti apa maksudku. Sebelum semua ini berlanjut lebih jauh lagi," ucapku penuh keseriusan.Aku sudah berada di atas angin, kemenangan sebentar lagi aku dapatkan. Rasanya sudah tak sabar lagi ingin mendengar pengakuan kekalahannya."Maafkan aku, Bu Rindu." Tangisnya terus berlangsung.Aku sudah dapat melengkungkan garis bibir, mengembangkan senyum kepuasan.Tiba-tiba wanita itu kembali memelukku. Kali ini dekapannya sa
Nyali Mas Dimas semakin ciut. Mulutnya terkunci, ia tak dapat menjawab pertanyaanku."Jawab! Mas," pekikku sekali lagi. Kadar emosiku terus bertambah. Entah bagaimana ekspresiku saat ini. Yang jelas, gertakan itu berhasil mendominasi keadaan.Mas Dimas membuang tatapan mataku. Ia beringsut menuju kursi. Sepertinya lelaki itu telah sadar kalau aku baru saja membuka semua tabir rahasia besarnya.
Pak Arif menekan saklar lampu yang berada di dinding ruang tamu rumahnya. “Silahkan duduk dulu, Bu,” ujar lelaki itu sembari tersenyum.Aku dan Indah menuruti permintaan Pak Arif. Kami berdua duduk di sofa empuk berwarna abu muda yang memiliki sandaran agak rendah.Setelah duduk, aku mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu rumah Pak Arif. Nampak tata letak dan dekorasinya cukup apik. Di dindingnya menempel sebuah lukisan abstrak yang didominasi warna hitam dan merah. Pas betul dengan paduan warna cat interior bernuansa putih lembut. Ternyata bagus juga selera lelaki yang masih betah menjomblo itu.Pak Arif menuju kamar yang berada di ruang tengah rumahnya. Sepertinya ada dua kamar yang saling berdempetan di sana.“Bu, aku nggak mau pulang ke rumah lagi,” cetus Indah memecah keheningan ruang tamu
Mendengar suara membentak dari seseorang yang berada di ruang depan, nyali Indah ciut. Ia mendempetkan tubuhnya padaku. Tangannya mencengkeram erat ke lenganku.“Sabar dulu, Pak RT. Dia itu sodaraku. Dia hanya numpang menginap di rumahku satu malam ini saja. Besok pagi langsung berangkat ke Palembang. Lagian kami tidak hanya berdua, ada ponakanku juga,” terang Pak Arif panjang lebar.Lelaki itu mencoba membela dirinya. Ia tak ingin ada fitnah atas kehadiranku ke rumahnya malam ini."Bohong!" teriak beberapa orang hampir berbarengan. Sepertinya Pak RT tak sendirian. Kalau dari suaranya, tak kurang tujuh sampai delapan orang yang berada di depan sana."Kita usir saja wanita yang Pak Arif bawa tadi, Pak!" ujar seseorang dengan suara meninggi. Kayaknya orang itu provokatornya.Genggaman tangan
Aku malu bukan kepalang. Mukaku terasa merah menyalah. Kentut berirama panjang yang baru saja aku keluarkan, tentunya terdenger jelas dari arah Pak Arif berdiri sekarang.Aku membuang tatapanku, tak kuasa membendung rasa yang sangat tak enak untuk diungkapkan itu.Mataku beralih mentap wajah Indah, anak kecil itu nampak menahan tawanya sembari menutup mulut dengan telapak tangan. Sungguh, aku telah berhasil mempermalukan diriku sendiri dihadapan mereka.“Aku nggak dengar kok,” ujar Pak Arif pura-pura. Aku tahu kalau lelaki itu sedang meledekku. Ia berlalu menuju dinspenser yang berada di sebelah meja kompor.Glek! Glek! Glek!Lelaki itu meneguk segelas air putih itu hingga tak bersisa di gelas beningnya. “Aku duluan ya, udah nggak tahan mau buang air,” terang lelaki itu sambil
Tiada terasa kami telah sampai di tepi kota Palembang. Semakin mendekati pusat kota, jalan semakin padat. Hingar-bingar kesibukan pengguna jalan lengkap dengan panasnya mentari yang memanggang.“Kita nanti nginap dimana, Bu?” tanya Pak Arif sembari melirikku.“Acaranya di gedung dekat PS Mall, Pak. Panitia sudah menyiapkan hotel di dekat sana. Siang ini kita harus melakukan registrasi dulu untuk Indah. Ini alamatnya, Pak,” terangku sambil memperlihatkan alamat yang barusan kusebut itu melalui layar ponselku.“Oke, kita langsung ke sana ya,” ujar Pak Arif sambil mengangguk paham.Aku membalikkan badanku, melirik ke arah belakang. Nampak Indah masih pulas dalam tidurnya. Ia duduk bersandar di kursi mobil.Sebenarnya aku sedikit cemas, karena baru pertama kali mendampi
Beruntung kami masih mendapatkan meja. Karena biasanya sangat susah kalau tidak memesan terlebih dulu. Mungkin karena hari ini hari biasa, kalau week end sudah pasti kami tak kebagian tempat.Kami duduk di sana, lalu seorang pelayan mengenakan seragam sembari membawa kertas lengkap dengan pena, sudah berdiri menunggu untuk mencatat semua menu yang akan dipesan."Indah mau makan apa?" tanyaku membuat bocah itu menghentikan pandangannya ke arah jembatan Ampera."Nih silahkan pesan, Pak Arif juga." Aku menyodorkan buku menu yang tadi tergeletak di atas meja. Pak Arif dan Indah mulai membuka halaman buku menu makanan itu. Membaca-baca satu demi satu."Aku mau kepiting saus tiram, minumnya jus mangga aja," ucap Indah sembari menatap pelayan tadi.Pak Arif nampaknya masih bingung dengan pilihannya. Beberapa
Aku menatap wajah Indah secara seksama. Pertanyaan yang baru saja keluar dari mulutnya itu berhasil mengusikku."Indah, suatu saat kamu bakal tau sendiri kenapa ibu bercerai. Saat ini ibu belum bisa menceritakannya."Mendengar penjelasan dariku, Indah nampak tak puas. Mukanya sedikit ditekuk, lalu ia berbaring lagi di atas kasurnya.Kembali aku merasa ada sesuatu yang aneh dalam perutku. Aku menghambur ke arah toilet yang ada di dalam kamar hotel kami.Uwek! Uwek!Rasa mual itu memaksaku untuk memuntahkan sesuatu, tapi tak ada yang keluar dari mulutku. Aku jongkok di pintu toilet itu dengan posisi tubuh condong ke arah dalamnya.Aku mendorong sekali lagi, tetap saja tak berhasil.Indah bergegas mendekati kemudian memijat-mijat belakang le